Angga dan Dimas sudah kembali. Namun, kedatangan mereka tak lantas membawa kabar bahagia. Kondisi Hanum masih tetap sama. Sekalipun sudah melewati masa kritis, tapi Hanum belum sadar sepenuhnya.
Angga menghela nafas panjang, menyapu pandangannya pada wajah teman-teman yang kini sedang berkumpul di depannya.
"Kita doakan semoga Hanum segera lekas pulih dan kembali seperti sedia kala," ucap Angga dengan nada bergetar seperti menahan tangis.
Siska yang melihat Angga berdecak kesal, membuang tatapannya dari Angga. Sementara Zaki, lelaki tempramental itu hanya tertunduk lesu, tidak dapat menyembunyikan rasa kesedihannya.
"Sis, bagaimana dengan tugas kamu? Semua aman kak?" seloroh Angga menatap pada Siska.
Gadis itu tergeragap, segera ia mengalihkan tatapannya kepada Angga. "Sudah, semuanya lancar!" balas Siska.
Suara derap langkah berjalan cepat ke halaman depan r
Suara tangisan terdengar dari luar rumah Pak Parlin. Jantung Rani berdegup semakin kencang, benaknya terus menerka kejadian apa yang membuat teman-temannya menangis seperti itu."Assalamualaikum!" salam Rani dengan suara bergetar, menyapu pandangannya teman-temannya yang sedang di landa kesedihan."Ran, kamu dari mana?" tanya Angga, lelaki gagah itupun nampak sedih. Jejak air mata masih ketara begitu jelas pada pipinya.Apalagi dengan Zaki, lelaki itu terduduk di atas lantai, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut, satu tangannya menutupi wajahnya yang tertunduk. Hari ini lelaki itu nampak sangat menyedihkan sekali."Dim, ada apa ini?" Batin Rani semakin bertanya-tanya, lelaki berkacamata itupun masih nampak terisak, tentang luka apa yang sedang menggores hatinya saat ini dan membuatmu menangis."Hanum, Ran, Hanum!" Dimas menatap Rani berkaca-kaca."Ha
Suara tangisan itu sayup-sayup masuk dalam indra pendengaran Dimas. Perlahan lelaki yang tertidur itu pun tersadar. Sesaat Dimas mengerang dan merubah posisi tidurnya. Seketika Dimas tergeragap, saat menyadari sosok wanita yang sama tengah terduduk di sudut kamarnya. Dari sorot kemuning lampu jaga, Dimas dapat melihat wanita itu dengan jelas.Jantung Dimas bertalu-talu, lelaki itu menarik tubuhnya ke ujung ranjang. Tubuhnya gemetaran, ketakutan."Si-siapa kamu?" lirih Dimas dengan nada terbata. Satu tangannya terulur ke arah sosok wanita yang terduduk di pojok ruangan yang sedari tadi terus menangis.Hu ... Hu ... Hu ...Wanita yang menenggelamkan wajahnya itu semakin tergugu, menangis tersedu-sedu. Bahunya bergerak naik turun membersamai isakan.Beberapa saat Dimas hanya menatap penuh ketakutan pada wanita yang tak menjawab pertanyaannya. Kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan bahwa dua prajurit yang kerap kali menerornya itu
Angga duduk termenung di pos ronda yang berada di depan rumah Pak Parlin. Begitu juga dengan Zaki yang nampak termenung."Sepertinya kamu salah memilihkan tempat untuk kita semua!" tutur Zaki dengan tatapan menerawang jauh."Benar apa yang kamu bilang, ini adalah kesalahanku!" Angga tertunduk lesu. Satu tangannya menyentuh pada pelipis lalu memijatnya pelan.Sesaat kemudian suasana berubah menjadi hening. Wajah datar Zaki menggambarkan kesediaan yang amat dalam."Lalu apa yang akan kamu lakukan?" seloroh Zaki melirik pada Angga."Entahlah!" Angga mengangkat wajahnya menapa pada rumah kosong yang berada di depan rumah Pak Parlin. "Kita tidak mungkin mengakhirinya sekarang. Karena sebentar lagi semua tugas kita akan selesai. Hanya tinggal beberapa hari saja," ucap Angga menoleh ke arah Zaki, pemuda gagah itu nampak bimbang.Zaki mendengus berat. "Sebenarnya apa
Subuh buta Zaki sudah kembali dari pasar. Lelaki itu harus berjalan cukup jauh untuk mendapatkan kendaraan umum yang bisa membawanya ke pasar. Semua barang persediaan sudah habis tidak tersisa dan terpaksa Zaki harus melakukan pekerjaan itu karena tidak ada lagi orang yang bisa ia minta pertolongan.Dengan menenteng dua kantong plastik besar yang berisi barang-barang kebutuhan sehari-hari, sebuah pemandangan mengalihkan tatapan Zaki saat lelaki itu hendak masuk ke halaman rumah Pak Parlin."Siapa itu?" desis Zaki melihat seorang wanita tengah mencakar-cakar tangannya pada tahan di halaman rumah kosong yang berada di depan rumah Pak Parlin.Zaki berjalan mengendap-endap mendekat ke arah pagar. Dari sela-sela pagar Zaki bisa melihat wanita dengan daster sedang menggali tanah sedalam siku dengan tangannya di halaman rumah kosong itu."Siapa wanita itu?" batin Zaki penasaran.Zaki me
"Mas Angga!" semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibir Siska saat melihat Angga keluar dari dalam kamarnya. Gadis itu merapikan sedikit almamater yang ia kenakan, kemudian mempercepat langkah kakinya menghampiri Angga."Mas Angga!" seru Siska memasang wajah secantik mungkin di depan Angga.Angga menghentikan langkah kakinya, sesaat menoleh ke arah Siska yang sedang melambaikan tangan kepadanya."Ada apa, Sis?" tanya Angga.Sepersekian detik Siska nampak mengatur nafasnya yang tersengal. Sepatu tinggi yang ia kenakan membuat betis gadis itu sedikit pegal. Karena tak biasanya Siska menggunakan sepatu seperti itu. Kecuali jika ia ingin di lihat cantik oleh orang yang ia sukai."Mas Angga mau kemana?" tanya Siska ramah."Aku masih ingin meneruskan pencarianku!" jawab Angga datar.Siska tidak bergeming, sorot matanya tidak berkedip
Rani meradang, melihat Yuda mengacuhkannya. Bergegas Yuda pergi meninggalkan kamar Pak Parlin seperti orang yang sedang ketakutan."Yud!" panggil Rani lagi, tapi Yuda sama sekali tidak menoleh ke arahnya.Rani mendengus berat, sesaat ia berdecak kesal menatap ada kepergian Yuda. Rani menoleh ke arah lemari besi yang ada di dalam kamar Pak Parlin, sepertinya Pak Parlin sedang menyembunyikan sesuatu di dalam lemari itu. Perlahan Rani menyeret langkah kakinya mendekat ke arah lemari. Namun, suara derap langkah kaki yang berjalan' mendekat menghentikan langkah Rani."Ada Siska!" cetus Rani saat melihat Siska yang hendak naik ke atas tangga menoleh ke kamar Pak Parlin yang terbuka. Bergegas Rani bersembunyi di bawah kolong ranjang saat Siska berjalan cepat ke arah kamar itu. Wajah gadis itu nampak sangat penasaran.Suara derap langkah kaki Siska terhenti di depan pintu kamar Pak Parlin. Rani dapat melihat
Rani terus berlari saat menyadari Pak Parlin dan Yuda menyadari kehadirannya sedang mendengarkan pembicaraan mereka. Gadis itu berlari menaiki anak tangga menuju lantai atas dengan sangat ketakutan.Bruakk!Rani terjatuh saat menaiki tangga kedua menuju lantai atas. Tubuh gadis itu tergelincir jatuh di bahwa anak tangga."Ha ... Mau kemana kamu gadis kecil!" desis Pak Parlin menampakan seringainya. Berjalan mendekat ke arah Rani.Rani hendak bangkit, namun sepertinya kakinya terkilir. Dengan jantung bergemuruh, Rani menarik tubuhnya menjauh dari Pak Parlin dan Yuda yang berjalan semakin mendekat ke arahnya."Jangan Pak, jangan!" lirih Rani dengan wajah ketakutan. Peluh membahasi pelipisnya yang menegang."Apa yang sudah kamu dengar, Rani?" ucap Yuda menarik kedua sudut bibirnya tersenyum sinis. Kemudian wajah lelaki itupun nampak menyeramkan.
Wanita dengan rambut berantakan itu berjalan menuju ke arah pintu. Sorot matanya tajam, satu tangannya semakin mengeratkan pelukannya pada boneka menyeramkan yang ada di dadanya.Rani yang masih terduduk di atas lantai di depan pintu tercekat. "Apakah dia juga hantu!" batin Rani menatap ke arah wanita gila yang ada di hadapannya."Siapa itu?" sentak wanita berwajah menyeramkan itu menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan sepi dan mencekam di rumah Lasti.Rani menyadari jika wanita itu tidak dapat melihatnya. Perlahan Rani bangkit dan mencoba untuk meraih tubuh wanita itu. Namun, sentuhannya seperti menembus dan tidak dapat menyentuh."Dia bukan hantu, dia manusia. Jadi dia yang selama ini menjadi penghuni rumah kosong ini," ucap Rani menatap pada wanita gila yang kembali memutar tubuhnya berjalan menuju ke bangku goyang yang berada di samping jendela kamar."Tentu saja dia masi