Suara gamelan itu masih terdengar sepanjang perjalanan. Abah terus memacu mobil jeeb tua berwarna biru miliknya menebus hutan pinus yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Semakin laju mobil itu dipacu, seolah semakin mendekati arah suara musik tradisional itu. Tak hentinya bibir berdzikir mengingat Allah. Sepertinya ia tahu, suara gamelan yang ia dengar adalah sebuah pertanda buruk.
Netra Abah menatap arah jalanan yang berada di depan kaca mobil. Meskipun kini kaca mobil itu dipenuhi dengan butiran gerimis air hujan yang mulai mengguyur. Wiper pada mobil jeeb tua itu berlenggang kekanan kekiri untuk menghapus jejak hujan yang semakin deras.
Sejak tadi sore Ustadz Zul meminta pertolongan kepada Abah untuk datang ke kediaman Indah. Karena jarak yang ditempuh ke rumah Indah lumayan jauh, kemungkinan Abah akan tiba di sana tangah malam.
Bibir Abah tidak berhenti terus mengucap takbir di sepanjang perjalanan. Terlihat seseorang sedang duduk di bangku belakang mobil Abah. Padahal sedari tadi, Abah menaiki mobil itu sendirian. Lelaki yang memiliki banyak kerutan pada wajahnya itu terlihat tidak bergeming. Meskipun indra penciumannya menyesap aroma melati yang menguar di dalam mobil. Tapi Abah memilih untuk tenang ses
"Jangan pergi!" Suara berat itu terdengar masuk dalam indra pendengaran Abah. Seoalah dekat dan berbisik.
"Bismillahirrahmanirrahim! Allahuakbar, allahuakbar, allahuakbar!" lirih Abah pelan. Netranya masih memperhatikan wanita dengan wajah rusak yang tengah duduk pada bangku belakang mobil dari kaca spion di atas kemudi.
"Kih ... Kih ... Kih ... Kih!" Suara itu melengking mengema di seluruh penjuru hutan pinus bersama menghilangnya sosok itu.
"Alhamdulillah!" Abah mengusap wajahnya dengan wajah lega.
Kembali Abah memfokuskan netranya pada jalanan lincin yang berada di depan mobil. Hujan deras yang baru menguyur membuat Abah harus berhati-hati. Suara gamelan yang mengiringi perjalanan Abah pun juga sudah menghilang. Yang terdengar kini hanya suara deru mesin mobil tua Abah dan wiper yang masih bergerak menyapu sisa air hujan.
Brug!
"Astaghfirullahaladzim!" Seketika Abah menginjak rem. Saat mobil yang ia kendarai menabrak sesuatu.
Abah mengeluarkan sedikit kepalanya dari samping kaca yang terbuka. Ia tidak melihat apapun. Kemudian Abah melihat pada kaca depan mobil, ia melihat seekor kucing berlumuran darah di atas kap mobilnya.
"Astaghfirullahaladzim! Kucing mati!" sergah Abah terkejut. "Bagaimana bisa bangkai kucing itu ada di situ!" imbuh Abah dengan wajah berpikir.
"Ya Allah, sungguh engkaulah sebaik-baiknya pelindung!" lirih Abah membaca doa selamat sebelum ia turun dari dalam mobil.
Abah menengadahkan kedua tangannya ke langit. Sekedar untuk memastikan bahwa hujan memang benar-benar sudah reda. Abah memutar tubuh mendekati bangkai kucing yang berada di atas kap mobilnya. Aroma amis menyeruak ke dalam indra pernapasan Abah.
"Jika mobilku yang menabrak kucing ini, harusnya kucing ini ada di depan mobilku bukan di atas kap mobil," pikir Abah melihat pada bangkai kucing
"Jangan pergi!" Sekilas bayangan yang berbisik membuat gerakan tangan Abah yang hendak meraih bangkai kucing itupun terhenti.
"Siapa itu?" Lelaki tua itu membalikan tubuhnya. Lalu mengedarkan pandangannya di kegelapan hutan.
Tidak ada siapapun. Hanya kegelapan malam dan suara lolongan anjing yang sepertinya sedang menertawakan Abah. Abah ketakutan, dadanya bergemuruh dengan keringat yang membahas tubuh. Tidak pernah lelaki tua itu mengalami ketakutan seperti ini.
Dengan cepat Abah segera menguburkan bangkai kucing yang berada di atas kap mobilnya. Kemudian bergegas masuk ke dalam mobil. Firasat buruk kian bergelayut dalam benaknya.
"Astaghfirullahaladzim!" desis Abah saat aroma bangkai yang menyeruak dari dalam mobilnya.
"BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, ALLOOHUMMA INNAA NAS-ALUKA SALAAMATAN FID DIINI WA 'AAFIYATAN FIL JASADI WA ZIYAADATAN FIL 'ILMI WA BAROKATAN FIR RIZQI WA TAUBATAN QOBLAL MAUTI WA ROHMATAN 'INDAL MAUTI WA MAGHFIROTAN BA'DAL MAUTI."
Abah membaca doa selamat dengan bibir bergetar. Tubuhnya bergetar hebat dengan rasa ketakutan. Lisan Abah tidak berhenti sedikitpun untuk membaca shalawat dan dzikir.
Aroma bangkai itu kini berubah menjadi aroma singkong bakar, setelah Abah melajukan kemudinya cukup jauh dari tempat ia menguburkan jenazah kucing tersebut.
"Aroma singkong bakar!" batin Abah. Ia teringat tentang sebuah cerita penduduk di kampung Ranu Peni. Jika ada seorang yang mencium aroma singkong bakar itu pertanda jika ada genderuwo yang sedang mengikuti kita.
Abah semakin mempercepat laju kemudinya. Melewati jalan berliku dan licin. Ia berharap mobil yang dikendarainya akan segera sampai di pemukiman rumah penduduk.
"Astaghfirullahaladzim! Astaghfirullahaladzim! Subhanallah, subhanallah, subhanallah!" Mulut Abah terus berkomat Kamit. Aroma singkong bakar itu seperti memenuhi ruang di dalam mobilnya.
Karena ketakutan lelaki tua itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun anehnya, mobil itu seperti terus berputar-putar di jalan yang sama.
"Jangan pergi! Kih ... Kih ... Kih ... Kih!"
Abah terlojak saat mendengar suara tawa menyeramkan pada bangku di sampingnya. Seketika Abah menoleh ke arah asal suara. Sosok wanita tanpa wajah berada tepat di samping Abah dengan rambut yang terurai menutupi sebagian wajahnya.
"Aaaaa, Inalillahi wa innailaihi rojiun!"
Mobil yang Abah kendarai menabrak pembatas jalan. Mobil berwarna biru itu terperosok masuk ke dalam jurang.
Tet!!!
Suara klakson mobil Abah terus menggema diikuti tawa menyeramkan dan lolongan anjing yang saling bersahutan dengan riuh ramai gamelan yang sedari tadi mengiringi perjalanan Abah.
*****
Ustadz Zul masih berdiri menatap jenazah Abah yang tidak lain adalah gurunya. Lelaki yang sudah berumur itu kini telah terbujur kaku di hadapannya. Tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang mampu menolak kematian. Kita hanya tinggal menunggu dengan cara apa kita akan di ambil.
Sesekali Ustadz Zul menyeka air mata yang menggenangi sudut matanya. Tergambar jelas rasa kehilangan dari wajah Ustadz Zul.
Sementara Prapto masih berdiri di samping Ustadz Zul. Ia terus menundukkan wajahnya tidak berani menatap jenazah Abah, sekalipun kini lelaki tua itu sudah tidak bernyawa.
Diantara para pelayat yang melantunkan ayat-ayat suci Alquran, terlihat Istri Abah menangis tergugu bersimpuh di samping jenazah suaminya. Wanita bertubuh tambun itu terlihat sangat terpukul. Tak banyak orang menyangka jika Abah akan mati dengan cara seperti itu, begitu juga dengan wanita paruh baya itu.
Pemakaman telah usai, Ustadz Zul berjalan menuju motor matic yang terparkir di bawah pohon cemara, diikuti Prapro di belakang punggungnya.
"Astaghfirullahaladzim!" Ustadz Zul tercekat melihat sebuah tulisan yang sengaja' seseorang tempelkan pada motornya.
[Jangan ganggu kami atau kamu akan mati!]
Ustadz Zul melihat ke sekeliling. Tidak ada siapapun, bahkan para takziah sudah pulang lebih dulu. Hanya tinggal Ustadz Zul dan Prapto seorang di area pemakaman tersebut.
"Ada apa, Ust?" tanya Prapto yang melihat wajah Ustadz Zul.
"Astaghfirullahaladzim! Siapa yang melakukan ini, Ust?" Prapto tercekat melihat surat ancaman yang berada di motor Ustadz Zul.
*********
"Bapak ini seperti tidak tau Mas Tejo saja. Sekalipun dia adalah saudara kandungku, tapi dia itu tidak suka jika melihat aku sukses, Pak!" beo Lastri yang sedang sibuk mengaduk kopi yang berada di atas meja.
"Astaghfirullahaladzim Bu! Istighfar, ibu tidak boleh berprasangka buruk sama Mas Tejo. Siapa tau Indah itu memang kesurupan," sahut Seno.
"Kesurupan kok nggak udah-udah!" ucap Lastri ketus. Wanita itu meletakkan kasar secangkir kopi di depan Seno.
"Ini itu sudah jelas-jelas ulah santet Mas Tejo. Karena apa Pak, karena usahaku lebih maju daripada usahanya. Jika tidak begitu untuk apa dia ambil kelapa dari luar pulau Jawa, kalau tidak biar kelapaku tidak laku. Dasar serakah!" rutuk Lastri yang menjatuhkan tubuhnya pada bangku yang berada di depan Seno. Wajah Lastri terlihat begitu kesal setiap kali membahas Kakak kandungnya, Tejo.
"Sudahlah Bu! Rejeki itu sudah ada yang mengatur. Tugas manusia hanya berusaha dan berdoa, untuk hasilnya biar Allah yang menentukan," jawab Seno seraya menikmati kopi hitam buatan Lastri.
"Halah, Bapak itu! Cuma bisa ngomong saja. Kalau Ibu tidak bekerja keras pasti hidup kita akan tetap miskin seperti dulu!" gerutu Lastri kesal.
"Sudah Bu, sudah! Mungkin yang terjadi pada Indah adalah ujian, jadi ibu yang tenang ya!" ucap Seno.
Lastri hanya mendengus kasar lalu meninggalkan Seno di mana makan.
***
"Bagaimana kabarmu, Indah?" tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang datang berkunjung ke rumah Indah.
"Alhamdulillah, sehat Pak De!" jawab Indah dengan wajah yang masih terlihat pucat.
"Ibumu sudah ke sini?" tanya lelaki itu memperhatikan wajah Indah dengan seksama.
Indah menggeleng lembut, "Belum Pak De!" lirihnya. "Mungkin Ibu sedang sibuk," imbuh Indah.
"Dasar Ibumu itu memang sudah menjadi budak dunia, Indah! Wanita gila!" hardik Tejo dengan wajah kesal.
Indah tidak bergeming. Selamanya Pak De Tejo tidak akan pernah akur dengan Ibunya, Lastri.
****
Bersambung .....
Tejo masih berdiri di depan halaman rumah Indah sejak Indah menutup pintu rumahnya. Wanita dengan wajah pucat itu masih sempat mengantarkan Tejo berpamitan hingga ke ambang pintu."Hati-hati ya Pak De! Terimakasih sudah datang untuk menjengukku!" tutur Indah saat mengantarkan Tejo berpamitan.Sesekali lelaki yang memiliki kumis tebal itu menoleh ke kanan, ke kiri serta ke sekeliling rumah Indah. Setelah memastikan tidak ada siapapun, Tejo segera menaburkan sesuatu benda yang ia ambil dari dalam saku celananya."Mampus kamu, Sulastri! Sebentar lagi akan tamat riwayatmu!" guman Tejo dengan tersenyum kemenangan. Lelaki itu menyebar bujuk garam di sepanjang halaman rumah Indah dengan mulut berkomat-kamit melafalkan mantra."Pak De Tejo!"Tejo tergeragap. Jantungnya seperti lepas' dari tempurungnya saat seseorang menepuk lembut bahu lelaki berkumis tebal itu. Hampir saja ulahnya ketahuan. Untun
Prapto membuka kedua matanya dengan perlahan. Satu tangannya memegang pelipis yang terasa nyeri akibat benturan semalam. Sinar surya yang masuk melalui sela-sela jendela semakin panas menyentuh pori-pori kulit Prapto."Indah!" Benak Prapto teringat dengan istrinya. Prapto bergegas bangkit dan berlari menuju kamar.Cekriet!Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Indah. Hanya ada selimut tebal yang gumul di atas rajang."Indah buka ya?" pikir Prapto ragu dengan rasa penasaran. Perlahan Prapto pun mendekati ranjang. Jantungnya berdegup kencang saat tanganya bergetar hendak menarik selimut yang bergumul di atas ranjang."Alhamdulillah!" Prapto mengelus dada, saat melihat Indah yang berada di balik selimut itu."Ya Allah, Dek!" Prapto menjatuhkan pelukan pada tubuh Indah yang masih terlelap membuat Indah mengeliat dan tersadar.
Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya."Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali."Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.***Jenazah Seno sudah berada di ruangan tam
Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang."Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri."Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian."Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya."Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan."Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya."Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.
Srek! Srek! Srek!Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya."Meong ...!"Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar."Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar
Srek ... Srek ... Srek ...!Suara seseorang yang sedang mengasah benda tajam itu terdengar hingga ke dapur. Terdengar begitu nyaring membuat ngilu di pendengaran."Kamu itu sudah banyak menyusahkan aku. Jadi kamu harus mendapatkan balasannya!" desis Tejo sinis, sorot matanya jatuh pada pisau yang sedang diasah.Wini sedikit bergidik melihat kelakuan suaminya yang nampak dari pintu dapur. Kembali wanita itu mengaduk aduk sayur dengan tangan bergetar karena takut."Siapkan makan, aku lapar!" sergah Tejo ketus. Diletakan golok itu dengan kasar di atas meja makan lalu menjatuhkan tubuhnya pada bangku meja makan.Bergegas Wini mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi putih dari atas bakul. Lalu meletakannya di atas meja makan bersebelahan dengan lauk pauk yang telah Wini siapkan terlebih dahulu.Tejo manyantap makanan yang dihidangkan Wini dengan lahap. Sepe
Kabut Semeru masih menyelimuti desa Ranupeni. Desa asri yang terletak di lereng semeru. Seolah tajamnya sinar surya belum mampu menembus tebalnya kabut yang sedari tadi mengaburkan pandangan. Membuat udara semakin terasa mencacah tulang hingga ngilu.Prapto terus melajukan kedaraan meticnya menembus jalan yang berliku. Sajauh mata memandang hanya pohon pinus dan cemara yang berjajar rapi di sepanjang jalan."Pokoknya aku sudah tidak mau!" desis Prapto membuat kepulan kabut dari suara yang keluar. Lelaki itu terus meraik gas motor maticnya menuju rumah Ustadz Zul yang terletak lumayan jauh jika ditempuh dari rumah Lastri.Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, menghilangkan kabut yang mengaburkan pandangan hingga menjadi tetesan embun yang membasahi tiap pucuk daun teh yang terhapar luas. Wanita wanita dengan bakul di punggungnya dengan lihai memetik daun teh muda kemudain memasukkannya ke dalam bakul yang berada
Damar mengusap netranya dengan kedua tangan berkaki-kali. Berharap apa yang dilihatnya kali ini hanyalah ilusi. Seorang wanita cantik yang tidak memiliki talapak kaki itu turun dari kereta kuda yang ada di halaman belakang rumahnya. Wanita yang berdandan layaknya wanita jaman lagenda dulu itu terus berjalan menuju lantai atas rumahnya, mereka melayang-layang di udara. Di sampingnya berdiri beberapa dayang yang memiliki bola mata hitam penuh, dengan wajah pucat pasi. Membuat bulu kudu Damar seketika meremang.Selendang berwarna hijau itu terus berkibar, menyibak betis kakinya yang putih bagaikan pualam. Namun, tanpa telapak kaki. Serombongan makluk aneh itu terbang ke lantai atas rumah megahnya. Kemudian menembus kamar yang terletak bersebelahan dengan kamar Wini."Ya, Allah!" Batin Damar tercekat, ketika melihat dua orang yang berada di belakang kerata kuda. Tangannya terikat, wajahnya terlihat begitu pias. Seluruh tubuhnya terlihat membir