Share

Gendam Tejo

Tejo masih berdiri di depan halaman rumah Indah sejak Indah menutup pintu rumahnya. Wanita dengan wajah pucat itu masih sempat mengantarkan Tejo berpamitan hingga ke ambang pintu.

"Hati-hati ya Pak De! Terimakasih sudah datang untuk menjengukku!" tutur Indah saat mengantarkan Tejo berpamitan.

Sesekali lelaki yang memiliki kumis tebal itu menoleh ke kanan, ke kiri serta ke sekeliling rumah Indah. Setelah memastikan tidak ada siapapun, Tejo segera menaburkan sesuatu benda yang ia ambil dari dalam saku celananya.

"Mampus kamu, Sulastri! Sebentar lagi akan tamat riwayatmu!" guman Tejo dengan tersenyum kemenangan. Lelaki itu menyebar bujuk garam di sepanjang halaman rumah Indah dengan mulut berkomat-kamit melafalkan mantra.

"Pak De Tejo!"

Tejo tergeragap. Jantungnya seperti lepas' dari tempurungnya saat seseorang menepuk lembut bahu lelaki berkumis tebal itu. Hampir saja ulahnya ketahuan. Untung saja saat Prapto datang dia sudah selesai menebar bubuk garam itu.

"Pak De sedang apa?" tanya Prapto menyungingkan senyuman.

Wajah Tejo seketika pucat dan terlihat gugup. "Ya habis dari rumah kamu lah, Prapto. Memangnya dari mana?" ucap Tejo bersikap biasa saja di depan Prapto. Sebuah senyuman hangat tersungging dari bibir lelaki itu.

"Pak De dengar, Indah sedang sakit, jadi Pak De datang ke sini untuk melihat keadaan Indah," jelas Tejo.

"Oh, begitu ya Pak De!" sahut Prapto mengangguk lembut mengiyakan ucapan Tejo.

"Ya sudah, Pak De pamit pulang dulu ya! Takut kemalaman nanti sampai rumah," pamit Tejo menepuk bahu Prapto yang bersikap ramah kepadanya. "Jangan lupa, jaga baik-baik istri kamu!" pesan Tejo menatap lekat pada Prapto.

"Iya Pak De! Hati-hati di jalan ya!" Prapto melambaikan tangannya pada Tejo yang sudah kembali masuk ke dalam mobil yang terparkir di tepi jalan depan rumahnya.

"Ustadz Zul!"

Lelaki yang sedari tadi membersamai Prapto tersadar. Sorot mata yang sedari tadi menelisik pada lelaki bertubuh tinggi besar itu menyimpan penuh tanya.

"Siapa itu, Mas?" tanya Ustadz Zul yang masih mengarahkan tatapan matanya pada mobil yang mulai menjauh dari rumah Indah.

"Oh tadi, dia itu adalah Pak De Tejo, adik dari Ibu mertuaku. Pak De nya Indah!" jelas Prato melirik pada Ustadz Zul yang menjatuhkan tatapan penasaran pada lelaki yang baru saja bertandang ke rumahnya.

"Memangnya ada apa Ust?" tanya Prapto menemukan raut wajah berbeda pada Ustadz Zul. "Apakah ada yang aneh?" selidik Prapto sekilas menoleh ke arah ujung jalan kemudian menjatuhkan tatapan akhir pada Ustadz Zul yang terlihat memikirkan sesuatu.

"Tidak Mas, tidak apa-apa. Hanya perasaan saya saja kok," balas Ustadz Zul melihat pada Prapto.

*******

"Bagaimana? Adek mau tinggal di rumah Ibu saja? Jadi kalau Mas nggak ada di rumah, Adek ada yang nemenin," seloroh Prapto yang berjalan menuju ranjang membawa baki berisi teh hangat untuk Indah.

"Tidak usah, Mas! Aku udah baikan kok!" balas Indah dengan mata terpejam. Tumbuhnya menggigil dengan selimut yang menutupinya.

"Kalau besok panasnya belum turun, kita ke rumah sakit ya!" tutur Prapto mengganti kompres pada kening Indah. Wanita yang memejamkan matanya itu mengangguk lembut.

"Istirahatlah! Mas juga sudah mengantuk. Nanti kalau ada apa-apa bangunin Mas saja!" Prapto membaringkan tubuhnya di samping Indah. Melingkarkan tangannya memeluk tubuh Indah yang telentang. Prapto tidak lupa mematikan lampu utama kamar dan menggantikannya dengan lampu temaram sebelum ia menuju alam mimpi.

Prang! Prang! Prang!

Prapto mengerjap terbangun. Saat suara gaduh mengangetkan tidurnya yang belum sepenuhnya terlelap. Sekilas Prapto melirik pada Indah yang sepertinya masih tertidur pulas dengan kain kompres yang menempel pada keningnya.

Prapto ragu untuk membangunkan Indah. Karena terlalu nyenyak sepertinya Indah' tidak mendengar suara gaduh yang terjadi di luar kamar.

"Masih pukul satu!" lirih Prapto melirik pada jam yang berada pada dinding kamar dengan mata yang masih lengket.

"Apa? Jadi ini tengah malam dong!" Prapto baru tersadar. Seketika bulu kuduk lelaki itu  meremang.

Prank! Prank! 

"Astaghfirullahaldzim!" Prapto melonjak dengan satu tangan mengusap dada. Kedua matanya membulat penuh ke arah pintu.

"Dek, Dek Indah!" bisik Prapto berusaha membangun Indah. Tapi wanita itu justru terlihat semakin pulas.

"Duh! Dilihat nggak ya!" guman Prapto dengan bibir bergetar.

"Jangan-jangan maling lagi!" ucap Prapto penasaran.

Prapto melirik pada Indah. "Dek, Mas lihat ke luar sebentar ya! Adek baik-baik di sini, jangan kesurupan!" ucap Prapto pada Indah yang tidak bergeming.

Prapto menurunkan kakinya dari atas ranjang. Perlahan ia menyeret langka kalinya menuju pintu kamar. Satu tangan Prapto mengusap peluh yang membahasi pelipisnya.

Cekriet!

Satu tangan Prapto meraba pada dinding di samping pintu kamar yang terbuka. Lalu menyalakan lampu.

"Apa yang jatuh, ya!" Prapto menelisik keseluruhan ruangan yang berada di rumahnya. Semua barang-barang dalam keadaan aman. Tidak ada satupun benda yang terjatuh.

"Kenapa jadi serem begini, ya!" guman Prapto mengusap tengkuk lehernya yang meremang.

Dengan langkah cepat Prapto bergegas menuju kamar dan mematikan lampu. Aroma melati yang sedari mengikutinya membuat Prapto sangat ketakutan. Lelaki itu segera naik ke atas ranjang dan bersembunyi di dalam selimut.

"Dek, Mas takut, Dek!" lirih Prapto ketakutan. Satu tangannya melingkar memeluk tubuh Indah.

Prapto terdiam sesaat, sorot matanya tertuju pada baju yang Indah kenakan. "Dek, sejak kapan kamu ganti baju?" lirih Prapto menyentuh baju yang Indah kenakan. Dadanya bergemuruh menahan ketakutan. Karena seingat Prapto sebelum Indah tidur ia menggantikannya dengan daster batik yang ia ambil dari dalam lemari.

Prapto menaikan tatapannya pada wajah wanita yang berada di sampingnya.

"A ...!" Prapto melonjak membuang selimut yang menutupi tubuhnya. Saat melihat wajah wanita yang berada di sampingnya bukanlah Indah. Melainkan hantu berwajah rata.

"Kih ... Kih ... Kih!" Tawa itu terdengar melengking mengejar Prapto yang berlari tungang lalang di ikuti aroma melati menuju arah pintu. Prapto semakin ketakutan saat melihat hantu dengan baju berwarna putih itu terbang mengudara terus mengejarnya.

"Tolong!" teriak Prapto dengan nafas memburu. Sesekali ia melihat ke balik punggungnya. Wanita yang menyerupai istrinya itu terus mengejarnya dengan kedua tangan yang siap untuk merkam.

Bruk!

Prapto tersungkur di lantai. Sementara wanita yang terus mengejarnya semakin mendekat ke arahnya.

"Jangan! Dedemit saya mohon jangan!" Prapto menelangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah takut. Tubuhnya bergetar hebat dengan keringat dingin.

"Kih ... Kih ...!" Hantu wanita semakin mendekati Prapto dan menampakan seringainya.

Prapto menarik tubuhnya hingga menyentuh dinding. "Jangan! Tolong jangan ganggu saya!" lirih Prapto.

"Kamu dan istrimu harus mati!" ucap suara wanita itu.

Prapto yang sangat ketakuatan tiba-tiba jatuh pingsan dan semua terasa menjadi gelap.

****

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status