Argh!
Indah mengerang memperkuat cengkramannya pada leher Prapto.
"Le-lepaskan, Dek!" lirih Prapto terbata. Nafasnya mulai tersengal dan hampir putus. Perlahan wajah Prapto terlihat semakin pucat.
Bough!
Indah melempar tubuh Prapto kesembarang tempat. Prapto terpelanting membentur tembok di sebelah kanan ranjangnya.
Prapto meringis kesakitan. Dipegangnya pinggang dan leher bekas cekikan Indah yang serasa remuk. Prapto tidak habis pikir, setan apa yang kini sedang merasuki istrinya.
Mulut Prapto berkomat Kamit. Perlahan ia bangkit dengan nafas tersengal.
Wus ... Wus ... Wus ...
Tubuh Prapto tiba-tiba terangkat ke udara. Saat Indah mengerakan kedua telapak tangannya. Wanita itu seperti mengendalikan tubuh Prapto dengan kedua tangannya."Tolong! Tolong!" Teriak Prapto ketakutan. Ia berusaha melambai-lambaikan tangannya agar bisa turun.
"Kih ... Kih ... Kih ...!"
Bruak!
Indah melemparkan tubuh Prapto hingga jatuh di atas kasur. Prapto mengeliatkan tubuhnya yang kesakitan.
"Hentikan!" sentak Ustadz Zul yang muncul di ambang pintu.
Sorot mata tajam Indah mengarah pada Ustadz Zul yang masih memutar tasbih. Bibir Ustadz Zul terus melafalkan doa untuk meminta perlindungan pada Allah SWT.
"Siapa kamu? Berani ikut campur urusanku." Suara Indah terdengar lebih serak berbeda dengan makhluk halus yang merasukinya beberapa saat lalu.
"Aku adalah hamba Allah! Sekarang juga cepat keluar dari dalam tubuh Indah, atau aku akan membunuhmu untuk selamanya!" ancam Ustadz Zul.
"Haha ... Dia adalah miliki!" sergahnya. Tubuh Indah melayang ke udara. Sorot matanya memicing pada Ustadz Zul.
"ALLAHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QAYYUMU. LAA TA’KHUDZUHUU SINATUW WA LAA NAUUM. LAHUU MAA FISSAMAAWAATI WA MAA FIL ARDHI. MAN DZAL LADZII YASFA’U ‘INDAHUU ILLAA BI IDZNIHI. YA’LAMU MAA BAINA AIDIIHIM WA MAA KHALFAHUM."
"Kih ... kih ... kih! Itu tidak akan berpengaruh apa pun untukku manusia bodoh! Agamamu jauh lebih baik dari pada aku. Dasar manusia munafik!" Indah mengumpat ustadz Zul.
Bruak!
Sekali kibasan tangan Indah, tubuh Ustadz Zul tersungkur jatuh di lantai.
"Ustadz!" Prapto berhambur menghampiri Ustadz Zul dan menolong lelaki itu.
Tubuh indah kini merayap pada dinding kamar. Dengan cepat Indah melompat kesana kemari. Bola mata hitam dengan rambut terurai yang memutupi hampir semua wajahnya, membuat Indah terlihat sangat menakutkan. Warna kulit Indah pun berubah pucat pasi.
Ustadz Zul masih terus melantunkan dzikirnya. Lelaki itu melipat kedua kakinya lalu memejamkan kedua matanya. Ustadz Zul memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah.
"Sepertinya yang merasuki
tubuh indah bukanlah makhluk yang kemarin. Melainkan makhluk lain yang jauh lebih kuat!" batin Ustadz Zul."Subhanallah! Subhanallah! Subhanallah!" Ustadz Zul mengeraskan suaranya.
Indah masih merayap pada dinding dengan mata yang terus menatap tajam pada Ustadz Zul. Wajahnya pucat pasi dengan bibir berwarna hitam.
"Allahuakbar!" Ustadz Zul melempar tasbihnya berputar putar mengudara hingga mengenai tubuh Indah.
Bruak.
Tubuh Indah tersungkur di lantai disertai kepulan asap yang mengudara.
"Tunggu saja, aku pasti akan kembali! Aku akan terus menyesatkan anak-anak Adam sampai akhir zaman. Kih ... kih ... kih!" Suara menggelegar yang diikuti dengan tubuh Indah yang tersungkur di lantai.
"Tolong Indah, Mas!" ucap Ustadz Zul pada Prapto yang membisu.
"Huek! Huek! Huek!" Indah terus mengeluarkan isi perutnya. Meskipun wajahnya terlihat pucat, tapi bola mata Indah sudah kembali normal.
"Sadaqallahualdzim!" Ustadz Zul mengakhiri bacaannya seraya membasuh wajahnya dengan kedua tangan.
"Sudah Dek!" tutur Prapto seraya memijat tengkuk leher Indah. Indah mengangguk lembut.
"Ayo Dek! Mas bantu !" Prapto membopong tubuh indah dan membaringkannya di atas kasur.
Terlihat wajah Indah begitu pucat dengan kedua mata sayu. Prapto mencoba merapikan rambut istrinya yang sedari tadi berantakan. Kemudian menyelimuti tubuhnya.
"Sampean tidur dulu ya, Dek! Mas mau antar Ustadz Zul ke depan," ucap Prapto dibalas anggukan oleh Indah.
"Terimakasih Ustadz sudah datang tepat waktu menolong kami!" ucap Prapto kepada Ustadz Zul.
"Sebaiknya Mas Prapto segera mencari bantuan lain. Karena yang berada di dalam tubuh Indah bukanlah makhluk sembarang!" tutur Ustadz Zul membuat Prapto bergidik ngeri.
******
Lastri masih menyimak penjelasan Prapto yang kini duduk di hadapannya. Sesekali ia menyesap teh hitam yang berada di atas meja.
"Lalu, bagaimana menurutmu kalau Indah tinggal di sini saja!"
Wajah Prapto terlihat gusar. Sejenak ia terlihat memikirkan ucapan mertuanya.
"Ya jangan lah, Bu! Indah kan istri saya. Sudah 9 tahun dia menemani saya. Lalu kalau Indah di sini bagaimana saya?" Prapto sedikit tidak menyetujui permintaan mertuanya.
"Ya sudah, bagaimana kalau kamu cari saja dukun hebat yang bisa menolong Indah. Biar biayanya Ibu yang menanggung," ucap Lastri.
Mulut Prapto terkatub dengan mata terbelalak saat Lastri meletakan tumpukan uang di atas meja.
"Bagaimana, segini cukup atau tidak?" tanya Lastri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Tidak Bu, ini sudah cukup!" ucap Prapto sedikit lega. Memang akhir-akhir ini ia sedang kesulitan ekonomi. Tapi mertuanya yang kaya raya itu selalu ada untuknya.
Wajar saja, karena indah adalah anak semata wayang Lastri. Bahkan untuk biaya berobat atau pun terapi agar Indah segera memiliki momongan pun semua ditanggung oleh Lastri."Ya sudah Bu, saya pulang dulu! Takut Dek Indah menunggu saya di rumah." Prapto berpamitan kepada kedua mertuanya dan beranjak pergi.
"Bu, apa tidak sebaiknya kita menengok Indah saja. Bapak khawatir, Bu!" Seno mengerutkan dahinya melihat pada Lastri. Tergambar jelas jika ia sedang mengkhawatirkan putrinya.
"Iya nanti Pak! Ini urusan kita saja belum selesai. Bapak ini kenapa nggak pernah mikirin ibu sih? Ibu kan sedang pusing, omset penjualan kita sedang menurun Pak. Apalagi ada pesaing baru, kelapa dari luar Jawa harganya lebih murah. Jadi pelangan Ibu semua lari kesana semua. Jadi Bapak mikir dong!" Lastri terus nyerocos mengeluarkan segala kekesalan hatinnya pada Seno.
"Iya Bu, maafkan bapak!" sahut Seno lesu. Ia sadar bahwa dirinya tidak bisa menjadi tulang punggung yang sesungguhnya. Yang ada Seno malah menjadi beban untuk Lastri.
******
Hari itu Prapto sedang menunggu Ustadz Zul di sebuah kedai di ujung gang. Maklum jalan memuju rumah Ustadz Zul sedang di perbaiki, membuat Prapto tidak dapat langsung ke sana.
Prapto sudah memesan kopi yang akan menemaninya menunggu Ustadz Zul. Kedai yang terletak di ujung gang itu memang terkenal ramai. Selain harganya murah, di kedai itu juga dilengkapi WiFi gratis. Sehingga banyak para pelanggan yang betah di kedai itu.
"Eh, kamu tau ngak, orang kaya di kampung sebelah yang ngambil pesugihan itu," celetuk seorang lelaki yang sedang asyik menatap pada layar gaway.
"Siapa? Jangan asal ngomong deh!" balas pria yang duduk di sampingnya.
"Kalau nggak salah namanya Lastri," sahut lelaki itu membuat Prapto yang berada di kedai itupun terkejut.
"Hus! Jangan asal ngomong kamu!" sahut lelaki yang mengenakan baju batik itu.
Deg!
Prapto memasang indra pendengarannya dengan seksama agar bisa mendengar dengan jelas percakapan lelaki yang berada di kedai itu.
"Lastri itu dulunya miskin sekali. Dia itu sering dihina sama warga bahkah keluarganya. Tidak ada satupun orang yang menolong Lastri saat dia miskin dan kesusahan. Hingga suatu saat Lastri tiba-tiba menghilang untuk beberapa tahun dan setelah kembali ia sudah menjadi orang kaya, begitu ceritanya!" cerita lelaki itu.
"Ah, kamu sok tau saja!" balas lelaki yang mengenakan baju batik itu.
"Beneran tau! Ah, kamu malah tidak percaya!" debatnya.
"Kalau orang ambil pesugihan itu ada tumbalnya. Kalau Lastri, buktinya aman-aman saja!" sanggah lelaki berbaju batik itu.
"Benar juga ya kata kamu!" balasnya terkekeh.
Prapto terdiam dan memikirkan ucapan kedua lelaki yang berada di kedia bersamanya. Memang ia tidak mengetahui pasti seluk beluk keluarga Indah. Karena dulu Indah' dan Prapto bertemu di tanah rantau. Kemudian Lastri membelikan mereka rumah dan sebidang tanah untuk di tempat tinggal mereka sampai sekarang.
"Mas!" Ustadz Zul mengagetkan Prapto.
"Astaghfirullah, Ustadz!" sahut Prapto tergeragap.
"Bagaimana? Jadi berangkat kan?" tanya Ustadz Zul yang baru tiba.
"Iya Ustadz, ayo!" Prapto segera membayar kopi yang ia pesan dan naik ke atas motor.
Dua jam perjalanan menembus hutan dan jalanan berliku. Akhirnya, motor yang Prapto kendarai akhirnya tiba di depan sebuah rumah sederhana yang terlihat asri. Beberapa tanaman tubuh di depan halaman luas rumah yang berada di atas bukit itu. Rumah yang jauh sekali dengan pemukiman penduduk.
"Aslamualaikum!" ucap Ustadz Zul menyapa seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk dengan tanaman yang berada di halaman rumah.
"Wa'alaikum salam!" sahut wanita itu dengan senyuman ramah.
Seorang lelaki tua muncul dari pintu utama rumah seraya tersenyum lebar pada Ustadz Zul.
"Masuklah!" panggilannya pada Ustadz Zul.
Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Beberapa foto berwarna hitam putih menjadi hiasan yang mendominasi dinding rumah sederhana tempatnya dan Ustadz Zul berada saat ini.
"Abah sudah menunggumu, Zul!" ucap lelaki yang akrab dipanggil Abah itu. Sesekali ia menyesap kopi hitam yang berada di atas meja.
"Apakah dia istrimu?" Abah menatap Prapto yang sedikit gugup.
"I-iya Abah!" sahut Prapto.
"Yang Abah lihat, sudah hampir lima kali anak dalam janin istrimu itu dimakan oleh makhluk itu," tutur Abah mengarahkan tatapannya pada kebun bunga yang berada di halaman rumah.
"Apa? Lima kali?" Mulut Prapto menganga tidak habis pikir. Karena selama ini siklus menstruasi Indah memang tidak normal seperti wanita pada umumnya. Terkadang sampai tiga bulan Indah tidak mengalami menstruasi dan terkadang satu bulan penuh, Indah akan menstruasi tanpa henti.
"Dan ini sudah cukup sulit, Zul!" Kini Abah menatap wajah Zul dalam, seperti ingin mengisyaratkan suatu hal.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Abah?" Ustadz Zul terlihat bingung.
"Aku akan mencobanya, tapi aku tidak janji!" jawab Abah menatap pada wanita yang sedang merawat bunga anggrek di halaman rumah.
****
Bersambung....Suara gamelan itu masih terdengar sepanjang perjalanan. Abah terus memacu mobil jeeb tua berwarna biru miliknya menebus hutan pinus yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Semakin laju mobil itu dipacu, seolah semakin mendekati arah suara musik tradisional itu. Tak hentinya bibir berdzikir mengingat Allah. Sepertinya ia tahu, suara gamelan yang ia dengar adalah sebuah pertanda buruk.Netra Abah menatap arah jalanan yang berada di depan kaca mobil. Meskipun kini kaca mobil itu dipenuhi dengan butiran gerimis air hujan yang mulai mengguyur. Wiper pada mobil jeeb tua itu berlenggang kekanan kekiri untuk menghapus jejak hujan yang semakin deras. Sejak tadi sore Ustadz Zul meminta pertolongan kepada Abah untuk datang ke kediaman Indah. Karena jarak yang ditempuh ke rumah Indah lumayan jauh, kemungkinan Abah akan tiba di sana tangah malam.Bibir Abah tidak berhenti terus mengucap takbir di sepanjan
Tejo masih berdiri di depan halaman rumah Indah sejak Indah menutup pintu rumahnya. Wanita dengan wajah pucat itu masih sempat mengantarkan Tejo berpamitan hingga ke ambang pintu."Hati-hati ya Pak De! Terimakasih sudah datang untuk menjengukku!" tutur Indah saat mengantarkan Tejo berpamitan.Sesekali lelaki yang memiliki kumis tebal itu menoleh ke kanan, ke kiri serta ke sekeliling rumah Indah. Setelah memastikan tidak ada siapapun, Tejo segera menaburkan sesuatu benda yang ia ambil dari dalam saku celananya."Mampus kamu, Sulastri! Sebentar lagi akan tamat riwayatmu!" guman Tejo dengan tersenyum kemenangan. Lelaki itu menyebar bujuk garam di sepanjang halaman rumah Indah dengan mulut berkomat-kamit melafalkan mantra."Pak De Tejo!"Tejo tergeragap. Jantungnya seperti lepas' dari tempurungnya saat seseorang menepuk lembut bahu lelaki berkumis tebal itu. Hampir saja ulahnya ketahuan. Untun
Prapto membuka kedua matanya dengan perlahan. Satu tangannya memegang pelipis yang terasa nyeri akibat benturan semalam. Sinar surya yang masuk melalui sela-sela jendela semakin panas menyentuh pori-pori kulit Prapto."Indah!" Benak Prapto teringat dengan istrinya. Prapto bergegas bangkit dan berlari menuju kamar.Cekriet!Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Indah. Hanya ada selimut tebal yang gumul di atas rajang."Indah buka ya?" pikir Prapto ragu dengan rasa penasaran. Perlahan Prapto pun mendekati ranjang. Jantungnya berdegup kencang saat tanganya bergetar hendak menarik selimut yang bergumul di atas ranjang."Alhamdulillah!" Prapto mengelus dada, saat melihat Indah yang berada di balik selimut itu."Ya Allah, Dek!" Prapto menjatuhkan pelukan pada tubuh Indah yang masih terlelap membuat Indah mengeliat dan tersadar.
Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya."Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali."Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.***Jenazah Seno sudah berada di ruangan tam
Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang."Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri."Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian."Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya."Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan."Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya."Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.
Srek! Srek! Srek!Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya."Meong ...!"Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar."Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar
Srek ... Srek ... Srek ...!Suara seseorang yang sedang mengasah benda tajam itu terdengar hingga ke dapur. Terdengar begitu nyaring membuat ngilu di pendengaran."Kamu itu sudah banyak menyusahkan aku. Jadi kamu harus mendapatkan balasannya!" desis Tejo sinis, sorot matanya jatuh pada pisau yang sedang diasah.Wini sedikit bergidik melihat kelakuan suaminya yang nampak dari pintu dapur. Kembali wanita itu mengaduk aduk sayur dengan tangan bergetar karena takut."Siapkan makan, aku lapar!" sergah Tejo ketus. Diletakan golok itu dengan kasar di atas meja makan lalu menjatuhkan tubuhnya pada bangku meja makan.Bergegas Wini mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi putih dari atas bakul. Lalu meletakannya di atas meja makan bersebelahan dengan lauk pauk yang telah Wini siapkan terlebih dahulu.Tejo manyantap makanan yang dihidangkan Wini dengan lahap. Sepe
Kabut Semeru masih menyelimuti desa Ranupeni. Desa asri yang terletak di lereng semeru. Seolah tajamnya sinar surya belum mampu menembus tebalnya kabut yang sedari tadi mengaburkan pandangan. Membuat udara semakin terasa mencacah tulang hingga ngilu.Prapto terus melajukan kedaraan meticnya menembus jalan yang berliku. Sajauh mata memandang hanya pohon pinus dan cemara yang berjajar rapi di sepanjang jalan."Pokoknya aku sudah tidak mau!" desis Prapto membuat kepulan kabut dari suara yang keluar. Lelaki itu terus meraik gas motor maticnya menuju rumah Ustadz Zul yang terletak lumayan jauh jika ditempuh dari rumah Lastri.Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, menghilangkan kabut yang mengaburkan pandangan hingga menjadi tetesan embun yang membasahi tiap pucuk daun teh yang terhapar luas. Wanita wanita dengan bakul di punggungnya dengan lihai memetik daun teh muda kemudain memasukkannya ke dalam bakul yang berada