Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang.
"Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri.
"Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian.
"Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya.
"Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan.
"Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.
Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya.
"Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.
"Kok nggak bangun-bangun sih!" gerutu Prapto cemas.
"Dek, ayo bangun!" Prapto menepuk lembut pipi Indah.
"Astaghfirullahaladzim!" Indah mengerjap terbangun dari tidur. Nafasnya bergerak naik turun dengan wajah ketakuatan.
"Kamu mimpi apa, Dek?' tanya Prapto.
"Mas, aku lihat anak kita dimakan genderuwo Mas! Genderuwo yang bersama dengan Ibu." Wajah indah terlihat ketakutan, mimpi buruk itu seperti nyata.
"Kamu hanya mimpi, Dek! Anak kita sudah meninggal," jelas Prapto pada Indah yang ketakutan. "Minum dulu ya!" Prapto hendak meraih gelas yang biasa ia siapkan di atas nakas.
"Loh, kok nggak ada." Prapto terkesiap melihat tidak ada apapun di atas meja. Sepertinya ia lupa, menyiapkan air putih.
"Sebentar ya Dek, Mas ke dapur dulu ambil minum," ucap Prapto sedikit meragu. Lelaki penakut itu memberanikan diri berjalan menuju ruang belakang rumah besar Lastri.
Prato mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dapur. Kemudian mengambil gelas yang berukuran besar dari dalam rak. Namun, tangannya berhenti saat melihat pohon nangka besar yang berada di belakang rumah dari jendela kaca dapur.
Prapto mengerjap tersadar, sesaat bulu kuduknya meremang. Dengan cepat ia memutar tubuh dan berjalan menuju galon yang terletak bersebelahan dengan meja makan.
Beberapa kali Prapto mengusap tengkuk lehernya yang meremang. Rasa takut membuat tubuhnya bergetar.
Tak, tak, tak!
Suara langkah kaki mengagetkan Prapto yang masih mengisi air dari dalam galon.
"Dek Indah!" tegur Prapto mendapati istrinya sudah berdiri di ambang pintu.
"Kenapa tidak menunggu di kamar saja, Dek?" tanya Prapto sambil meletakkan segelas air putih itu di atas meja makan.
"Haus! Aku haus!" ucap wanita berkulit pucat dengan bibir sedikit menghitam yang kini duduk pada bangku meja makan.
Indah meraih segalas air putih itu kemudian segera menuangkan ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.
Gleg ... Gleg ... Gleg!
"Lagi!"
Indah meletakan gelas yang sudah kosong di atas meja cukup keras. Sorot matanya kosong lurus ke depan.
"Lagi?" Prapto keheranan. Segera Prapto mengambilkan lagi segelas air putih dari galon yang masih terisi penuh itu, kemudian memberikannya kepada indah.
Gleg! Gleg! Gleg!
Brak!
"Lagi!"
Indah meletakan gelas yang sudah kosong dengan kasar di atas meja.
"Dek, itu air sudah tinggal setengah galon. Apa Adek masih haus?" Prapto mengeryitkan dahi, heran.
"Lagi!" sentak Indah membelalakan matanya pada Prapto.
"Ba-baik!" ucap Prapto tergeragap. Dengan cepat ia menyambar gelas yang sudah kosong di atas meja lalu mengisinya dan memberikan pada Indah.
Gleg! Gleg! Gleg!
Prapto semakin merasa aneh. Indah dapat menghabiskan air satu galon dalam waktu sesaat.
"Ayo Dek, tidur lagi!" ajak Prapto pada Indah' yang terdiam.
Wanita dengan wajah pucat dan bibir menghitam itu mengangguk lembut.
Prapto menarik pergelangan tangan Indah' yang terasa dingin. Wajah Prapto berubah seketika, saat sorot mata kosong Indah mengarah padanya.
"Jangan jangan!" Prapto menggelengkan kepalanya, mencoba menepis segala pikiran buruknya.
Prapto menuntun wanita berkulit dingin itu menuju kamar.
"Harusnya kamu tunggu di kamar saja, Dek!" tutur Prapto. "Tidak perlu menyusul, Mas!" imbuhnya.
"Sebentar ya, Mas buka pintu dulu," ucap Prapto ketika berhenti di depan pintu kamar. Ia melepaskan genggaman tangan Indah tanpa menoleh ke belakang punggungnya.
Plak!
Sebuah benda jatuh tepat dibawah kaki prapto.
"A ... Apa ini! Ya Allah, ya Allah! Tolong!" Prapto menendang potongan tangan yang jatuh di bawah kakinya, dia terus melompat lompat ketakutan.
"Ada apa, Mas?" Indah membuka pintu kamar setelah mendengar teriakkan Prapto.
"Ada potongan tangan, Dek!" Itu!" Prapto melompat ketakutan tanpa berani' melihat ke bawah. Jari telunjuknya mengarah pada lantai.
"Mas, berhenti dulu dong!" Indah menahan tubuh Prapto yang melonjak. "Aku tidak melihat apapun, Mas!" sergah Indah.
Prapto pun berhenti melompat. Nafasnya memburu melihat pada Indah yang kesal.
"Tidak ada apapun, Mas!" cetus Indah.
"Ada Dek, tadi ada potongan tangan!" debat Prapto dengan wajah yakin.
Indah mendengus berat, "Lihatlah, Mas! Tidak ada apapun." Sekilas Indah menjatuhkan tatapannya ke bawah kaki suaminya lalu menjatuhkan tatapan akhir pada Prapto.
"Apa?" Prapto terkejut, tidak ada apapun di bawah kakinya. Berkali-kali ia mengusap kedua matanya untuk menyakinkan penglihatannya.
"Tuh! Tidak ada apapun kan, Mas!" pekik Indah kesal.
"Tadi itu ada, Dek! Beneran Mas tidak bohong sama Adek?" Wajah penuh keringat itu terus menyakinkan wanita yang berada di hadapannya.
"Udah jangan berisik! Sekarang mana minumku?" Indah menengadahkan tangannya pada Prapto.
"Minum?" Prapto melongo. Ia sadar betul jika Istrinya sudah menghabiskan air satu galon dalam sesaat.
"Ta-tadi kan Adek sudah minum. Prapto menunjuk ke arah dapur dan menunjuk ke Indah dengan wajah kebingungan.
"Minum? Kapan, Mas?" Indah mengeryitkan dahi.
Segera prapto berlari menuju ranjang, tanpa memperdulikan Indah yang kebingungan. Prapto menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, jantungnya seperti mau copot.
"Mas mana minumku?" Indah mengoyangkan tubuh Prapto yang bergumul dengan selimut.
Prapto tidak peduli. Tubuhnya bergetar ketakutan di bawah selimut. Mengingat bayangan wanita yang ia temui di dapur.
*****
"Lastri, Lastri! Jangan mimpi, suamimu saja tidak bekerja, bisa-bisanya kamu mimpi jadi orang kaya!" Suara besar itu terus menertawai wanita yang sedang memumunguti batok kelapa yang akan di gunakan sebagai bahan areng. Digendongnya gadis kecil dengan pakaian lusuh. Hampir seluruh wajahnya dipenuhi warna hitam, karena gadis kecil itu baru saja bermain dengan tumpukan areng.
Lastri tidak memperdulikan ocehan lelaki berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar itu. Ia terus memunguti batok kelapa dan masukannya ke dalam karung sambil menggendong Indah yang masih kecil.
"Nih, bayaran kamu!" Lelaki itu melempar segulung uang dua ribuan kepada Lastri. Kemudian Lastri memungut uang itu tanpa menatap ke arah Tejo, lelaki yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
"Lastri, jangan pernah kamu bermimpi jadi orang kaya. Ngaca, tukang areng seperti kamu tidak akan pernah bisa jadi saudagar kaya Lastri," ucap Tejo yang diakhiri dengan tawa mengejek.
Lastri tidak menjawab, sama seperti biasanya. Ia lebih memilih diam dan membiarkan hinaan dari Tejo berlalu bersama lelaki yang menghilang di balik pintu gudang. Meskipun hatinya sakit, tapi Lastri akan memilih mengalah.
Lastri adalah orang yang baik. Berbagai ujian hidup selalu dilewati dengan sabar. Seorang wanita yang soleha dan taat beribadah serta penurut kepada orang tua. Namun, segela upaya Lastri tidak pernah mendapat dukungan dari ibunya. Lastri selalu menjadi anak yang dikucilkan karena keadaan ekonominya, dan hidupnya yang masih menumpang kepada ibunya.
"Jadi orang itu seperti Kang Mas mu. Pinter cari uang. Jangan nyusahin orang lain terus. Coba kalau kamu tidak ada Kang Mas mu itu. Pasti hidup kamu bakalan susah." Wanita berambut putih itu terus mengumpat Lastri.
"Sabar ya, Bu! Mungkin rejeki Lastri masih sedikit. Nanti lama-lama juga banyak, Bu," ucap Lastri dengan nada lesu.
"Bagaimana mau banyak Lastri. Kalau pekerjaanmu cuma ngumpulin arang," hardik Ibu Lastri dengan nada sinis.
Dada Lastri semakin sesak. Ini bukan kali pertama ucapan menyakitkan itu keluar dari mulut wanita yang sudah melahirkan Lastri ke dunia. Bahkan terkadang, ucapan wanita itu jauh lebih menyakitkan.
Lastri berlari memasuki kamar saat mendengar Indah menangis. Sepertinya balita itu terbangun dari tidurnya karena ocehan neneknya.
Dilihatnya Seno yang sedang menggendong Indah sambil menepuk nepuk punggung gadis kecil itu. Lastri yang datang dengan muka masam langsung mendudukan tubuhnya dengan kasar di samping Seno.
"Ada apa lagi, Bu?" Seno yang masih menenangkan Indah yang terus menangis.
"Aku capek jadi orang miskin, Pak! Setiap hari hanya mendengar hinaan dan ocehan Ihi," Indah menangis sejadi jadinya, membenamkan seluruh wajahnya di atas bantal.
"Nggak usah di dengerin. Ibu kan memang begitu. Sabar!" Prapto mengusap lembut punggung Indah yang bergetar.
"Tuhan tidak adil, Mas!" Indah bangkit menatap nanar pada Seno. "Aku sudah berusaha, berdoa tapi lihat, hidup kita masih tetap susah saja kan? Bahkan jauh lebih miskin," pekik Indah.
"Hus! Tidak boleh bicara begitu. Percayalah, semua ini hanyalah ujian, Bu!" tutur Seno.
"Aku tidak peduli Mas, aku sudah capek!" cetus Lastri membulatkan matanya pada Seno.
"Bu! Bu!" sergah Parjo berlari tergopoh-gopoh dari belakang rumah menghampiri Lastri yang berada di gudang kelapa. Membuyarkan lamunan Lastri tentang masa lalunya.
"Ada apa, Parjo?" Wajah Lastri sedikit terkejut.
"I-itu Bu, jatuh dari balkon lantai atas. Ayo Bu cepat lihat!" Parjo terlihat begitu panik, keringat membasahi pelipis lelaki kurus dengan kulit sawo matang itu.
***
Bersambung ...
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n