Share

Masalalu

  Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang.

"Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri.

"Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian.

"Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya.

"Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah  mengigau dengan wajah ketakutan.

"Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.

Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya.

"Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.

"Kok nggak bangun-bangun sih!" gerutu Prapto cemas.

"Dek, ayo bangun!" Prapto menepuk lembut pipi Indah.

"Astaghfirullahaladzim!" Indah mengerjap terbangun dari tidur. Nafasnya bergerak naik turun dengan wajah ketakuatan.

"Kamu mimpi apa, Dek?' tanya Prapto.

"Mas, aku lihat anak kita dimakan genderuwo Mas! Genderuwo yang bersama dengan Ibu." Wajah indah terlihat ketakutan, mimpi buruk itu seperti nyata.

"Kamu hanya mimpi, Dek! Anak kita sudah meninggal," jelas Prapto pada Indah yang ketakutan. "Minum dulu ya!" Prapto hendak meraih gelas yang biasa ia siapkan di atas nakas.

"Loh, kok nggak ada." Prapto terkesiap melihat tidak ada apapun di atas meja. Sepertinya ia lupa, menyiapkan air putih.

"Sebentar ya Dek, Mas ke dapur dulu ambil minum," ucap Prapto sedikit meragu. Lelaki penakut itu memberanikan diri berjalan menuju ruang belakang rumah besar Lastri.

Prato mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dapur. Kemudian mengambil gelas yang berukuran besar dari dalam rak. Namun, tangannya berhenti saat melihat pohon nangka besar yang berada di belakang rumah dari jendela kaca dapur.

Prapto mengerjap tersadar, sesaat bulu kuduknya meremang. Dengan cepat ia memutar tubuh dan berjalan menuju galon yang terletak bersebelahan dengan meja makan.

Beberapa kali Prapto mengusap tengkuk lehernya yang meremang. Rasa takut membuat tubuhnya bergetar.

Tak, tak, tak!

Suara langkah kaki mengagetkan Prapto yang masih mengisi air dari dalam galon.

"Dek Indah!" tegur Prapto mendapati istrinya sudah berdiri di ambang pintu.

"Kenapa tidak menunggu di kamar saja, Dek?" tanya Prapto sambil meletakkan segelas air putih itu di atas meja makan.

"Haus! Aku haus!" ucap wanita berkulit pucat dengan bibir sedikit menghitam yang kini duduk pada bangku meja makan.

Indah meraih segalas air putih itu kemudian segera menuangkan ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.

Gleg ... Gleg ... Gleg!

"Lagi!"

Indah meletakan gelas yang sudah kosong di atas meja cukup keras. Sorot matanya kosong lurus ke depan.

"Lagi?" Prapto keheranan. Segera Prapto mengambilkan lagi segelas air putih dari galon yang masih terisi penuh itu, kemudian memberikannya kepada indah.

Gleg! Gleg! Gleg!

Brak!

"Lagi!"

Indah meletakan gelas yang sudah kosong dengan kasar di atas meja.

"Dek, itu air sudah tinggal setengah galon. Apa Adek masih haus?" Prapto mengeryitkan dahi, heran.

"Lagi!" sentak Indah membelalakan matanya pada Prapto.

"Ba-baik!" ucap Prapto tergeragap. Dengan cepat ia menyambar gelas yang sudah kosong di atas meja lalu mengisinya dan memberikan pada Indah.

Gleg! Gleg! Gleg!

Prapto semakin merasa aneh. Indah dapat menghabiskan air satu galon dalam waktu sesaat.

"Ayo Dek, tidur lagi!" ajak Prapto pada Indah' yang terdiam.

Wanita dengan wajah pucat dan bibir menghitam itu mengangguk lembut.

Prapto menarik pergelangan tangan Indah' yang terasa dingin. Wajah Prapto berubah seketika, saat sorot mata kosong Indah mengarah padanya.

"Jangan jangan!" Prapto menggelengkan kepalanya, mencoba menepis segala pikiran buruknya.

Prapto menuntun wanita berkulit dingin itu menuju kamar.

"Harusnya kamu tunggu di kamar saja, Dek!" tutur Prapto. "Tidak perlu menyusul, Mas!" imbuhnya.

"Sebentar ya, Mas buka pintu dulu," ucap Prapto ketika berhenti di depan pintu kamar. Ia melepaskan genggaman tangan Indah tanpa menoleh ke belakang punggungnya.

Plak!

Sebuah benda jatuh tepat dibawah kaki prapto.

"A ... Apa ini! Ya Allah, ya Allah! Tolong!" Prapto menendang potongan tangan yang jatuh di bawah kakinya, dia terus melompat lompat ketakutan.

"Ada apa, Mas?" Indah membuka pintu kamar setelah mendengar teriakkan Prapto.

"Ada potongan tangan, Dek!" Itu!" Prapto melompat ketakutan tanpa berani' melihat ke bawah. Jari telunjuknya mengarah pada lantai.

"Mas, berhenti dulu dong!" Indah menahan tubuh Prapto yang melonjak. "Aku tidak melihat apapun, Mas!" sergah Indah.

Prapto pun berhenti melompat. Nafasnya memburu melihat pada Indah yang kesal.

"Tidak ada apapun, Mas!" cetus Indah.

"Ada Dek, tadi ada potongan tangan!" debat Prapto dengan wajah yakin.

Indah mendengus berat, "Lihatlah, Mas! Tidak ada apapun." Sekilas Indah menjatuhkan tatapannya ke bawah kaki suaminya lalu menjatuhkan tatapan akhir pada Prapto.

"Apa?" Prapto terkejut, tidak ada apapun di bawah kakinya. Berkali-kali ia mengusap kedua matanya untuk menyakinkan penglihatannya.

"Tuh! Tidak ada apapun kan, Mas!" pekik Indah kesal.

"Tadi itu ada, Dek! Beneran Mas tidak bohong sama Adek?" Wajah penuh keringat itu terus menyakinkan wanita yang berada di hadapannya.

"Udah jangan berisik! Sekarang mana minumku?" Indah menengadahkan tangannya pada Prapto.

"Minum?" Prapto melongo. Ia sadar betul jika Istrinya sudah menghabiskan air satu galon dalam sesaat.

"Ta-tadi kan Adek sudah minum. Prapto menunjuk ke arah dapur dan menunjuk ke Indah dengan wajah kebingungan.

"Minum? Kapan, Mas?" Indah mengeryitkan dahi.

Segera prapto berlari menuju ranjang, tanpa memperdulikan Indah yang kebingungan. Prapto menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, jantungnya seperti mau copot.

"Mas mana minumku?" Indah mengoyangkan tubuh Prapto yang bergumul dengan selimut.

Prapto tidak peduli. Tubuhnya bergetar ketakutan di bawah selimut. Mengingat bayangan wanita yang ia temui di dapur.

*****

"Lastri, Lastri! Jangan mimpi, suamimu saja tidak bekerja, bisa-bisanya kamu mimpi jadi orang kaya!" Suara besar itu terus menertawai wanita yang sedang memumunguti batok kelapa yang akan di gunakan sebagai bahan areng. Digendongnya gadis kecil dengan pakaian lusuh. Hampir seluruh wajahnya dipenuhi warna hitam, karena gadis kecil itu baru saja bermain dengan tumpukan areng.

Lastri tidak memperdulikan ocehan lelaki berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar itu. Ia terus memunguti batok kelapa dan masukannya ke dalam karung sambil menggendong Indah yang masih kecil.

"Nih, bayaran kamu!" Lelaki itu melempar segulung uang dua ribuan kepada Lastri. Kemudian Lastri memungut uang itu tanpa menatap ke arah Tejo, lelaki yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.

"Lastri, jangan pernah kamu bermimpi jadi orang kaya. Ngaca, tukang areng seperti kamu tidak akan pernah bisa jadi saudagar kaya Lastri," ucap Tejo yang diakhiri dengan tawa mengejek.

Lastri tidak menjawab, sama seperti biasanya. Ia lebih memilih diam dan membiarkan hinaan dari Tejo berlalu bersama lelaki yang menghilang di balik pintu gudang. Meskipun hatinya sakit, tapi Lastri akan memilih mengalah.

Lastri adalah orang yang baik. Berbagai ujian hidup selalu dilewati dengan sabar. Seorang wanita yang soleha dan taat beribadah serta penurut kepada orang tua. Namun, segela upaya Lastri tidak pernah mendapat dukungan dari ibunya. Lastri selalu menjadi anak yang dikucilkan karena keadaan ekonominya, dan hidupnya yang masih menumpang kepada ibunya.

"Jadi orang itu seperti Kang Mas mu. Pinter cari uang. Jangan nyusahin orang lain terus. Coba kalau kamu tidak ada Kang Mas mu itu. Pasti hidup kamu bakalan susah." Wanita berambut putih itu terus mengumpat Lastri.

"Sabar ya, Bu! Mungkin rejeki Lastri masih sedikit. Nanti lama-lama juga banyak, Bu," ucap Lastri dengan nada lesu.

"Bagaimana mau banyak Lastri. Kalau pekerjaanmu cuma ngumpulin arang," hardik Ibu Lastri dengan nada sinis.

Dada Lastri semakin sesak. Ini bukan kali pertama ucapan menyakitkan itu keluar dari mulut wanita yang sudah melahirkan Lastri ke dunia. Bahkan terkadang, ucapan wanita itu jauh lebih menyakitkan.

Lastri berlari memasuki kamar saat mendengar Indah menangis. Sepertinya balita itu terbangun dari tidurnya karena ocehan neneknya.

Dilihatnya Seno yang sedang menggendong Indah sambil menepuk nepuk punggung gadis kecil itu. Lastri yang datang dengan muka masam langsung mendudukan tubuhnya dengan kasar di samping Seno.

"Ada apa lagi, Bu?" Seno yang masih menenangkan Indah yang terus menangis.

"Aku capek jadi orang miskin, Pak! Setiap hari hanya mendengar hinaan dan ocehan Ihi," Indah menangis sejadi jadinya, membenamkan seluruh wajahnya di atas bantal.

"Nggak usah di dengerin. Ibu kan memang begitu. Sabar!" Prapto mengusap lembut punggung Indah yang bergetar.

"Tuhan tidak adil, Mas!" Indah bangkit menatap nanar pada Seno. "Aku sudah berusaha, berdoa tapi lihat, hidup kita masih tetap susah saja kan? Bahkan jauh lebih miskin," pekik Indah.

"Hus! Tidak boleh bicara begitu. Percayalah, semua ini hanyalah ujian, Bu!" tutur Seno.

"Aku tidak peduli Mas, aku sudah capek!" cetus Lastri membulatkan matanya pada Seno.

"Bu! Bu!" sergah Parjo berlari tergopoh-gopoh dari belakang rumah menghampiri Lastri yang berada di gudang kelapa. Membuyarkan lamunan Lastri tentang masa lalunya.

"Ada apa, Parjo?" Wajah Lastri sedikit terkejut.

"I-itu Bu, jatuh dari balkon lantai atas. Ayo Bu cepat lihat!" Parjo terlihat begitu panik, keringat membasahi pelipis lelaki kurus dengan kulit sawo matang itu.

***

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status