Share

Kematian Seno

Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno  menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.

Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.

Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya.

"Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali.

"Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.

***

Jenazah Seno sudah berada di ruangan tamu. Ditutupi dengan kain batik berlapis lapis. Lastri duduk di samping jenazah suaminya bersama Indah dan juga praptto. Wajah Lastri terlihat sembab, apalagi Indah. Wajahnya terlihat semakin pucat saja. Beberapa pelayat saling berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa pada keluarga yang ditinggalkan.

"Sabar ya, Dek!" ucap lelaki yang baru datang mendekati Lastri yang masih terisak.

Lastri mengangguk lembut tanpa berucap apapun pada Tejo yang berlalu. Sorot matanya tertuju pada sudut ruangan rumahnya. Ia melihat bayangan Seno menangis tersedu-sedu dan sangat menyedihkan di tempat itu.

"Lastri, kamu tega sekali denganku!" suara Seno itu memenuhi pendengaran Lastri. Seolah sekilas bayangan itu nyata.

"Ibu Lastri! Bu Lastri!" ucap Ustadz Zul meninggikan suaranya melihat Lastri yang tidak mendengar panggilannya.

"I-iya" Lastri mengalihkan pandangannya kepada lelaki berbaju serba putih yang berdiri di belakang tubuhnya.

"Jenazah harus segera kita makamkan, Bu!  Hari sudah mulai sore!" tutur Ustadz Zul.

"Baik, Ustadz!" lirih Lastri dengan suara pelan.

Tejo ,Parjo, Prapto dan Ustadz Zul mengangkat keranda Seno menuju pemakaman. Sepanjang perjalanan menuju pemakaman tidak hentikan kalimat-kalimat Allah itu dikumandangkan.

"Lastri, kamu tega sekali dengaku, Lastri!" Suara tangisan Seno yang mengaung memenuhi indera pendengaran Lastri.

"Apa yang sebenarnya terjadi!" batin Lastri. Ribuan tanya semakin memenuhi benak Lastri.

Pemakaman telah selesai, semua pelayat telah meninggalkan pemakaman. Bagitu juga Lastri dan keluarganya. Hanya tersisa Tejo yang masih berdiri di pusaran Seno.

"Semoga kamu bahagia Seno! Ini adalah balasan untuk istrimu yang terlalu menyombongkan dirinya," desis Tejo di depan pusaran Seno.

******

Malam semakin larut, rumah mewah berlantai dua milik Lastri terlihat begitu sangat menyeramkan. Prato yang masih terjaga terus mencoba memejamkan netranya dengan rasa ketakutan. Namun, rasa takut tak kunjung datang menyergap.

"Lastri, tolong aku!"

Prapto membuka kedua matanya. Dadanya bergemuruh saat suara minta tolong bapak mertuanya mengaung dalam indra pendengarannya.

"Lastri! Tolong aku, Lastri!"

"Duh, suara apalagi itu!" batin Prapto dengan tubuh bergetar. Ia memutar tubuhnya ke arah Indah yang sudah terlelap di sampingnya.

"Dek!" lirih Prapto dengan suara berbisik. Indah sama sekali tidak terbangun. Justru nafasnya semakin teratur.

Tok! Tok! Tok!

Deg!

Jantung Prapto hampir lepas dari tempurungnya mendengar suara ketukan pintu dari  luar pintu kamar. Prapto bergegas menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Prapto, tolong aku!" Ketukan pintu itu diikuti suara Seno yang meminta tolong.

Tubuh Prapto semakin lemas. Ia mengucang tubuh Indah yang terlelap di sampingnya.

"Dek, bangun! Mas, takut, Dek!" lirih Prapto ketakutan.

"Hem!" Indah hanya berdehem seraya menganti posisi tidurnya.

"Duh, Dek bangun dong, Mas takut!" Prapto terus mengguncang tubuh Indah yang masih tertidur

Indah mengerjap bangun menatap kesal pada Prapto. "Ada apa sih, Mas?" debat Indah kesal. Ia menarik selimut yang menutupi wajah Prapto yang ketakutan.

"Itu Dek, ada yang mengetuk pintu dari luar!" ucap Prapto dengan suara bergetar.

"Ah, Mas ini, gitu saja penakut," gerutu Indah bangkit turun dari ranjang.

"Dek, Mas nggak bohong Dek! Beneran tadi ada yang mengetuk pintu kamar kita, Dek!" seloroh Prapto yang diabadikan oleh Indah keluar dari kamar. Mungkin Indah mau ke kamar mandi, pikir Prapto.

Prapto kembali meringkuk dengan wajah berpikir. Sorot matanya menatap langit-langit kamar berwarna putih.

"Bisa-bisanya rumah sebagus ini ada hantunya! Hi ...!" Prapto mengedikan bahunya seraya menarik selimut menutupi tubuhnya hingga ke dagu.

Bruak!

Suara pintu yang dibanting seketika membuat Prapto menoleh ke arah wanita yang muncul dari balik pintu

"Dek indah!" ucap Prapto melihat Indah yang langsung membenamkan tubuhnya pada di sampingnya.

"Kenapa Dek Indah cepat sekali dari kamar mandi!" lirih Prapto merasa jika waktu Indah ke kamar mandi yang letaknya berada di dapur terlalu cepat sekali.

Sesaat Prapto menatap pada Indah yang memejamkan matanya. "Dek, ke kamar mandinya kok cepat sekali!" tutur Prapto dengan nada suara bergetar, ragu.

Wanita yang berbaring dengan posisi terlentang di samping Prapto mengangguk lembut, tanpa menjawab.

Dengan tangan bergetar, Prapto hendak melingkarkan satu tangannya memeluk Indah.

"Dek, Mas kelonin ya!" izin Prapto.

Indah kembali mengangguk tanpa berucap apapun.

Deg!

Debaran jantung Prapto semakin cepat saat tangannya menyentuh kulit Indah yang terasa begitu dingin sekali.

Cekriet!

Prapto menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. Kedua matanya membelalak saat melihat Indah dengan mata setengah terpejam muncul dari pintu kamar.

"Di sana Indah, di sini juga Indah. Lalu Indah yang mana?" lirih Prapto bergidik ngeri melihat Indah yang berada di ambang pintu dan berjalan ke arahnya.

"Hah! Hilang!" Prapto melonjak saat Indah' yang beberapa saat lalu berada dalam pelukannya tiba-tiba hilang.

"Ada apalagi sih, Mas?" tanya Indah dengan wajah heran pada Prapto.

"Dek, Dek, tadi ada kamu tidur di sini, Dek! Tapi, kenapa sekarang kamu jadi ada dua, Dek?" Prapto menepuk kasur tempat Indah berbaring. Wajahnya terlihat sangat ketakutan.

"Mas, kamu lagi mimpi ya! Aku tuh baru dari kamar mandi!" Indah mendorong sedikit tubuh Prapto dari atas ranjang. Lalu membaringkan tubuhnya.

Prapto menelan salivanya, keringat dingin membasahi pelipisnya. Kedua matanya melihat pada Indah yang sudah kembali memejamkan matanya dengan perasaan campur aduk.

"Dek, ini kamu beneran kan?" Prapto mengoyangkan tubuh Indah yang meringkuk memunggunginya.

Indah berdecak kesal, memutar tubuhnya menghadap pada Prapto. "Mas ini ngomong apa sih? Jelas-jelas ini aku, masa iya tanya!" decak kesal Indah.

"Besok kita pulang saja yuk, Dek! Mas, nggak mau tinggal di sini!" gerutu Prapto dengan wajah memelas.

Indah mendengus kasar tidak menjawab. Ia meminta tubuhnya membelakangi Prapto.

*****

"Lastri, Lastri kenapa kamu tega sekali denganku. Tolong! Tolong aku lastri!"

Lastri mengerjap bangun dengan nafas tidak teratur. Dadanya bergerak naik turun dengan keringan yang membasahi tubuh wanita berambut panjang itu. Rasa ketakutan semakin memenuhi diri Lastri.

Lastri meraih gelas yang berisi air putih di atas nakas samping ranjang lalu meneguknya.

Bruak!

Huek!

Lastri membuang gelas berisi darah segar itu di atas lantai. Matanya membelalak, bagaimana bisa air putih itu berubah menjadi darah segar.

"Tidak! Tidak!" Lastri menggelengkan kepalanya melihat genangan darah pada pecahan gelas yang berserakan.

Srek! Srek! Srek!

Lastri mengarahkan tatapannya pada jendela kamar. Wajahnya menegang saat melihat sebuah bayangan yang berjalan di luar jendela kamar.

"Siapa itu?" Teriak Lastri takut. Jantungnya berdegup kencang.

Srek! Srek!

Suara itu terdengar kembali dan semakin jelas mendekat. Perlahan Lastri menuruni rajang dan berjalan mendekati jendela kaca yang masih tertutup gorden berwarna putih itu.

Bayangan hitam itu masih berdiri di sudut balkon. Setelah mengumpulkan keberanian, Lastri membuka gorden yang menutupi jendela.

"Apa? Kenapa tidak ada siapapun!" ucap Lastri terkejut saat tidak menemukan siapapun di balkon kamarnya.

Lastri menurunkan pandangannya ke lantai halaman belakang rumahnya. Tidak ada siapapun juga di sana. Yang ada hanya gundukan tanah bekas darah Seno.

Lastri mendengus halus lalu menutup kembali tirai yang berada di jendela. Wanita itu melangkahkan kakinya gontai naik ke atas ranjang dan memejamkan mata.

"Lastri, aku di sini Lastri!"

***

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status