Menjadi orang miskin dan tak mampu, bukan keinginan Ratna. Hanya karena ingin memenuhi keinginan anak yang sedang sakit, Ratna rela menebalkan muka meminjam uang. Namun, pada akhirnya hanyalah caci maki yang didapatnya.
Lihat lebih banyakKarena Kita Orang Miskin
Aku berlari ke rumah mertua. Menggedor pintunya dengan tergesa-gesa seraya mengucap salam berkali-kali.
"Ada apa, sih, Ratna?" tanya ibu mertuaku setelah membuka pintu.
"Ratna boleh pinjam uang sepuluh ribu rupiah, Bu?"
"Buat apa, Rat? Kayaknya kamu buru-buru banget."
"Buat ... beli obatnya Rindi, Bu. Demam dia." Hanya itu yang bisa kuberikan sebagai alasan. Bukannya berniat berbohong, uang itu sebenarnya akan kubelikan sate untuk putri bungsuku. Sate itulah yang menjadi obatnya.
Benar adanya anak bungsuku sedang demam. Sudah tiga hari ini suhu tubuhnya meningkat. Sudah berbagai obat kuberikan, tetapi belum juga sakitnya sembuh. Sampai akhirnya aku mengetahui penyebab sakitnya puteriku.
"Rindi ... makan dulu, ya, Nak. Biar cepat sembuh." Aku mencoba membujuknya. Sejak sakit, Rindi memang susah sekali untuk makan. Dia selalu menolak makanan yang kusuapkan. Terpaksa, hanyalah teh manis yang masuk dalam perutnya untuk mengganjal lapar.
"Rindi pengen makan sate katanya, Bu." Bunga, si tengah menyahut dari teras rumah kami.
Saat mendengar itu, kulihat Rindi menunduk.
"Bener, Sayang?" tanyaku yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Rindi.
"Rindi sejak kapan pingin makan satenya?" Aku bertanya lagi.
"Kemarin itu, Bu. Sebelum sakit." Lagi, Bunga yang menjawab tanyaku. Sementara Rindi lagi-lagi hanya mengangguk seolah mengiyakan apa yang dibilang kakaknya.
Kuraba saku, celana yang kukenakan, berharap ada selembar uang yang terselip. Sayangnya, saku celanaku kosong. Begitu juga dengan sisipan pakaian di lemari yang kuperiksa. Nihil, tidak ada satu rupiah pun aku miliki.
Sudah hampir seminggu ini kami--aku dan ketiga putriku--makan hanya berlauk sepapan tempe berharga dua ribu rupiah. Untungnya, persediaan beras jatah kami masih ada. Juga sedikit minyak goreng--yang sudah berkali-kali digunakan. Jadi, kami masih bisa makan walau dengan menu sederhana.
Gajiku sebagai buruh cuci di rumah Bu Lurah, harusnya sudah dibayarkan dua hari yang lalu. Nyatanya, sampai hari ini, upah sebesar seratus ribu rupiah untuk satu minggu cuci setrika di rumah itu, belum juga dibayarkan. Entah beliau lupa atau apa. Aku juga tak berani menagih. Sungkan.
Mas Dadang yang bekerja merantau ke pulau seberang pun belum mengirimkan uang sejak dua bulan lalu. Jangankan uang, suaranya pun sangat jarang kudengar lewat sambungan telepon. Terakhir kali kami berkomunikasi hampir dua minggu yang lalu saat dirinya mengabarkan upahnya sebagai kuli bangunan yang belum juga dibayarkan.
Bingung, tak tahu harus bagaimana, aku memutuskan berlari ke rumah ibu mertua yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah kami. Tujuanku tidak lain adalah untuk meminjam uang sepuluh ribu rupiah. Harga seporsi sate ayam yang dijual di kedai ujung kampung ini.
Cukup lama menunggu, ibu mertuaku akhirnya keluar dan menyerahkan selembar uang sebesar nominal yang tadi kusebutkan.
"Ini ... bener buat obat, kan, Ratna?"
"I-iya, Bu." Gelagapan aku menjawabnya. Takut kalau akhirnya ibu mertuaku tahu bahwa uang itu bukan untuk membeli obat dalam arti sesungguhnya.
Setelah menerima uang itu dan mengucap terima kasih, aku pamit dari rumah ibu mertua. Lalu, berjalan kembali ke rumah. Aku tidak langsung menuju warung sate yang letaknya tak jauh dari rumah mertuaku, biar tak dicurigai.
Sesampai di rumah, kuperintahkan Kasih--si sulung--untuk membelikan seporsi sate di satu-satunya kedai yang menjual sate di kampung ini.
Selang satu jam berlalu, Kasih datang dengan mata merah. Tak kulihat kantong plastik berisi bungkusan sate yang harusnya dibawa serta. Malah, anak gadisku itu langsung berlari ke belakangku saat terdengar suara yang familiar dari depan rumah.
"Ratna!" Itu suara ibu mertuaku.
Aku segera keluar dan menyambut beliau.
"Ada apa, Bu? Mari, masuk dulu ...."
"Nggak usah! Kamu ternyata minjem duit buat nyuruh anak beli sate, ya?"
Tak bisa menjawab, aku memilih menunjuk dan mengangguk pelan.
"Kamu itu, udah tau susah. Malah manjain anak aja kerjaannya. Bikin malu! Bilangnya pinjem uang buat obat anak. Taunya buat beli sate. Saya aja nggak makan sate. Kamu sok-sokan makan sate."
Aku hanya bisa diam menanggapi nasehat yang terdengar seperti cibiran itu. Sakit sebenarnya mendengar itu. Tetapi, lebih baik aku diam. Bicara pun pastinya percuma. Yang ada malah akan semakin dicibir.
"Makanya, kalau miskin, jangan kebanyakan gaya!" Itu kata-kata terakhir yang kudengar dari mulut ibu mertuaku sebelum beliau meninggalkan rumah kami tanpa pamit.
Aku masuk ke dalam sambil menahan sesak di dada. Sakit sekali mendengar kata-kata tadi. Padahal, aku hanya meminjam uang dengan nominal yang tidak besar. Tetapi, kata-kata yang kudapat sakitnya terlalu besar.
Di dalam, Kasih bercerita bahwa dia bertemu dengan nenek yang juga ingin membeli sate untuk Kalina--sepupunya, cucu mertuaku juga. Kasih yang polos, menceritakan tujuan. Menurut penuturan Kasih, neneknya langsung mengambil uang di tangan dan menyuruh Kasih untuk pulang karena uang itu adalah uang neneknya.
"Emang bener ya, Bu, itu uang nenek?" tanya Kasih di sela tangisnya.
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Sakit, sedih tak terkira rasanya. Ingin menumpahkannya lewat tangisan, tapi kutahan. Aku tak boleh lemah di depan anak-anak.
Hening tercipta cukup lama setelah itu. Aku yakin, anak-anakku pasti sedih karena ini. Rencana makan malam dengan lauk sate gagal. Apalagi Rindi yang terlihat antusias saat tadi aku menyuruh kakaknya pergi membeli sate.
Maafkan Ibu, ya, Nak....
"Bu... kenapa ya, kalina beliin sate, tapi kita nggak boleh beli sate?" tanya Rindi pelan.
"Karena kita orang miskin," jawab Bunga.
Jawaban yang terasa menyakitkan walau benar adanya.
Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A
Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k
Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min
Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri
Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam
Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen