Home / Lainnya / PESUGIHAN GUNUNG SEMERU / Hantu Berwajah Rata

Share

Hantu Berwajah Rata

Author: Ayu Kristin
last update Last Updated: 2021-09-17 12:07:37

Srek! Srek! Srek!

Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar

"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.

Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya.

"Meong ...!"

Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.

Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.

Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar.

"Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak  Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar pembatas pagar dan jatuh," tutur Kasni yang kala itu sedang mengupas kelapa di halaman belakang.

"Tapi pas dilihat di kamarnya, tidak ada apapun. Sejak hari kemarin Pak Seno memang kebanyakan melamun. Aku fikir sedang ada masalah dengan Bu Lastri," imbuh Kasni.

Terlintas ucapan Kasni tukang kupas kelapa  yang menuturkan kejadian waktu Seno terjatuh dari atas balkon kepada Lastri sore itu setelah pemakaman.

"Sudahlah Bu! Tidak usah bersaing dengan Mas Tejo. Seburuk buruknya Mas Tejo. Dia tetaplah kakakmu," ucap Seno pada Lastri.

"Bagaimana disudahi! Yang ada justru Mas Tejo akan menertawakan aku, Pak. Yang ada Mas Tejo akan semakin menginjak-injak harga diriku," cetus Lastri kesal.

Seno mendengus berat, "Kalau diantara kalian tidak ada yang mau mengalah. Masalah ini tidak akan ada habisnya, Bu!" ucap Seno.

"Bapak memang tidak ada gunanya ya! Bapak nggak lihat bagaimana perjuangan ibu agar keluarga kita tidak di hina sama Mas Tejo dan sekarang bapak ngomong seperti itu." Lastri berdecak kesal dan pergi meninggalkan Seno.

Itu terakhir kali Lastri berbicara dengan Seno. Hingga akhirnya maut lebih menyapanya dahulu.

********

"Hem, hatiku bahagia, Win! Akhirnya Lastri akan bangkrut!" tutur Tejo setelah menyesap sebatang rokok yang berada di sela jemarinya.

"Kamu juga senang kak?" Tejo berkata kepada wini yang hanya memencongkan bibirnya karena susah tak mampu berbicara lagi.

"Kamu juga harus senang Win. Karena istri yang baik adalah istri yang selalu mendukung suaminya. Betul kan?" ucap Tejo lembut kepada istrinya yang menderita stroke itu.

Wini hanya menggeleng, matanya begitu takut menatap lelaki yang pernah ia cintai dulu. Wini berharap lelaki bertubuh tegap itu tidak sampai hati menyakiti putra semata wayang mereka. Seperti ancaman yang sering Tejo lontarkan kepadanya.

"Sudah, tidur sana! Aku mau cari gadis muda yang bisa memuaskanku." Tejo berucap lembut kepada Wini yang hanya mampu berbaring di atas ranjang dengan hati hancur.

"Jangan nangis, semua ini adalah kesalahanmu!" Tejo melemparkan senyum sinis kepada Wini dan berlalu.

Andaikan ia bisa bicara mungkin Wini akan mengundurkan diri sebagai istri Tejo sejak lelaki itu mulai mengilai dunia dan perhiasannya.

******

Prank ... !

Suara dari luar terdengar gaduh. Membuat Indah yang sedang sibuk memasak di dapur segera berlari keluar. Kaca jendala rumah minimalis itu kini telah remuk, sebuah batu cukup besar berserakan di ruang tamu. Mungkin batu itu yang membuat kaca depan rumah Lastri menjadi berkeping-keping.

"Ada apa ini?" Tanya Lastri yang baru turun dari anak tangga dengan wajah terkejut.

"Ada orang yang melempari batu kaca rumah kita, Bu!" Indah berjalan mendekati kepingan kaca yang pecah.

Lastri bergegas menuruni anak tangga, raut wajahnya terlihat kesal mendekati pecahan kaca.

"Tunggu!" Netra Lastri menangkap sebuah gulungan kertas yang ada di sudut ruangan, dekat dengan pecahan kaca.

"Coba ambil, Indah!" titah Lastri.

Indah perlahan membuka gulungan kertas yang sudah ia ambil. Matanya membelalak dan membuang kertas itu dengan histeris.

"Ada apa, Indah?" Lastri terkejut dengan reaksi Indah.

"Ibu baca saja sendiri!" Indah bergidik.

[Selanjutnya kamu!]

Lastri membaca pesan yang tertulis dengan darah segar dengan bau amis yang menyeruak. Wanita itu terlihat garang, diremas kertas itu erat erat. Hingga tangan putihnya memerah karena darah dari pesan itu.

"Sudah tidak usah kamu pikirkan! Biar Ibu yang ngurusin. Nanti bilang saja sama Parjo suruh ganti kacanya dengan yang baru," ucap Lastri begitu dingin kemudian dia berjalan meninggalkan Indah menaiki anak tangga menuju lantai atas.

Indah masih mematung, bulu kudunya meremang. Ia mencoba mencerna apa maksud dari pesan itu. Wanita yang tidak kunjung hamil itu semakin merasa cemas.

*******

Indah masih sibuk membaca majalah. Bersandar pada dipan ranjang. Begitu juga dengan Prapto yang masih bergelayut manja memainkan ujung rambut Indah yang menyeruak aroma melati.

"Dek!"

"Hem!"

"Dek Indah sudah sehat belum?" tanya lelaki yang kini membaringkan tubuhnya di pangkuan Indah. Netranya terus tertuju pada wanita yang terlihat cantik malam ini.

"Aku mau baca dulu, Mas!" Indah meletakan kembali majalahnya di atas wajah prapto.

"Nanti sih Dek bacanya lagi." Prapto meraih paksa majalah dari tangan istrinya. Indah mengerucutkan bibirnya.

"Aku kangen, Dek!" Prapto mulai menggoda Indah.

Diraihnya leher jenjang Indah, hendak menjatuhkan ciuman pada bibirnya berada di pangkuannya. Namun, ketika Prapto membuka netranya, wajah indah kini telah berubah.

"Aaaaaaa ... !" Prapto berteriak histeris, melihat wajah indah yang menjadi rata. Tanpa mata, hidung dan mulut.

Seketika Prapto mengerjap bangun dari pangkuan Indah. Jantungnya seperti sudah melompat dari dadanya. Ia berlari tungang lalang menuju arah pintu kamar. Berkali kali Ia memutar knop pintu kamar. Namun pintu itu masih saja tidak bisa dibuka.

"Kih ... kih ... kih ...!" Suara itu melengking memenuhi kamar di lantai bawah.

Prapto memundurkan tubuhnya, wajahnya terlihat sangat ketakutan. Tubuh Indah kini melayang layang dengan rambut terburai menutupi hampir seluruh wajahnya. Tangannya bergerak seolah hendak mencengkram Prapto yang hampir mati karena ketakutan itu.

"Tolong ... tolong ... tolong!" teriak Prapto histeris. Tubuhnya sudah tidak dapat bergerak kemanapun. Prapto terkunci di sudut ruangan.

Lelaki itu terus meraung meminta pertolongan. Namun tidak ada satupun orang yang datang menghampirinya, sekalipun Lastri. Entah wanita itu mendengar teriakkan Prapto atau tidak.

Indah mencengkram kaos oblong prapto erat. Hingga tubuhnya terangkat ke atas. Sejurus kemudian tubuh ringkih Prapto di hempas kuat hingga jatuh mengenai tembok berdinding serba putih di kamarnya.

Argh ...

Netra Prapto terasa gelap, kepalanya terus berputar-putar. Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Bibir lelaki itu kini sudah tak mampu mengaduh lagi.

"Prapto? Prapto?"

Suara itu terdengar sayu sayu memenuhi gendang telinganya.

"Aduh!" Prapto merasakan sakit ketika pipinya ditepuk beberapa kali. Satu tangannya terus memegangi kepala yang masih terasa pusing.

Prapto perlahan membuka matanya. Bayangan Lastri memenuhi manik hitam bola matanya. Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling, beberapa karyawan Lastri terlihat mengerumuninya. Tapi tidak ada Indah dan juga wanita berwajah rata yang ia temui semalam.

"Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Lastri membangunkan tubuh menantunya yang dibantu oleh Parjo.

"Bikin malu saja, kaya nggak ada kamar kamu ini!" Wanita itu berdecak kesal.

"Memang aku tidur di mana, Bu?" tanya Prapto, tubuhnya terasa remuk gara gara ulah setan berwajah rata semalam.

"Di teras rumah?" bentak Lastri kesal.

"Teras?" Mata prapto membelalakan penuh pada Lastri.

"Tapi semalam aku tidur di kamar, Bu!" debat Prapto.

"Sudah, masuk sana!" titah Lastri yang berjalan terlebih dahulu. Kemudian diikuti Prapto yang dituntun oleh Parjo.

******

"Indah!" teriak Tejo yang melihat indah sedang berjalan membawa belanjaan.

Indah menghentikan langkahnya dan menoleh kepada lelaki berkumis tebal itu.

"Ada apa, Pak De?"

"Dari mana, Indah?"

"Dari pasar Pak De, belanja. Ada apa Pak De?"

"Kamu masih tinggal di rumah Ibu kamu?"

"Masih Pak De, kasian Ibu jika harus tinggal sendirian,"  sahut indah.

Lelaki itu hanya manggut-manggut mendengar ucapan Indah.

"Indah pamit dulu Pak De, sudah siang belum masak buat yang di rumah." Indah melemparkan senyuman kepada Pak De Tejo, dan berjalan meninggalkan lelaki berpostur tubuh tinggi besar itu.

Tejo terus mengawasi Indah hingga tubuh kecil itu menghilang di sebuah pertigaan dengan ulasan senyuman puas.

"Lastri, Lastri, kamu pikir aku tidak tau jika kamu mengambil pesugihan genderuwo," ucap Tejo begitu sinis.

****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 143

    Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 142

    Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 141

    Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 140

    Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 139

    Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 138

    "Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 137

    Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 136

    "Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n

  • PESUGIHAN GUNUNG SEMERU   Bab 135

    Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status