Srek! Srek! Srek!
Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar
"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.
Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya.
"Meong ...!"
Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.
Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.
Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar.
"Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar pembatas pagar dan jatuh," tutur Kasni yang kala itu sedang mengupas kelapa di halaman belakang.
"Tapi pas dilihat di kamarnya, tidak ada apapun. Sejak hari kemarin Pak Seno memang kebanyakan melamun. Aku fikir sedang ada masalah dengan Bu Lastri," imbuh Kasni.
Terlintas ucapan Kasni tukang kupas kelapa yang menuturkan kejadian waktu Seno terjatuh dari atas balkon kepada Lastri sore itu setelah pemakaman.
"Sudahlah Bu! Tidak usah bersaing dengan Mas Tejo. Seburuk buruknya Mas Tejo. Dia tetaplah kakakmu," ucap Seno pada Lastri.
"Bagaimana disudahi! Yang ada justru Mas Tejo akan menertawakan aku, Pak. Yang ada Mas Tejo akan semakin menginjak-injak harga diriku," cetus Lastri kesal.
Seno mendengus berat, "Kalau diantara kalian tidak ada yang mau mengalah. Masalah ini tidak akan ada habisnya, Bu!" ucap Seno.
"Bapak memang tidak ada gunanya ya! Bapak nggak lihat bagaimana perjuangan ibu agar keluarga kita tidak di hina sama Mas Tejo dan sekarang bapak ngomong seperti itu." Lastri berdecak kesal dan pergi meninggalkan Seno.
Itu terakhir kali Lastri berbicara dengan Seno. Hingga akhirnya maut lebih menyapanya dahulu.
********
"Hem, hatiku bahagia, Win! Akhirnya Lastri akan bangkrut!" tutur Tejo setelah menyesap sebatang rokok yang berada di sela jemarinya.
"Kamu juga senang kak?" Tejo berkata kepada wini yang hanya memencongkan bibirnya karena susah tak mampu berbicara lagi.
"Kamu juga harus senang Win. Karena istri yang baik adalah istri yang selalu mendukung suaminya. Betul kan?" ucap Tejo lembut kepada istrinya yang menderita stroke itu.
Wini hanya menggeleng, matanya begitu takut menatap lelaki yang pernah ia cintai dulu. Wini berharap lelaki bertubuh tegap itu tidak sampai hati menyakiti putra semata wayang mereka. Seperti ancaman yang sering Tejo lontarkan kepadanya.
"Sudah, tidur sana! Aku mau cari gadis muda yang bisa memuaskanku." Tejo berucap lembut kepada Wini yang hanya mampu berbaring di atas ranjang dengan hati hancur.
"Jangan nangis, semua ini adalah kesalahanmu!" Tejo melemparkan senyum sinis kepada Wini dan berlalu.
Andaikan ia bisa bicara mungkin Wini akan mengundurkan diri sebagai istri Tejo sejak lelaki itu mulai mengilai dunia dan perhiasannya.
******
Prank ... !
Suara dari luar terdengar gaduh. Membuat Indah yang sedang sibuk memasak di dapur segera berlari keluar. Kaca jendala rumah minimalis itu kini telah remuk, sebuah batu cukup besar berserakan di ruang tamu. Mungkin batu itu yang membuat kaca depan rumah Lastri menjadi berkeping-keping.
"Ada apa ini?" Tanya Lastri yang baru turun dari anak tangga dengan wajah terkejut.
"Ada orang yang melempari batu kaca rumah kita, Bu!" Indah berjalan mendekati kepingan kaca yang pecah.
Lastri bergegas menuruni anak tangga, raut wajahnya terlihat kesal mendekati pecahan kaca.
"Tunggu!" Netra Lastri menangkap sebuah gulungan kertas yang ada di sudut ruangan, dekat dengan pecahan kaca.
"Coba ambil, Indah!" titah Lastri.
Indah perlahan membuka gulungan kertas yang sudah ia ambil. Matanya membelalak dan membuang kertas itu dengan histeris.
"Ada apa, Indah?" Lastri terkejut dengan reaksi Indah.
"Ibu baca saja sendiri!" Indah bergidik.
[Selanjutnya kamu!]
Lastri membaca pesan yang tertulis dengan darah segar dengan bau amis yang menyeruak. Wanita itu terlihat garang, diremas kertas itu erat erat. Hingga tangan putihnya memerah karena darah dari pesan itu.
"Sudah tidak usah kamu pikirkan! Biar Ibu yang ngurusin. Nanti bilang saja sama Parjo suruh ganti kacanya dengan yang baru," ucap Lastri begitu dingin kemudian dia berjalan meninggalkan Indah menaiki anak tangga menuju lantai atas.
Indah masih mematung, bulu kudunya meremang. Ia mencoba mencerna apa maksud dari pesan itu. Wanita yang tidak kunjung hamil itu semakin merasa cemas.
*******
Indah masih sibuk membaca majalah. Bersandar pada dipan ranjang. Begitu juga dengan Prapto yang masih bergelayut manja memainkan ujung rambut Indah yang menyeruak aroma melati.
"Dek!"
"Hem!"
"Dek Indah sudah sehat belum?" tanya lelaki yang kini membaringkan tubuhnya di pangkuan Indah. Netranya terus tertuju pada wanita yang terlihat cantik malam ini.
"Aku mau baca dulu, Mas!" Indah meletakan kembali majalahnya di atas wajah prapto.
"Nanti sih Dek bacanya lagi." Prapto meraih paksa majalah dari tangan istrinya. Indah mengerucutkan bibirnya.
"Aku kangen, Dek!" Prapto mulai menggoda Indah.
Diraihnya leher jenjang Indah, hendak menjatuhkan ciuman pada bibirnya berada di pangkuannya. Namun, ketika Prapto membuka netranya, wajah indah kini telah berubah.
"Aaaaaaa ... !" Prapto berteriak histeris, melihat wajah indah yang menjadi rata. Tanpa mata, hidung dan mulut.
Seketika Prapto mengerjap bangun dari pangkuan Indah. Jantungnya seperti sudah melompat dari dadanya. Ia berlari tungang lalang menuju arah pintu kamar. Berkali kali Ia memutar knop pintu kamar. Namun pintu itu masih saja tidak bisa dibuka.
"Kih ... kih ... kih ...!" Suara itu melengking memenuhi kamar di lantai bawah.
Prapto memundurkan tubuhnya, wajahnya terlihat sangat ketakutan. Tubuh Indah kini melayang layang dengan rambut terburai menutupi hampir seluruh wajahnya. Tangannya bergerak seolah hendak mencengkram Prapto yang hampir mati karena ketakutan itu.
"Tolong ... tolong ... tolong!" teriak Prapto histeris. Tubuhnya sudah tidak dapat bergerak kemanapun. Prapto terkunci di sudut ruangan.
Lelaki itu terus meraung meminta pertolongan. Namun tidak ada satupun orang yang datang menghampirinya, sekalipun Lastri. Entah wanita itu mendengar teriakkan Prapto atau tidak.
Indah mencengkram kaos oblong prapto erat. Hingga tubuhnya terangkat ke atas. Sejurus kemudian tubuh ringkih Prapto di hempas kuat hingga jatuh mengenai tembok berdinding serba putih di kamarnya.
Argh ...
Netra Prapto terasa gelap, kepalanya terus berputar-putar. Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Bibir lelaki itu kini sudah tak mampu mengaduh lagi.
"Prapto? Prapto?"
Suara itu terdengar sayu sayu memenuhi gendang telinganya.
"Aduh!" Prapto merasakan sakit ketika pipinya ditepuk beberapa kali. Satu tangannya terus memegangi kepala yang masih terasa pusing.
Prapto perlahan membuka matanya. Bayangan Lastri memenuhi manik hitam bola matanya. Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling, beberapa karyawan Lastri terlihat mengerumuninya. Tapi tidak ada Indah dan juga wanita berwajah rata yang ia temui semalam.
"Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Lastri membangunkan tubuh menantunya yang dibantu oleh Parjo.
"Bikin malu saja, kaya nggak ada kamar kamu ini!" Wanita itu berdecak kesal.
"Memang aku tidur di mana, Bu?" tanya Prapto, tubuhnya terasa remuk gara gara ulah setan berwajah rata semalam.
"Di teras rumah?" bentak Lastri kesal.
"Teras?" Mata prapto membelalakan penuh pada Lastri.
"Tapi semalam aku tidur di kamar, Bu!" debat Prapto.
"Sudah, masuk sana!" titah Lastri yang berjalan terlebih dahulu. Kemudian diikuti Prapto yang dituntun oleh Parjo.
******
"Indah!" teriak Tejo yang melihat indah sedang berjalan membawa belanjaan.
Indah menghentikan langkahnya dan menoleh kepada lelaki berkumis tebal itu.
"Ada apa, Pak De?"
"Dari mana, Indah?"
"Dari pasar Pak De, belanja. Ada apa Pak De?"
"Kamu masih tinggal di rumah Ibu kamu?"
"Masih Pak De, kasian Ibu jika harus tinggal sendirian," sahut indah.
Lelaki itu hanya manggut-manggut mendengar ucapan Indah.
"Indah pamit dulu Pak De, sudah siang belum masak buat yang di rumah." Indah melemparkan senyuman kepada Pak De Tejo, dan berjalan meninggalkan lelaki berpostur tubuh tinggi besar itu.
Tejo terus mengawasi Indah hingga tubuh kecil itu menghilang di sebuah pertigaan dengan ulasan senyuman puas.
"Lastri, Lastri, kamu pikir aku tidak tau jika kamu mengambil pesugihan genderuwo," ucap Tejo begitu sinis.
****
BersambungSrek ... Srek ... Srek ...!Suara seseorang yang sedang mengasah benda tajam itu terdengar hingga ke dapur. Terdengar begitu nyaring membuat ngilu di pendengaran."Kamu itu sudah banyak menyusahkan aku. Jadi kamu harus mendapatkan balasannya!" desis Tejo sinis, sorot matanya jatuh pada pisau yang sedang diasah.Wini sedikit bergidik melihat kelakuan suaminya yang nampak dari pintu dapur. Kembali wanita itu mengaduk aduk sayur dengan tangan bergetar karena takut."Siapkan makan, aku lapar!" sergah Tejo ketus. Diletakan golok itu dengan kasar di atas meja makan lalu menjatuhkan tubuhnya pada bangku meja makan.Bergegas Wini mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi putih dari atas bakul. Lalu meletakannya di atas meja makan bersebelahan dengan lauk pauk yang telah Wini siapkan terlebih dahulu.Tejo manyantap makanan yang dihidangkan Wini dengan lahap. Sepe
Kabut Semeru masih menyelimuti desa Ranupeni. Desa asri yang terletak di lereng semeru. Seolah tajamnya sinar surya belum mampu menembus tebalnya kabut yang sedari tadi mengaburkan pandangan. Membuat udara semakin terasa mencacah tulang hingga ngilu.Prapto terus melajukan kedaraan meticnya menembus jalan yang berliku. Sajauh mata memandang hanya pohon pinus dan cemara yang berjajar rapi di sepanjang jalan."Pokoknya aku sudah tidak mau!" desis Prapto membuat kepulan kabut dari suara yang keluar. Lelaki itu terus meraik gas motor maticnya menuju rumah Ustadz Zul yang terletak lumayan jauh jika ditempuh dari rumah Lastri.Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, menghilangkan kabut yang mengaburkan pandangan hingga menjadi tetesan embun yang membasahi tiap pucuk daun teh yang terhapar luas. Wanita wanita dengan bakul di punggungnya dengan lihai memetik daun teh muda kemudain memasukkannya ke dalam bakul yang berada
Damar mengusap netranya dengan kedua tangan berkaki-kali. Berharap apa yang dilihatnya kali ini hanyalah ilusi. Seorang wanita cantik yang tidak memiliki talapak kaki itu turun dari kereta kuda yang ada di halaman belakang rumahnya. Wanita yang berdandan layaknya wanita jaman lagenda dulu itu terus berjalan menuju lantai atas rumahnya, mereka melayang-layang di udara. Di sampingnya berdiri beberapa dayang yang memiliki bola mata hitam penuh, dengan wajah pucat pasi. Membuat bulu kudu Damar seketika meremang.Selendang berwarna hijau itu terus berkibar, menyibak betis kakinya yang putih bagaikan pualam. Namun, tanpa telapak kaki. Serombongan makluk aneh itu terbang ke lantai atas rumah megahnya. Kemudian menembus kamar yang terletak bersebelahan dengan kamar Wini."Ya, Allah!" Batin Damar tercekat, ketika melihat dua orang yang berada di belakang kerata kuda. Tangannya terikat, wajahnya terlihat begitu pias. Seluruh tubuhnya terlihat membir
Jalanan sudah mulai sepi, meskipun senja masih meremang di ufuk barat. Lastri masih terus menginjak gas mobil jeeb warna merah kepunyaannya. Melajukannya dengan kecepatan tinggi menembus jalanan yang berliku. Jalan yang dikelilingi dengan tabing yang curam. Wanita itu berharap, bisa sampai di rumah Ki Gendeng tepat waktu.Setelah melewati pemukiman sepi penduduk, mobil jeeb merah itu mulai menembus hutan pinus yang tinggi menjulang. Sayangnya, Sorot lampu mobil itu tidak mampu menjangkau pandangan terlalu jauh. Membuat Lastri harus memperlambat laju kemudinya. Karena Medan yang dia lalui juga tidak cukup mudah. Jalanan berlumpur serta genangan air yang memenuhi jalanan membuat Lastri harus pandai-pandai memilah jalan.Wuk, wuk, wuk!Suara burung hantu itu terus mengikuti Lastri, semenjak mobil jeeb merah itu memasuki gelapnya hutan pinus, yang sebagian masyarakat kenal sebagai hutan telarang. Namun justru dipilih men
Udara terasa samakin dingin. Kabut yang menyelimuti daerah pegunungan Semeru masih terlihat begitu tebal, Lastri harus berjalan merayap melewati tikungan yang setiap sisinya adalah tebing-tebing yang curam. Hampir semalaman wanita itu tidak tidur, kantung matanya terlihat jelas bergelayut menghitam di bawah netra yang terus berfokus menatap jalan.Adzan subuh telah berkumandang, mobil berwarna merah itu baru saja memasuki halaman rumah minimalis miliknya. Suasa rumah Lastri masih begitu sepi, pasti Indah dan Prapto masih tertidur pulas. Benar saja, keluarga Lastri memang jarang sekali melaksanakan sholat.Tak! Tak! Tak!Suara hentakan kaki Lastri ketika wanita itu sedang manaiki anak tangga rumahnya. Dilihatnya kamar yang berada di sudut ruangan lantai itu pintunya sedang terbuka. Lastri mengeryitkan dahi, wanita itu kemudian berjalan mendekati kamar kosong yang berada di sudut ruangan. Lastri melongok ke dalam kamar
Indah masih duduk di kursi meja makan dengan wajah yang terlihat pucat pasi. Wanita itu telah mengeluarkan seluruh isi perutnya sedari tadi. Aroma amis yang bercampur dengan bunga tujuh rupa membuat wanita itu tak mampu menahan perutnya yang terasa seperti sedang di aduk-aduk."Minum, Indah!" perintah Lastri yang meletakan segelas wedang jahe di hadapan Indah."Kok bisa-bisanya air itu berubah menjadi darah ya, Bu?" tanya indah tercengang. Wanita itu menyesap dalam wedang jahe yang berada di atas meja. Membuat terasa hangat hingga ke dalaman perutnya yang sudah kosong."Sudah, kamu tidak perlu tau. Yang pasti, ini adalah ilmu hitam yang tidak perlu kamu ceritakan pada suamimu!" ancam Lastri. Wanita yang kini sedang mengunyah sebuah apel yang berada di genggamannya.Kebetulan memang hari ini Prapto sedang tidak pulang ke rumah Lastri. Lelaki itu memilih untuk menengok rumahnya di kampung sebelah. Mungkin ka
Setelah mengurus administrasi Tejo segera menuju ke dalam mobil miliknya. Kariawan yang membersamainya sudah menunggu di dalam mobil bersama Bambang yang masih tak sadarkan diri."Bos! Bambang badannya panas sekali loh!" ucap kuli yang sedari tadi memangku wajah Bambang dengan panik. Berkali-kali ia menempelkan telapak tangannya pada kening hitam Bambang."Biarkan saja! Tadi aku sudah menelpon kekuarganya. Sebentar lagi dia juga akan di jemput oleh keluarganya!" sahut Tejo dengan nada santai lalu melajukan kemudi.Karyawan itu mengangguk, dia tidak habis pikir jika nasib Bambang akan seperti ini. Masih diingatnya semalam Bambang yang lari terbirit-birit membangunkannya dengan wajahnya terlihat begitu ketakutan."Kus! Kus! Bangun Kus!" ucapnya malam itu, tangannya mengucang hebat tubuh Kusumo yang masih tertidur pulas. Hingga membuat lelaki hampir setengah abad itu mengerjap terbangun.
"Itu Bos, itu!" Lelaki setengah abad itu menunjuk-nunjuk ke arah luar pintu rumah dengan wajah takut.Tejo yang masih geram dengan pertanyaan Damar segera berjalan keluar dari pintu rumah. Kusumo masih terus mengekori Tejo yang memberinya aba-aba untuk menuju depan pintu gerbang rumah."Kamu yang namanya Tejo?" ucap lelaki bertubuh kerdil yang menjatuhkan tatapan tajam kepada Tejo."Iya, Kenapa?" sahut Tejo menahan amarahnya. Giginya terus bergemelutuk saling mengadu. Terlihat dari rahang lelaki berkumis tebal itu yang kian mengeras.Bough!Sebuah tinjauan mengayun cepat mengenai pipi Tejo, hingga lelaki itu jatuh tersungkur di lantai."Kurang ajar!" Tejo mengusap lembut sudut bibirnya yang terluka. Netranya melirik tajam ke arah pria kerdil yang hendak menjatuhkan bogem ke dua."Jangan Pak, jangan!" cegah Kusumo. Lelaki itu menarik pergelangan tangan pria