"Indah ... Huhu .. !" Lastri berteriak histeris saat mengetahui putri satu-satunya kini menjadi gila.
Indah menimang boneka lusuh yang ada di dalam dekapannya. Seperti tidak peduli dengan Lastri yang kini sedang menangisinya.
"Indah, kenapa kamu jadi seperti ini, Nak!" tangis Lastri pecah.
"Sudah, Bu, sabar!" Prapto berusaha menenangkan Lastri. Wanita itu nampak sangat syok sekali melihat Indah yang kembali pulang dalam keadaan seperti itu.
"Kasian sekali ya, Indah! Pasti karena anaknya hilang Indah jadi seperti ini."
"Saya benar-benar tidak menyangka jika nasib Indah akan berakhir setragis itu."
Hati Lastri semakin sakit, mendengar para tetangga yang sedang mencibir keadaan Indah. Sepertinya harta yang ia miliki tidak dapat membuat orang-orang itu segan kepadanya.
"Prapto, tolong bawa Indah istirahat di dalam kamar," titah Lastri pada Prapto. Ia tidak mau Indah dijadikan bahan gunjingan oleh para tetangganya.
Lelak
Sesaat Lastri dan Sukemi saling bersitatap dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing."Ma-maksud kamu apa Sukemi?" lirih Lastri dengan wajah takut. Ia kembali mengulanginya pertanyaan pada Sukemi."Pesugihan itu tidak bisa digagalkan, Mbak Lastri atau ...!" Sukemi menjeda ucapannya. Wajahnya seketika berubah pucat."Atau apa?" Lastri mengguncang kedua bahu Sukemi."Atau, nyawa mbak sendiri yang akan menjadi tumbal berikutnya.""Apa?" Kedua mata Lastri seketika mendelik. Bibirnya bergetar dengan wajah' ketakutan."Jangan asal bicara kamu, Sukemi. Aku tidak pernah membuat perjanjian itu dengan Ki Gendeng. Aku hanya menyanggupi untuk menukar kekayaanku dengan janin," debat Lastri dengan rahang mengeras. Antara kesal dan takut."Justru itu, Mbak, jika sudah tidak ada lagi janin yang akan Mbak jadikan tumbal, lalu janin siapa lagi Mbak yang akan menggantikannya?" debat Sukemi semakin membuat Lastri ketakutan.Last
Wusss ....Srrkk ...Lastri terus berlari menembus semak belukar. Menabrak apapun yang berada di hadapannya. Wanita bertubuh ular itu terus mengejar Lastri.Sttttt ....Wanita bertubuh ular dengan kepala manusia itu berdesis, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sesekali lidah pajang bercabang itu menjulur dan menimbulkan suara. Lastri bersembunyi di balik pohon besar, ketakutan."Ya Tuhan, tolonglah aku!" lirih Lastri dalam hati. Perlahan ia mengintip dari balik pohon melihat ke arah siluman ular itu. Namun, hantu bertubuh ular itu seketika menghilang.Suasana yang mencekam kembali hening. Hanya lolongan anjing yang saling bersahutan satu sama lain. Lastri menarik dirinya dari balik pohon besar, mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan tatapan waspada, untuk memastikan keadaan jika hantu siluman ular itu benar-benar sudah pergi.Dada Lastri bergerak naik turun, bersama deru nafas yang memburu. Wajahnya terlihat ketakua
Para pendaki yang menolong Lastri mengantarkan wanita itu pulang. Hingga beberapa hari Lastri dilanda sakit, dengan tubuh demam hampir setiap malam. Terpaksa pembantu rumah tangganya yang mengurus Lastri. Karena Indah tidak mungkin bisa merawat ibunya."Den, Aden jangan pergi ke mana-mana. Bibik takut, di rumah ini sendirian!" Wanita yang usianya hampir setengah abad lebih itu menghampiri Prapto yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulut Indah.Prapto menghela nafas panjang, lalu meletakkan sendok di atas piring. "Sebenarnya aku juga takut, Bik, tinggal di rumah ini. Tapi, mau bagaimana lagi, kalau saya pergi kasian Indah tidak ada yang menjaganya." Prapto mengalihkan tatapannya kepada Indah yang masih menimang boneka lucu itu seperti anaknya sendiri. Mulutnya mengunyah makanan yang masih penuh, menjatuhkan tatapan pada boneka yang ada di pangkuannya.Bibik mengangguk lembut, wajahnya terlihat berpikir sesaat. "Ya sudah, Bibik mau mengantarkan makanan ini ke
"Tolong!" Suara Bibik yang meminta tolong semakin terdengar keras.Prapto gemetaran, menarik selimut hendak menutupi seluruh tubuhnya. Akan tetapi hatinya cemas, jika sesuatu hal buruk menimpa pembantu rumah tangga Lastri.Bruak!"Tolong!"Suara benda terjatuh yang diikuti teriakan meminta tolong membuat Prapto semakin panik."Duh, bagaimana ini?" Prapto bingung, tubuhnya berkeringat dingin. Haruskah ia menolong Bibik atau tidak.Akhirnya Prapto memutuskan untuk naik ke lantai atas, menolong wanita paruh baya itu. Namun sayangnya, pintu kamar itu terkunci dari dalam.Cekrek! Cekrek!Prapto memutar gagang pintu kamar Lastri, tetap saja pintu tidak dapat terbuka. Prapto pun semakin panik.Kih ... Kih ...Suara tawa melengking dari dalam kamar membuat Prapto bergidik ngeri."Duh Gusti, bagaimana ini! Masuk, ngak ya," gerutu Prapto semakin cemas. Tubuhnya yang bergetar dipenuhi keringat
Bough!Tubuh Lastri terjauh saat Prapto menjatuhkan balok tepat pada tengkuk leher wanita itu. Sesaat Lastri terlihat hampir tidak sadarkan diri. Namun, hantu yang berada di dalam tubuh Lastri kembali bangkit.Ustaz Zul mengambil kesempatan itu untuk segera melumpuhkan Lastri. Ia mencengkram ujung-ujung jari kaki Lastri seraya merapalkan doa-doa."Sakit!" teriak Lastri mengerang dengan tubuh menggeliat. Saat Ustaz Zul memencet ujung kakinya."Keluar kamu dari tubuh Lastri, atau aku akan memusnahkan kamu sekarang juga!" sentak Ustaz Zul."Argh .... Sakit!" Lagi, Lastri mengerang kesakitan setiap kali Ustaz Zul menekan kuat."Cepat keluar!" sentak Ustaz Zul menguatkan cengkraman tangannya pada ujung jari kaki Lastri."Baik, baik, aku akan keluar!" sahut Lastri dengan wajah memohon. "Tapi ada syaratnya," imbuhnya."Katakan, apa syaratnya?" cetus Ustaz Zul dengan nada penuh penekanan."Aku tidak ingin melihat wanita ini masu
Keadaan Lastri sudah cukup membaik. Ia sudah dapat kembali beraktifitas seperti biasanya. Setelah tumbal jambang bayi Indah. Kini usaha Lastri semakin meningkat pesat, hampir meyetarai Tejo. Tapi entah mengapa Lastri tidak merasa bahagia seperti apa yang ia inginkan saat itu. Bayangan bergelimpangan harta yang akan membuat hidupnya enak dan bahagia, hanya seperti buaian belaka saat ia sudah mendapatkannya. Bahkan ia sering merasa jika hidupnya sudah tidak ada gunanya lagi."Bu, ini teh nya!" Bibik meletakan segelas teh hangat pada meja teras rumah.Lastri mengangguk sesaat kemudian mengalihkan tatapannya pada pemandangan jalanan besar yang berada di luar pagar rumahnya. Banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan besar menuju kota itu."Iri dan dendam membuatku terperosok terlalu jauh. Lalu apalagi yang harus aku lakukan, agar aku bisa bebas dari pesugihan ini," batin Lastri mengembara jauh. Jari telunjuknya dengan setia memijat keningnya yang terasa berdenyut
Sepanjang perjalanan Lastri dan Prapto tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Ucapan Ustaz Ilham masih mendengung dalam indra pendengaran Lastri. "Mohon maaf sebelumnya, saya tahu apa yang sedang terjadi dengan anda. Jika anda berkenan, saya bisa membantu anda." 'Apakah jangan-jangan ustaz itu tau jika aku mengambil pesugihan.' "Bu!" Panggilan Prapto membuat Lastri tersadar dari lamunannya. Wanita itu menatap Prapto yang duduk di bangku kemudi. "Apakah benar Indah terkana kutukan? Kutukan apa ya, Bu, yang membuat Indah seperti ini," ucap Prapto dengan wajah berpikir. Lastri menghela nafas panjang, menyandarkan tubuhnya pada bangku mobil. Sesaat ia melirik pada Indah yang terlelap memeluk boneka bayi yang setia mendampinginya. 'Tidak mungkin aku menceritakan kepada Prapto. Bahwa semua yang terjadi pada Indah adalah karena kesalahanku. Aku yakin, hal itu justru akan berakibat buruk sekali.' "Entahlah, P
Bibik meremas ujung baju yang ia kenakan. Wajahnya terlihat begitu panik setelah kejadian buruk yang menimpa Indah. Sementara Prapto berjalan mondar mandir di lorong depan ruang ICU, dengan wajah panik. Lampu merah yang berada di atas pintu ruang ICU masih menyala sejak satu jam yang lalu. Menandakan jika di dalam ruangan itu masih dilakukan tindakan."Semoga saja Non Indah baik-baik saja!" lirih Bibik. Tatapan menerawang jauh dengan wajah yang masih sangat syok sekali."Bik, tadi Bibik sudah menghubungi ibu, kan?" tanya Prapto menoleh pada wanita paruh baya yang duduk pada bangku di depan ruang ICU."Sudah Den, ibu bilang dia akan segera pulang," balas Bibik, gugup.Prapto menghempaskan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di samping Bibik. Wajahnya terlihat sangat gusar, memikirkan keadaan Indah. Masih terlihat bagaimana mobil itu hampir meremukkan tulang kaki Indah. Beruntungnya hal itu belum sampai terjadi, karena Prapto segera menarik tubuh Indah,