Share

3. Kedatangan Mbak Lisa dan Mas Aji

Penulis: Aksara Ocean
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-17 03:38:20

PILIH KASIH

3. Kedatangan Mbak Lisa dan Mas Aji

~Aksara Ocean~

“Masak apa, An?” Mbak Lisa bertanya padaku, dia masuk ke dapur sambil membawa ponselnya.

Aku mengangkat wajahku dan mataku langsung bisa melihat wajah cantiknya yang merengut saat melihat keadaan dapurku, apa yang salah? Aku ikut mengedarkan pandanganku, dan menurutku tidak ada yang salah, dapurku bersih dan tidak ada sampah maupun piring kotor yang berceceran.

Lalu apa alasannya sehingga dia melemparkan tatapan jijik saat ini? 

“Masak sayur lodeh sawi putih, Mbak. Ada sambal terasi juga dan ikan asin,” sahutku pelan, sambil mengaduk cangkir berisi teh hangat yang akan aku hidangkan ke depan.

Sedangkan di depan sana, Mas Abi dan juga Ma Aji sedang berbincang-bincang. Entah ada angin apa sehingga kedua pasangan terhormat ini mau menginjakkan kaki mereka yang suci ke dalam gubukku, karena biasanya hanya Mas Aji yang akan datang jika mereka membutuhkan bantuan, ataupun untuk menasehati kami.

Lagipula, setahuku biasanya hari minggu begini mereka akan pergi untuk berjalan-jalan karena di hari minggulah Mbak Lisa libur dari rutinitasnya mengajar. Dan dihari minggu pula waktuku bisa seharian dihabiskan dengan Mas Abi, tapi malah mereka datang ke sini. 

Mengganggu saja! Batin ku berteriak kesal.

“Ya Allah, An! Nggak ada gizinya itu!” balas Mbak Lisa sambil mencebik. “Ya mbok sesekali masak ayam, atau daging! Jangan ikan asin terus!” Lanjutnya kembali menceramahiku.

Aku mengangkat kedua bahuku, tidak terlalu memperdulikan omongan Mbak Lisa. Aku suka ikan asin, apa masalahnya? Toh, untuk membeli ayam aku masih mampu, dan Mbak Lisa tidak tahu saja kalau di dalam lemari sana nun jauh di bawah tumpukan baskom-baskom milikku ada sepiring ayam lengkuas yang aku sembunyikan.

Bila dibiarkan di sini, maka aku yakin kalau ayamku akan segera habis hanya dalam hitungan detik. Wong Mas Aji itu makannya banyak, dan dia tidak pernah memikirkan orang yang belum makan. Untung saja aku sempat mengamankan makanan favorit suamiku itu, kalau tidak dia bisa tidak kebagian!

“Mau bagaimana lagi, Mbak. Aku ini kan, nggak kerja dan suamiku juga cuma kuli bangunan. Mana sanggup beli ayam!” ujarku merendah.

“Iya, ya! Kasihan juga kamu, An. Pasti makan ayam kalau undangan doang!” ejeknya sambil tertawa kecil.

“Iya, Mbak,” ujarku dengan lesu.

“Kalau aku sih, ayam dan daging itu wajib, An. Tenggorokanku sakit kalau nggak nelen makanan mewah,” ujar Mbak Lisa sombong. “Perutku juga mual kalau yang aku kasukkan itu makanan orang susah, nggak digiling sama ususku, An!” Lanjutnya sambil terkekeh mencemooh.

“Wah, kalau Mbak sih, aku udah nggak heran. Makan daging setiap harus juga pasti mampu, kalau aku bisa makan ikan asin aja udah bersyukur, Mbak,” balasku setengah hati. 

Aku memang tidak pernah menanggapi Mbak Lisa secara serius, dia ini tipe manusia yang suka ditinggakan dan di sanjung-sanjung. Aku tidak ada masalah dengan hal itu, tih posisi kami sama-sama menantu. 

Ujaran pedas Mbak Lisa sering kali hanya aku anggap angin lalu, asal belum kelewatan maka aku hanya tersenyum dan juga membalas ucapannya dengan puji-pujian untuknya.

Lain lagi kalau yang berbicara adalah Ibu, maka aku hanya akan diam dan tidak membalas. Sebelum menikah, orang tuaku sudah mewanti-wanti diriku agar bisa menahan diri di keluarga Mas Abi. Harus memperlakukan Ibu mertuaku seperti aku memperlakukan orang tuaku, harus dihormati dan juga disayangi dengan sepenuh hati.

Yah, walau aku sendiri juga ragu, sampai kapan aku bisa menahan dan diam dengan sikap Ibu yangs elalu memojokkan ku.

“An, kamu ini pernah makan udang atau tidak, sih? Makan seafood gitu, loh!” tanya Mbak Lisa setelah kami diam untuk beberapa saat. “Ya kalau aku dan Mas Aji kan rutin beli persedian seafood ya, udang, kepiting, cumi-cumi. Kalau kamu dan Abi, pernah makan seafood atau tidak sih?” tanyanya lagi dengan penuh keingintahuan.

Aku hanya menatapnya dengan pandangan aneh, apa dia mengira aku dan Mas ABi tidak pernah makan-makanan enak? Begitu? Wahhh, dangkal sekali pemikirannya. 

Walau Mas Abi hanya kuli bangunan, tetapi kehidupan kami tidak semenyedihkan itu. Mungkin untuk memperbaiki rumah, membeli motor baru, dan memperbaiki peralatan, kami memang kesulitan dan masih menabung untuk itu. Tapi kalau untuk makan, aku sama sekali tidak pernah membatasi. 

Gaji Mas Abi cukup untuk kami berdua makan, dan aku bahkan bisa menabung walau sedikit. Alhamdulillah kami tidak memiliki hutang dan kami hidup dengan nyaman. 

“Yah, aku sering makan yuyu sih, Mbak,” ujarku dengan cuek. 

“Yuyu?” tanya Mbak Lisa dengan mata yang membelalak kaget. 

“Iya!” kataku sambil mengangguk kecil. “Yuyu itu mirip kepiting kok.” Aku melanjutkan sambil menahan tawa.

Mbak Lisa yang menampilkan wajah cengo benar-benar terlihat sangat lucu, matanya melotot dengan bibir yang terbuka lebar. Aku hanya mengedikkan bahu, dan meninggalkan iparku itu ke depan. Menghidangkan teh hangat pada Mas Abi dan Mas Aji.

“Diminum, Mas,” kataku pada Mas Aji.

Kakak kandung suamiku itu hanya mengangguk kecil dan kembali menatap Mas Abi dengan pandangan serius, aku juga ikut melihat ke arah suamiku itu dan setelahnya aku langsung termenung. Wajah Mas Abi mengeras, tangannya terkepal erat, sepertinya sementara kami di dapur tadi Mas Abi dan kakaknya tengah terlibat pembicaraan yang menegangkan.

“Pikirkan lagi, Bi!” ujar Mas Aji sambil mengambil cangkir tehnya, dia menyesapnya sedikit sambil melirik ke arahku.

Sementara Mas Abi masih diam, Mbak Lisa sudah kembali dari dapur dan duduk di sebelah Mas Aji. Tapi setelahnya, dia kemudian terlonjak berdiri dan memegang bokongnya.

“Awww, apaan ini, sih?” tanyanya sambil memegangi per-besi yang mencuat. “Sakit, Mas!” katanya mengadu.

“Oh, di bagian sana memang per-nya sudah rusak, Mbak. Sering keluar!” ujarku menjelaskan.

“Beli yang baru lah, An. Kalau kayak gini ceritanya, bisa-bisa nggak ada yang mau bertamu ke rumah kalian! Soalnya semua takut, sepulang dari sini harus ke rumah sakit!” sahut Mbak Ana dengan ketus.

“Iya, Mbak. Kami lagi nabung, kok!” jawabku sambil tersenyum kecil.

“Kalau yang kamu tabung itu recehan, mau berapa puluh tahun baru bisa beli sofa baru? Belum lagi kalian harus beli motor, benerin rumah, dan beli perabotan yang lain,” ujar Mbak Lisa sambil melihat ke sekeliling.

“Namanya juga baru bisa nabung recehan, Mbak. Ya doakan saja, biar kami bisa dapat rezeki dan mampu membeli semuanya,” balasku pelan.

Mbak Lisa langsung terlihat mencebik dengan sinis, dia mengambil ponsel mahalnya dan mengarahkannya ke wajahnya. Ah, pasti sedang selfie. Mbak Lisa ini memang ratu sosmed, dia suka sekali memposting foto-foto dan kegiatannya di sosmed baik itu di aplikasi w******p dan juga f******k.

Aku berteman dengannya di f******k, dan sering sekali aku melihat kemewahan dan juga kesenangan yang Mbak Lisa pamerkan.

Benar-benar seperti sosialita, barang mewah dan branded, sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Sangat berbeda denganku yang sederhana menjurus ke miskin sebenarnya.

"Doa saja nggak mampu mengabulkan segalanya, An!" ujar Mbak Lisa, kali ini suaranya lebih tegas dan juga tajam. "Kita juga butuh usaha dan juga motivasi!" Lanjutnya lagi.

Aku mengernyitkan dahiku tak mengerti, "ya, aku juga tahu, Mbak. Makanya uang gaji Mas Abi sebagian aku tabung," kataku cuek.

"Sebagian itu berapa sih jumlahnya, An? Nggak usah sebagiannya, semuanya kamu tabung pun nggak akan cukup untuk beli sofa dan mengganti perabotan yang lain. Nggak akan cukup untuk merubah kehidupan kalian," ujar Mbak Lisa dengan ketus. "Bukan apa-apa, berapa sih gaji seorang kuli bangunan? Aku ini bukannya sombong, tapi pastinya nggak sebanyak pegawai negeri, kan?" Lanjutnya menyebalkan.

Aku menganga, apa maksudnya? Dia sedang menghinaku secara terang-terangan? Dan apa dia baru saja meremehkan penghasilan dan pekerjaan suamiku?

"Makanya pikirkan apa yang baru saja aku bilang tadi, Bi! Hidupmu akan berubah!" ujar Mas Aji dengan cuek.

Hidup Mas Abi akan berubah? Maksudnya apa? Aku menatap Mas Abi dengan bingung, dan suamiku itu masih diam dan menatap Mas Aji dengan pandangan membunuh.

"Aku memang miskin, Mas. Tapi aku tidak akan mengizinkan istriku menjadi TKW!" sahut Mas Abi dengan tegas.

Tunggu! Tunggu dulu! Aku? Menjadi TKW? Gila! 

~Aksara Ocean~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegan)   532. Keadaan Lisa!

    532. Keadaan Lisa!"Ada apa, Dek?""Ibu ... bapak, Mas.""Ibu sama bapak kenapa, Dek?""Kita harus segera ke rumah sakit, Mas.""Memangnya kenapa, Dek? ngomong dulu sama Mas. Jangan buat Mas gak karuan.""Buruan Mas kita pergi ke rumah sakit.""Hei, tunggu, kalian mau ke mana? ibu dan bapak, maksudnya Sri dan Arman? kenapa mereka?" tanya Nuraini. Ana menggeleng, dia tak mau menjelaskan apapun pada Nuraini. Ana langsung menarik Abi keluar dan segera menaiki mobil mereka. "Ada apa, Dek, ngomong sama Mas?" tanya Abi saat di dalam mobil. "Ibu ... bapak ... kecelakaan, Mas.""Astagfirullah.""Bentar, aku bilang Bulek Romlah dulu buat jaga toko." Anna berjalan menuju tokonya. "Bulek tolong jaga toko dulu yah. Ana dan Mas Abi harus ke rumah sakit.""Kenapa kalian mendadak ke rumah sakit, ada apa, Na?""Ibu dan bapak kecelakaan, Bulek. Kami harus segera ke rumah sakit.""Innalilahi. Ya sudah hati-hati, Na. Kamu gak usah mikirin toko, biar Bulek yang jaga, insyallah aman dan amanah. Kalian

  • PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegan)   531. Kabar yang mengejutkan! (Bagian B)

    531. Kabar yang mengejutkan! (Bagian B)Abi menghempaskan kepalan tangannya di atas meja yang terbuat dari kayu jati, meja yang Ana beli sepaket dengan sofa yang tengah mereka duduki ini. Dia tidak pernah melihat Abi yang semarah ini, suaminya itu terlihat seperti orang lain di matanya. Tidak ada sosok Abi yang biasanya Ana lihat.“ABI! DURHAKA KAMU, YA!” Nuraini memekik heboh.Jelas jantungnya hampir melompat saat Abi menggebrak meja dengan kekuatan seperti tadi, dia menatap anak yang dia lahirkan itu dengan tatapan tajam. Namun, Abi malah balik menatapnya dengan tatapan yang tak kalah tajam.“Silahkan pergi dari sini, sebelum kesabaran saya habis!” kata Abi dengan suara yang bergetar.“Tidak! Kamu adalah anakku, dan wajar jika aku ada di rumahmu sekarang ini.” Nuraini berbicara dengan santai. “Apa uang -uang yang Bapak berikan belum cukup?” tanya Abi dengan kekehan kecil di ujung bibirnya. “Uang apa?” tanya Nuraini sok polos.“Bukannya Anda mengancam Bapak, akan mengungkapkan jati

  • PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegan)   530. Kabar yang mengejutkan! (Bagian A)

    PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar Secara Elegan) 530. Kabar yang mengejutkan! (Bagian A) “A—apa?” Ana bahkan tidak bisa mencerna apa yang Abi katakan, Amran memberi uang kepada Nuraini? Kenapa? Apakah mereka kembali berhubungan? Apakah itu artinya Amran kembali berkhianat dengan orang yang sama, dan membuat Sri terluka? Demi Allah, Ana tidak akan rela jika hal itu benar terjadi. Dia tidak akan sanggup melihat awan mendung kembali menggelayuti wajah Sri, jika dulu dia Ana tidak ada di sana untuk menghentikan tragedi perselingkuhan itu, maka kali ini Ana tidak akan diam. Dia akan berusaha untuk membuat Amran dan juga Sri tetap bersama, tanpa ada orang ketiga, walaupun itu adalah Ibu kandung suaminya sendiri. “Kamu ngomong apa, Mas? Kamu tahu dari mana? Dan kenapa Bapak memberi uang pada Ibu Nuraini?” tanya Ana bertubi-tubi. “Aku tahu, sebab aku melihat sendiri Bapak yang memberikan uang itu. Kami ke sawah bersama, tetapi Bapak pergi tiba-tiba. Awalnya aku sama sekali tidak

  • PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegan)   529. Dusta atau Nyata? (Bagian C)

    529. Dusta atau Nyata? (Bagian C)Ana bisa melihat wajah Nuraini yang berubah pias, namun dia masih berpikir positif. Mungkin wanita paruh baya itu gugup karena ditanya Abi dengan nada tajam seperti itu, Ana mengamati Nuraini sama seperti Abi yang memaku pandangannya pada Ibu kandungnya itu."Aku dilarang oleh Amran dan juga Sri untuk menemuimu, mereka mengancamku dan juga menekanku agar aku tidak menunjukkan wajahku di depanmu!" kata Nuraini dengan lantang. "Mereka yang memisahkan kita, bukan aku yang tidak ingin menemuimu. Kau anakku, mana mungkin aku tega menelantarkan mu hingga berpuluh-puluh tahun lamanya!" kata Nuraini lagi.Ana langsung tertegun, dia tidak percaya jika kedua mertuanya melakukan hal tersebut. Mereka adalah orang yang baik, tidak mungkin mereka menghalangi seorang Ibu bertemu dengan anaknya.Lain Ana, lain pula dengan Abi. Lelaki itu hanya diam, dan juga tidak memberikan respon apapun. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya, dengan tangan yang bersedekap di depan da

  • PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegan)   528. Dusta atau Nyata? (Bagian B)

    528. Dusta atau Nyata? (Bagian B)Rambut yang dicat merah, baju kaos ketat, dan celana jeans yang tak kalah ketat. Gila! Ibu kandung suaminya ini seperti anak remaja saja, padahal Ana yakin kalau umurnya pasti tidak jauh berbeda dengan Sri.Ana saja yang baru berusia dua puluh lima tahun, malu jika harus berpakaian seperti itu. Ah ... tidak, tidak. Aina yang masih berumur sembilan belas tahun pun, tidak pernah berpakaian seperti itu.Padahal adik bungsunya itu masih remaja, tahu mengenai fashion yangs edang trend, tetapi alhamdulillahnya Aina sangat menjaga tubuhnya dari pakaian yang terbuka dan selalu memakai jilbab yang bisa menjaga auratnya.Yah, semakin tua bumi ini, semakin banyak tingkah penghuninya. Huft! Ana mendesah kasar, ingin julid tapi Nuraini adalah Ibu kandung suaminya, dan itu artinya dia termasuk mertua Ana juga.Tetapi tidak mau julid pun Ana tidak mampu, serba salah jadinya.“Itu kan kata-kata kamu doang, aslinya mah saya nggak tahu apa yang ada di hati kamu! Bisa a

  • PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegan)   527. Dusta atau Nyata? (Bagian A)

    PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)527. Dusta atau Nyata? (Bagian A)"Mas …." Ana mendesah, menggeleng pelan sambil menatap Abi dengan pandangan dalam.Wanita itu berharap kalau suaminya tidak akan bertindak gegabah, bukankah tidak boleh jika mengambil keputusan saat sedang emosi? Ana tidak mau, Abi menyesal pada akhirnya.Sedangkan Abi sendiri belum mengendurkan sedikitpun wajahnya yang tegang, dia jelas-jelas menunjukkan raut ketidaksukaannya dan juga raut keberatan akan kehadiran Nuraini di sini."Bukankah saya sudah bilang berkali-kali? Jangan datang dan mencoba untuk merusak kebahagiaan kami!" Suara Abi terdengar lantang. "Sampai kapanpun, ibu saya hanya ada satu dan itu tidak akan berubah!" lanjutnya lagi "Iya, ibumu hanya ada satu orang, dan itu adalah aku! Bukan wanita jahannam itu!" Nuraini menyahut tak kalah lantang. "Yang membawamu ke dunia ini adalah aku, bukan dia!" katanya lagi, sambil memelototi Abi.Abi mendengus, dan mengalihkan pandangannya ke a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status