MasukBukannya menyapa saat melihatku bersama dr.Hilmy. Mas Ghizra justru menyimpulkan aku telah mengkhianati pernikahan kami. Karena itulah, dia menikahi perempuan yang menyukainya. Perempuan itu, adalah Syaiba saudara angkatku. Perih sekali sampai air mataku enggan keluar lagi. Penantianku 6th serasa sia-sia ketika berdiri di hadapan ayah dari putraku itu. N0 pelakor, istri tegar, berpendirian kuat. -Amalia Uzhma, tidak mengetahui jika suami dari sahabat adalah juga suaminya. -Nusyaiba Fahria, merasakan kebahagian tak terkira saat pria yang dicintainya akhirnya bersedia menikahinya. -Ghizra Arsyad, seorang pria yang dipegang adalah ucapannya. Aku tidak bisa meninggalkan Syaiba pun tidak mungkin membiarkan Amalia. Karena keduanya adalah istriku. -Hilmy Sulaiman, Izinkan aku menjadi asbab kebahagiaanmu, Amalia.
Lihat lebih banyakAmalia turun dari taksi bandara tepat di depan pintu gerbang rumah maditeran. Senyum mengembang saat tangannya meraih gagang kait pintu gerbang tersebut, digeser sedikit untuknya masuk ke halaman rumah.
"Assalamualaikum!" Amalia mengucap salam begitu melewati pintu masuk keluarga Santosa. "Waalaikumsalam," jawaban lembut dari wanita yang sangat dirindukan dari ruang tengah. Amalia bergegas menemui nyonya keluarga Santosa tersebut. "Mama!" seru Amalia merentangkan tangannya, menubruk Sinta untu mendapatkan pelukan hangatnya. "Alia, masyaallah kangen sekali mama padamu, Nak." Sinta memeluk erat Amalia seraya mengelus bahunya. "Oiya, rumah kok sepi. Kanzu mana?" tanya Amalia. "Tadi dijemput Syaiba berdua suaminya. Sekalian periksa kandungan, katanya tadi." Sinta menggandeng Amalia berjalan ke arah sofa untuk duduk melanjutkan perbincangan mereka. "Masyaa Allah dah isi rupanya ya, hebat-hebat ... keren," kelakar Amalia diganjar tepukan di lengannya oleh Sinta. "Alhamdulillah langsung isi, hari ini jadwal pemeriksaan keduanya. Harus cek rutin, karena sempat pendarahan." "Masuk tiga bulan berarti ya, Ma?" Sinta menganggukkan kepala membenarkan pernyataan Amalia. "Eh iya, itu Kanzu bisa lengket kayak prangko lho sama Ghizra, suami Syaiba," terang Sinta kemudian. Amalia mengernyit, karena nama itu tidaklah asing baginya. "Ghi-Ghizra?" "Oiya, mama lupa. Kamu belum kenal 'kan, dengan suami Syaiba. Heran juga itu Papamu, rencana awal mereka hanya sekedar ijab saja tiga bulan yang lalu itu. Ealah, mendadak sekalian bikin resepsi juga." "Oh, begitu rencananya, Ma," Amalia meledek Sinta dengan lirikannya. "Iyalah, mama dan Syaiba maunya resepsi ada kamu jadi pendamping pengantinnya, siapa tahu segera tertular dapat pasangan." Amalia hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat terakhir Sinta. Padahal Sinta tahu, bahkan mungkin seluruh anggota Santosa. Alasan Amalia enggan membuka diri menjalin hubungan dengan pria. "Maaf, Alia ... mama tidak ada maksud apa-apa, Kanzu sudah lima tahun. Secara hukum, wanita tidak diberi nafkah lahir-batin selama tiga bulan boleh mengajukan cerai bukan? Pernikahan kalian pun tidak tercatat. Kamu masih muda, jangan menyia-nyiakan hidup demi seseorang yang entah di belahan bumi mana keberadaannya." "Alia tahu Ma, mungkin belum maksimal juga upaya Alia mencarinya selama ini," balas Amalia. "Kalau dia memang ada rasa tanggung jawab. Pasti sudah lama kalian bertemu kemudian hidup bersama. Nyatanya apa, tidak ada upaya dia mencarimu." Sinta menghela napasnya. Entah berapa kali dia menolak keinginan pria baik untuk memperistri Amalia. "Antara Syaiba dan kamu tidak ada yang kami bedakan. Ayahmu pasti menginginkan kebahagiaan untukmu, Nak." Sinta kembali mengeratkan rengkuhan putri sahabat suaminya itu. Amalia terharu dengan perhatian dan kasih sayang keluarga Santosa kepadanya, namun untuk menikah bukan perkara yang mudah buatnya. KTP Amalia tertulis belum menikah. Namun, nyatanya dirinya sampai saat ini masih status istri orang. Dirinya tidak memiliki buku nikah, karena enam tahun lalu hanya sebatas nikah agama yang dilaksanakan. Memang benar, dirinya bisa beranggapan sudah bercerai karena hampir enam tahun tidak bersua dengan pria yang telah menghalalinya itu. Namun, hati kecilnya masih berharap untuk bersua dengan suaminya. "Semoga setelah selesaikan program SM3T, kami bisa bersua Ma," jawab Amalia pada akhirnya. "Kalau takdir memintamu melupakannya bagaimana? Bukan, tidak mungkin dia sudah berkeluarga saat ini 'kan?" "Andai demikian, Alia akan minta jatuhkan talak darinya." Amalia terhela napasnya, kemudian mengulas senyum di bibir, hingga nampak lesung pipi kanannya, "Lagian, selesai program ini. Masuk PPG. Selama mengikuti program kami dilarang menikah, hehehe...." elak Amalia lagi. "Mamanya Hilmy sering nanyain kamu Alia, berharap kamu mau menjadi menantu dalam keluarganya," sela Sinta lagi. "Alia yakin, begitu tahu kebenarannya, akan mundur alon-alon Mama berikut mas Hilmynya." "Walaupun mama enggak seakrab dengan neneknya Hilmy. Mama yakin, calon mertuamu itu sebijaksana ibunya." "Ahay, calon mertua. Jangan terlalu optimis Mama Sinta." Dengan gemas Amalia mengeratkan pelukan di pinggang Sinta. "Aku istirahat di kamar mana nih, Ma?" tanya Amalia melepaskan pelukannya. "Sementara di kamar tamu dulu ya, sebenarnya semua barangmu masih rapi tersusun di kamar kalian. Syaiba melarang kami menyentuh barang-barangmu," terang Sinta. Dulu kamar Syaiba dan Amalia bersebelahan. Syaiba yang meminta papanya menjebol dinding pembatas, sehingga menjadi satu ruangan dengan dua pintu masuk pada akhirnya. 🌻🌻🌻🌻🌻 Amalia menggeliat saat terdengar samar pintu kamar diketuk, sekilas memperhatikan ponselnya tertera pukul 14.10 di sana. Hampir sejam dirinya tadi terlelap karena lelah perjalanan. "Kakak, Kakak Alia!" Suara itu amat Amalia rindukan. Bergegas dia menuju pintu untuk membukanya. Nampak bocah tampan, berkulit putih bersih tertawa gembira menyambutnya. "Kanzu!" pekik Amalia langsung berjongkok memeluk erat balita itu. "Ulu-ulu bahagianya," ledek Syaiba yang berada di belakang Kanzu. Amalia mendongak mengacungkan jempol pada sahabatnya itu. "Eh, aku cuci muka dulu ya, biar PD berjabat tangan dengan si Mamas." Amalia berdiri, menuntun Kanzu masuk ke kamar diikuti Syaiba. "Orang dianya lanjut ke kantor kok, kita cuma diturunkan depan pagar tadi." "Ya enggak apalah, biar seger juga ini badan. Tak sekalian mandi saja kalau gitu," sahut Amalia mengeluarkan handuk beserta baju gantinya. "Ya sudah, kami tunggu di taman ya, Alia." 🌻🌻🌻 "Bagaimana perasaanmu sekarang Syaiba. Sebentar lagi akan menjadi seorang ibu?" tanya Amalia seraya mengelus perut Sabrina yang masih rata. "Bahagia sekali, serasa dapat keajaiban. Tapi, ya itu ... harus hati-hati. Sempat mengalami pendarahan di awal kehamilan. Alhamdulillah jalan 11 minggu sekarang." Tin tin tin Terdengar suara deru mesin mobil berhenti setelahnya. Kanzu yang asyik bermain pasir, bergegas berdiri lalu berlari menyambut seseorang yang keluar dari mobil fortuner hitam itu. "Itu Ayah Kanzu dah pulang," ucap Syaiba memberitahu. "Ayah?" tanya Amalia. "Iya, aku yang menyuruhnya memanggil mas Ghizra ayah, sementara aku bunda. Kamu enggak keberatan, 'kan?," Amalia bergeming, entah mengapa jantungnya berdetak dengan kencang. Debaran yang lama tidak ia rasakan tetiba muncul kembali. "Lengkap deh, ada Mama-Papa, Ayah-Bunda, Mbok dan Kakak. Ntar kalau mas Hilmy resmi jadi suamimu, Kanzu manggilnya Daddy saja," "Ayah, itu kak Alia. Kakaknya Kanzu. Cantik 'kan?" Kanzu menarik tangan suami Syaiba. Amalia tertegun tak percaya dengan penglihatannya. Pria yang ditarik Kanzu ke bangku tempatnya duduk bersama Syaiba adalah ayah Kanzu Al Ghifari, Ghizra Arsyad. Next ....Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag
“Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny
"Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak
“Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu
"Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n
RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen