Brian tampak serius mendengarkan seseorang berbicara di seberang sana. Tangannya yang bebas memainkan gelas kaca yang sudah kosong. Tatapannya lurus, sedangkan otaknya berkerja keras mengingat setiap kalimat yang didengarnya.
“Kamu cari tahu tentang lelaki itu. Jangan sampai lengah, saya tidak mau sesuatu yang buruk terjadi,” titahnya pada seseorang di seberang sana.
Setelah mendengar jawaban di seberang sana, Brian menutup panggilannya. Dia kembali meletakkan benda pipih itu di atas meja. Sedangkan tubuhnya bersandar di sofa dengan mata yang terpejam erat.
Beberapa hari ini terlalu sibuk. Bukan hanya karena pekerjaan kantor yang menumpuk, apalagi salah satu cabang perusahaannya akan mengeluarkan brand terbaru. Jelas hal tersebut berhasil menyita waktu dan pikirannya. Dia tidak mau ada cela sedikit pun pada pekerjaannya.
Namun satu masalah juga lancang mendominasi otaknya. Ya, tentang sang asisten yang beberapa hari belakangan tampak
Di sebuah ruangan yang temaram dengan pencahayaan yang minim, tampak seseorang lelaki duduk di sebuah kursi goyangnya. Gerakannya stabil, pelan dan nyaman. Di sela jepitan jarinya terdapat sebatang cerutu yang masih menyala. Sesekali dia menghirup dalam-dalam dan memainkan asapnya ke udara. Begitu berulang kali.Tatapannya tak lepas pada sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding. Seorang perempuan dengan senyum lebar bermata sayu. Tampak sangat cantik dan menggoda meski dengan gaun seadanya. Tubuhnya ramping dengan wajah cantik tanpa cela. Penamilan sederhana tapi berhasil membangkitkan gairah tersembunyi dalam dirinya.Lagi, lelaki itu menghisap cerutunya. Kali ini asapnya lebih banyak dan mengepul ke udara. Seakan menjadi teman paling setia malam ini.“Lyra,” gumamnya dengan nada berat dan pelan. Ada senyum miring di tarikan kedua bibirnya yang malah memberi kesan mengerikan. Semua tahu, ada makna tersendiri dari senyuman tersebut.&ldqu
Lyra sadar bahwa sejak tadi dia tidak mengalihkan perhatiannya pada daun pintu yang tertutup rapat. Bahkan sudah berkali-kali dia menghembuskan napas pelan, menghitung dalam hati sampai dia lupa sampai mana hitungannya. Konsentrasinya pecah, bahkan layar komputer hanya menyala, menampilkan layar desktop yang tidak berubah sedikit pun.Niatnya ingin mengerjakan laporan buyar seketika. Pikiran dan hatinya tidak mau bekerja sama. Dia melirik jam dinding, bila dihitung sudah dua jam pintu itu tertutup dan belum ada tanda-tanda akan terbuka. Entah apa yang sebenarnya dipikirannya. Apa benar dia merasa gusar hanya karena pria itu bersama wanita di dalam sana?Apa dirinya cemburu?Lyra lekas menggeleng. Menyangkal pikiran tersebut. Tidak mungkin dirinya cemburu. Dia yakin tidak memiliki perasaan apa pun pada sang atasan. Namun, dia juga tidak bisa menampik rasa tak sukanya saat ini.Melihat Donna yang sering berkunjung akhir-akhir ini berhasil membuat sesuatu se
Donna tidak buta untuk melihat binar ketertarikan di kedua netra Brian. Pria itu meski cukup dingin dan datar tapi cukup transparan. Apalagi bagaimana cara pria itu berbicara dengan sang asisten, semuanya sudah cukup memperkuat dugaannya."Serius, Bri. Kamu suka sama asisten itu—perempuan yang bahkan tidak ada apa-apanya dariku," ujar Donna dengan eskpresi tak percayanya. Dia menatap Brian yang masih santai di kursi kebangsaannya.Donna berdecak tak puas. Harga dirinya merasa terluka karena dikalahkan oleh perempuan yang jauh di bawahnya."Kalian memang beda, sangat beda. Lyra tidak seperti wanita di luar sana. Ada banyak hal menarik darinya," kata Brian, lengkap dengan senyum tipisnya. Kepalanya memutar kembali bagaimana tingkah Lyra dalam ingatannya.Donna semakin mengeram marah. Dia mengepalkan tangannya, tatapannya makin tajam. Dengan langkah yang dihentakkan, dia mendekati Brian.
Entah hanya perasaannya saja, Brian merasa ada yang aneh. Dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Lyra yang sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya. Padahal biasanya perempuan itu selalu berkeliaran di sekitarnya. Namun terhitung sudah sejam lamanya, Lyra hilang begitu saja. Brian keluar dari ruangan, menghampiri meja perempuan itu yang kosong. Keningnya berkerut samar. “Di mana dia?” gumamnya seakan bertanya pada diri sendiri. Saat itu tatapannya menangkap karyawannya yang lewat di sekitarnya. Brian memanggil wanita itu dengan suara beratnya. “Apa kamu melihat Lyra?” tanyanya saat wanita itu sudah berdiri di hadapannya. Karyawan wanita yang tadinya tersenyum senang karena dipanggil, langsung menyurutkan senyumnya saat mendengar pertanyaan tersebut. Dia berusaha bersikap biasa, meski rasa iri menyarang di dadanya. Dia tidak suka bos besar meraka menaruh perhatian lebih pada asisten nerd seperti Lyra. “Maaf, Sir. Sepertinya t
“Dari reaksi tubunya sepertinya Nona Lyra pernah mengalami suatu kekerasan atau hal yang membuatnya mengalami trauma hebat. Jelas ini bukan hal yang remeh, mengingat sampai saat ini luka itu seakan meninggalkan bekas yang mendalam. Luka yang tidak terlihat, tapi cukup menyakitkan bagi mentalnya.”“Trauma?”Dokter itu mengangguk yakin. Dia kembali melihat laporan medis di tangannya. “Mungkin Tuan Brian pernah melihat Nona Lyra tampak aneh di beberapa keadaan? Seperti khawatir dan takut pada sesuatu?” tanya sang dokter berusaha mengulik sedikit informasi. Brian diam. Otaknya berpikir keras sampai dia mengingat kembali kejadian beberapa minggu lalu di club. Di mana pertama kalinya dia melihat Lyra yang meringkuk ketakutan dan gelisah. Sampai saat ini dia belum tahu penyebab pastinya. Brian merasa bodoh karena sempat melupakan hal penting tersebut. Diamnya Brian seakan menjadi jawab
Lyra melenguh. Kelopak matanya perlahan terbuka, sampai dia menangkap cahaya yang masuk ke netranya. Dia kembali terpejam sesaat, berusaha memfokuskan pandangannya kembali.“Nghhhh.”Lyra beralih mengamati sekitar. Ruangan serba putih, ranjang yang terasa asing, dan juga sedikit aroma obat-obatan. Dia juga melihat lengannya yang tertusuk selang infus.'Rumah sakit,' batinnya. Siapa yang membawanya kemari? Saat tengah berpikir bagaimana bisa dirinya berakhir di sini, suara pintu yang terbuka mengalihkan atensinya. Lyra menoleh dengan pelan, menatap seseorang yang masuk dengan wajah terkejut.“Kamu sudah bangun?” pekik Brian tanpa sadar. Dengan langkah lebar, dia menghampiri Lyra dan mengecek keadaan perempuan itu. Tatapannya memindai dengan cermat, seakan tidak ingin melewatkan sejengkal bagian tubuh perempuan itu. Ada desahan lega melihat Lyra yang tampaknya sudah baik-baik saja.“Ada
Lyra benar-benar pusing menghadapi Brian yang bersikap over protective padanya. Pria itu bahkan tidak membiarkan dirinya melakukan gerakan sedikitpun. Bahkan tugas seorang perawat digantikan dengan mudah. Brian seakan cekatan dan terampil merawat orang sakit.Pria itu akan bersikap manis dengan menyuapinya makan, menanyakan keadaannya setiap menit yang jelas dijawab dengan malas. Beruntung Lyra bisa menolak saat pria itu ingin membersihkan tubuhnya. Lyra masih cukup waras untuk meminta bantuan perawat."Sir, Anda tidak ke kantor?" tanya Lyra, berharap pria itu akan ingat pekerjaannya dan segera pergi.Brian langsung menggeleng. "Aku cuti sampai kamu sembuh."Lyra membulatkan matanya. Dia menatap pria itu dengan ngeri. "Anda bercanda?""Sejak kapan aku bercanda? Memangnya ada ekspresi bercanda di wajahku?"Lyra menggeleng kaku."Bagus. Lagipula aku yang punya perusahaan," sambung Brian dengan nada sombongnya.Ekspresi Lyra berubah m
Brian tidak menjawab. Melainkan langsung memagut bibir itu dengan kasar. Bibirnya menggigit bibir tebal itu dengan ganas. Tidak peduli akan bengkak atau terluka. Dia seakan melampiaskan sesuatu yang sejak kemarin ditahannya. Sedangkan tangannya pun tak tinggal diam. Meremas bagian-bagian yang bisa digapainya. Berusaha merangsang wanita itu agar mendesah lebih keras.Wanita yang tak lain adalah Donna menyambut hal itu dengan suka cita. Dia makin menekan tengkuk Brian, berusaha memperdalam ciuman yang memabukkan itu. Brian Dan foreplay-nya adalah hal yang paling Donna sukai. Dia sudah kecanduan dengan sentuhan pria kasar itu.Tidak ada pria sehebat Brian di ranjang. Hanya Brian yang bisa memuaskannya dan membuatnya mendesah keras.Lumatan itu makin kasar dan bernafsu. Lidahnya saling membelit, menyalurkan saliva masing-masing yang terasa manis.“Shhhhh,” desah Donna tanpa berniat menahannya. Dia tahu Brian akan semakin terangsang