Share

Ceroboh

“Makanannya enak. Bakso Mang Ujang emang tiada duanya.”

Ana menggerung puas.

“Bener banget.”

Neta yang berjalan bersama Ana dari kantin mengiyakan. Mereka telah melewati koridor di lantai dasar dan baru saja melewati tangga menuju lantai dua.

“Abis mata kuliah ini sudah nggak ada kelas. Mau langsung pulang atau ke kafe biasa dulu?”

Neta menimbang-nimbang.

“Ke kafe biasa aja dulu kali ya? Di rumah bosan, selalu sendirian.”

Ana mengangguk. Neta memang anak tunggal, ibu dan ayahnya sama-sama sibuk. Wajar kalau Neta merasa sepi di rumah.

“Eh, lo bawa makalah kita, kan? Hari ini giliran kita presentasi loh.”

Neta tidak langsung menjawab, malah sibuk membuka ransel mahalnya. Semenit kemudian ia telah selesai dengan kesibukannya. Melihat ekspresinya saja Ana sudah tahu kalau makalah itu tidak ada di ransel mahal Neta.

“Sepertinya ketinggalan di mobil. Gue ambil dulu, ya!”

Sambil terburu-buru, Neta merogoh saku kecil di bagian depan ransel mahalnya yang ternyata telah terbuka, sepertinya Neta sendiri yang lupa mengancingkannya kembali. Neta memekik ketika menyadari hanya kunci mobilnya yang tersangkut di saku itu, gantungan kunci mobil berbentuk dompet berwarna coklat dengan motif polkadot hitam telah lindap.

Ana yang melihat Neta menjerit ketularan panik, mengira Neta kehilangan sesuatu.

“Apa yang hilang, Ta?”

Neta menjawab dengan wajah pucat.

“Gantungan kunci mobil gue, Na.”

Ana sedikit bingung, cuma gantungan kunci tapi memekik seperti mobilnya yang hilang.

“Gantungan kuncinya doang, kan? Kunci mobil nggak ikut hilang?”

Neta mengangguk. Sekarang Ana diserbu kebingungan sepenuhnya, kenapa harus sampai sedramatis itu paniknya kalau hanya gantungan kunci yang lenyap?

“Temenin cari gantungan kunci gue. Lo tau kan? Yang bentuk dompet dan warna coklat motif polkadot hitam?”

Ana mengangguk dengan enggan. Ia sudah melihat benda yang dimaksud lebih sering dari yang diinginkannya. Neta kemudian berbalik menyusuri jalan yang baru saja mereka lalui sembari setengah menyeret Ana yang ogah-ogahan.

Pencarian mereka dimulai dari kantin. Setelah memastikan gantungan kunci itu tidak ada sampai memeriksa setiap kolong meja dan kursi yang ada di sana dan menanyai Mang Ujang hingga tiga kali, mereka kemudian mengulang rute yang dilewati tadi sambil menunduk menajamkan pandangan mata, mencari di antara sepatu yang berlalu-lalang.

Penelusuran mereka tak membungakan hasil. Pilihan yang tersisa hanya tangga. Sebaiknya gantungan kunci itu segera ditemukan. Neta tak ingin membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai benda itu jatuh di tangan yang salah, apalagi ke genggaman Kala. Skenario itu mungkin akan menjadi hal paling mengerikan yang terjadi di sepanjang hidupnya yang indah.

Mereka telah membungkuk-bungkuk memelototi tangga dan hasilnya tetap nihil. Neta sudah hampir putus asa mencari gantungan kunci itu. Gambaran benda itu ditemukan oleh Kala berenang-renang di cairan otaknya. Apalagi Ana sudah semakin cerewet, mengajukan pertanyaan yang sama dengan frekuensi yang lebih sering sejak awal mencari tadi.

“Lo yakin jatuhnya di sekitar sini?”

Tuh, kan. Hal itu lagi. Pertanyaan itu telah didengar Neta dari Ana sebanyak 19 kali dalam kurun waktu satu jam terakhir.

“Iya. Gue yakin jatuhnya di sekitar koridor dan tangga ini. Di koridor nggak ada, mestinya ada di sini.”

Neta pun telah mengulang jawaban yang hampir sama sebanyak 19 kali.

“Mungkin sudah ada yang pungut?”

Neta menggeleng. Bukan karena tidak ada yang pungut, tapi tidak ingin kalau itu yang terjadi.

“Nggak tahu deh, padahal tuh gantungan kunci baru. Gue beli empat hari yang lalu.”

Ana mengernyit mendengarnya.

“Loh? Perasaan lo sudah lama punya gantungan kunci kayak gitu?”

Neta mengutuk mulutnya yang terlalu banyak bicara. Kenapa juga Ana harus ingat kalau ia sudah lama punya gantungan kunci serupa?

“Udah deh, mending lo bantu gue cari.”

Tidak punya pilihan lain, Neta merasa harus membungkam mulut bawel Ana sebelum mulutnya sendiri tidak bisa lagi dikendalikan. Gantungan kunci sialan itu jatuh di mana, sih?

“Kalian lagi ngapain? Kok celingukan di tangga? Lagi cari sesuatu, ya?”

Neta nyaris mengumpat dan gagal membungkus keterkejutannya ketika menyadari suara sok akrab itu berasal dari makhluk yang paling tidak ingin ia temui saat ini. Sambil menatap pria itu, Neta mendadak merasa manusia di depannya itu mengetahui sesuatu. Ia kemudian teringat pesan ayahnya untuk tidak dekat-dekat dengan orang itu, sebesar apapun ia membencinya. Ia pun cepat-cepat menggunting momen Ana yang sepertinya akan mengatakan sesuatu, sesuatu yang Neta yakini akan menyulitkannya.

“Kami nggak cari apa-apa. Yuk kita ke kelas.”

Untuk saat ini, lebih baik menyingkir. Sama seperti ketika diajak mencari tadi, Neta harus setengah menyeret Ana yang bersiap menerbangkan protes agar mau melangkah. Setengah melirik ke belakang, Neta melihat orang itu masih memandanginya dengan muka tenang. Malah kelewat tenang, membuat Neta yang dihantam perasaan cemas. Instingnya yang mengatakan bahwa pria itu mengetahui sesuatu semakin menebal.

Setelah dirasa cukup aman dari jangkauan pandang makhluk tadi, Neta berhenti berjalan. Ana juga berdiri di sampingnya, menembakkan protes yang tertunda.

“Kok lo nggak bilang saja kalau kita lagi nyari gantungan kunci? Siapa tau bisa dibantu.”

Neta mendengus. Tidak akan sudi ia dibantu oleh makhluk tadi.

“Emangnya kamu kenal mereka? Gue sih nggak.”

Ana terdiam. Ia juga tidak mengenal dua manusia tadi. Tapi tetap saja ia kesal karena Neta telah membasmi kesempatan mereka mendapat bantuan.

“Kenalan bisa nanti saja, yang penting mereka bantu kita nyari gantungan kunci itu. Capek tau!”

Neta melempar napas. Ia sudah tak tahan lagi meladeni ocehan Ana. Tanpa mengucapkan apapun ia meninggalkan Ana yang melongo keheranan memandangi punggungnya.

Mendekati parkiran mobil, Neta mengeluarkan kunci mobil yang baru saja kehilangan gantungannya itu dari saku depan ransel mahalnya. Masih menggumamkan sumpah serapah, Neta membuka pintu mobilnya dan mengambil makalah dari kursi belakang mobil.

Kembali ke tempat tadi, ternyata Ana sudah tidak ada. Neta kemudian berderap menuju kelasnya. Dosen kelihatannya sudah duduk di kursinya, baru saja menegur Ana yang seharusnya melakukan presentasi tapi malah terlambat. Ana nampak duduk di kursinya sendiri, malu karena ditegur di depan mahasiswa lain dan kesal karena hal itu disebabkan oleh Neta. Tapi Neta sedang tak berminat untuk bersimpati. Ia masuk ke kelas, melewati dosen yang menatapnya tak berkedip karena terkesima dengan sikap kurang ajarnya, langsung menuju kursi Ana dan membuang makalah yang dibawanya ke meja di depan Ana.

“Ta….”

Ana mencoba bertutur, tapi sepertinya kata-kata di benaknya berceceran tak dapat dirangkai.

Neta tidak repot-repot menunggu apa yang akan Ana katakan. Tak memedulikan respons seisi ruangan terhadap kelakuannya, Neta berbalik dan meninggalkan kelas. Jabatan ayahnya bisa menjadi jaminan untuk lolos dari hukuman apapun yang mungkin divoniskan kepadanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status