Beranda / Thriller / POLIGRAF / Interogasi

Share

Interogasi

Penulis: Biru Gerimis
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-20 22:09:32

Fatih menggeser-geserkan badan kekarnya disertai perasaan jengah tiap beberapa detik di kursi berangka besi dengan bantalan dudukan yang sebenarnya cukup nyaman itu. Kursi kosong dengan bentuk yang sama dengan meja sebagai antara berada di depannya, menunggu ditempati. Meskipun ruangan itu cukup luas, penerangan yang hanya diletakkan di atas meja menciptakan ilusi menyeramkan bahwa ada makhluk mengerikan yang mengintai di area yang tak terjilat cahaya. Kaca yang terpasang di salah satu sisi memantulkan bayangan menakutkan yang ditimbulkan oleh pencahayaan yang pelit itu. Secara keseluruhan, ruangan itu memberi kesan suram. Fatih bisa mengerti mengapa perasaan tertekan membungkus para penjahat jika diinterogasi di sini. Atmosfer ruangan menusuk-nusuk otak tersangka agar mengakui saja perbuatannya daripada harus lama-lama di sini.

Sambil bergeser sekali lagi, Fatih yakin kemuraman apapun yang ditawarkan ruangan ini tidak akan mengusiknya. Alasannya sederhana, ia tidak harus mengakui apapun karena memang ia tidak melakukan apapun soal kematian Lavi.

Lavi dibunuh. Fakta itu benar-benar mengejutkannya karena seperti yang lain, sampai hari itu Fatih beranggapan kalau Lavi bunuh diri minum racun di bukit. Siapa yang tega mengundang malaikat maut untuk menyambar nyawa teman baiknya itu?

Sintingnya lagi, ia yang dituduh sebagai pelakunya. Hal yang bahkan tidak pernah berani dibayangkan olehnya. Ia mengakui wataknya yang lebih cepat merasa kesal dibanding orang lain, tapi membunuh membutuhkan keberanian tingkat gawat untuk melakukannya, dan Fatih merasa tidak akan bisa memiliki itu.

Baru saja Fatih mereka-reka siapa makhluk yang berpotensi menjadi pembunuh Lavi, bunyi pintu yang memekik terbuka membuatnya terlonjak. Polisi yang tadi mencekal lengannya kelihatan memasuki lingkaran cahaya sambil membawa kertas dan duduk di kursi di depannya.

“Saya Iptu Ibad, polisi yang akan menginterogasi Anda.”

Fatih mengangguk.

“Saya akan menginterogasi Anda sebagai saksi tewasnya Lavi. Anda bisa memilih untuk tidak menjawab pertanyaan, tapi itu akan merugikan Anda sendiri. Apapaun yang Anda katakan bisa dan akan digunakan di pengadilan.”

Sambil mengangguk sekali lagi, Fatih mengembuskan napas kesal. Ia memang akan berada di pengadilan, tapi bukan sebagai terdakwa. Ia berjanji akan datang ke pengadilan untuk memberi tekanan mental kepada pelaku sebenarnya.

“Nama Anda?”

Ibad memulai interogasi.

“Fatih Mularman.”

“Alamat?”

“Jalan Biru nomor 9 Kota Ryha.”

“Pekerjaan?”

“Mahasiswa Universitas Ryha jurusan Teknik Sipil.”

“Saudara Fatih, di mana Anda berada pada hari Selasa malam tanggal 9 Agustus pukul 23.49?”

Fatih menerawang, mengingat-ingat. Malam itu sekitar pukul 21.00 ia sempat berkumpul dengan Lavi dan teman-teman lainnya di salah satu kafe di alun-alun kota. Tapi, karena merasa perutnya bermasalah, Fatih pulang ke rumah duluan sekitar pukul 21.30.

“Di rumah.”

“Ada yang bisa membuktikan alibi Anda?”

Menerawang lagi, Fatih akhirnya ingat kalau ia sendirian saja berada di rumah malam itu karena keluarganya sedang menjenguk neneknya yang sakit di kota sebelah. Fatih mendecih, kenapa waktunya tidak pas?

“Tidak ada. Saya sendirian di rumah.”

Gantian Ibad yang mengangguk-angguk. Ia kemudian membaca kertas yang dibawanya.

“Saudara Fatih, bagaimana hubungan Anda dengan Saudara Lavi?”

Fatih berpikir sambil berdeham. Tidak ada yang aneh dengan pertemanannya dengan Lavi. Mereka sering nongkrong bareng, main game online bersama. Karena mereka kuliah di jurusan yang sama, mereka juga mengerjakan tugas kuliah bareng kalau sedang rajin. Fatih tiba-tiba dihajar perasaan melankolis karena saat-saat itu tidak akan terulang lagi.

“Biasa-biasa saja. Kami main, makan bareng.”

“Apa Anda pernah berselisih paham dengan Saudara Lavi?

Fatih tertegun. Pertama dan terakhir kalinya ia nyaris adu jotos dengan Lavi adalah tahun lalu. Saat itu ia tidak setuju dengan keputusan Lavi yang berpacaran dengan seorang gadis bernama Neta. Walaupun gadis itu cantik dan populer, Fatih merasa gadis itu licik dan dahaga perhatian. Tidak ada cocok-cocoknya dengan Lavi yang kalem. Lavi yang dibekap cinta tak terima kekasihnya dicaci, ia hampir saja menerbangkan tinju kalau tidak dihadang oleh teman-teman yang lain.

“Pernah. Pertemanan tidak selalu mulus, kan?”

Ibad mengerutkan jidat, mengira-ngira apakah ada maksud tertentu di balik ucapan Fatih.

“Anda berselisih karena apa?”

Fatih mendengus, sepertinya ia tak suka membicarakan hal yang satu itu.

“Biasa, soal cewek.”

Mendadak Ibad maklum mengapa mereka berselisih. Anak muda memang masih labil.

“Kalian menyukai gadis yang sama?”

Fatih berjengit seperti dipeluk wajan panas.

“Tidak. Saya hanya tidak suka Lavi berpacaran dengan cewek itu. Cewek itu serigala, suka berpura-pura, licik.”

Ibad yang mendengarnya menganggap kata yang dipilih Fatih untuk menggambarkan gadis itu cukup kejam. Pantas saja Lavi berang.

“Siapa namanya?”

Fatih menjawab dengan nada enggan yang sangat kentara, seolah-olah ia mengharamkan diri menyebut namanya.

“Neta.”

Ibad mengangguk dan mengetikkan nama itu ke laptop di hadapannya.

Fatih yang tengah mereka ulang adegan hampir perkelahiannya dengan Lavi tahun lalu di dalam benaknya seketika dihantam pencerahan. Cewek serigala itu sangat memiliki kualifikasi sebagai pembunuh Lavi.

“Pak Polisi.”

Ibad yang merasa dipanggil mendongakkan kepala. Ia disergap keheranan karena wajah Fatih untuk pertama kalinya kelihatan cerah.

“Mungkin cewek serigala itu yang membunuh Lavi.”

###

Kala menanti dengan gelisah di ruang tunggu kantor polisi. Sudah tiga puluh menit berlari sejak Fatih memasuki ruang interogasi. Seharusnya Fatih sudah keluar karena pemeriksaan sebagai saksi biasanya tidak menyantap waktu lama, kecuali kalau Fatih mengamuk karena merasa tidak terima bakal dijadikan tersangka. Dengan postur tubuh seperti itu, polisi akan kerepotan menenangkannya.

“Sepertinya Fatih akan jadi tersangka, Ka.”

Kila muncul sebagai perantara info yang tidak ingin didengar Kala. Menghela napas tak suka, Kala menatap Kila, menagih penjelasan.

“Alat buktinya sudah cukup untuk menetapkan Fatih sebagai tersangka, yaitu pengakuan saksi, yaitu kamu. Dan pengakuan korban sendiri melalui kamu. Dokter forensik juga memastikan, arsenik di dalam tubuh Lavi dimasukkan melalui mulut secara serentak dan dalam jumlah yang memang dimaksudkan untuk membunuh. Jika melihat keadaan di TKP ketika korban merayap menjauh dari kaleng minuman dengan asumsi untuk meminta pertolongan, kami menyimpulkan kalau korban memang dibunuh.”

Seperti yang diperkirakan Kila, Kala langsung membantah.

“Tapi korban bohong. Kak. Berapa kali gue harus negasin hal itu?”

Kila memalingkan muka, tak mampu melihat raut memelas di wajah adiknya.

“Gue sudah bilang sama atasan soal kemampuan lo dan perkataan lo kalo korban bohong, tapi atasan menganggapnya mengada-ada. Gue malah dikhotbahi, dibilang terlalu banyak baca komik lah, sedang berkhayal lah, bahkan gue dikatain tidak waras kalo percaya sama hal begituan.”

Ingin rasanya Kala mendatangi atasan Kila dan mendampratnya karena telah berani menuding kakaknya tidak waras. Kala bahkan bersedia merebut risiko mencari kebohongan yang disembunyikan atasan Kila, meskipun harus sakit kepala berhari-hari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Biru Gerimis
Iya, Kak... Sori, kurang teliti...
goodnovel comment avatar
carsun18106
maksudnya arsenik dlm tubuh lavi ya, bukan fatih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • POLIGRAF   Kehidupan

    Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu

  • POLIGRAF   Sidang Lanjutan

    "Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal

  • POLIGRAF   Sadar

    Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot

  • POLIGRAF   Dapat

    "Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan

  • POLIGRAF   Cari

    Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say

  • POLIGRAF   Bangkit

    "Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu

  • POLIGRAF   Sengaja

    Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim

  • POLIGRAF   Ricuh

    "Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi

  • POLIGRAF   Kecelakaan

    Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status