Share

Interogasi

Fatih menggeser-geserkan badan kekarnya disertai perasaan jengah tiap beberapa detik di kursi berangka besi dengan bantalan dudukan yang sebenarnya cukup nyaman itu. Kursi kosong dengan bentuk yang sama dengan meja sebagai antara berada di depannya, menunggu ditempati. Meskipun ruangan itu cukup luas, penerangan yang hanya diletakkan di atas meja menciptakan ilusi menyeramkan bahwa ada makhluk mengerikan yang mengintai di area yang tak terjilat cahaya. Kaca yang terpasang di salah satu sisi memantulkan bayangan menakutkan yang ditimbulkan oleh pencahayaan yang pelit itu. Secara keseluruhan, ruangan itu memberi kesan suram. Fatih bisa mengerti mengapa perasaan tertekan membungkus para penjahat jika diinterogasi di sini. Atmosfer ruangan menusuk-nusuk otak tersangka agar mengakui saja perbuatannya daripada harus lama-lama di sini.

Sambil bergeser sekali lagi, Fatih yakin kemuraman apapun yang ditawarkan ruangan ini tidak akan mengusiknya. Alasannya sederhana, ia tidak harus mengakui apapun karena memang ia tidak melakukan apapun soal kematian Lavi.

Lavi dibunuh. Fakta itu benar-benar mengejutkannya karena seperti yang lain, sampai hari itu Fatih beranggapan kalau Lavi bunuh diri minum racun di bukit. Siapa yang tega mengundang malaikat maut untuk menyambar nyawa teman baiknya itu?

Sintingnya lagi, ia yang dituduh sebagai pelakunya. Hal yang bahkan tidak pernah berani dibayangkan olehnya. Ia mengakui wataknya yang lebih cepat merasa kesal dibanding orang lain, tapi membunuh membutuhkan keberanian tingkat gawat untuk melakukannya, dan Fatih merasa tidak akan bisa memiliki itu.

Baru saja Fatih mereka-reka siapa makhluk yang berpotensi menjadi pembunuh Lavi, bunyi pintu yang memekik terbuka membuatnya terlonjak. Polisi yang tadi mencekal lengannya kelihatan memasuki lingkaran cahaya sambil membawa kertas dan duduk di kursi di depannya.

“Saya Iptu Ibad, polisi yang akan menginterogasi Anda.”

Fatih mengangguk.

“Saya akan menginterogasi Anda sebagai saksi tewasnya Lavi. Anda bisa memilih untuk tidak menjawab pertanyaan, tapi itu akan merugikan Anda sendiri. Apapaun yang Anda katakan bisa dan akan digunakan di pengadilan.”

Sambil mengangguk sekali lagi, Fatih mengembuskan napas kesal. Ia memang akan berada di pengadilan, tapi bukan sebagai terdakwa. Ia berjanji akan datang ke pengadilan untuk memberi tekanan mental kepada pelaku sebenarnya.

“Nama Anda?”

Ibad memulai interogasi.

“Fatih Mularman.”

“Alamat?”

“Jalan Biru nomor 9 Kota Ryha.”

“Pekerjaan?”

“Mahasiswa Universitas Ryha jurusan Teknik Sipil.”

“Saudara Fatih, di mana Anda berada pada hari Selasa malam tanggal 9 Agustus pukul 23.49?”

Fatih menerawang, mengingat-ingat. Malam itu sekitar pukul 21.00 ia sempat berkumpul dengan Lavi dan teman-teman lainnya di salah satu kafe di alun-alun kota. Tapi, karena merasa perutnya bermasalah, Fatih pulang ke rumah duluan sekitar pukul 21.30.

“Di rumah.”

“Ada yang bisa membuktikan alibi Anda?”

Menerawang lagi, Fatih akhirnya ingat kalau ia sendirian saja berada di rumah malam itu karena keluarganya sedang menjenguk neneknya yang sakit di kota sebelah. Fatih mendecih, kenapa waktunya tidak pas?

“Tidak ada. Saya sendirian di rumah.”

Gantian Ibad yang mengangguk-angguk. Ia kemudian membaca kertas yang dibawanya.

“Saudara Fatih, bagaimana hubungan Anda dengan Saudara Lavi?”

Fatih berpikir sambil berdeham. Tidak ada yang aneh dengan pertemanannya dengan Lavi. Mereka sering nongkrong bareng, main game online bersama. Karena mereka kuliah di jurusan yang sama, mereka juga mengerjakan tugas kuliah bareng kalau sedang rajin. Fatih tiba-tiba dihajar perasaan melankolis karena saat-saat itu tidak akan terulang lagi.

“Biasa-biasa saja. Kami main, makan bareng.”

“Apa Anda pernah berselisih paham dengan Saudara Lavi?

Fatih tertegun. Pertama dan terakhir kalinya ia nyaris adu jotos dengan Lavi adalah tahun lalu. Saat itu ia tidak setuju dengan keputusan Lavi yang berpacaran dengan seorang gadis bernama Neta. Walaupun gadis itu cantik dan populer, Fatih merasa gadis itu licik dan dahaga perhatian. Tidak ada cocok-cocoknya dengan Lavi yang kalem. Lavi yang dibekap cinta tak terima kekasihnya dicaci, ia hampir saja menerbangkan tinju kalau tidak dihadang oleh teman-teman yang lain.

“Pernah. Pertemanan tidak selalu mulus, kan?”

Ibad mengerutkan jidat, mengira-ngira apakah ada maksud tertentu di balik ucapan Fatih.

“Anda berselisih karena apa?”

Fatih mendengus, sepertinya ia tak suka membicarakan hal yang satu itu.

“Biasa, soal cewek.”

Mendadak Ibad maklum mengapa mereka berselisih. Anak muda memang masih labil.

“Kalian menyukai gadis yang sama?”

Fatih berjengit seperti dipeluk wajan panas.

“Tidak. Saya hanya tidak suka Lavi berpacaran dengan cewek itu. Cewek itu serigala, suka berpura-pura, licik.”

Ibad yang mendengarnya menganggap kata yang dipilih Fatih untuk menggambarkan gadis itu cukup kejam. Pantas saja Lavi berang.

“Siapa namanya?”

Fatih menjawab dengan nada enggan yang sangat kentara, seolah-olah ia mengharamkan diri menyebut namanya.

“Neta.”

Ibad mengangguk dan mengetikkan nama itu ke laptop di hadapannya.

Fatih yang tengah mereka ulang adegan hampir perkelahiannya dengan Lavi tahun lalu di dalam benaknya seketika dihantam pencerahan. Cewek serigala itu sangat memiliki kualifikasi sebagai pembunuh Lavi.

“Pak Polisi.”

Ibad yang merasa dipanggil mendongakkan kepala. Ia disergap keheranan karena wajah Fatih untuk pertama kalinya kelihatan cerah.

“Mungkin cewek serigala itu yang membunuh Lavi.”

###

Kala menanti dengan gelisah di ruang tunggu kantor polisi. Sudah tiga puluh menit berlari sejak Fatih memasuki ruang interogasi. Seharusnya Fatih sudah keluar karena pemeriksaan sebagai saksi biasanya tidak menyantap waktu lama, kecuali kalau Fatih mengamuk karena merasa tidak terima bakal dijadikan tersangka. Dengan postur tubuh seperti itu, polisi akan kerepotan menenangkannya.

“Sepertinya Fatih akan jadi tersangka, Ka.”

Kila muncul sebagai perantara info yang tidak ingin didengar Kala. Menghela napas tak suka, Kala menatap Kila, menagih penjelasan.

“Alat buktinya sudah cukup untuk menetapkan Fatih sebagai tersangka, yaitu pengakuan saksi, yaitu kamu. Dan pengakuan korban sendiri melalui kamu. Dokter forensik juga memastikan, arsenik di dalam tubuh Lavi dimasukkan melalui mulut secara serentak dan dalam jumlah yang memang dimaksudkan untuk membunuh. Jika melihat keadaan di TKP ketika korban merayap menjauh dari kaleng minuman dengan asumsi untuk meminta pertolongan, kami menyimpulkan kalau korban memang dibunuh.”

Seperti yang diperkirakan Kila, Kala langsung membantah.

“Tapi korban bohong. Kak. Berapa kali gue harus negasin hal itu?”

Kila memalingkan muka, tak mampu melihat raut memelas di wajah adiknya.

“Gue sudah bilang sama atasan soal kemampuan lo dan perkataan lo kalo korban bohong, tapi atasan menganggapnya mengada-ada. Gue malah dikhotbahi, dibilang terlalu banyak baca komik lah, sedang berkhayal lah, bahkan gue dikatain tidak waras kalo percaya sama hal begituan.”

Ingin rasanya Kala mendatangi atasan Kila dan mendampratnya karena telah berani menuding kakaknya tidak waras. Kala bahkan bersedia merebut risiko mencari kebohongan yang disembunyikan atasan Kila, meskipun harus sakit kepala berhari-hari.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Biru Gerimis
Iya, Kak... Sori, kurang teliti...
goodnovel comment avatar
carsun18106
maksudnya arsenik dlm tubuh lavi ya, bukan fatih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status