Share

Pertemuan

Kampus masih terdengar bergemuruh seperti biasanya. Sambil melangkah hati-hati agar tidak menyentuh orang lain –bisa saja kalimat terakhir orang yang disentuhnya adalah kebohongan, Kala sedang tidak berminat untuk sakit kepala-, Kala berjalan ke kelasnya bersama temannya, Ahnaf.

Sambil mendengarkan dengan tidak sungguh-sungguh ucapan Ahnaf tentang teman kampus mereka yang bunuh diri kemarin, Kala baru tahu kalau pria sekarat yang ditemukannya ternyata sekampus dengannya. Ia pun membiarkan Ahnaf bersenang-senang dengan anggapannya bahwa pria itu bunuh diri, itu lebih baik daripada memberi tahu kalau pria itu dibunuh dan Ahnaf menyiksanya untuk membeberkan siapa pelakunya.

Tidak jauh dari mereka nampak tercipta kerumunan, Kala yang memang tidak peduli pada hal apapun yang tidak berkaitan dengan dirinya, kecuali perilaku kriminal yang menimpa orang lain, baru akan melewati pintu kelasnya ketika buntut matanya terhunjam pada makhluk yang sangat dikenalnya. Jaket bomber yang belum diganti selama tiga hari itu mengunci pandangan Kala.

Menabrak pundak Ahnaf yang termangu-mangu –Kala tidak merasakan apapun karena Ahnaf bukan spesies pembohong-, Kala berjalan cepat ke arah mahasiswa yang tengah berkumpul mengelilingi sesuatu, atau tepatnya seseorang. Tiba-tiba ragu karena langkah selanjutnya akan melibatkan sentuhan dengan orang-orang, Kala berharap tidak ada di antara mereka yang tengah berbohong, sakit kepala bukan pilihan Kala saat ini.

Kelihatannya Kila dan Ibad tengah berbicara dengan seseorang di tengah lingkaran, sepertinya mahasiswa di sini. Berbadan kekar dengan tinggi menyodok langit, Kala yakin orang itu bisa menjadi atlet kalau mau.

“Kenapa saya harus ikut Anda ke kantor polisi?”

Kala mendengar pria kekar itu bertanya, rupanya Kila dan Ibad memintanya ke kantor polisi. Orang-orang sepertinya tengah fokus dengan pertunjukan di depan mereka jadi Kala aman-aman saja di barisan terdepan kerumunan.

“Anda akan dimintai keterangan soal tewasnya Lavi, teman Anda.”

Kila menjawab, tapi tidak setegas biasanya. Lebih terlihat terpaksa melakukannya. Mata Kala mendadak membelalak. Jangan-jangan pria kekar ini Fatih?

“Buat apa? Bukannya Lavi bunuh diri?”

Kebingungan tercetak jelas di wajah Fatih. Kila menghela napas dan tiba-tiba menyadari kalau Kala juga ada di situ. Fatih yang tak kunjung mendapat jawaban tidak bisa menunggu, ia bersiap meninggalkan tempat itu ketika tangannya dicekal oleh Ibad.

“Kami minta kerja sama Anda, Saudara Fatih. Kita akan bicarakan hal ini di kantor polisi.”

Cekalan Ibad ditepis dengan mudah oleh Fatih.

“Bicarakan apa? Saya tak tahu apa-apa soal tewasnya Lavi.”

Keadaan berganti menjadi kurang kondusif. Fatih kesal karena dipaksa ke kantor polisi untuk urusan yang tidak ia tahu, sedangkan Ibad geram karena Fatih enggan bersikap kooperatif. Sepertinya kali ini Ibad harus menggunakan secuil kekerasan.

Fatih tersentak ketika tiba-tiba saja Ibad menyeretnya tanpa permisi. Ingin melawan, tapi pegangan polisi itu terasa mencengkeram. Hal paling maksimal yang bisa ia lakukan hanya meronta-ronta.

Kala merasa ia harus bertindak. Segera ia memegang lengan Fatih –dan tidak merasakan apapun- untuk menahannya. Ibad yang bertanya-tanya Kala muncul dari mana seketika berhenti berjalan. Fatih sendiri mengerutkan kening karena orang yang baru saja menyentuhnya sama sekali tak dikenalnya.

“Kala, apa yang kau lakukan?”

Kila mengomentari aksi Kala.

“Kak, kita berdua tau Fatih bukan pelakunya. Apa Kakak harus ngelakuin ini?”

Fatih sontak menganga. Lavi dibunuh? Dan, ia dituduh sebagai pelaku? Skenario konyol macam apa ini? Di sampingnya, Ibad memandang Kila dan Kala berganti-ganti, tak mengerti apa yang sedang dibicarakan.

“Kala, jangan lakuin ini. Kalo kamu maksa, Kakak terpaksa menangkap kamu juga karena menghalangi tugas polisi.”

Kala terperangah, kakaknya ternyata bisa bersikap tidak masuk akal seperti ini. Sedangkan Ibad menatap Kila keheranan, untuk apa Kala juga ditangkap?

“Oke. Gue ikut ke kantor polisi. Gue akan buktiin kalo bukan Fatih pelakunya.”

Mendengar pernyataan di luar dugaan itu, Fatih bingung harus berterimakasih atau mempertanyakan kewarasan makhluk di sampingnya ini.

Kila menghela napas lelah, sudah mengira Kala akan bertindak nekat seperti ini. Ia memberi isyarat kepada Ibad untuk melepaskan cengkeramannya.

Begitu tangannya dilepas, Fatih mengusap-usap bagian yang memerah karena bekas cekalan. Lalu, berbisik kepada Kala di sampingnya.

“Jadi, kita mesti ke kantor polisi, nih?”

Kala mengangguk dan berjalan mengikuti Kala dan Ibad yang telah melangkah lebih dulu. Fatih mau tidak mau juga menguntit.

###

Neta terperangah di tempatnya berdiri. Mahasiswa yang berkerumun bersamanya sudah kembali ke habitat masing-masing. Pertunjukan tadi sangat menyenangkan untuk ditonton, sampai makhluk bernama Kala itu datang mengacaukan semuanya.

Kenapa yakin banget kalau Fatih nggak salah?

Neta sendiri bukannya tidak pernah mendengar nama Kala. Dari cerita seseorang beberapa tahun lalu, berurusan dengan Kala akan sangat merepotkan. Neta mulai merasa bahwa Kala bakal menjadi ancaman untuk masa depan bahagia tanpa Lavi yang tengah direguknya dan bertekad buat menyingkirkannya sebelum berubah menjadi makhluk pengganggu.

Ia mengecek jam tangan mahalnya, biasanya jam segini orang itu masih di ruangannya. Merogoh ke dalam ransel mahalnya, Neta mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan telepon.

“Halo Ayah, masih di ruangan, kan? Aku mau ketemu.”

Setelah mendengar jawaban dari sang penerima, Neta memasukkan kembali ponsel ke dalam ransel mahalnya, merapihkan rambut layer sebahunya, dan berjalan santai menuju sebuah ruangan. Ruangan dekan.

Oke Kala, sekarang kau resmi menjadi musuhku!

###

Ruangan itu tidak terlalu besar. Jika seseorang muncul dari pintu akan disambut dengan sofa berwarna merah marun untuk menerima tamu, di sampingnya terdapat lemari besar yang terlihat penuh map, di seberang lemari nampak rak buku. Di dinding yang berhadapan dengan pintu ada jendela dan meja berhias papan nama besar dari kaca bertuliskan “Prof. Gani Hasyim, Dekan Fakultas Hukum” diletakkan di depannya. Jadi, si pemilik ruangan duduk dengan membelakangi cahaya, entah apa maksudnya.

Neta memasuki ruangan tanpa tergesa-gesa, menutup pintu, duduk di sofa merah marun sambil menyilangkan kaki. Penghuni ruangan yang tengah sibuk memelototi kertas di depannya merasa tak perlu menyambut kemunculan putrinya, hal yang kemudian memicu kekesalan Neta.

“Ayah, sibuknya nanti aja. Aku mau bicarain sesuatu.”

Terdengar helaan napas, lalu kesibukan di meja berhenti. Sosok yang walaupun telah berumur lebih dari 50 tahun namun tetap kelihatan gagah kemudian berjalan mendekat dan duduk di sofa di depan Neta.

“Sebaiknya kamu mengganggu untuk hal penting, Neta. Ayah sedang banyak urusan.”

Prof. Gani memasang tampang tak suka karena aktivitasnya diinterupsi.

“Aku yakin Ayah akan menganggap ini penting.”

Neta berkata dengan percaya diri.

“Apa? Soal ketololanmu itu?”

Neta mendengus. Ayahnya memang telah mengetahui kelakuan kejinya. Awalnya ayahnya murka, tapi setelah Neta bilang kalau Lavi telah menunjuk Fatih sebagai pelakunya, kemarahannya nyaris tak bersisa.

“Memang soal itu. Tapi ini tentang Kala.”

Punggung Prof. Gani menegak. Nama itu memang membuatnya tertarik.

“Sepertinya Kala tak pernah kapok untuk ikut campur masalah seseorang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status