Anggun melihat kepanikan di wajah Luthfi. Kecurigaannya pun semakin bertambah saat Luthfi terbata menjawab pertanyaannya.
"A-aku tadi ada meeting di luar. Klien dari Jepang. Mr Tanaka. Kamu tahu kan?" dalih Luthfi mencoba menutupi kepanikannya."Mr Tanaka?" ucap Anggun. Luthfi pun hanya mengangguk.Anggun pun tidak memperpanjang masalah. Ia pun menyiapkan makanan untuk suaminya agar bisa segera beristirahat. Luthfi pun minta dibuatkan teh jahe hangat untuk menyegarkan tubuhnya."Aku tidur duluan ya sayang. Good night," ujar Anggun yang bergegas masuk ke dalam kamarnya. Luthfi pun menarik napas panjang merasa terbebas dari kecurigaan Anggun."Akhirnya ...." batin Anggun. Luthfi pun langsung menyusul istrinya itu ke dalam kamar setelah menghabiskan makanannya.Ketika Luthfi melihat sang istri yang sudah terlelap, ia pun mencium kening Anggun. Luthfi pun merebahkan tubuhnyLuthfi hanya bisa diam terpaku menatap kepergian Anggun dan yang lainnya. Pikirannya menjadi buntu. Entah apa yang harus dilakukannya besok ketika harus menghadapi Anggun, Pras juga Reno. Begitupun nasib Sara -- adik Nindya yang telah secara siri dinikahinya."Gawat! Apa yang harus kulakukan?" batin Luthfi. Pikiran pria itu akhirnya semakin kusut. Ia memutuskan pergi meninggalkan rumah kontrakan itu. Di tengah jalan, ia terus mencari akal agar masih bisa menyelamatkan wajahnya di depan Anggun. Terutama Pras dan Reno.-----Waktu semakin dekat pada waktu yang dijanjikan. Hari ini, ia harus menemui Anggun di kantornya. Bukan hanya sang istri yang menunggu penjelasannya, tetapi Pras dan Reno pasti ikut menghakiminya.Dengan langkah gontai, Luthfi akhirnya memasuki gedung pencakar langit itu. Perlahan tapi pasti ia memasuki ruangan sang direktur. Anggun Prameswari."Assalamualaikum." Luthfi pun mengucap salam. Wajah tegang Pras dan Reno mulai terlihat."Enggak usah basa-basi. Cepat mas
Anggun pun memutuskan pulang ke rumahnya ditemani oleh Pras dan Reno. Bersama Ghania, Anggun merasa mulai menemukan ketenangannya atas semua permasalahan rumah tangganya."Anggun, sebaiknya kamu istirahat aja. Ghania juga sepertinya udah ngantuk. Biar aku dan Reno malam ini jaga kamu. Aku takut, kalau nanti Luthfi dendam dan menyuruh orang untuk menyakiti kamu," ujar Pras dengan tenang. Reno pun setuju dengan keputusan sahabatnya itu.Paling tidak, malam ini ia tidak sendirian di rumah Anggun. Reno masih terlalu sungkan, karena Anggun adalah mantan istrinya."Ya sudah, aku ke kamar dulu ya. Kalau mau makan, kalian panggil mbak aja. Aku istirahat dulu," pamit Anggun. Ia pun langsung menaiki anak tangga menuju kamar Ghania yang terletak di lantai dua rumahnya.....Tengah malam, ketika semua penghuni rumah sudah tertidur, Anggun pun keluar dari kamarnya dan menuju ruang CCTV yang terletak di ruang kerjanya di lantai 2. Setelah menyalakan monitor, Anggun pun mulai menyimak apa yang ten
Panca pun menemani istri sahabatnya itu selama di rumah sakit. Serangkaian pemeriksaan dijalani hingga akhirnya pukul 09.00 pagi keesokan harinya jenazah Himawan dapat dibawa pulang untuk dimakamkan."Ca, biar aku yang urus semuanya ya. Kamu dan anak-anak sebaiknya pulang duluan aja. Nanti ada anak buahku yang urus segala keperluan di rumah," ucap Panca."Makasih ya, Mas. Aku nggak tahu lagi kalau nggak ada kamu, siapa yang akan membantuku," jawab Acha lirih."Enggak masalah, Ca. Mawan itu kan sahabat aku. Sudah seharusnya aku membantu kalian. Ya sudah, aku duluan ya. Assalamualaikum." Panca berpamitan, ia langsung menuju kamar jenazah dan mengurus semua keperluan untuk membawa jenazah sahabatnya itu.Acha sampai lebih dulu di rumahnya bersama ketiga anaknya. Betul saja, beberapa anak buah Panca telah menunggu di teras rumah. Setelah pintu utama terbuka, mereka pun bergegas menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan jenazah tuan rumah.Setelah hampir satu jam, semuanya pun
Suara tangisan itu kembali terdengar di sepanjang sudut rumah Himawan. Suara jerit ketiga anaknya hingga tangisan kepedihan keluarga Natasha dan Himawan. Sungguh, tidak pernah terbayangkan jika setelah ujian kehilangan seorang anak, kini ujian kembali datang saat sang menantu menjadi tertuduh atas kematian putra kesayangan."Panca, gimana ini?" tanya Bu Henny, ibu Himawan. Wajah seorang ibu berusia 55 tahun itu menggambarkan kelelahan .Bingung, cemas dan tidak tahu harus berbuat apa. Anak lelaki satu-satunya ditemukan meninggal dengan cara mengenaskan dan kini menantunya tertuduh sebagai pelaku pembunuhan itu."Bu, ibu istirahat saja ya. Biar ini Panca dan Sintia yang urus. Panca juga tidak yakin kalau Acha tega melakukan semua ini. Kita tetap harus berpikir positif," ujar Panca yang mencoba menenangkan hati ibu yang begitu terluka kehilangan seorang anak."Mas, aku sebaiknya di sini aja ya. Kasihan ibu dan anak-anak nggak ada yang menemani. Kamu sendiri ke kantor polisi nggak apa-ap
Tidak terbersit dibenak Acha untuk melenyapkan nyawa suami dan sahabatnya. Apalagi dengan cara yang tergolong sadis. Tapi rasa sakit hati dan dendamnya membuat Acha gelap mata. "Apa yang pertama kali anda lakukan?" tanya Rifat. "Saya meminta suami saya berhenti di jalan Ardipura. Tepat di depan taman Angkasa. Dan .... ""Selanjutnya?"Wajah Acha kembali tertunduk. Tubuh mungilnya bergetar, ada banyak luka yang masih ia coba sembunyikan. Beberapa saat ia pun kembali menangis. Terisak dan seketika ia tertawa. "Mbak Acha, kamu baik-baik saja?" tanya Rifat. Ia mulai khawatir dengan mental terduga pelaku kasus yang sedang ditanganinya itu."Mbak Acha, bisa kita lanjutkan?"Hening ....Pandangan mata itu kembali nanar. Diam dan akhirnya ia mulai bercerita kembali setiap detik waktu yang ia habiskan malam itu."Aku meminta Mas Mawan berhenti. Saat itu juga banyak pedagang berjualan di depan pintu masuk taman. Aku meminta suamiku membeli beberapa cemilan dan minuman. Saat dia pergi, aku l
Acara pemakaman Cindy pun sudah usai. Berita itu begitu cepat tersebar. Keluarga pun mendapatkan cibiran dari teman, tetangga dan semua yang mengenalnya. Tidak ada satupun kata dukungan, justru hinaan yang diterima keluarga Acha."Ini memalukan. Cindy telah merusak semuanya. Dasar perempuan terkutuk!" Caci maki itu akhirnya keluar dari adik beradik Cindy, termasuk ibu Acha.Namun, anak-anak Cindy yang mulai beranjak dewasa pun tidak terima mendengar hinaan dan sumpah serapah itu. Begitupun suami Cindy yang telah dikhianati, ia tetap pasang badan membela almarhumah istrinya."Mbak, cukuplah. Hentikan semua ini. Bagaimanapun Cindy itu adiknya mbak. Ini juga bukan sepenuhnya kesalahan Cindy. Himawan juga salah. Menantu mbak juga laki-laki terkutuk!" balas Harris, suami Cindy."Harris, Harris, kamu masih membela istri laknat begitu? Di mana harga diri kamu???" tutur ibu Acha sinis."Mbak, saya mungkin laki-laki bodoh. Tidak punya harga diri atau apalah terserah kalian. Tapi dia istri saya
Waktu berjalan begitu cepat. Sudah beberapa bulan setelah kematian Himawan dan Acha harus merasakan dinginnya lantai penjara. Hinaan dan caci maki dirasakan Acha di dalam sel. Beberapa tahanan bahkan membully hingga melakukan kekerasan padanya. Dan kini, yang tersisa darinya hanya sebuah penyesalan. Ya, Acha menyesal. Ia sadar, bahkan kini anaknya harus merasakan penderitaan yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka.Malam itu, ketika ketiga anak Acha tengah tertidur pulas di kamarnya masing-masing, ada beberapa pria berbadan besar datang dan mengobrak-abrik rumahnya.Malam itu hanya ada ibu Acha yang menemani. Sedangkan kedua adik Acha tengah keluar kota untuk urusan pekerjaan. Sang nenek tidak dapat berbuat banyak saat Nissa, anak bungsu Himawan dan Acha dibawa oleh pria-pria itu.Entah siapa yang menyuruh mereka. Rumah itu sudah hancur, beberapa barang telah dihancurkan. Tapi anehnya, tidak ada satu pun barang yang diambil. Ini jelas bukan perampokan biasa. Tapi mungkin sebuah aj
Sejak hari itu keluarga Acha tinggal dikediaman Panca dan Sintia. Sintia awalnya menolak, tapi akhirnya ia hanya pasrah dengan keputusan suaminya. Sintia hanya meminta penjagaan lebih ketat di rumah maupun saat anak-anaknya ataupun anak Acha dan Himawan bersekolah. Panca pun akhirnya menyetujui syarat yang diajukan istrinya itu.Tidak seperti hari-hari biasanya, Sintia merasakan perasaan tidak enak. Ia pun memutuskan.menemani anak-anak ke sekolah.Di tengah perjalanan ponselnya kembali berdering. Sebuah nama memanggil. Benar saja dugaan Sintia. Kali ini ancaman Harris tidaklah main-main."Halo, cantik. Gimana kabarmu? Kamu sepertinya tidak mengindahkan ancamanku ya? Kamu pikir, aku main-main??" Harris terlihat tenang, tapi pikirannya cuma satu. Menghancurkan siapapun yang menghalanginya melenyapkan nyawa keluarga Acha yang tersisa."Atau kamu butuh bukti??""Tunggu! Apa yang mau kamu lakukan? Tolong, jangan sakiti anak-anak!""Jangan atur aku!!!"Harris tidak main-main. Di tengah pe