“Selamat pagi Mayang” Sapa Pak Rendra saat aku mengunci pintu rumah hendak ke kantor.
“Pagi juga Pak” aku menundukkan kepala sambil tersenyum.
Pak Rendra jalan keluar membuka gerbang “Mau ke kantor kan? Mau bareng? Kan kita di kantor yang sama?” Pak Rendra menawarkan untuk aku bisa bareng lagi dengan beliau, tapi aku tau diri.
“Tidak Pak terima kasih, saya bisa berangkat sendiri. Kemarin karena kesiangan aja sampai harus naik ojol” Aku menolak halus dan membuka pintu gerbang rumah. “Saya duluan ya pak.” Aku langsung masuk mobil setelah pintu gerbang sudah yakin terkunci.
Pagi ini jalan menuju kantor selalu ramai. Untuk memecah kebosananku, aku memutar lagi yang ada di flasdisk mobil. Lagu dari Happy Asmara kali ini yang baru viral membuat aku geleng-geleng sambil menyetir. Menikmati syair lagu yang begitu pas. Apalagi menggunakan Bahasa Jawa yang maknanya lebih mengena karena aku sendiri orang jawa. Sesampainya di kantor aku langsung menuju pantry dan mengambil cangkir untuk menuang kopi yang tadi aku sedu di rumah.
Aku duduk menyalakan laptop dan menuang kopi dari termos kecil. Bau semerbak kopi langsung menguar di ruangan ini. Aku juga mengeluarkan dua potong roti Maryam yang tadi pagi aku bikin karena belum sempat sarapan di rumah aku memutuskan untuk membawanya ke kantor. Saat aku akan menyesap kopi tiba-tiba sapaan terdengar. “Selamat pagi semua” aku hafal suara siapa itu, benar kan suara Pak Rendra. Aku, Gadis, dan Danu langsung berdiri membungkukkan badan “Selamat Pagi Pak Rendra” Jawab kami serentak.
“Wah bau kopinya sepertinya enak. Siapa yang pagi-pagi sudah bikin kopi ini?” Pak Rendra bertanya dan mengarahkan mata ke kami bertiga.
“Mayang, Pak” Jawab Danu. “Dia kalau gak sempat sarapan selalu ngopi pagi-pagi pak, jadi bapak jangan kaget jika besok-besok selalu mencium bau kopi di pagi hari.”
Pak Rendra berjalan ke arah mejaku “Kopinya masih?” Pak Rendra bertanya kepadaku.
Aku mengangkat termos yang tadi pagi aku isi dengan kopi “Masih Pak, bapak mau? Tau yang ini varian brown sugar”.
“Boleh, kamu antar ke ruangan saya ya. Sama itu kue nya sepertinya enak.” Pak Rendra langsung masuk ke ruangannya.
Gila gila, ini bos kenapa jadi seperti ini. Padahal baru kemarin ketemu kenapa jadi seperti ini. Aku langsung ke pantry mengambil cangkir dan lepek untuk meletakkan kue maryam yang tadi akan aku makan belum jadi. Karena hari ini aku bawa dual embar maka yang satu akan aku berikan pak Rendra sepasang dengan kopi. Aku langsung masuk ke ruangan Pak Rendra dan meletakkan kopi dan roti maryam di meja beliau. Beliau hanya mengangguk sebagai persetujuan. Aku langsung keluar dan mengerjakan beberapa target buku hari ini. Karena hari ini aku punya dua buku yang harus aku baca dan harus aku revisi. Ya beginilah kerjaan sebagai editor. Membaca dan merevisi. Tapi aku senang sih sama saja membaca buku gratis dan buku itu baru akan diterbitkan.
Tanpa sadar waktu jam makan siang sebentar lagi tiba, karena aku mager untuk keluar aku gofood gado-gado langgananku. Aku memainkan media sosial sambil makan, kurang pas saja kalau makan tanpa lihat media sosial apalagi dengan pekerjaanku yang fokus depan laptop.
“Kalau makan jangan main Ponsel.” Aku langsung mendongak melihat siapa yang barusan menegurku. Aku hanya bisa melihat bahunya dari belakang. Ternyata Pak Rendra. Mungkin mau keluar untuk makan siang. Aku langsung melanjutkan kegiatanku, selesai makan aku langsung ke mushola kantor untuk sholat zuhur. Tepat pukul satu Gadis dan Danu sampai di ruangan, mereka terlihat sangat dekat, sedekat nadi. Halah.
Aku jadi iri dengan mereka, walaupun kami bertiga berteman tapi Danu lebih dekat ke Gadis daripada ke aku. Aku bisa merasakan itu. Mungkin karena Danu baru mencoba mendapatkan hati Gadis. Aku sih tidak masalah kalau mereka pacaran yang terpenting tidak merusak persahabatan kami. Karena memiliki sahabat seperti di aitu sangat sulit apalagi aku yang notabennya di kota ini hidup sebatang kara. Tanpa sodara.
Pekerjaanku selesai pukul tiga sore. Masih ada waktu satu jam untuk bisa pulang. Target hari ini terpenuhi jadi aku tidak ada acara lembur untuk hari ini. Aku memutuskan untuk ke pantry untuk membuat teh. Menunggu jam pulang kantor sambil minum teh akan terasa nikmat daripada harus duduk di ruangan meratapi kesendirian yang tak kunjung henti.
Aku duduk sendiri sambil menghirup aroma teh melati yang aku bikin sore ini. Baunya sangat menenangkan jiwa dan raga. Jiwaku saja yang butuh ketenangan. Aku memang merindukan suasana seperti ini, sepertinya nanti malam melakukan me time dengan ngopi sendiri dan menikmati aroma kopi dan udara malam akan lebih nikmat daripada aku rebahan di Kasur yang ujung-ujungnya aku akan keingat Rifki. Ahhh padahal lima hari lagi dia mau nikah, tapi partner kondangan belum dpaat juga. Aku juga belum bilang ke Danu karena akhir-akhir ini dia baru melakukan pendekatan dengan Gadis. Kalau pun nanti tidak ada yang menjadi partnerku, aku terpaksa harus berangkat sendiri dengan menanggung semua rasa malu karena sampai saat ini belum menemukan pengganti dia.
Pukul empat kurang sepuluh menit aku bergegas keluar pantry dan masuk ke ruangan untuk beres-beres barang yang akan aku bawa pulang. Suama perlengkapan seperti ponsel, dompet, dan make up sudah aku masukkan ke tas. Aku langsung turun untuk absen pulang.
Aku melihat Danu dan Gadis masih sibuk dengan laptopnya masing-masing.
“Duluan ya, kalian jangan sampai lembur.” Aku pamit ke mereka dan segera turun.
Lagi dan lagi aku sangat benci suasana macet seperti ini. Akan membuat emosi dan bete. Aku akhirnya menepikan mobil di kedai minuman yang lagi viral “Esque” aku memesan beberapa varian rasa. Setelah menunggu lima belas menit aku Kembali ke mobil dan menjalankan mobil yang masih agak macet. Untung macetnya tidak semakin parah.
Satu jam kemudian aku sampai rumah dan bersih-bersih diri. Sambil menunggu azan maghrib aku duduk di teras depan, di ayunan yang kemarin malam aku gunakan ngobrol dengan Pak Rendra. Aku mengambil esque yang tadi aku beli, sambil aku menggoreng dimsum yang aku bikin dua hari yang lalu.
Saat aku sedang asyik melihat media sosial ada suara yang membuka gerbang rumah. Aku kaget ternyata Pak Rendra yang datang. Masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Aneh sih, dia seperti datang ke rumahnya sendiri.
Sejujurnya aku juga rishi kalau tiap hari dia selalu seperti ini. Aku bingung mau nanggepi apa. Secara kita sudah beda kasta.
“Ehh Bapak, ada apa ya pak?” Aku masih berbicara sopan bagaimanapun beliau adalah bosku terlepas dari kenyataan kalau dulu dia kakak tingkatku.
“Aku lihat kamu melamun, sendirian. Saya jadi gak tega makanya aku mampir. Ternyata setelah aku pastikan kamu baik-baik saja.”
Bapak yang terlalu baik apa aku yang kepedean dengan sikap bapak ya. Tolong jangan sampai buat aku baper pak batinku.
Yogyakarta, 2 Agustus 2021
Suasana kantor pagi ini masih terlihat sepi. Aku memang sengaja berangkat lebih pagi biar tidak ditawari berangkat bareng dengan Pak Rendra. Aku memasuki lobi kantor pukul tujuh, baru OB yang terlihat dan masih mengepel lantai.“Selamat pagi Pak Hadi” Aku menyapa Pak Hadi yang terlihat sedang menggosok lantai.Pak Hadi terlihat kaget melihat aku datang sepagi ini “Pagi Mbak Mayang, tumben jam segini sudah sampai kantor mbk, biasanya mepet.” Pak Hadi cekikian.Pak Hadi tau kalau aku selalu berangkat mepet jam kerja.“Iya Pak, tadi bangunnya kepagian terus bingung di rumah mau ngapain.” Jawabku bohong.“Makanya segera cari pendamping mbak, biar kalau pagi tidak bingung mau ngapain.”“Doain segera dapat ya Pak.”Pak Hadi memang paling baik dan ramah, aku Sudah menganggapnya sebagai orang tuaku karena dia selalu baik dan perhatian denganku. Aku langsung ke ruang ker
RendraMenggantikan Papa memimpin penerbit yang telah Papa dirikan dua puluh tahun yang lalu awalnya membuat aku ingin menolak. Aku tidak mau langsung menjabat sebagai CEO. Aku hanya ingin memimpin di bagian editor yang sesuai dengan pasion ku. Awalnya aku juga menolak, masak aku kerja di kantor Papa. Nanti aku tidak ada usaha. Tapi Mama memaksa aku untuk mencobanya dulu selama satu bulan. Akhirnya aku memenuhi permintaan Papa.Tepat hari ini aku dikenalkan dengan semua karyawan khususnya bagian editor, tapi ada satu nama yang hari ini belum hadir. Ada satu nama yang membuat aku bertanya tanya “Clarissa Mayang” nama itu seperti tidak asing bagiku. Hingga aku meminta Pak Edi untuk menyuruh Clarissa Mayang datang ke ruangan beliau. Aku yakin kalau dia akan haidr hari ini. Dan aku yakin nama itu sama dengan perempuan yang selama ini aku cari.Ketika dia masuk ke ruangan Pak Edi, dia tidak sadar kalau aku ini a
RendraPagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu.Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana.Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. Aku memesan tongseng
Mayang Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya. Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang. Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tingg
Masih di Solo dan masih mengingat semua kenangan yang sampai saat ini masih terikat jelas. Sabtu pagi ini aku ingi gowes sampai Pasar Klewer. Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Kota Surakarta. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini juga merupakan pusat perbelanjaan kain batik yang menjadi rujukan para pedagang dari Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Pasarini juga pusat batik yang menjadi tempat kulakan para pedagang di wilayah Solo dan sekitarnya bahkan di Jawa Tengah. Berdiri sejak tahun 1970,Pasar Klewertetap menarik untuk dikunjungi.Berangkat dari rumah pukul enam dan sampai di Pasar Klewer pukul tujuh, seharusnya tidak selama ini karena aku snegaja mengayuh sangat pelan. Gowes sendiri itu rasanya gabut banget. Tidak ada yang diajak ngobrol. Sampai di Pasar Klewer aku istrirahat sejenak sebelum nanti sarapan. Tak pernah ketinggalan ketika aku pulang ke
Rendra Pagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu. Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana. Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. A
“Ma, Pa, Mayang balik ke Jogja dulu ya.” Aku pamitan dengan kedua orang tuaku, gak tega sebenarnya meninggalkan mereka.“Hati-hati ya Nduk, kalau tidak ada teman gak usah datang ke nikahan Rifki.” Papa mengingatkanku.Aku hanya mengangguk dan segera menyalami mereka. Aku memeluk mereka. Harus kuat dan ga boleh nangis. Aku meninggalkan mereka yang masih menatapku sampai mobil yang aku kendarai menghilang.Suasana dalam mobil sangat sepi. Aku menyalakan musik dari flasdisk. Tak pernah kudugaSemuanya berubahSaat kau memandangkuBergetar hati iniKau berikan harapan tentang oh..Warna warni harikuSemenjak ada dirimuDunia terasa indahnyaSemenjak kau ada disiniKu mampu melupakannyaKini aku tak sabarIngin hati kau untukkuKat
Memandang hotel yang saat ini menjadi tempat resepsi Rifki dan istrinya membuat hatiku pilu. Seharusnya aku yang mengadakan pesta tapi kenyataan berkata lain. Saat ini aku dan Danu masih di antri salaman dengan pengantin. Aku diam sejak berangkat tadi. Danu pun tidak berani menggangguku, biasanya dia akan membully ku habis-habisan jika menyangkut Rifki. Padahal hanya beberapa kali Danu dan Gadis bertemu dengan Rifki. Itu dulu waktu Rifki masih jadi pengangguran dan sering menjemputku di Jogja. Ahh sudah lupakan. Saatnya melupakan dia dan mencari yang serius.Danu menepuk bahuku saat antrian semakin menipis. “Yakin siap? Kalau gak siap kita bisa langsung pulang?”Aku hanya mengangguk. Beberapa among tamu juga masih saudara Rifki yang masih mengingatku. Bahkan ketika mereka menatapku pun seperti ada tatapan kekecewaan. Aku belum bertemu dengan Mbak Sinta, kakak Rifki yang nomor satu. Mbak Sinta lah yang tidak bisa terima saat Rifki memutuskan hubunga