Share

PULANG DARI PERANTAUAN
PULANG DARI PERANTAUAN
Author: Evie Yuzuma

Bab 1

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-10-31 09:06:58

[Dek, maafin Mas … lebaran kali ini sepertinya gak pulang lagi.] Sebuah pesan masuk dari nomor Mas Baska membuat Cahaya hanya mampu menghela napas panjang. Genap empat tahun sudah, Mas Baska tak pulang saat lebaran.

Cahaya kembali melanjutkan melipat pakaian. Pandangannya beralih dari jendela yang tampak berkabut karena hujan tak kunjung henti pada tumpukkan pakaian yang ada di depannya. Tangannya bergerak pelan seiring dengan pikirannya yang berlarian. Semuanya saling bertali ke sana ke mari. Masih teringat jelas dua hari lalu wajah Kirana---sang putri saat memilah-milah gamis dalam lemari plastik miliknya.

“Bu, puasa Kiran ‘kan udah mau tamat … katanya nanti Ibu mau belikan baju baru buat lebaran kan, ya?” Pertanyaannya gadis kecilnya membuat Cahaya bergeming, tetapi dia berusaha tersenyum demi menutupi kegundahan hatinya. Sepasang bola beningnya terasa berkabut ketika melihat jemari mungil itu lincah memilah pakaian-pakaian yang sebetulnya semuanya sama, lusuh dan kusam.

“Hmmm … tapi kalau Ibu belum punya uang, Kiran bisa, kok, pakai baju lama saja gak apa-apa. Tuh yang ini saja masih bagus. Hmmm … cantik mana, Bu? Yang ini atau yang ini?” Kiran menunjukkan dua gamis lusuh itu padanya. Senyumnya tetap riang, wajahnya tampak tanpa beban. Rasa bersalah semakin menguar. Cahaya bahkan lupa kapan terakhir membelikan baju baru untuk Kirana, sudah lama sekali rasanya, bahkan baju-baju gamis yang dipakai putrinya sudah terlihat menggantung di atas mata kaki semua.

Tak terasa air mata Cahaya menetes. Namun lekas dia menengadah ke atas mengalihkan pandang pada cicak yang kebetulan sedang berlari mengejar nyamuk di plafon sana.

“Semoga Ibu ada rejeki ya, Kiran ... Nanti Ibu belikan baju yang baru! Semua itu sudah kecil-kecil. Maafin Ibu, ya.” tukasnya setelah suasana hatinya sedikit stabil. Cahaya memaksa bibirnya untuk tersenyum.

Cahaya tak mau Kirana sedih ketika melihatnya malah menangis meski sebetulnya hatinya pun teriris. Bukan tak ingin membelikan Kirana baju baru, tapi keuangannya yang memang tak memungkinkannya. Semenjak usaha Mas Baska collaps, semua menunjukkan wajah aslinya. Jika dulu ketika dia berjaya, tetangga saja mengaku saudara, tetapi ketika dia jatuh miskin, suadara saja tak ada yang mau mengakuinya. Benar jika harta itu titipan, ketika yang punya mengambil-Nya, maka dari puncak keberjayaan bisa jadi langsung terjun pada jurang kemiskinan terdalam. Benar jika harta itu ujian, Cahaya dan Baskara dulu telah gagal melewati ujian kaya, kini diuji dengan serba kekurangan.

“Wahhh … Bener, Bu? Horeee … asiiikkk ….” Kirana melompat-lompat riang sambil tersenyum. Lesung pipinya tampak membuat dekikan manis pada kedua pipinya.

“Iya … semangat pokoknya tamatkan puasanya, ya, Kiran.” Cahaya mengulas senyum lalu mengusap rambut ikal Kirana yang mengembang.

Lebaran tinggal tiga hari lagi. Uang THR dari majikan cuci setrikanya tidak seberapa, itu pun sudah dibelikannya beras dan lauk pauk untuk shahur dan berbuka. Mas Baska---suaminya yang kerja di rantau ternyata tak bisa pulang.

Keesokan harinya, mau tak mau akhirnya Cahaya pun menebalkan muka berkunjung ke rumah kakak dari suaminya yang memang ekonominya berkecukupan.

“Mbak, aku mau pinjam uang dulu, aku sudah janji mau beliin baju lebaran buat Kiran tapi ternyata Mas Baska sepertinya gak pulang lagi.” ujar Cahaya seraya terpaksa menebalkan muka.

“Pinjam, pinjam mulu … yang minggu lalu kapan mau dibayar?” ucap Fatma dengan sinis.

Cahaya menelan saliva. Dia berusaha tersenyum meski rasanya sudah seperti tak punya harga diri saja.

“Setelah lebaran nanti aku janji, Insya Allah bakal ganti uangnya, Mbak! Aku akan coba jualan juga, Mbak. Lima puluh ribu memang gak besar, Mbak … tapi sekarang aku beneran lagi gak ada!” Cahaya berusaha menguatkan diri untuk tak menangis.

“Ya udah, nih Mbak pinjemin buat beli baju Kiran … tapi tolong itu cuciin pakaian Mbak sudah seminggu gak sempet nyuci! Terus masak dulu juga, abis itu sekalian bantu beresin rumah sama mandiin Siska … lagi lemes banget hari ini badan Mbak! ” ujar Fatma seraya bersandar pada sofa empuknya. Diam-diam, satu sudut bibirnya tersenyum miring. Ada raut bahagia tersirat dari gurat wajahnya melihat adik iparnya tampak begitu kesusahan.

“Alhamdulilah … makasih, Mbak.” Sepasang netra bening Cahaya mengembun. Dia bergegas menuju dapur luas milik Fatma dan mengerjakan yang disuruh oleh kakak iparnya.

Satu bak penuh cucian dikerjakannya dengan semangat. Setelah itu Aya dengan cekatan membersihkan rumah dua lantai itu dengan telaten, sesekali senyum pada bibirnya mengembang mengingat sebentar lagi akan dapat uang untuk membelikan Kiran baju lebaran. Tidak lupa dia memasak untuk mereka sebelum pulang dan memandikan Siska juga.

“Nih, uangnya! Habis lebaran ganti sekalian sama yang lima puluh ribu, ya!” ujarnya sambil menyerahkan uang dua lembar seratus ribuan pada Cahaya.

“Alhamdulilah … makasih banyak, Mbak.” Lagi-lagi sepasang netra Cahaya mengembun. Ada titik bahagia yang tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Wajah cahaya berbinar. Lelah dan capek yang dia rasakan perlahan memudar. Cahaya bergegas pulang, menyusuri jalananan yang berjarak hampir satu kilometer itu lalu dia pun mampir di toko pakaian.

Sudah lama sekali dia tak mampir ke toko pakaian seperti ini. Mungkin satu tahun lalu dia pernah ke sini, sebelum lebaran juga. Perlahan dilihat-lihatnya baju-baju gamis anak yang berderet di sana. Uang dua ratus ribu sudah aman di sakunya. Cahaya berjalan kikuk, beberapa orang tampak begitu sibuk memilih-milih dan mengambil beberapa set untuk. Namun tidak dengan Cahaya, dia hanya berani memegang satu atau dua baju yang menarik perhatiannya, tetapi yang pertama dilakukan adalah mengecheck bandrol harga yang tertempel di sana.

“Duh, kok mahal-mahal, ya?”

“Hmmm … yang ini, uangku gak cukup. Yang ini murah, sih, tapi bahannya panas.”

“Siang, Bunda! Lagi cari baju anak, ya? Silakan dipilih, Bunda. Ini yang model gini yang lagi musim, bahannya adem Bunda, gamis import. Laris banget ini, Bunda. Tuh yang lain pada ngambil banyak, Bunda.” Seorang penjaga toko mengambilkuan dua set gamis. Warnanya merah hati, motif bunga dengan rempel miring dan renda bawah. Cantik sekali dan memang benar bahannya tampak jatuh dan terlihat adem.

Cahaya memandang baju itu. Cantik, itu yang terlintas dalam benaknya. Sepertinya memang sangat cocok dengan Kirana yang usianya baru hendak menginjak enam tahun saat ini.

“Itu mahal gak, ya?” batin Cahaya. Bahkan bibirnya kelu untuk sekadar bertanya. Secara uang dua ratus ribu rupiah itu mau dia alokasikan untuk membeli beras dan lauk buat lebaran juga.

“Ini dijual murah, Bunda … hanya dua ratus lima puluh ribu saja, boleh kurang.” Senyum penjaga toko itu tak serta merta membuat dunia jadi indah. Cahaya menggeleng dan mengulangkan tangan.

“Wah, enggak deh, Mbak. Rupanya bagus juga ya harganya. Sayang uangnya enggak cukup. Saya cari yang seratus ribuan saja, Mbak.” Meski malu, Cahaya akhirnya berkata jujur.

“Oh gitu ya, Bunda. Oke gak apa-apa. Yang seratus ribuan ada juga kok, Bunda. Tuh yang di sebelah sana!”Gadis penjaga toko itu menunjukkan tumpukkan gamis yang tampak diobral di sebelah luar. Cahaya mengikuti arah telunjuk penjaga toko itu dan mengangguk mengucapkan terima kasih. Dia baru hendak bergerak ke sana ketika suara bariton yang rasanya tak asing menarik perhatiannya.

“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
disaat kita ndak punya uang orang akan meremehkan kita cahaya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 54 - End

    Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 53

    Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 52

    “Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 51

    Enam bulan berlalu dari saat tragedi penyekapan Mbak Fiska. Semua sudah hidup normal kembali sesuai porsinya. Perusahaan dagang milik Mas Baska yang join venture dengan Pak Martadinata sudah stabil. Hal itu juga yang menjadikan alasan Karina memutuskan untuk mengganti agency. Lagi pula kontrak dengan perusahaan konslutan dan pajak milik Mbak Nency sudah selesai. Karina tak mau lagi diperpanjang. Alasannya, perusahaan mereka sudah stabil dan ada sendiri orang pajak internal. “Kita masih butuh konsultan pajak, Rin.” Mas Baska menatap draft kontrak kerja sama yang Mbak Nency ajukan kembali kemarin. “Konsultan masih banyak, Mas. Hanya butuh advise sekarang ini, bukan pekerjaan harian.” Karina menjawab judes. Bahkan dia tak segan merobek kertas-kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. “Tim Nency kerjanya bagus. Apa ada alasan yang lebih masuk akal selain perusahaan sudah settel?” Mas Baska menatap Karina. Gadis itu benar-benar keras kepala. “Yup, betul dia nagus, tapi kita membayar

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 50

    Mbak Fiska sudah berada di rumah sakit setempat sekarang. Yang pertama dilihatnya ketika matanya terbuka adalah Cahaya. Perempuan yang sepenuh hati dibenci, justru menjadi penyelamatnya dikala sedang seperti ini. Air matanya tiba-tiba menetes, lalu beralih isak.“Alhamdulilah, Mbak sudah sadar?” Cahaya mendekat dan menatap wajah tirus dan kusam yang terbaring lemah itu. Hanya anggukkan dari kepala Mbak Fiska yang menjawab. Dia menatap dengan sorot mata lemah.“Baska mana?” Suara serak Mbak Fiska terdengar. “Mas Baska lagi nganterin Kiran dulu. Kasihan ikut tidur di sini. Mas Baska titip di tempat Karina, Mbak.” Cahaya menjawab sambil tersenyum. Memang pernah sakit hati, pernah kesal, pernah benci. Namun, tak menghalanginya untuk berbuat baik. Seburuk apapun Mbak Fiska, dia adalah kakak dari suami yang dicintainya, Mas Baska. “Maafin, Mbak … Mbak sudah salah menilai kamu. Maafin, Mbak ….” Dia terisak lagi. Cahaya duduk dan menggenggam jemarinya lalu menatap lekat pada pupil hitam Mb

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 49

    Mas Fajri tersenyum lebar ketika akhirnya CCTV yang ada di villa berhasil diretasnya. Kini dia kembali fokus pada tujuan utama yaitu meretas sistem perusahaan Mas Baska. Hanya saja pikirannya kini jadi bercabang dengan menghilangnya Mbak Fiska. “Kamu itu kenapa jadi biang masalah sih, Fiska?” Mas Fajri mengacak kesal rambutnya. Dia pun bangun lalu mengambil air mineral dingin dari dalam lemari es yang ada di apartemen barunya. Ponselnya berkedip-kedip, ada panggilan dari Rena. Namun mood Mas Fajri telanjur rusak dan berantakan sehingga panggilan itu pun dia abaikan. Dia pun kesal juga karena Rena hanya omong kosong doang untuk bisa mendekati Mas Baska. “Apa aku lapor polisi saja, ya? Bilang kalau istriku hilang. Hmmm … tapi nanti buat berita acaranya gimana, ya? Hmmm … tapi ini terlalu berisiko. Sepertinya aku lihat sikon saja, tinggal korbankan Enjam jika pada akhirnya ada yang membuat laporan ke polisi. Semoga saja Fiska bisa segera ditemukan oleh Enjam dan diamankan.” Mas Fajri

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 48

    Tiba-tiba Bang Fajar menoleh. Dia menyipitkan mata dan menelisik wajah Karina.“Hmmm … aku jadi curiga, orang yang paling usil di sini ‘kan kamu? Jangan-jangan akun bodong itu kamu, ya?” “Sembarangan ya kalau nuduh! Emangnya aku orang gak ada kerjaan?” Karina mencebik. Padahal tuduhan Bang Fajar memang benar. Namun Bang Fajar tak menjawab, hanya terkekeh saja. “Bang kok jalannya lurus terus, sih? Kapan beloknya?” Karina kembali membuka suara setelah hening beberapa saat. “Belok ke mana, sih, Rin? Jalannya kan emang cuma ini, kok. Kalau ke rumah sakit itu kan memang jalan yang ini yang lurus."“Ya kali, Abang mau belok dulu ke hati aku.” Karina terkekeh seraya terus memutar CCTV dan memperhatikan dengan seksama menit demi menit yang terlewati. Pada pukul 00.30 tampak sudah ada pergerakkan. Dari kamera depan, terlihat Enjam masih memantau sekitar. Waktu itu, baru saja acara barbeque mereka bubar. “Bang, ini download dari jam berapa?” tanya Karina. “Dari mulai terlihat ada pergerak

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 47

    Mas Baska menatap wajah yang penuh senyuman sumringah di depannya. Cahaya terlihat makin hari makin cantik saja. “Ini, mau lagi?” Mas Baska menyodorkan pisang goreng yang dibuat spesial olehnya untuk sarapan mereka pagi itu di villa. Semalam tidur sangat nyenyak setelah berpetualang mengukir kebahagiaan di antara keduanya. “Sudah, Mas. Sudah cukup.” Cahaya menolak piring yang diangsurkan Mas Baska. “Kok dikit, sih, makannya, Dek? Jangan khawatir lagi, uang Mas sekarang sudah banyak,” kekeh Mas Baska seraya bercanda. “Makin uang kamu banyak, aku malah makin takut, Mas. Aku takut jadi gendut nanti kalau makan terus. Nanti kamu nyari lagi yang langsing,” tukas Cahaya sambil terkekeh. Padahal memang dirinya sudah kenyang. Kebiasaan makan seadanya selama empat tahun ditinggalkan, membuatnya terbiasa, sampai sekarang. “Astaghfirulloh, Dek. Emangnya Mas ada muka-muka player, gitu?” Mas Baska kaget mendengar penuturan Cahaya. Istrinya itu terkekeh sambil melirik manja. “Enggak, kok, Mas

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 45

    “Kalau gitu, aku mau nembak beneran, deh! Abang mau gak jadi suami aku?!” Ucapan Karina yang spontan sontak membuat Jodi, Irfan dan Bang Fajar yang hendak masuk ke dalam berhenti dan menoleh serampak. Karina memasang wajah imut dengan mata berkedip-kedip sambil menunggu respon dari lelaki yang batu saja di tembaknya. Namun, hanya bertahan beberapa detik, ketiga lelaki itu pun malah tergelak. “Astagaaa, Rin! Rin! Harga diri lo setipis rempeyek. Masa cewek nembak duluan!” Jodi yang terkekeh hanya menggeleng kepala. Lalu ketiganya pun masuk dan mengabaikan kalimat tembakkan Karina untuk Bang Fajar yang meluncur begitu saja. “Karina mendengus, memang dikira lucu kali, ya? Padahal aku sudah gadein tuh rasa malu ke pegadaian demi Bang Fajar. Dasar cowok!”omelnya sambil berjalan dengan bibir mengerucut lalu masuk ke dalam ruangan. Deg!Ada rasa panas tiba-tiba menyergap ketika tampak Mbak Nency tengah menyodorkan segelas teh leci pada Bang Fajar. Lelaki itu pun menerima dengan sumringah,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status