Ayra Putri Diandra, putri sulung dari keluarga Diandra, keluarga konglomerat nomer satu di kota Lumia, memutuskan menikah muda dengan Revan Adiguna, kekasih yang hanya 1 tahun menjalani hubungan dengannya. Ternyata kehidupan rumah tangga yang dijalani Ayra tidak semanis janji Revan saat merayunya. Revan ternyata seorang laki-laki pemalas dan kasar yang suka mabuk dan bermain judi online. 10 tahun Ayra selalu menutupi kesalahan suaminya dengan alasan cinta dan bertahan untuk kedua anak mereka. Sampai pada akhirnya Ayra tau bahwa ternyata Revan juga berani bermain api dengan mantan kekasihnya. Ayra memutuskan pergi meski dengan berat hati dia meninggalkan kedua anaknya yang ditahan oleh Revan dan tidak boleh bertemu dengannya.
View More"Sayang, aku kangen. Jadi ketemu kan hari ini?" sebuah pesan dari kontak bernama RD.
Ayra membaca sekali lagi notifikasi pesan di layar ponsel yang masih terkunci milik Revan, suaminya. Tubuhnya menegang, dia tak memegang benda pipih itu, hanya tak sengaja melihat layar yang tiba-tiba menyala karena sebuah notifikasi saat dirinya membersihkan barang-barang yang berserakan. Layar menggelap bersamaan dengan khawatir yang dirasakan Ayra. Rasa penasaran mulai menyelimuti pikirannya. Tapi dia tidak akan bertanya dengan blak-blakan pada suaminya. Beberapa detik kemudian, Revan muncul dari balik pintu kamar dengan rambut yang basah. Handuk menyelimuti tubuh bagian bawahnya. Wajahnya terlihat segar khas orang baru selesai mandi. Ayra langsung bersikap biasa saja dan melanjutkan kesibukannya. Revan mengambil ponselnya dan duduk di tepi ranjang. Dia mulai sibuk mengetik sesuatu di sana. Ayra mengamati ekspresi suaminya dengan seksama, dan dia tahu ada senyum sangat samar disana. "Mana bajuku? Aku mau keluar, lagi ada urusan," tanya Revan sambil meletakkan ponselnya kembali ke atas ranjang. "Mau kemana mas? Ada yang nawarin kerja?" tanya Ayra sambil berjalan ke arah lemari mengambil baju yang diminta oleh Revan. Sudah 3 tahun terakhir Revan memang tidak bekerja setelah PT tempatnya bekerja tutup dengan alasan pailit. Dan selama itu Revan hanya di rumah, bermalas-malasan dan mengandalkan gaji Ayra yang bekerja sebagai accounting officer di sebuah hotel ternama di kota Lumia. "Bukan. Urusan sama temen lama. Eh, minta uang bensin sama kopi ya." Revan langsung memakai baju yang diberikan oleh Ayra. "Jangan nongkrong-nongkrong gak jelas mas. Mending nyari info kerjaan." "Ah berisik. Gak usah kamu suruh aku juga udah nanya sana-sini, tapi ya emang belum nemu aja. Aku juga bosen dirumah terus, kamu kan lagi libur, giliran lah aku yang refreshing, kamu yang jaga rumah sama anak-anak." "Tapi tiap hari aku pergi keluar juga bukan seneng-seneng mas, aku kerja." "Trus kenapa? Kamu mau bilang kamu kerja aku enggak? Kamu yang nyari uang sedang aku di rumah aja? Kamu capek aku enggak? Gimana pun aku ini suamimu ya, mau setinggi apapun jabatan sama gaji kamu, kamu tetep harus tunduk sama aku. Paham?" Revan menunjuk tepat di depan muka Ayra. "Iya, paham, Mas." Ayra tidak mau melanjutkan debat, dia sudah sangat hafal dengan watak suaminya. Lebih baik diam untuk menghindari pertengkaran yang panjang. Pernah Ayra membantu mencarikan pekerjaan, tetapi Revan menolak dengan alasan tidak cocok dengan bidangnya. Pernah juga Ayra mendaftarkan di sebuah aplikasi ojek online, tapi setelah resmi diterima, Revan hanya mengaktifkan aplikasinya selama 2 hari. Selanjutnya aplikasi itu tidak pernah dipakainya lagi. "Sudah, aku mau berangkat. Mana uangnya?" Revan benar-benar meminta uang. "Berapa mas?" "500 ribu. Cepat!" Revan mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka Ayra dengan tidak sabar. "Hah? Banyak banget mas." Ayra kaget mendengar jumlah uang yang diminta oleh Revan. "Ya buat makan, bensin, rokok sama jajan yang lain juga. Namanya juga nongkrong sama temen." "Gak ada, Mas. Aku cuma megang 200 ribu. Itu juga mau buat belanja keperluan dapur sebentar lagi." Ayra mencoba membuka dompetnya perlahan. Dengan gesit Revan merebutnya dan mengeluarkan isinya dengan tergesa. Dia mengambil semua uang yang ada di dalamnya tanpa tersisa lalu melemparkan dompet kosong itu ke wajah Ayra. "Jangan diambil semua, Mas. Mungkin anak-anak juga minta beli sesuatu." Ayra memungut dompet yang sudah terjatuh di lantai sambil mengelus hidungnya yang sedikit nyeri. "Banyak omong." Revan berlalu meninggalkan kamar dan segera mengambil kunci motor dan helm. Dia langsung keluar dan menggas motornya melesat pergi dari rumah. Ayra mengambil ponselnya dengan segera lalu membuka sebuah aplikasi yang terhubung dengan ponsel Revan. Dia melacak kemana suaminya pergi. Aplikasi ini sudah lama dia simpan di ponselnya, tapi sangat jarang dipakai. Sambil terus menghidupkan aplikasi, Ayra mengambil makan untuk kedua anaknya dan menyuapi mereka. Matanya sesekali melirik ke arah ponselnya yang menunjukkan sebuah titik merah yang terus bergerak. Titik itu adalah lokasi akurat dari suaminya saat ini. Sekitar 15 menit kemudian titik merah itu berhenti bersamaan dengan kegiatan Ayra menyuapi kedua anaknya. Ayra menyipitkan mata membaca area lokasinya. Sebuah komplek perumahan. Dia memperbesar layar menggunakan dua jarinya. Blok L. ----- Ayra mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia sudah memasuki gerbang perumahan dimana Revan berada. Sambil terus melirik ke arah ponselnya untuk mengikuti titik lokasi suaminya, dia memperhatikan dengan seksama area perumahan yang dilewatinya. Perumahan biasa, tidak tergolong elit menurutnya. Tadi selesai menyuapi kedua anaknya, Ayra langsung bergegas pergi karena rasa penasaran atas apa yang sedang dilakukan Revan. Dia tidak pernah senekat ini sampai tadi membaca sendiri pesan mencurigakan di ponsel suaminya. Dia harus melihat dan membuktikan sendiri untuk melegakan hatinya. Kedua anaknya diajak serta karena dia tidak punya pilihan mau dititipkan kemana. Sampailah Ayra di area blok L. Titik lokasi Revan juga semakin dekat. Ayra semakin memelankan laju mobilnya sambil terus menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan motor suaminya. Dan akhirnya dia melihat motor milik Revan sedang terparkir di garasi sebuah rumah berlantai dua dengan cat tembok warna biru muda. Rumah nomor L20. Ayra mencari tempat yang aman untuk memarkirkan mobilnya. Berjarak 2 rumah setelahnya ada sebuah lapangan bulu tangkis yang sedang kosong. Ayra menepikan mobilnya di sana dan menasehati kedua anaknya untuk menunggu sebentar di dalam mobil. Ayra segera turun dari mobil dan melangkah cepat ke arah rumah biru muda tersebut. Sesampainya di depan pagar, Ayra memperlambat jalannya. Mengamati rumah tersebut cukup bagus dan besar meski tidak sebesar rumah orang tuanya. Dia masuk dengan sangat perlahan dan sengaja tidak mengucap salam. Dia terus melangkah masuk hingga ke teras dan melihat alas kaki suaminya di depan pintu. Pintu terbuka setengah dan terdengar sayup-sayup orang sedang mengobrol. Ayra terus mendekat dan mulai mendengarkan obrolan orang-orang di dalam. Ayra tidak tahu ada berapa orang di ruang tamu rumah tersebut, tapi mendengar suara laki-laki dan perempuan. "Kita dulu pacaran sampai 7 tahun, aku juga udah pernah hamil sama kamu. Tapi kenapa sih kamu malah nikah sama Ayra itu." Deg. Ayra siapa yang sedang dibicarakan? "Keluargaku kan gak ada yang setuju sama hubungan kita. Waktu pacaran sama Ayra, keluargaku langsung suka. Apalagi tau keluarga Ayra itu kaya raya. Dia juga pinter ngambil hati orang tuaku." Itu suara Revan. Ayra sangat mengenali suara laki-laki yang sudah hidup bersamanya selama 10 tahun itu. "Jadi dia lebih baik dari aku?" "Enggak, Sayang. Kamu lebih cantik dan seksi. Meski sudah lama menikah sama Ayra, begitu kamu datang lagi, duniaku langsung beralih ke kamu lagi. Aku langsung ingat kenangan-kenangan kita dulu." "Kamu kangen sama aku?" "Kangen dong, Sayang. Buktinya sekarang aku datang nemuin kamu. Ayok ah kita kangen-kangenan. Udah gak sabar aku daritadi lihat badan kamu yang makin seksi ini." "Sayang, kita udah 4 bulan balikan. Kamu cepat ceraikan saja Ayra itu. Aku capek nunggu. Capek sembunyi-sembunyi kayak gini." "Iya, Sayang, aku cari alasan dulu buat cerai sama dia. Biar kita bisa sama-sama lagi. Sekarang ayok kita senang-senang dulu." Deg. Ayra memegangi dadanya yang berdegup kencang. Kepalanya serasa dipukul godam besar. Setelahnya dia mendengar suara jeritan manja dari perempuan itu. Dia berjalan menjauh dari pintu karena merasa jijik dengan apa yang didengarnya. Sambil tetap memegangi dadanya, Ayra terus mengucap istighfar, berkali-kali menghirup dan menghembuskan nafas dengan cepat. Paru-parunya butuh oksigen lebih banyak agar otaknya bisa berpikir dengan jernih.Abrar tertegun mendengar kalimat Ayra. Matanya dipenuhi embun yang siap menetes kapan saja. Namun dia melihat tak ada keraguan dalam raut wajah perempuan di hadapannya itu. Jadi keputusan yang sudah terucap, jelas sudah dipikirkan selama beberapa jam saat Ayra menghilang. Abrar menunduk menyembunyikan tetesan air mata yang lolos meluncur di permukaan pipi. Punggung tangannya menghapus jejak tersebut dengan tergesa. Hilang sudah harapannya. Habis sudah kesempatannya.Ayra. Wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya, hanya bisa dia miliki dalam waktu sekejap saja. Wanita yang posisi di hati belum pernah tergoyah setelah sekian lama, justru kecewa karena sikapnya. Abrar merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Menjadi orang yang sangat rugi dan tidak berguna. Kebohongan kecil yang dia pikir hanya untuk sementara, namun ternyata begitu fatal untuk Ayra yang memang mempunyai bekas luka yang masih basah. Iya. Dia lupa. Ayra mempunyai bekas luka yang teramat besar dan dalam. Ayra memp
Jam tujuh malam Ayra baru terbangun dari tidurnya. Dia melihat langit-langit kamar hotel yang dia tempati. Saat menoleh ke arah jendela dan tau langit di luar telah gelap, dia teringat dengan Arzha dan Zetha. Ayra duduk dan meraih tas jinjing yang ia letakkan di atas nakas. Dia mencari ponselnya. Dia telah membisukan ponsel tersebut sejak masuk ke dalam hotel. Ternyata sudah ada puluhan pesan dan panggilan masuk.Ayra memilih untuk menelepon nomor mamanya. Tak menunggu lama, panggilan tersebut langsung tersambung."Halo ma, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ya Allah kamu dimana, Nak? Semua orang lagi khawatir dan cariin kamu. Kenapa sampai malam begini belum pulang?" Bu Yasmin langsung mengomel karena khawatir. "Ayra. Kamu dimana, Nak? Kamu baik-baik aja?" kali ini suara Pak Surya juga terdengar sangat khawatir. "Aku baik-baik aja kok, Ma, Pa. Maaf ya udah buat mama dan papa khawatir. Aku ketiduran." Ayra merasa bersalah setelah mendengar kekhawatiran kedua orang tuanya. "Ketid
"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik tentang nasehat nenek beberapa waktu lalu?" Nenek Wanda menatap Abrar yang telah selesai mengupas buah pir. "Aku mau semuanya mengalir saja dulu nek. Kalau memang sudah sampai pada waktunya, hal itu akan jelas akan mengarah kemana." Abrar meletakkan buah pir dan pisau kembali ke tempatnya. Dia sama sekali tidak ingin memakan itu. "Gimana kalau nenek menyarankan itu untuk Leana? Kalian saling mengenal saja dulu dengan pelan-pelan, biarkan saja mengalir. Kalau sudah sampai pada waktunya, barulah bisa memutuskan." perkataan Nenek Wanda cukup tegas. "Kamu paham betul, dengan Leana nggak akan serumit dengan Ayra. Kalau cocok, nggak ada yang perlu berkorban. Dan kalau memang nggak cocok, yasudah hanya kalian berdua yang akan sakit, tidak melibatkan yang lain. Kamu pasti paham kan apa maksud nenek?" Abrar tertegun. Dalam hatinya, dia membenarkan semua perkataan Nenek Wanda. Namun otaknya menolak untuk menuruti itu. Tanpa mereka sadari, seseorang yan
Setelah mengantar Tania masuk ke dalam mobil polisi yang akan mengantarnya kembali ke rumah sakit, Ayra dan Nesya langsung berjalan ke arah mobil masing-masing. Mereka sepakat berpisah dan melanjutkan kesibukan masing-masing. Ayra hendak pergi ke kantor. Belum tengah hari, lumayan untuk memanfaatkan waktu memeriksa laporan keuangan hari kemarin. Namun langkah mereka terhenti saat Abrar tiba-tiba menghadang tepat di hadapan Ayra. Nesya melihat suasana canggung di antara mereka berdua hingga segera memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. "Aku duluan ya beb." Nesya melirik ke arah Ayra dan Abrar secara bergantian. "I-iya beb. Hati-hati ya." Ayra menoleh dan tersenyum kikuk kepada Nesya. Dia juga merasakan hawa canggung di sekitarnya. "Oke." Nesya segera melangkah pergi menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Setelah Nesya pergi, Ayra dan Abrar kembali saling bertatapan. Abrar merasa sikap Ayra sedikit dingin kepadanya. Namun di sisi lain, dia takut perubahan sika
Hari ini jadwal persidangan kasus Tania dilaksanakan. Seorang polisi wanita menjemput Tania di kamar perawatan rumah sakit untuk membawanya ke pengadilan negeri Kota Lumia menggunakan mobil polisi.Tania sudah selesai bersiap sejak setengah jam yang lalu. Dibantu oleh suster pribadinya, Tania duduk di kursi roda hingga naik ke mobil. Suster itu juga akan menemani dan mengurus kebutuhan Tania di ruang persidangan.Sesampainya di kantor pengadilan, terlihat Nesya dan Ayra sudah menunggu Tania dengan khawatir. Tapi begitu melihat gadis itu turun dari mobil polisi, mereka berdua merasa lega dan berusaha menunjukkan wajah ceria agar membuat Tania lebih rileks. Para wartawan menyambut dan langsung mengelilingi Tania dengan rapat. Mereka sangat bersemangat mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk Tania. Untungnya, para pengawal yang sudah disiapkan oleh Abrar, dengan sigap mengatur kerumunan itu dan memasang badan agar Tania bisa masuk ke dalam area tunggu ruang sidang dengan aman. Suster me
Abrar melemparkan kembali map hitam itu ke tengah meja dengan kasar. Matanya semakin tajam menatap Leana. Dia sadar sekarang gadis licik ini tidak bisa dianggap remeh.Dari awal bertemu, Abrar sudah bisa menilai Leana dan keluarganya punya maksud tersembunyi. Namun karena mereka kenal baik dengan neneknya, Abrar mengabaikan dan memilih tidak terlalu peduli. "Apa ini? Kamu pikir aku percaya dengan lembaran kertas nggak bermutu ini?" nada bicara Abrar terdengar semakin dingin dibanding sebelumnya. "Kamu bisa cek dan tanya ke dokter yang bertanda tangan disitu. Aku yakin seorang Abrar nggak akan susah bikin orang bicara jujur." Leana tetap mempertahankan senyuman percaya dirinya. "Meskipun itu bener, lalu apa urusannya sama kamu?"Leana tidak menjawab. Dia justru mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah rekaman suara dengan volume paling keras."Nenek kenapa ke rumah sakit sendiri? Abrar kemana nek?"Itu suara Leana. "Dia lagi kerja. Aku nggak mau ganggu, dia sudah capek ngurus peru
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments