Pov : HudaHari kelima di rumah sakit, Gina sudah diizinkan untuk pulang. Ningrum pun datang diantar Mbak Sinta sekalian cek dokter kandungan.Wajah istri cantikku itu berbinar bahagia saat dokter bilang jika dia memang positif hamil. Usia kandungannya menginjak lima minggu.Pantas saja Ningrum tampak lesu dan nggak bersemangat akhir-akhir ini. Kupikir sakit, ternyata dia berbadan dua. Kembali teringat saat dia hamil Gina 11 tahun lalu, begitu kepayahan bahkan dia bilang nggak mau hamil lagi. Ningrum selalu bilang kalau cukup itu kehamilannya yang terakhir, tapi ternyata Allah menakdirkan lain. Dia harus siap dengan segala takdir yang sudah dilukiskannya."Ingat kata Dokter Alesya 'kan, Sayang?" Ningrum mengangguk pelan."Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu kecapekan. Urusan toko biar dipegang Mbak Nisa sama Mbak Arum dulu. Kamu boleh datang asal hanya mantau saja, nggak perlu ikut bantu packing-packing segala," pesanku lagi."Kalau istirahat terus capek juga, Mas. Sesekali b
Tiga hari pasca tespek itu, tetanggaku mulai berisik. Seperti biasanya julid. Julid. Julid. Seperti pagi ini. Nungguin Mang sayur sembari mengghibah ria.Kemarin mereka ghibahin Mbak Agnes dan Mas Angga. Eh sekarang aku lagi yang jadi sasaran."Kamu nggak takut, Rum?" tanya Mbak Ambar memulai obrolan."Takut kenapa sih, Mbak?""Usia hampir 35 tahun kok ya masih hamil aja. Jaraknya kejauhan sama Gina, Rum.""Nggak apa-apalah, Mbak. Ini rezeki kok, masak ditolak. Yang pengin punya momongan aja banyak loh, Mbak. Allah kasih rezekinya sekarang, jadi ya terima dengan ikhlas saja," balasku lagi sembari menyapu halaman."Iya sih rezeki, tapi umur segitu udah mulai rawan. Bulan lalu di kampung sebelah ada yang meninggal gara-gara lahiran usia 36 tahun. Anaknya hidup juga sakit-sakitan sekarang. Malah kasihan ya, nggak dirawat maksimal oleh orang tuanya," sambung Mbak Ambar lagi. Disertai anggukan yang lainnya. "Itu udah bagian dari takdir, Mbak. Hidup, mati, jodoh dan rezeki kan udah ada yan
Pov : Huda|Mas, kita mau ketemuan di mana? Di rumah Mbah Minah atau di rumahmu saja? Aku mau ke Jakarta hari ini. Kamu tunggu aku di sana, okey|Pesan dari nomor tak dikenal. Ini pasti Mayang. Mau ngapain lagi dia ke Jakarta. Sengaja mengikutiku? Berarti benar kata Ningrum waktu itu kalau Mayang memang mengikutiku sampai kampung.|Mau ngapain? Aku nggak ada waktu buat meladeni kamu. Maaf|Gegas kuambil beberapa snack dan minuman dingin dan membawanya ke kasir. Masih sibuk dengan belanjaan tiba-tiba sebuah panggilan mengagetkanku."Hai, Mas Huda. Gimana kabarnya? Baik-baik saja, kan?"Aku pun membalikkan badan. Perempuan itu benar-benar kelewatan. Saat ini pun dia mengikutiku."Mau ngapain kamu? Aku bisa melaporkanmu ke polisi jika terus meneror keluargaku.""Ohya? Apa kamu punya bukti?""Jelas ada. Kalau nggak ada, mana mungkin aku bicara.""Silakan saja kalau itu maumu. Toh nanti kamu atau Ningrum yang akan menyesal jika kalian menjebloskanku ke penjara. Papa pasti akan sangat kecew
Pov : HudaPagi-pagi sekali aku sudah keluar rumah, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju alamat yang diberikan Pak Santoso waktu itu. Alamat Mbah Minah dan Hendra di Jakarta Timur. Bisa saja aku menelpon Hendra dulu, tanya dia di rumah atau tidak. Namun aku nggak mau gegabah. Jangan sampai dia justru sembunyi atau pergi jika tahu ada seseorang yang mencarinya. Meski aku juga tak mungkin menjelaskan diriku dengan detail padanya.Lebih baik, aku langsung mencari alamatnya saja. Lagipula dengan bantuan google maps, semua jadi lebih mudah. Dia bisa mengantarku ke alamat itu. Pokonya, aku harus segera menyelesaikan masalah Ningrum.Apalagi teror Mayang semakin menjadi. Aku nggak mau Ningrum kepikiran, bahkan bisa saja dia mikir aneh-aneh karena biasanya perempuan hamil cukup sensitif dengan 'kesetiaan pasangan.'|Kamu sudah jalan, Mas? Kulihat mobilmu nggak ada di garasi. Kamu ke rumah Mbah Minah sekarang?|Sebuah pesan masuk. Aku yang baru saja memberikan oleh-oleh wingko babat un
Kupercepat langkah meninggalkan rumah Mbah Minah. Tak pernah menyangka jika yang kutemui justru orang-orang sekolot mereka. Kupikir, semua akan lebih mudah karena aku memakai jalur pendekatan dan kekeluargaan.Tak ada polisi di sini, jadi kupikir mereka cukup aman menceritakan semuanya. Lagipula aku juga sudah jelaskan berulang kali jika kedatanganku itu hanya untuk mengurai teka-teki yang selama ini tersimpan cukup rapi.Aku nggak mau Ningrum hidup dalam kebingungan, bimbang dan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Aku ingin membuatnya bahagia, karena kebahagiaannya juga bagian dari bahagiaku.Aku ingin menghapus jejak-jejak luka di hatinya, agar dia bisa merasakan dan menuliskan hari-hari bahagia sebagai istri seorang Huda Darmawangsa. Mungkin memang begini jalannya. Cukup terjal saat suami ingin membuat istri bahagia.Kubuka pintu mobil, sempat kulirik ke teras rumah bercat abu muda itu. Pak Herman tampak menatap ibunya cukup intens dan mengobrol entah apa. Aku tak lagi mendengar obr
"Hanya dua hari Tuan Izal di sana. Dia menerima telpon dari Nyonya Laila yang mengabarkan bahwa dia masuk rumah sakit. Tuan Izal bingung, tapi lagi-lagi Mira memang terlalu baik hati. Dia merelakan suaminya pergi untuk menemani istri pertamanya yang ternyata hanya membuat drama. Dia sehat, tak ada sakit sedikitpun tanda-tanda sakit dalam dirinya. Hingga akhirnya Mbah mendengar rencana busuk Nyonya pada anak Mira.""Maksudnya gimana ya, Mbah?" Jatungku seolah berhenti berdetak beberapa saat mendengar kata rencana busuk dari ibu Laila. Apa itu berarti dia yang sengaja membuang Ningrum?"Nyonya Laila cemburu karena Tuan Izal kembali menemui Mira di kampung padahal dia sudah melarang itu. Ditambah lagi dia mendengar kabar dari tangan kanannya bahwa Mira melahirkan, kebenciannya makin menjadi. Dia meminta mata-matanya itu untuk menghabisi bayi Mira. Dengan begitu Mira akan depresi dan bisa jadi gila. Nyonya berpikir, jika Mira sudah gila, nggak mungkin Tuan akan mau dengannya. Tuan pasti a
"Mas Huda, diminum dulu. Camilannya juga, Mas. Maaf seadanya," ucap Bu Sri begitu sopan. Dia menawariku teh yang hampir dingin dan pisang goreng.Aku pun menyeruput teh itu hingga beberapa teguk. Suasana masih cukup pagi, perumahan ini pun cukup ramai dengan suara anak-anak yang bermain di samping rumah. Kebetulan rumah Mbah Minah berdampingan dengan taman kecil."Semua masa lalu mertua dan istri saya sudah Mbah jelaskan. Saya ucapkan terima kasih, Mbah. Saat mendengar semua cerita ini, saya yakin Ningrum akan terluka, tapi setidaknya cerita kni akan membuat hidupnya jauh lebih tenang. Tak disesaki berbagai pertanyaan dan kebingungan. InsyaAllah lukanya tak akan lama. Saya yang akan berusaha membantu melupakan masa kelamnya."Mbah Minah manggut-manggut lalu menatapku beberapa saat."Mira anak yang shalehah. Mbah yakin, sepertinya Ningrum juga demikian. Sama-sama shalehah. Mbah lihat dari ketulusanmu, Nak. Harusnya Mbah yang bilang terima kasih karena kalian tak memperkarakan ini. Ngga
Mayangsari Zahrana. Dia nggak salah juga memperkenalkan dengan nama Sari, sebab itu memang bagian dari nama panjangnya.Namun sepertinya dia sengaja menggunakan itu untuk menyembunyikan jati dirinya. Mungkin dia mengerti cepat atau lambat aku akan mencari tahu soal ini.Mayang tersenyum tipis menatapku lalu melangkah pelan menuju teras. Tempat di mana aku berada."Hai, Mas. Dugaanku benar, kan? Kamu pasti di sini. Gimana? Sudah tahu semua tentang masa lalu ibu mertua dan istrimu?" tanya Mayang dengan nada mengejek. Entah apa maksudnya.Apa karena ibu Mira hanya sebagai istri kedua? Hingga Mayang bisa meremehkannya begitu saja? Padahal dia tak tahu bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu mertuaku itu, makanya terlihat begitu mengejek. "Aku sudah mendengar semua penjelasan Mbah Minah dan Pak Herman. Dan sejauh ini aku sangat bangga dengan segala pengorbanan ibu mertuaku, juga istriku. Memangnya kenapa, May? Ada yang salah dengan mereka hingga kamu seolah begitu menghina?" tanyaku dat