Share

Pertolongan Juan

"Gu-gue ... "

"Gue apa Nabilla?" tanya Mentari, dia gugup menunggu jawaban Nabilla.

Nabilla menggigit bibir bawahnya, dia ragu sekaligus malu jika mengatakan sudah membuat masalah dengan ketua OSIS.

"Gu-gue tumpahin susu ke seragamnya."

"SELA—"

"APA?! LO TUMPAHIN SUSU KE SERAGAMNYA?!" Suara 1000 desibel kedua cewek itu ternyata memotong sapaan seorang cowok yang baru saja naik ke panggung. Nabilla menoleh, dia mendapati ketua OSIS tengah menatapnya sinis. Ralat, bukan Nabilla, tapi mereka bertiga.

Mentari, Sagita, dan Nabilla menelan salivanya kasar, jantungnya berdegup kencang. Harap-harap sang ketua OSIS tidak marah dan menghukum mereka.

Aula kini penuh bisikkan, semua mata tertuju pada mereka terutama Nabilla, bahkan ada beberapa yang berjinjit demi mencari siapa yang berhasil mengalihkan perhatian.

"Tar, ini gimana?" bisik Sagita.

"Gu-gue nggak tahu, gue yakin setelah ini kita dihukum," jawab Mentari, lalu menyikut Nabilla. "Nab, ini gimana? Gue takut. Kita nggak mau kena masalah kayak lu."

Sementara Nabilla hanya menunduk, tangannya bergetar, mendongak sekilas, dia sudah mendapati ketua OSIS itu turun dari panggung dan berjalan mendekatinya.

Bisikkan pun memenuhi aula.

"Tuh cewek yang dilempar proposal tadi, kan?"

"Iya nih, sama banget kayak yang di foto."

"Baru kelas sepuluh udah berani bikin masalah, sama ketua OSIS lagi."

"Gue yakin dia cewek nakal. Pasti lagi cari perhatian."

"Mentang-mentang ketua OSIS-nya ganteng, modusnya sampai tumpahin susu segala."

"Mending adek yang disamperin bang."

"DIAM!!"

Bentakan Raqa membuat aula mendadak hening, cowok itu menyisir pandangan dengan sinisnya kepada seluruh peserta. Lantas saja mereka menunduk takut.

"Nabilla Shiletta," panggil Raqa. Nabilla tidak menjawab, masih menggigit bibir bawah, menunduk.

"NABILLA SHILETTA! KAMU TIDAK MENDENGAR SAYA PANGGIL?!" Suara Raqa lebih tegas.

Nabilla mendongak berderai air mata. Ia meremas roknya karena gugup. "I-iya kak."

"Kalau kamu mendengar? Kenapa tidak dijawab?"

"I-itu kak. A-anu. Sa-saya—"

"Apa?! Ngomong yang benar? Apa kamu punya penyakit lidah?!"

Nabilla tercekat, sentakan Raqa berhasil membuatnya meneteskan air mata, bingung menjawab apa Nabilla hanya terdiam tanpa suara. kini tangan Raqa perlahan menaikkan rahang gadis itu. Hingga pandangan mereka bertemu.

"Kamu speechless?"

Nabilla mengangguk, air matanya kembali menetes, apalagi tatapan tajam Raqa seolah menghunus matanya.

"A-aku takut kak," lirih Nabilla.

Raqa tersenyum kecut, namun jelas tergambarkan jika senyum itu penuh emosi.

"Kamu takut saya marah atau saya hukum, hm?"

"Du-dua-duanya kak. Nabilla takut dihukum apalagi dimarahi sama kakak," Nabilla menjawab lirih.

"Kalo begitu, kenapa kamu tetap membuat masalah dengan saya? Pertama, kamu menumpahkan susu di seragam saya, kedua, kamu berani-berani bergosip ketika saya sudah berada di panggung. Kamu tidak tahu aturan? Anggota OSIS meminta kamu merapikan barisan, bukan malah menggosip," jelas Raqa, Nabilla menatap ke bawah.

"Tapi kak, kami juga menggosip," sela Mentari memberanikan diri. "Kakak bisa menghukum kami juga."

"I-iya kak," tambah Sagita. "Kita bedua siap dihukum kok."

"Kalian—"

"Udah Nab, nggak papa, lagian ini juga salah kita ngomongnya kelepasan," sahut Mentari lalu menatap Raqa. "Hukum kita juga kak."

Raqa menaikkan alis lalu tersenyum puas, Nabilla yang tadinya menunduk kini menatap dengan kernyitan dalam cowok itu. Mengapa tiba-tiba Raqa bisa tersenyum, padahal ia baru saja emosi berat tadi?

Nih cogan labil banget ah, batin Nabilla.

"Bagus, saya juga menantikan kesadaran kalian, kalau begitu kalian saya hukum keliling lapangan sepuluh kali!" ucap Raqa, Sagita maupun Mentari saling melongo.

"Dan kamu Nabilla, sekarang ikut saya."

"Tapi kak--"

Belum sempat melanjutkan ucapannya Raqa lebih dulu menarik tangan Nabilla menuju suatu tempat, entah dimana. Ragil selaku MC di panggung sana menetralkan suasana aula dengan suaranya.

"BAIKLAH. KITA LUPAKAN SAJA MASALAH KETUA OSIS. KALIAN BISA ISTIRAHAT SEBENTAR."

***

Langkah lebar Raqa berhenti di suatu tempat lumayan luas, hamparan rumput dan bunga-bunga menjadi penyejuk mata memandang. Nabilla yang tadinya kebingungan kini terkagum-kagum melihat berbagai jenis bunga tertanam di sana.

"Cantik banget," ucap Nabilla gemas.

Raqa menatap wajah Nabilla dari samping, lho, bukannya tadi gadis itu menangis, dan sekarang semudah itu ia tertawa hanya dengan melihat hamparan bunga berwarna-warni?

"Nabilla lukis ah. Kata mama, lukis itu paling enak ada wujudnya langsung." Nabilla mengeluarkan lipatan kertas dari saku roknya, lalu satu pensil dari saku seragamnya. "Pertama, Nabilla mau lukis bunga anggrek dulu deh, ih bagus banget."

Raqa melongo, sejenak ia merasa kehadirannya tidak dianggap, Raqa merebut secarik kertas dari tangan Nabilla dan merobeknya.

"Eh kak, kok dirobek? Nabilla belum selesai lukis." Nabilla berusaha merebut kertasnya.

"Memangnya saya menyuruh kamu melukis?"

Nabilla menggeleng.

"Lalu kenapa kamu melukis? Saya membawa kamu ke sini untuk melaksanakan hukuman, bukan melukis "

Nabilla menunduk, mulai menangis.

Raqa membuang sobekkan kertas itu ke tempat sampah terdekat, lalu dia menarik tangan Nabilla mendekati rerumputan yang sebat.

Nabilla gugup luar biasa, bukan karena takut, melainkan tangannya yang berada dalam genggaman Raqa. Oh my God! Ini kali kedua Nabilla berurusan dengan manusia bernama Raqa setelah kejadian pagi tadi sukses membuatnya kelimpungan.

"Ki-kita mau ngapain kak?" tanya Nabilla.

"Cabut?"

"Hah? Cabut? Pergi maksudnya?"

"Rumput."

Nabilla menggaruk kepalanya bingung. Ini cogan kenapa coba ngomongnya setengah-setengah? Batin Nabilla.

"Cabut? Rumput? Oh, kakak mau ngasih aku hukuman nyabutin rumput?" Raqa mengangguk.

Nabilla terkekeh pelan, pandangannya menyisir sekitar, tak lama ia menemukan mesin pemotong rumput tengah pengangguran di sisi taman. Nabilla tersenyum puas, niatnya mau ngambil mesin rumput itu namun Raqa cepat menahan tangannya.

Nabilla menatap Raqa dengan kernyitan, duh, lagi-lagi jantungnya berdegup tidak karuan.

"Saya tidak menyuruh kamu menggunakan mesin rumput, Nabilla." Mata Nabilla membulat. "Te-terus pake apa?"

"Tangan."

"Hah? Tangan? Kakak nggak salah, aku cabutin rumput kak, bukan uban. Uban aja nyabutnya pakai pinset. Masa rumput segede gini pakai tangan? Kakak--"

"Berisik! Saya tidak suka mendengar kamu berceloteh. Cepat lakukan apa yang saya perintahkan!"

Nabilla mendengus keras, pasrah, ia tidak berani jika berhadapan dengan tatapan tajam milik Raqa.

"Yang benar aja ih, masa disuruh nyabutin rumput pake tangan, mana rumputnya tinggi banget lagi," kesal Nabilla.

Seolah tidak peduli, Raqa pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Dan di saat-saat seperti inilah jiwa cengeng Nabilla keluar. Sambil mencabuti rumputnya, Nabilla terisak.

"Bunda! Huwaaaaa, bunda Nabilla takut, hiks. Damar dimana sih?! Kenapa pingsannya lama banget?"

Nabilla menyeka ingusnya, mencabuti rumput seperti ini membuat tangannya sakit dan memerah, alhasil pantatnya mendarat mulus di tanah sebab tidak sanggup mencabut rumputnya yang terlampau kuat tertanam di tanah.

Dan bruk!

"Aduh!!"

"Lo nggak papa?"

Nabilla menoleh berderai air mata, dia mendapati cowok tinggi dengan jaket almamater maroon mengulurkan tangan, niat membantu. Tanpa membuang waktu lagi ia mengangguk, sesegera mungkin cowok tadi membantu Nabilla berdiri.

"Makasih," ucap Nabilla seraya menepuk pantatnya, takut kotor.

"No problem. Lo ngapain sendirian di sini?"

Nabilla menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab, dia meneliti cowok itu dari atas ke bawah, dari penampilannya, Nabilla yakin cowok itu termasuk dalam anggota OSIS.

"Aku lagi dihukum kak," jujur Nabilla.

"Dihukum? Sendirian? Di sini?"

Nabilla mengangguk. "Iya. Kak Raqa yang hukum aku, dia minta aku cabutin rumput sepanjang ini pake tangan," kata Nabilla. "Rasanya sakit, tangan aku sampai merah gini."

"Mana sini gue liat." Cowok yang tidak lain adalah Juan itu meraih telapak tangan Nabilla. "Masya Allah, tangan lo banyak goresan gini, kayak hati gue, Raqa emang keterlaluan dah. Kenapa lo nggak pakai aja mesin rumput di pojok sana?"

Nabilla terkekeh. "Kak Raqa ngelarang, dia maunya aku pakai tangan."

Juan berdecak, ia tak habis pikir dengan pemikiran Raqa. Dari dulu, cowok itu memang semaunya.

"Kasihan, kalau gitu, lo break dulu nyabutinnya. Tangan lo bisa infeksi kalau nggak diobati," saran Juan.

"Enggak papa? Entar kak Raqa marah lagi."

"Enggak kok, gue jamin."

Nabilla menimbang-nimbang, tak lama kemudian ia mengangguk. "Oke kak, makasih," ucap Nabilla lalu tersenyum, hingga lesung di pipi sebelah kanannya terbentuk jelas.

Manis juga nih cewek, batin Juan memuja. Tanpa sadar ia mengusap rambut Nabilla.

Nabilla yang merasa tidak nyaman bersuara. "Kakak mau ngapain?"

"Eh, enggak ada, sorry sorry. Ngomong-ngomong kenalin gue Juan. Dari anak OSIS juga, tapi gue nggak segalak Raqa kok. Jadi, slow aja kalau ngomong sama gue."

Respon Nabilla tersenyum samar. "Oh kak Juan, aku Nabilla Shiletta kak," katanya mengulurkan tangan.

Juan menjabat tangan Nabilla, senyum lebarnya terbit, Juan menyadari jika Nabilla itu, cantik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status