"Ada apa, Dyah?" tanya Rere yang baru saja sampai, melewati ruangan Dewa dan melihat sekretaris Dewa sedang berdiri dengan raut wajah cemas. Seperti ada yang sedang di tunggunya.
Dyah mendekat dengan langkah cepat, namun begitu sampai di samping Rere yang masih berdiri di depan mejanya, Dyah hanya bisa meremas kedua tangannya sendiri. Matanya menatap Rere dengan pandangan yang berbeda.
"Ada apa? Langsung ngomong aja, jangan bikin aku ikutan panik dong, Dyah." seru Rere yang tak sabar dengan sikap Dyah yang masih takut takut kepadanya.
"Anu, Bu ... pak Dewa." Dengan sedikit tergagap Dyah menjawab.
"Ada apa dengan, Dewa?"
Dyah lebih mendekat pada Rere dan dengan suara pelan membisiki. Sesuatu di telinga Rere.
Sontak bibir Rere hanya bisa membentuk huruf 'o' kecil dengan sesekali menganggukkan kepala.
"Gimana, Bu?" Tanya Dyah lagi dengan mata mulai berkaca kaca. Dengan kedua tangan yang bertaut dan bergerak tak beraturan.
"Ten
"Nikah! Itu yang harus kamu lakukan. Kalau tidak sanggup, jauhi saja. Jangan memberikan seseorang harapan palsu, itu menyakitkan." Jawab Rere yang memasukkan sesendok nasi dan lauknya ke dalam mulut Alman.Tak ada kotak nasi yang tersisa lagi, karena Rere hanya memesan tiga bungkus saja tadi. Untuk dirinya sendiri dan kedua sekretarisnya."Tapi ...." Alman hendak menyanggah ucapan Rere, namun terhenti karena melihat perempuan di depannya sudah melotot, saat melihat mulutnya masih penuh, membuatnya hanya tersenyum sambil mengunyah makanan."Kamu tahu nggak, Man? Betapa indahnya saat nanti kita pacaran setelah menikah, semua yang awalnya dosa, akan berubah menjadi pahala dan rejeki." ujar Rere sambil memandang lekat pria pemilik mata yang sangat ia sukai."Mana aku tahu, kamu juga jangan sok tahu, deh!" Sungut Alman, yang kembali membuka mulutnya ke arah Rere."Aku tahu, Man. Banyak ustad
"Pak ...!" Dyah mencoba menahan langkah kaki Alman yang langsung menuju pintu masuk ruangan Dewa."Dewa, ada, kan?" Tanya Alman yang membalikkan badannya ke arah Dyah yang sudah berdiri di belakangnya."Ada, Tapi--"Terlambat tangan Alman sudah membuka pintu yang tak dikunci itu, dan langsung masuk ke dalam, hingga membuat Dewa yang kebetulan duduk di belakang mejanya dengan mata terpejam sontak kaget."Apakah kau keberatan, jika aku memaksa masuk?" tanya Alman saat dia sudah berdiri tepat di depan Dewa hanya terhalang sebuah meja.Dewa yang sebelumnya hanya memandang Alman, kemudian beralih pada Dyah yang ada di belakang punggung tamunya itu."Maaf ...." Ucap Dyah saat dewa menganggukkan kepala ke arahnya. Ia langsung keluar dari ruangan dengan menutup pintu."Bagaimana bisa datang tanpa memberitahu lebih dahulu?""Terpaksa kula
Alman menghentikan mobilnya di depan sebuah tempat di Kemang pinggir jalan persis. Hingga memudahkan baginya untuk memarkir mobil.Tempat tongkrongan makan anak muda dengan nama "Jambo Kupi" menjadi pilihan Alman untuk menghabiskan waktu bertiga bersama sahabatnya.Tempat ini memliki banyak ruangan outdoor, dan sepertinya bebas merokok.Sesuai dengan namanya yakni Jambo, yang berarti saung dalam bahasa Aceh, bangunan tempatnya pun berbentuk saung dari bambu.Rere yang sedang malas berdebat, membiarkan Dewa memilih saung mana yang ia sukai, dan dirinya hanya mengikuti langkah Dewa dari belakang. Meninggalkan Alman yang masih memesan makanan untuk mereka bertiga.Tepat dengan apa yang Rere pikirkan, Dewa langsung duduk di saung paling belakang dari pintu masuk. Rere memilih duduk di depan kursi dewa, mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang berad di tengah kumpulan kursi.Dewa melipat kemejanya di bagian lengan, hingga yang a
"Huk, huk!"Dewa langsung terbatuk, saat mendengar apa yang ditanyakan Alman. Tangan kanannya bergerak menutupi mulut."Ada yang salah dari pertanyaanku ya, Dew?" Ujar Alman yang mengalihkan pandangannya pada Rere yang masih asyik menikmati makannya, sembari melihat Dewa yang terbatuk-batuk."Kok nanya aku? Nanya ke orangnya langsung, biar jawabannya pasti." jawab Rere yang sepertinya tak perduli dengan apa yang Dewa alami."Ya ... elaaah, sensitif banget kamu, Dew? Cuma nanya gituan juga."Rere tak menjawab apa yang dikatakan Alman dia sibuk mengunyah kembali makanan di dalam mulutnya, namun kedua alisnya naik turun bersamaan sebagai isyarat kepada Alman."Kamu kenapa sih, Wa? Ditanya soal nikah aja sampai kesedak." Mengikuti apa yang di katakan Rere tadi, Alman bertanya langsung pada Dewa. Walau sebenarnya dia tahu penyebabnya."Nggak pa-pa sih, cuman nggak nyangka aja kalau kamu bakalan nanya masalah gituan." Dewa kembali ke m
Ada yang berbeda pagi ini di perusahaan, saat Rere menginjakkan kakinya keluar dari lift dan melangkah hendak menuju ke ruangannya.Semuanya tampak sibuk, keluar masuk, menyiapkan satu ruangan besar yang letaknya berada di samping kanan ruangan Dewa, yang katanya nanti akan dijadikan tempat pertemuan para petinggi dan pemilik saham perusahaan.Rere memilih tidak masuk ke dalam ruangannya, ia sengaja meletakkan tas yang di pundak ke atas meja milik Ina dan hanya berdiri saja di samping kursi yang diduduki oleh sekretarisnya."Kamu tadi lihat Dewa nggak, Na?""Sepertinya sudah ada di bawah, Bu. Menyambut para tamu yang akan datang, mungkin." jawab Ina yang sengaja berhenti mengetik di laptopnya hanya untuk menjawab pertanyaan dari bossnya.Tiba tiba saja mata Rere menyipit, saat pintu lift terbuka dan keluarlah, pak Bagas, Dewa dan dua orang lelaki yang keluar bersama.
"Kenapa ...?"Belum sempat Rere menjawab pertanyaan ayahnya.Dewa tiba tiba berdiri dan bergegas menuju ke luar ruangan, membuat semua mata tertuju ke arahnya."Karena aku dan Dewa mempunyai tambatan hati yang lain, Ayah.""Maksudmu, Dewa pacaran dengan orang lain, begitu? Tidak! Itu tidak mungkin Dew!" Pak Bagas yang ternyata menyimak perbincangan antara Rere dan ayahnya, ikut angkat bicara, senyumnya mengisyaratkan kalau apa yang tadi ia dengar dari Rere itu hanya kabar palsu."Kalau kau merasa keberatan, bawa calonmu hari ini juga ke rumah Om Bagas, Dewa pun harus melakukan hal yang sama, barulah pertunangan kalian akan kami pertimbangkan, bagaimana?" tantang pak Satria yang sedang menatap tajam mata putrinya.Revia langsung memalingkan mukanya dari tatapan pak Satria. Ini waktunya dia harus berkompromi dengan Dewa, karena hanya dia yang mempunyai pacar se
Terdengar pak Satria sedang menarik nafas panjang dan dalam. Membuat Rere jadi salah tingkah, karena merasa telah mengecewakan ayahnya."Kita bicarakan ini nanti, saat kita sudah berkumpul di rumah Om Bagasmu."Rere mengangguk saat mendengar keputusan yang ayahnya tadi katakan. Jujur ini adalah kali pertamanya menolak keinginan sang ayah, sebelumnya dia selalu menuruti apa yang orang tuanya inginkan.Selama perjalanan, tak ada lagi pembicaraan mengenai perjodohan, pak Satria yang paham kalau suasana hati putrinya sedang tidak enak, menggoda dengan ujaran- ujaran lucu hingga membuat Rere menyerah, dan akhirnya melupakan sejenak tentang masalahnya tadi.Mobil berhenti di sebuah rumah yang tak asing bagi Rere, sebuah rumah yang dulu kerap ia datangi bersama Alman saat awal masuk kerja.Beriringan, pak Satria dan Rere masuk ke dalam rumah yang tampaknya sengaja tak menutup pintu.
Mendengar apa yang pak Bagas dan pak Satria rundingkan, sontak mata Rere melotot ke arah Dewa yang sepertinya sengaja tak mengindahkan isyarat darinya, dengan membuang muka saat tahu arah mata Rere akan berpaling ke dirinya."Sudah, jangan membantah lagi, atau kau mau pernikahan ini dilaksanakan seminggu lagi?" Pak Satria kembali melarang, saat kebetulan menolehkan lehernya ke arah Rere dan melihat mulut putrinya itu sudah terbuka. Namun, belum bersuara."Ayaaaah ...." desis Rere jengah, karena sempat matanya melirik Dewa yang sedang tersenyum penuh kemenangan."Sudahlah keputusan kami sudah bulat, kalian hanya tinggal menjalani saja," ujar Ayah lagi, yang mendapat persetujuan dari pak Bagas dan Bu Zeza serta ibu."Ibu sudah siap, kan?" Tanya ayah, mata mereka beradu, membuat iri Rere yang melihatnya."Ibu, mau kemana?" tanya Rere, yang mengalihkan rasanya sejenak."Ayah dan ibu harus pulang hari ini, ada Mbak Santimu dan Wildan