Angin sore yang sejuk menyapu wajahku ketika aku dan Arga duduk di bangku taman sekolah yang tersembunyi itu.
Tempat yang dia bilang sebagai "tempat favoritnya" kini menjadi lokasi di mana perasaanku semakin tidak terkendali. Setelah Arga mulai menyatakan perasaannya padaku sebelumnya, perasaan antara kami seolah semakin nyata. Meskipun statusnya belum terikat dalam sebuah hubungan yang resmi. Namun, di tengah percakapan kami yang santai, takdir sepertinya ingin bermain sedikit dengan suasana. Ketika kami sedang berbicara dengan lebih intim, seseorang tiba-tiba muncul. Dina sebagai wakil ketua OSIS yang juga teman dekatnya Arga mendadak berada di hadapan kami. "Arga? Nayla?" Suara Dina terdengar mengejutkan, sehingga menciptakan suasana tiba-tiba menjadi kaku. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas saat melihat kami berdua duduk bersama di tempat tersembunyi ini. Aku bisa merasakan aliran darahku mengalir cepat. Aku segera menegakkan tubuhku berusaha terlihat biasa, meskipun hatiku mulai bergemuruh. Tatapan Dina tidak bisa disalahartikan, matanya seakan berbicara lebih banyak dari apa yang dia ucapkan. “Oh Dina,” kata Arga, suaranya berusaha terdengar normal meskipun sedikit ada getaran halus di sana. “Kebetulan aja Nayla lewat, jadi kami ngobrol di sini sebentar.” Dina menyilangkan tangan di dadanya, wajahnya tetap tidak berubah. “Kebetulan? Taman ini kan jarang ada yang tahu. Kalian sedang diskusi penting?” Aku bisa merasakan bahwa pertanyaan Dina membawa ketegangan tertentu, meskipun nadanya terdengar santai. Aku menelan ludah mencoba menguasai diriku sebelum berbicara. “Nggak kok Dina. Arga cuma ngajak ngobrol ringan aja.” Aku berharap jawaban singkat itu cukup untuk meredakan kecurigaannya, tapi Dina tetap berdiri di sana menatap kami bergantian seakan mencoba membaca situasi yang sesungguhnya. Aku bisa melihat dari cara dia memandang Arga, bahwa dia lebih dari sekadar wakil ketua OSIS yang peduli. “Aku tadi cari kamu Arga,” Dina berkata dengan sedikit nada ragu. “Ada beberapa berkas OSIS yang harus kamu tanda tangani sebelum besok pagi.” “Oh iya?” Arga segera berdiri. “Maaf Dina. Aku lupa. Aku coba lihat sekarang.” Dina mengangguk pelan, tatapannya beralih lagi ke arahku. “Kalau begitu, aku tunggu di ruang OSIS ya. Kita selesaikan semuanya sebelum pulang.” Aku mengangguk kecil, berusaha tersenyum. “Baiklah, aku juga harus balik ke ruang OSIS. Masih ada beberapa laporan yang harus diselesaikan.” Dina berbalik dan mulai berjalan pergi, sementara Arga memandangku dengan senyum minta maaf. “Nay aku harus balik sekarang. Mungkin kita bisa lanjut ngobrol nanti?” Aku tersenyum tipis, meski di dalam hati aku merasa sedikit canggung. “Iya nggak apa-apa. Lain kali aja.” Arga melambaikan tangan sebelum mengejar Dina, meninggalkanku sendiri di taman. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran yang masih tersisa. Pertemuan mendadak dengan Dina tadi benar-benar membuat suasana jadi berubah. Ada sesuatu di wajah Dina yang membuatku merasa tidak nyaman, seolah dia tahu lebih dari yang dia katakan. --- Di ruang OSIS, suasana terasa sedikit tegang. Dina duduk di dekat meja sambil menata beberapa dokumen, sementara Arga sibuk membaca dan menandatangani berkas-berkas yang harus diselesaikan. Aku duduk di meja lain, berusaha fokus pada laporanku, tetapi aku tidak bisa mengabaikan tatapan-tatapan sesekali dari Dina yang mengarah padaku. Ketika akhirnya Arga menyelesaikan tugasnya, dia berdiri dan menepuk bahu Dina dengan ringan. “Oke Dina. Terima kasih sudah ingetin. Kalau gitu aku pulang duluan ya?” Dina tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya terasa dingin. “Iya nggak masalah. Hati-hati di jalan.” Aku ikut bangkit merapikan barang-barangku. “Aku juga pulang ya Dina. Laporan ini udah selesai.” Namun, sebelum aku sempat melangkah keluar, Dina tiba-tiba memanggilku. “Nayla, tunggu sebentar.” Aku menoleh sedikit terkejut. “Iya, ada apa?” Dina mendekat dengan langkah pelan, lalu berdiri di hadapanku. Tatapannya tajam namun penuh rasa penasaran. “Aku cuma mau tanya sesuatu. Hubungan kamu sama Arga... gimana sebenarnya?” Pertanyaan itu langsung membuat jantungku berdegup kencang. Aku menatapnya sejenak, mencoba menilai maksud sebenarnya dari pertanyaannya. “Hubungan kita baik-baik aja. Kami cuma teman satu organisasi. Kenapa?” Dina tersenyum kecil, tetapi senyumnya itu tidak sampai ke matanya. “Teman ya? Hanya itu?” Aku merasa tidak nyaman dengan cara Dina berbicara. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di balik pertanyaannya, tetapi aku tidak tahu apa. Aku menatapnya dengan penuh pertanyaan, tetapi aku berusaha tetap tenang. “Iya, cuma teman.” Dina mengangguk pelan, lalu mendesah. “Aku cuma berharap kamu nggak salah paham Nayla. Arga itu memang orang yang mudah dekat sama semua orang, tapi dia... Dia juga harus fokus dengan tugas-tugasnya sebagai ketua OSIS.” Aku mengerutkan kening. “Maksud kamu apa Dina?” Dina tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Aku cuma bilang, jangan terlalu berharap lebih. Arga punya banyak tanggung jawab, dan aku tahu dia nggak mau mengecewakan banyak orang termasuk aku.” Tatapannya semakin tajam, dan aku mulai mengerti bahwa Dina tidak hanya berbicara sebagai wakil ketua OSIS. Ada perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-katanya. Dina menyukai Arga dan perasaan itu jelas mulai menggerogoti hubungannya dengan kami berdua. Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Aku paham Dina. Aku juga tahu dia punya banyak tanggung jawab, dan aku nggak mau mengganggu itu.” Dina mengangguk, tetapi senyum di wajahnya tidak hilang. “Bagus kalau begitu. Aku harap kita semua bisa tetap profesional ya.” Setelah berkata begitu dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku dengan banyak berbagai pikiran. Kata-katanya tadi seolah menjadi peringatan yang halus tapi juga cukup jelas. Dia merasa terancam dengan kedekatanku dengan Arga, dan dia mungkin tidak akan tinggal diam. --- Malam itu, aku berbaring di tempat tidurku, memandangi langit-langit kamar dengan pikiran yang berputar-putar. Pertemuan dengan Dina tadi benar-benar membuatku gelisah. Aku tidak bisa mengabaikan tatapannya, atau cara dia berbicara padaku seakan-akan aku harus menjauh dari Arga. “Apa aku terlalu berlebihan?” gumamku pada diri sendiri. Di satu sisi, aku merasa Dina hanya ingin melindungi Arga sebagai sahabat dekatnya. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka, setidaknya dari sisi Dina. Aku memikirkan kembali momen-momenku dengan Arga. Semua perhatiannya, senyum hangatnya, kata-katanya yang selalu membuatku merasa nyaman. Apakah aku memang terlalu banyak berharap? Atau apakah perasaan ini benar-benar nyata? Namun, yang paling membuatku gelisah adalah satu hal, jika Dina mulai merasakan sesuatu yang sama, aku tahu semuanya tidak akan mudah. Arga berada di tengah-tengah dua perasaan, dan aku tidak ingin menjadi bagian dari drama yang mungkin akan menghancurkan hubungan kami semua. Aku harus bicara dengan Arga. Aku harus tahu perasaannya yang sebenarnya, sebelum segalanya menjadi lebih rumit.Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu