Home / Young Adult / Pacarku Si Ketua OSIS / Antara Harapan dan Ragu

Share

Antara Harapan dan Ragu

Author: Adela Ghani
last update Last Updated: 2024-09-25 11:14:31

Setelah percakapan sore itu di taman, suasana antara aku dan Arga terasa berbeda. Meski kami belum resmi menjadi sepasang kekasih, ada sesuatu yang tidak lagi sama. Ada ketegangan manis di antara kami, ketegangan yang selalu muncul setiap kali kami saling bertatapan atau berbicara.

Meski perasaan kami sudah jelas, ada sesuatu yang menahan kami untuk melangkah lebih jauh, entah itu keraguan atau ketakutan akan perubahan yang mungkin terjadi.

Hari-hari berlalu, dan perasaan itu semakin membuatku tidak tenang. Di satu sisi, aku bahagia karena tahu Arga juga merasakan hal yang sama denganku.

Tapi di sisi lain, aku merasa seperti sedang berdiri di ambang jurang, menunggu saat yang tepat untuk melompat. Dan entah kenapa, meski aku ingin melompat, aku juga takut akan apa yang terjadi setelahnya.

Pagi itu, saat aku tiba di sekolah, aku melihat Arga sedang berdiri di depan gerbang. Dia tampak menungguku. Jantungku berdebar kencang saat aku berjalan mendekatinya.

“Nayla,” sapanya lembut saat aku sampai di dekatnya.

“Aku tadi nungguin kamu.”

Aku tersenyum tipis.

“Iya? Tumben nunggu di depan gerbang.”

Dia tertawa kecil, tetapi aku bisa melihat ada sedikit keraguan di wajahnya.

“Aku cuma mau ngomong sama kamu sebelum kita mulai aktivitas hari ini.”

Kami berjalan berdampingan menuju ruang OSIS, dan sepanjang jalan aku merasa ada sesuatu yang ingin Arga katakan, tetapi dia terus menundanya. Aku bisa merasakan keraguannya, dan itu membuatku semakin penasaran.

“Nayla,” Arga memanggil namaku pelan saat kami sudah sampai di ruang OSIS. Dia berdiri di depan pintu, seolah-olah menunggu momen yang tepat untuk melanjutkan.

“Iya?” Aku menatapnya dengan cemas.

“Ada apa Arga?”

Dia menghela napas dalam-dalam, lalu berbicara.

“Tentang yang kita bicarakan di taman waktu itu... aku masih kepikiran.”

Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba berdegup lebih cepat.

“Aku juga masih kepikiran Arga.”

Dia menatapku, dan aku bisa melihat ada keraguan yang bermain di matanya.

“Kamu tahu, Nayla... aku suka sama kamu. Tapi aku juga nggak mau terburu-buru.”

Kata-katanya membuatku sedikit lega, meski aku juga merasakan kekecewaan kecil di dalam diriku.

Aku tahu Arga bukan tipe orang yang suka mengambil keputusan dengan cepat, dan itu adalah salah satu hal yang aku kagumi darinya. Dia selalu berhati-hati, memastikan semuanya berjalan dengan baik.

“Tentu saja,” jawabku lembut, mencoba menenangkan diri.

“Aku juga nggak mau terburu-buru, Arga. Aku nggak ingin kita merasa tertekan dengan ini.”

Dia tersenyum, dan aku bisa melihat sedikit ketenangan kembali di wajahnya.

“Aku senang kamu merasa begitu. Karena... aku benar-benar ingin memastikan semuanya tepat. Aku nggak mau kita berakhir kecewa hanya karena terburu-buru mengambil keputusan.”

Aku mengangguk, meski di dalam hati ada sedikit rasa kecewa. Sebagian dari diriku berharap bahwa percakapan ini akan berakhir dengan kami resmi menjadi sepasang kekasih.

Tapi aku tahu Arga benar. Mungkin ada baiknya kami menunggu sedikit lebih lama, memberi waktu pada perasaan ini untuk tumbuh dan berkembang secara alami.

“Jadi... kita tetap kayak sekarang ya?” tanyaku, mencoba memastikan.

Arga mengangguk pelan.

“Iya. Kita tetap seperti ini dulu, sambil kita lihat bagaimana semuanya berjalan.”

Aku tersenyum kecil, meski hatiku masih terasa sedikit berat.

“Baiklah, kalau itu yang terbaik.”

Setelah percakapan itu, kami kembali menjalani hari-hari kami seperti biasa. Tetapi, kali ini dengan perasaan yang semakin mendalam di antara kami.

Arga tetap menunjukkan perhatian yang konsisten padaku, membawakan makanan, menemaniku saat ada kegiatan OSIS, atau sekadar berbincang santai di sela-sela kesibukan.

Tetapi ada batas tak terlihat yang membuat kami belum sepenuhnya melangkah ke arah yang lebih serius.

---

Suatu hari, saat aku sedang duduk sendirian di kantin, Maya tiba-tiba menghampiriku dengan senyum penuh arti.

“Nayla!” sapanya ceria sambil meletakkan nampan makanannya di depanku.

“Kenapa wajahmu murung begitu? Ada masalah?”

Aku menggeleng dan tersenyum.

“Nggak kok, cuma lagi capek aja.”

Maya menatapku curiga.

“Serius? Atau ini soal Arga?”

Aku sedikit terkejut mendengar nama Arga disebut. Maya selalu bisa menebak perasaanku dengan tepat.

“Kok kamu tahu?”

Maya tertawa kecil.

“Ya ampun Nayla, kamu tuh udah nggak bisa sembunyiin perasaanmu lagi. Semua orang di OSIS juga bisa lihat kalau kamu dan Arga ada sesuatu.”

Aku mendesah pelan.

“Iya, tapi... kita belum jadian Maya.”

Maya mengangkat alisnya dan terkejut.

“Belum jadian? Serius? Padahal aku pikir kalian udah pacaran.”

Aku menggeleng lagi.

“Belum. Arga bilang dia nggak mau terburu-buru, dan... aku ngerti. Tapi di satu sisi, aku juga bingung. Aku nggak tahu harus nunggu sampai kapan.”

Maya menatapku dengan penuh simpati.

“Aku ngerti perasaanmu Nay. Tapi kalau aku boleh kasih saran, jangan terlalu banyak mikir. Kalau Arga memang butuh waktu, ya kasih dia waktu. Jangan terlalu diburu-buru, biarkan semuanya berjalan alami.”

Aku terdiam, merenungkan kata-kata Maya. Mungkin dia benar. Aku terlalu banyak berpikir, terlalu banyak mengkhawatirkan hal-hal yang mungkin sebenarnya tidak perlu.

Jika aku dan Arga memang memiliki perasaan yang sama, seharusnya kami bisa menemukan jalan yang tepat tanpa harus terburu-buru.

“Tapi gimana kalau... dia berubah pikiran?” tanyaku pelan, mengungkapkan kekhawatiran terbesar yang selama ini berusaha kusembunyikan.

Maya menggeleng dengan tegas.

“Nayla, Arga bukan tipe orang yang mudah berubah pikiran. Kalau dia bilang dia suka sama kamu, itu berarti dia serius. Kamu harus percaya itu.”

Aku tersenyum lemah.

“Iya, mungkin kamu benar. Aku cuma... takut aja.”

Maya menepuk pundakku dengan lembut.

“Wajar kok. Tapi kamu juga harus percaya diri. Arga itu peduli sama kamu Nay. Dan kalau dia butuh waktu, itu bukan karena dia nggak yakin sama perasaannya. Mungkin dia cuma butuh memastikan semuanya tepat.”

Setelah berbicara dengan Maya, aku merasa sedikit lebih tenang. Meski rasa ragu dan cemas masih ada, aku mulai belajar untuk lebih percaya pada Arga dan pada perasaanku sendiri.

Lagipula, hubungan yang baik memang butuh waktu dan kesabaran, bukan?

---

Sore itu setelah kegiatan OSIS selesai, Arga menghampiriku di ruang OSIS. Dia tersenyum kecil dan berkata.

“Nayla, kamu ada waktu sebentar?”

Aku mengangguk.

“Ada. Kenapa?”

“Aku mau ngajak kamu ke tempat favoritku di sekolah. Aku mau tunjukin sesuatu.”

Aku mengernyit dan penasaran.

“Tempat favorit? Ayo aku mau.”

Kami berjalan menuju bagian belakang sekolah, di mana terdapat taman kecil yang jarang didatangi oleh siswa.

Arga membawaku ke sebuah bangku di sudut taman di bawah pohon rindang. Tempat itu begitu tenang jauh dari keramaian.

“Aku sering ke sini kalau lagi butuh waktu buat berpikir,” kata Arga sambil duduk di bangku itu.

Aku duduk di sampingnya, merasakan kedamaian di sekitar kami.

“Tempat ini tenang banget, ya.”

Arga mengangguk.

“Iya, makanya aku suka ke sini. Dan... aku pikir, ini tempat yang tepat buat ngomong sesuatu sama kamu.”

Aku menoleh, merasa jantungku berdebar lagi.

“Ngomong apa, Arga?”

Dia menatapku dalam-dalam, lalu berkata.

“Aku tahu kita bilang nggak mau terburu-buru. Tapi semakin hari, aku semakin yakin satu hal Nayla. Aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk bilang bahwa... aku benar-benar suka sama kamu.”

Kata-kata itu membuat jantungku serasa berhenti sejenak. Aku menatapnya, berusaha mencerna apa yang baru saja dia katakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Bara Kakaknya Dina!

    Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Kenapa Harus Dia?

    Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Nayla Mau Dijodohkan

    Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status