Deon hanya terdiam sedari tadi, namun dia merasa sedikit tenang setelah mendengar Jannah berjanji.
Di belakang mereka, Kakek Robert mendengus, jelas tidak setuju, namun memilih diam setelah melihat tekad anak perempuannya.
Jannah menunduk, air matanya menetes ke lantai marmer dingin. Ia merasa seperti seekor burung yang terjebak di sangkar emas. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan kebebasan terasa semakin jauh dari genggamannya.
Deon menatapnya lama, tanpa kata. Ada rasa sakit dalam sorot matanya, tapi juga ketakutan besar, ketakutan kehilangan Jannah sepenuhnya. Ibunya sudah membantunya dan dia memiliki waktu enam bulan untuk memperbaiki hubungannya dengan Jannah.
Malam itu, Jannah resmi masuk kembali ke rumah yang sebenarnya tidak pernah benar-benar menjadi rumah baginya. Dia ingin menangis dan dirinya tidak memiliki semangat apa pun.
Namun, malam ini, dia masih harus tidur di ranjang yang sama bersama Deon.
Kamar tamu itu te
Deon berdiri membeku di podium, matanya menatap layar dengan sorot membunuh. Suara bisik-bisik tamu undangan kian membesar, menjadi riuh rendah penuh gosip.Bella menutup mulutnya, berpura-pura terkejut. Namun dalam dadanya, jantungnya berdegup kencang, antara panik dan puas. Dia tahu, dia sudah berhasil dengan telak!Kakek Robert yang duduk di kursi kehormatan langsung bangkit berdiri, wajahnya merah padam. “Matikan! MATIKAN SEKARANG!!!” bentaknya, membuat beberapa teknisi panik berlarian ke ruang kontrol.Tapi sudah terlambat.Video itu sudah terputar, dan rekamannya sudah tersebar ke puluhan kamera wartawan. Alfie juga melihatnya dengan jelas.Postur dua insan yang sedang berciuman itu benar-benar sudah membuat kedua mata Deon mendidih. Merasa dipermalukan, apalagi para wartawan sudah mulai menyerbu dengan berbagai pertanyaan:"Apakah Anda memang sudah tahu semuanya? Tentang istri Anda yang berselingkuh?""Pak Deon, apa
Jannah menaikkan sudut bibirnya, memberikan senyum singkat tanpa mengeluarkan perkataan apa pun.Naila mendengus kasar, kemudian menoleh ke layar ponselnya lalu ke arah Jannah yang tampak semakin rapuh. “Lihat itu! Mereka tampak bahagia… dengan Bella di sampingnya, seolah-olah kamu ini nggak pernah ada! Alfie, anakmu sendiri, bahkan bilang dia nggak tahu di mana ibunya. Sakit nggak dengarnya, hah?!”Air mata Jannah akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan. Bahunya bergetar hebat, dan ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Tentu saja perih!Naila menarik napas panjang, mencoba meredakan emosinya. “Kamu harus sadar, Jan. Kamu nggak bisa terus terjebak di sini, menunggu belas kasihan Deon atau Kakek Robert. Mereka udah menempatkan Bella di posisi yang seharusnya jadi punyamu. Kalau kamu bertahan, kamu bakal hancur sendiri.”Jannah menggigit bibirnya, menahan isak. Dalam hatinya, seribu rasa bercampur jadi satu, ada sakit, marah, dan
Namun sebelum Dokter Afgan sempat mengucapkan sepatah kata pun, suara titik merah di celah daun pintu yang sedikit terbuka sedang merekam dengan ponselnya tanpa mereka sadari.“Bagus…” suara itu terdengar manis, tapi penuh racun.Wanita berambut sebahu dengan senyum lebar penuh kemenangan. Di tangannya, kamera digital masih menyala. Namun, beberapa saat dia segera pergi meninggalkan lokasi itu. Dia melangkah masuk ke dalam mobilnya dengan santai, menatap layar kameranya sambil tersenyum puas. “Harga video ini,” katanya sambil mengibaskan kamera kecil itu, “cukup untuk membayar uang sekolah anakku selama setahun.”"Tentunya setelah ku-edit beberapa part!"Di dalam ruangan, terjadi keheningan yang abadi sampai Jannah mengangkat ponselnya dan menghubungi Naila."Naila, kamu datang sekarang. Aku pingsan lagi dan saat ini, hanya Dokter Afgan yang berada di sini."Naila segera memacu mobilnya menuju
“Ayah!” ibunda Deon memprotes. “Kau lihat sendiri keadaannya! Jannah tidak bisa ikut ke lelang!”“Kesehatannya tanggung jawab dokter,” jawab Kakek Robert datar, penuh kuasa. “Yang terpenting, acaranya tidak boleh gagal. Dunia bisnis menunggu Deon, Bella, dan Alfie tampil. Itu bagian dari rencana besar keluarga ini.”"Mereka adalah sebuah keluarga yang ingin saya umumkan, bukan perempuan yang selalu pingsan ini!" Kakek Robert mengarahkan ujung tongkatnya ke arah Jannah yang masih belum sadar. Kedua matanya memicing tajam seolah wanita itu benar-benar adalah beban dan penganggu dalam keluarganya.Deon yang sejak tadi menahan emosi akhirnya bersuara, suaranya rendah namun bergetar. “Kakek, aku nggak nyaman ninggalin Jannah kayak gini. Lihat dia…”Tatapan Kakek Robert menajam. “Dengar aku, Deon. Acara ini lebih besar dari masalah rumah tanggamu. Kamu akan pergi bersama Bella dan Alfie, t
Tanpa sepatah kata, Deon melepaskan mantel dan menaruhnya di kursi, lalu meraih sisi ranjangnya sendiri. Ia berbaring pelan, memunggungi Jannah, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Tak ada percakapan, tak ada sentuhan. Hanya dua hati yang berbaring berdampingan, terpisah oleh jarak yang tak kasat mata.Entah sejak pukul berapa, keheningan yang nyata itu membuat kedua insan itu tertidur dengan posisi saling bertolak belakang. Dalam diam, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing yang cukup panjang dan rumit.Pagi harinya, sinar matahari perlahan menembus kamar, menerpa wajah Jannah yang pucat. Nafasnya berat, tubuhnya terasa lemah luar biasa. Kepalanya berdenyut, nyeri menjalar hingga ke persendian. Fibromyalgia-nya kembali kambuh akibat stres semalam.Jannah berusaha bangun perlahan, namun pandangannya berkunang. Peluh dingin membasahi pelipisnya, membuat tubuhnya semakin lemas. Tangannya meraba meja di samping ranjang, mencari obat yang selalu ia simpan
Lalu, dengan sengaja, Bella mencondongkan wajahnya, bibirnya hampir menempel di bawah telinga Deon.“Deon…” bisiknya manja, cukup keras untuk terdengar oleh Jannah di balik pintu. "Kamu bau alkohol, tapi aku menyukainya."Tepat setelah itu, Bella mengecup bawah telinga Deon dengan sengaja.Hancur.Seolah dunia runtuh di hadapan Jannah. Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara udara seakan hilang dari paru-parunya. Ia mundur selangkah, menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan isak yang nyaris pecah.Deon sama sekali tidak menyadari pandangan Jannah dari balik pintu. Dia hanya terus berjalan ke kamar Bella, menurunkannya di ranjang dengan hati-hati."Sudah, kamu istirahatlah, aku akan kembali ke kamarku.""Ehh, jangan! Maksudku, tunggu sebentar!" pekik Bella seraya menaikkan lututnya, memegang mata kakinya dengan mata yang mulai basah.Di luar, Jannah menutup pintu kamarnya perlah