Tujuh tahun menikah, tapi Jannah tak pernah benar-benar menjadi istri—apalagi ibu—dalam rumah tangganya. Ia bertahan demi Alfie, anak yang lahir dari tubuh rapuh dan cinta yang tak pernah ada. Namun pengorbanan itu tak pernah membuka hati suaminya, Deon Mahendra—pria dingin yang menikahinya demi perjodohan. Saat seorang wanita lain dengan halus merebut peran Jannah sebagai istri dan ibu, Jannah memilih menyerah. Ia meninggalkan rumah itu, mengirimkan berkas perceraian. Tapi balasan Deon hanya satu kalimat dingin: "Kamu harus kembali." Perselingkuhan, luka lama dan cinta yang tak pernah diucapkan mulai menggoyahkan segalanya. Apakah pergi berarti akhir, atau justru awal bagi cinta yang tak sempat tumbuh?
View More‘Wanita lemah dan penyakitan sepertimu tidak pantas menjadi nyonya keluarga Mahendra!’
Kalimat menyakitkan itu masih tertancap di benaknya.
Beberapa detik yang lalu, dunia seakan terhenti. Kalimat tersebut muncul melalui pesan anonim—disertai foto suaminya yang tengah menggenggam tangan anak mereka di gerbang sekolah.
“Jannah… kamu mau aku antar menyusul mereka?”
Suara Naila belum membuat Jannah sadar dari lamunannya.
Matanya masih menatap ke arah langit-langit ruangan tempatnya dirawat. Tangan kirinya masih menempel bekas plester infus, dan pipinya pucat tanpa riasan.
Harusnya, mereka bertiga merayakan peringatan Hari Ibu, bersama-sama di sekolah. Menonton bagaimana anak-anak mengirim bunga dan ucapan terima kasih pada masing-masing ibu mereka.
Namun, suaminya itu justru hadir di sekolah tanpa menjemputnya, seakan-akan menunjukkan jika sosoknya tak dibutuhkan.
“Jannah…”
“Sudah berapa hari aku di sini, Naila?”
Suara Jannah yang parau membuat Naila membeku sesaat, “D–dua hari…”.
Tubuh Jannah telah digerogoti lelah dan obat yang tak kunjung habis, hingga kepalanya terasa hampa.
Sudah terlalu sering Jannah menjadi pasien di rumah sakit ini. Opname bukan kabar yang luar biasa lagi baginya. Bahkan suami Jannah sudah menganggap itu seperti rutinitas yang wajar untuknya sehingga tidak mengunjungi sama sekali.
Deon Mahendra adalah seorang pemilik perusahaan yang sukses menguasai hampir seluruh bisnis di kota Alzeera dan pria itu adalah suami yang menikah dengannya tujuh tahun yang lalu.
Menjadi Presiden Direktur sekaligus pemegang saham, membuat seorang Deon Mahendra sangat sibuk setiap hari.
Pria itu bahkan tidak lepas dari laptopnya setiap malam, sehingga dari hari ke hari, komunikasi di antara mereka menjadi lebih sedikit.
Jannah malah yakin, pria itu pasti lupa kapan terakhir mereka makan di luar bersama dalam satu keluarga utuh.
“Aku hanya ingin melihat Alfie,” bisik Jannah. Matanya menatap Naila seperti mencari jawaban yang ia tahu tak akan ia dapatkan.
Naila adalah sahabatnya yang bersuara paling keras saat menentang pernikahan mereka tujuh tahun yang lalu.
“Kalau aku muncul di sekolah… kira-kira anakku akan malu nggak ya, Nai?”
Tatapan Naila melembut. Ia menyentuh punggung tangan Jannah, mengelusnya perlahan.
“Kamu ini Ibunya. Meski dia sedikit ketus, dia tetap darah dagingmu. Setidaknya, tunjukkan ke dia bahwa Ibunya tidak melupakan Hari Ibu.”
Jannah tak bereaksi. Ia hanya mengelus wajahnya yang tirus dan pucat. Entah berapa lama, sejak dirinya sudah kehilangan kecantikan dan berat badan.
Naila menarik napas panjang, menahan emosi yang menggelitik dada. Ia tahu betapa kerasnya perjuangan sahabatnya ini.
Sejak menikah karena perjodohan yang tak pernah ia minta, hingga menderita penyakit saat dikaruniai anak, secara perlahan malah semakin memperburuk kondisi kesehatannya dari hari ke hari.
"Aku akan mengantarmu ke sana, sekalian pulang. Bagaimana?" kata Naila sambil berdiri.
Sejenak, Jannah terdiam. Lalu ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk pelan. "Baiklah."
Naila membantu membereskan barang-barang Jannah, lalu memanggil perawat untuk mengurus administrasi.
"Jaga kesehatan Nyonya, jangan kembali lagi dalam waktu singkat," gurau sang perawat saat mengantar kedua orang itu.
Jannah tersenyum tipis. "Mudah-mudahan."
Di luar, hujan tipis mulai turun, seolah langit tahu isi hati Jannah yang berat. Pagi itu terasa sejuk dan Naila menambahkan syal untuk leher Jannah. "Jangan masuk angin lagi, kamu tahu betapa lemahnya dirimu."
Saat mobil Naila melaju keluar dari pelataran rumah sakit, Jannah duduk diam di kursi penumpang, memandangi butiran kecil air hujan di kaca jendela. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel.
"Aku nggak tahu harus bilang apa nanti ke Alfie," ucapnya lirih.
"Bilang aja, 'Ibu datang karena Ibu sayang kamu,’” jawab Naila sambil terus menyetir. "Dan tolong jangan pingsan. Aku nggak kuat ngangkat kamu lagi," guyonnya seraya tertawa kecil.
Jannah ikut tertawa kecil, lalu mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca.
Mobil melaju menembus gerimis, menuju sekolah tempat di mana Alfie.
Saat sampai di sekolah, langit di atas sekolah dasar itu tetap abu-abu, seolah ikut memantulkan warna hati Jannah yang sedang porak-poranda.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena baru saja keluar dari opname, tapi karena apa yang ia lihat sekarang… menyayat lebih dalam dari luka fisik mana pun.
Ia menarik napas pendek, tergesa membuka resleting tas, lalu mengeluarkan botol kecil berisi pil. Tangan kirinya gemetar saat mencoba memutar tutup botol itu. Dua pil jatuh ke telapaknya yang dingin.
Tanpa pikir panjang, ia telan begitu saja, berharap rasa sakit di dadanya berkurang, walau yang paling menyakitkan justru bukan berasal dari tubuhnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Naila mulai panik.
Jannah menggeleng pelan. Ia mencoba menyandarkan tubuh ke tembok, menopang dengan tangan yang masih bergetar.
Kakinya lemas. Lututnya seperti mau runtuh. Dan saat itu, pandangannya tertuju pada kerumunan kecil di depan kelas 1B.
Alfie Mahendra.
Putranya. Bocah mungil nan tampan, berusia enam tahun, yang ia kandung sembilan bulan, lahir dengan tangis pertama yang disambut air mata haru... kini berdiri di sana, tertawa. Terlihat sangat gembira.
Tapi bukan itu yang pertama menyayatnya. Bukan senyum ceria Alfie. Bukan tawa polosnya. Bukan pula keberadaan suaminya yang datang tanpa dirinya.
Melainkan keberadaan seorang wanita yang sudah menggantikan tempat di mana seharusnya dia berdiri.
Bella menatap kosong ke arah cangkirnya. “Sedih itu cuma bagian dari hidupku sekarang. Aku nggak tahu kapan terakhir kali aku bahagia tanpa berpura-pura.”Tommy tidak membalas. Ia duduk di sebelah Bella kembali. Ia hanya duduk lebih dekat, bukan karena niat, tapi karena jarak di antara mereka terasa terlalu dingin. Hujan di luar seperti mengunci waktu, membuat dunia hanya milik mereka berdua.“Kamu tahu rasanya sendirian padahal ada orang di sampingmu?” tanya Bella tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.Tomy menatapnya dalam. “Setiap hari.”Mata mereka bertemu. Lama. Tidak ada yang berani berpaling. Dalam tatapan itu, ada kesepian yang saling mengenali, ada luka yang sama, ada rasa ingin dipahami tanpa harus menjelaskan apa pun.Bella menelan ludah, jantungnya berdetak pelan tapi berat. “Tom…”Suara itu berhenti di tenggorokan, seolah takut pada apa yang akan keluar berikutnya.Tomy
Tommy memegang bahu adiknya, menatapnya dengan campuran marah dan sedih.“Dia sudah punya istri, Lira! Kamu sadar nggak? Kamu mau jadi apa nanti? Perempuan simpanan? Kamu kira cinta seperti itu bisa bertahan lama?”Suara Tommy meninggi, tapi nada getirnya lebih terdengar seperti luka lama yang tergores lagi."Kita masuk dulu dan bicara, ini temanku, Bella." Tomy menarik tangan Bella supaya masuk ke dalam rumah lalu menguncinya dari dalam, sementara Lira hanya melangkah pelan dengan lesu tanpa menanggapi lebih lanjut keberadaan Bella sama sekali."Lira, kamu salah. Memangnya kamu bersedia jadi istri simpanan? Alias pelakor?"Bella menelan ludah. Setiap kata “istri”, “salah”, “perempuan simpanan” menusuk dadanya seperti pisau. Ia ingin pergi, tapi sesuatu menahannya.Lira menggigit bibirnya, menatap Bella. “Kak, Mas nggak ngerti. Aku cuma pengin dicintai. Aku tahu dia salah, tapi aku ngeras
“Sudah, Tuan. Dokter bilang ini demam akibat kelelahan dan stres. Hari ini pak Dokter juga akan datang untuk meninjau kondisi."Deon memijit pelipisnya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa akhir-akhir ini Alfie berubah menjadi pendiam, sering menyendiri, bahkan tidak lagi menyapa Bella.Bocah itu lebih banyak mengurung diri di kamar sambil menatap foto lama, foto di mana Jannah menggendongnya dengan tatapan penuh kasih.“Papa…” suara lemah itu membuat Deon segera menghampiri ranjang. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan kecil yang panasnya seperti bara.“Ada apa, Nak?” bisiknya.“Mama... Mama di mana? Aku... aku mau Mama...” bibir Alfie bergetar.Deon menelan ludah. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Jannah, tapi nomornya tidak aktif. Email tidak pernah dibalas. Cahyo yang biasanya tahu semua pergerakan pun kini tampak gelisah setiap kali Deon menanyakan kabar wanita itu.
Namun ketika sesi usai, keringat dingin menetes di tengkuknya bukan karena lelah, melainkan karena perasaan aneh yang tumbuh tanpa izin. Dia merasa harus menegur pelatih baru yang agak kurang sopan itu."Jeng Bella, besok ketemu di kafe seperti biasaya!""Iya Jeng Ayu, jangan lupa bawa kerupuk kentang baladonya,"sahut Bella sambil menyeka keringatnya."Duluan, Jeng..." sapa ibu-ibu yang lain sambil melayangkan sebelah tangan, ada yang mengedipkan sebelah matanya, "sikat aja, Jeng. Masih polos dan wangi itu!"Bella melempar handuknya, namun perempuan yang menjadi sahabatnya itu segera menangkap lalu melempar balik handuk kecilnya, "nanti Jeng butuh, buat ngelap-ngelap."Teman-temannya pada tertawa dan terkikik, mereka segera lari keluar ruangan dengan cepat.Para peserta satu per satu keluar sambil berceloteh riang, tapi Bella tetap duduk di bangku panjang, berpura-pura membereskan sepatunya. Ia ingin mengatur napas, ingin menenangkan pikiran
Dentuman musik keras bergema di ruang senam yang luas, memantulkan suara musik lewat dinding kaca tinggi hingga terasa sampai ke dada.Lampu neon putih bercampur lampu sorot warna warni menyoroti sekumpulan tubuh-tubuh wanita yang bergerak luwes mengikuti irama, sementara aroma keringat, parfum, dan semangat mereka bercampur jadi satu.Di antara mereka, Bella tampak menonjol, posturnya anggun, gerakannya terukur, setiap langkahnya seperti mengalir dengan lincah, mengikuti dentuman lagu barat yang sedang berputar. Rambutnya diikat ekor kuda dan dia memakai bando merah bertulisan nama "Bella"Keringat menetes di pelipisnya, tapi senyum kecil tetap terpahat di wajah yang terlihat berlebihan semangat pada pagi itu.“Ayo, Bella! Kamu juara hari ini!” seru salah satu temannya, disambut tawa ramai.“Duh, liat deh kulitnya, makin glowing aja. Keringatan aja secantik dan menggoda mata kita-kita yang wanita.”"Ho-oh
Ia terdiam. Sejenak, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, berdenting di antara keheningan."Hu'uh"Bella bangkit berdiri, melangkah ke arah jendela. Di luar, hujan mulai turun lagi, pelan-pelan menetes di atas kaca. “Jadi begini rasanya mencintai seseorang yang tidak pernah melihatmu?” katanya lirih. “Aku selalu berusaha… tapi kamu tetap menginginkan dia. Sisi vitalmu bahkan menolak untuk bereaksi!”Ia menoleh sekali lagi ke arah Deon. Wajah pria itu tampak begitu damai, tanpa ekspresi, seolah tak pernah ada pertikaian di antara mereka. Mungkin juga tidak menyadari kondisi tubuhnya yang sudah tercampur dengan obat racikan Bella.Bella menarik napas berat, lalu melangkah mendekat lagi. Ia menunduk, menyentuh pipi Deon, kemudian menatap bibir pria itu dengan getir.“Andai aku bisa membuatmu mencintaiku… walau hanya dalam mimpi.”Ia menunduk sedikit, hampir menyentuh bibir Deon, namun b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments