LOGINDeon terdiam. Kata-kata itu menusuk langsung ke jantungnya.Ia tidak bisa bergerak. Tidak bisa menatap siapa pun.Guru akhirnya menunduk, lalu memberi isyarat halus kepada Deon agar membawa Alfie pergi.Tanpa berkata apa-apa, Deon bangkit, menggenggam bahu anaknya yang kini menangis. Ia menunduk sedikit, berkata pelan, “baiklah, kita pulang.”Deon menoleh ke arah guru-guru yang sempat berkumpul di sana, mereka mengangguk kecil seolah memberi izin sepenuhnya.Ruangan tetap hening saat mereka berjalan keluar. Hanya suara langkah kaki kecil dan deru napas tertahan.Di luar aula, hujan mulai turun ringan, menetes di halaman sekolah yang basah. Deon membungkuk dan memakaikan mantel pada Alfie, tapi anak itu menepis tangannya pelan.Deon menghela napas, menatap anaknya lama, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama—matanya memerah.“Maafkan Papa, Nak.”Alfie menatap ke bawah, suaranya serak kare
Ia menatap langit-langit kamar mandi yang berkabut oleh uap panas.“Dan semakin aku berusaha menjadi dia… semakin aku kehilangan diriku sendiri.”"Kotor sekali tubuh ini sekarang..."Air menetes dari ujung rambutnya beriringan dengan air mata yang membasahi pipinya, dan Bella menunduk, membiarkan dirinya larut dalam diam, sendirian di tengah rumah yang kini hanya terasa seperti penjara mewah tanpa jiwa.***Aula sekolah pagi itu dipenuhi riuh rendah tawa anak-anak. Balon warna pastel menggantung di langit-langit, lantai sekolah mengilap, dan meja-meja kecil disusun rapi dengan taplak bunga serta berbagai macam kue, manisan juga cemilan.Udara terasa hangat dan penuh keramaian, karena hari itu adalah Hari Ibu.Setiap anak duduk berdampingan dengan ibunya, membawa hadiah kecil: ada yang membawa kartu ucapan, ada yang membawa bunga, bahkan beberapa membawa kue buatan tangan mereka sendiri.Di tengah keramaian it
Bella menepis tangan Tomy dengan kasar lalu memegang pinggulnya yang terasa nyeri dan melirik laki-laki itu dengan kesal. Tubuhnya masih terasa lelah, terlalu lelah, bahkan untuk sekadar bangkit dari tempat tidur.Tomy benar-benar menghajarnya habis-habisan kali ini, tapi Bella tidak bisa menepis kenyataan bahwa dia juga menikmatinya.Sisa aroma parfum Tomy masih melekat di kulitnya, tubuhnya terasa lengket karena pencampuran saliva mereka dan itu membuat napasnya tercekat. Ia menatap ke arah Tomy yang masih terlelap di sampingnya lalu ke lantai yang masih berantakan oleh pakaian yang berhasil dilucuti pria itu.“Astaga…” Bella memejamkan mata erat, jantungnya berdegup cepat. 'Aku nggak pulang lagi. Apa yang harus kukatakan pada Deon?" pikirnya kalut.Ia meraih celana jean miliknya yang tergeletak di lantai dan mengenakannya dengan terburu-buru. Wajahnya dipenuhi cemas, bukan hanya karena ketakutan akan diketahui Deon, tapi juga karena
Ia menatap jendela, di mana salju masih turun dengan tenang. “Aku membeli sahammu diam-diam, dan kini aku akan menariknya kembali, bersama reputasimu, bersama seluruh nama baik keluarga Mahendra.”"Mari, tunggu tanggal mainnya. Aku mau lihat, bagaimana kondisi kejiwaan Kakek Robert melihat perusahaannya hancur di bawah kendali tanganmu yang terlalu sibuk mengurus rumah tanggamu, sementara orang yang paling layak untuk kau lindungi malah sedang berada dalam pelukanku malam ini."Usai mematikan layar laptopnya, ruangan kerja Afgan kembali tenggelam dalam remang cahaya dari luar jendela.Di layar yang baru saja padam, pantulan wajahnya masih terbayang samar, dingin, puas, dan penuh kemenangan.Afgan menegakkan tubuhnya, lalu menyandarkan kepala di kursi kulit hitam itu sejenak. Ia mengembuskan napas panjang, puas dengan langkah-langkah yang telah ia rancang dengan sempurna. Tidak ada lagi yang bisa menghentikannya sekarang, tidak Deon, tidak keluarga Mahendra, bahkan tidak takdir sekalipu
Senyum tipis muncul di bibir Afgan. Ia mendekat, lalu tanpa memberi waktu bagi Jannah untuk menolak, tangannya mengambil novel itu dengan hati-hati.“Sayangku,” ujarnya lembut sambil menyentuh bahu Jannah, “lihat… belakangan ini kesehatanmu sudah mulai pulih. Jangan membaca terlalu malam. Aku tidak ingin kesehatanmu terganggu kembali.”Ia menunduk, matanya menatap lembut bayi Jannah yang mulai terlelap di dalam baby boks. “Lihat gadis kecilmu itu, dia sudah mulai tertidur, bukan?”Jannah spontan mengelus sang bidadari kecilya dengan gerakan pelan, senyum hangat muncul di wajahnya. “Dia sehat,” ucapnya dengan suara lembut yang nyaris seperti bisikan. “Dan aku yakin… dia akan tumbuh besar menjadi sangat cantik dan pintar.”"Tentu saja."Afgan mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya seolah penuh kasih, meski di balik matanya ada sesuatu yang tersembunyi.Dengan lembut dia mengelus bayi mungil itu lalu berjongkok di hadapannya dan mendekatkan bibirnya seolah sedang berbisik dengan bidadari
“Puas,” jawab Afgan datar. “Aku akan mengirimkan bayaran sesuai kesepakatan. Pastikan tidak ada salinan lain yang tersisa.”“Baik, Tuan. Sesuai instruksi.”Panggilan berakhir. Afgan menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu memutar ulang video itu sekali lagi. Tatapannya tajam, tapi bibirnya membentuk senyum keji yang nyaris menyerupai kemenangan.“Lihatlah, Deon Mahendra…” bisiknya pelan. “Kau akan tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya. Seperti yang Ayahku rasakan dulu, karena kalian!”Ia menatap ke luar jendela, ke arah langit kelabu yang menurunkan hujan salju tak henti. “Kali ini… yang kubakar bukan hanya perasaanmu, tapi seluruh harga dirimu, terutama perusahaanmu.”"... dan Kakek tua itu, dia akan hancur duluan!""Ha ha ha..."Suara tawa kecil keluar lagi dari bibirnya. Ia memutar video itu sekali lagi, memperhatikan setiap detik wajah







