Share

Bab 3 Menjalaninya

Mereka mendatangi seorang pria tua yang besar dan tangguh. “Widar, orang ini tadi ingin masih bergabung menjadi Gridor. Namanya Khaigor.”

“Heuhh... Menjadi Gridor, anda baru saja bersedia mempertaruhkan segalanya, pekerjaan yang bisa saja lebih sulit dari pada melawan seorang manusia sendirian,” ucapnya.

“Aku siap menjadi itu, aku tak ragu dan siap dengan segala apa pun.”

“Ingat, ini juga kemungkinan akan berkaitan dengan orang-orang yang kau kenal. Jadi bersiaplah menghadapinya. Tempat markas kami di wilayah Barat sana, cukup jauh dari pemukiman kerajaan, jadi dalam tiga hari ini kita akan berangkat ke sana. Bersiaplah.”

Di dalam rumahnya Khaigor merenung duduk di atas kasurnya. Mengingat keputusan itu. Lalu berbaring di atas ranjangnya. Mempertanyakannya dalam hati, “Apa yang harus menjadi beban yang membuatku lebih baik tidak menanggungnya?”

Ketika dia tertidur dalam mimpinya, “Kalistha, Kalistha? Bunga itu kenapa ada di tanganmu?” “Delina, kenapa kau memutus juntaian tanaman itu?”

Kalistha mengambil bunganya lagi, membuat Khaigor keheranan padahal seingatnya dia yang melarang Khaigor memetiknya. Wajahnya diam menatap Khaigor memegang bunga itu dengan kedua tangannya, dengan ekspresi wajah yang penuh emosional. Setelah terbangun, Khaigor bergumam sendiri, “Tidak mungkin bunga itu terkutuk untuk yang memetiknya. Astaga padahal Kalistha dan Delina sudah tidak ku temui lagi.” Mengingat kerajaan tempat mereka dulunya tinggal telah hancur.

Pada pagi harinya setelah mandi dan sarapan, Khaigor pergi keluar dari rumahnya, mencoba menenangkan pikirannya. Dia berjalan-jalan seperti biasanya. Ketika berada di jalanan, dia ada melihat pertarungan adu dua hewan merangkak berkaki empat yang berukuran kurang lebih seperti berukuran sedang tubuh anjing biasanya tidak berekor. Dua hewan petarung itu sangatlah ganas, mereka bersorak-sorai.

Khaigor duduk di suatu tempat mengeluarkan pedangnya dan menancapnya di tanah, masih memegangnya dan menatap ke arah atas langit. Memikirkan kehidupan yang berada di bawah langit di tanah yang di injaknya dan di tempat lainnya. Besok harinya, dia kembali bertemu dengan sekelompok Gridor, mengusulkan tentang perjalanan besok. “Baiklah, ini bukanlah awal kau kembali mengulang menjadi pejuang baru, sebab kau telah menjadi pejuang jauh lebih dulu sebelumnya, namun hal ini akan menjadi berbaur bersama kebiasaan baru,” tegas Widar.

Salah satu pria yang bernama Devior, menyuruhnya duduk bersamanya. Kemudian mengeluarkan salah satu bentuk figuran berbentuk monster yang lebih besar dari pada catur dan menaruhnya di meja bundar, “Ini adalah Zolgart, jenis monster yang pernah berkali-kali kami habisi.” Lalu meminjamkannya topeng yang berbentuk bagian atas setengah muka, “Pakai topeng ini, lalu tatap matanya pusatkan perhatian penuh serius dan emosi, pakailah taktikmu tuk mengalahkannya.”

Monster itu berukuran begitu besar dan tinggi, lebih besar dari pada manusia, berdiri namun dengan postur membungkuk seperti kangguru, berekor lancip berbentuk seperti ekor reptil panjang dan besar. Bermoncong seperti dinosaurus, berdaun telinga lancip, berjari tangan dan kaki sepuluh, dengan berjumlah lima jari di setiap masing-masing sebelahnya, serta kukunya bercakar, pupil matanya lancip layaknya binatang buas taringnya lebih besar daripada taring singa atau pun harimau. Badannya begitu kuat dan berkulit sangat tebal. Gerakannya mirip seperti manusia dengan berjalan dua kaki dan mampu memegang dan menggenggam benda serta memanjat.

“Serang pakai tombak lalu lemparkan, keluarkan pedang.” Kemudian makhluk itu mulai menyerang dengan tangan kanannya. “Hindari, potong jari tangan kanannya.” Kemudian monster itu menyerang dengan tangan kirinya menghajarnya. Lalu menendangnya terjatuh. Kemudian makhluk itu mulai kembali menyerangnya, “Keluarkan pedang ke atas.” Monster itu menghindar, Khaigor mengarah pedangnya monster itu merasa terancam hingga bergerak kiri-kanan, lalu menendangnya lagi hingga terjatuh. Khaigor pun memutarkan dirinya ke arah sebelah, kemudian monster itu mulai menerkamnya selagi dia terbaring di tanah, dia menahan dengan pedangnya secara posisi vertikal membalikkan pedangnya hanya memegang bagian tipisnya. Terkamannya terus menerobos pertahanannya. Khaigor menendang tubuhnya dua kali lalu menyerang dengan lututnya, kemudian melepaskan genggaman sebelah tangannya di ujung pedangnya, meninju matanya sekuat tenaga dan menebasnya mengenai mulutnya, seketika monster itu menjerit dan mengamuk.

Kemudian bangkit berlari memasukkan kembali pedangnya dan mengambil tombaknya, lalu mulai menyerangnya seketika monster itu menahan tangan kanannya dengan tangan kirinya, memutarnya hingga dia kesakitan sampai melepas tombaknya. Kemudian monster itu, mulai menyerang menggunakan tangan kanannya, lalu dia menarik pedangnya ditebasnya hingga telapak tangan kanannya tersayat luka. Kemudian memotong tangan kirinya itu dengan pedang. Mengambil tombak itu dan menusuk kaki sebelahnya memutarnya. Dan menikam tubuhnya menggunakan pedang berkali-kali.

Kemudian figuran itu terdengar berbunyi hewan kesakitan satu menit kesekian detik setelah diceritakan caranya, kemudian figuran itu jatuh. “Oooo... Kau membuatnya mati secara perlahan, lebih baik langsung dibuat mati saja.” Khaigor menyakini suara merintih kesakitan itu, berasal dari benda unik itu.

“Lihat aku cara membunuhnya.” Devior memainkannya tanpa menggunakan topeng itu dan seketika bentukan urat matanya terlihat, serta warna pupil matanya menjadi lebih terang.

Dia memperhatikannya dengan serius.

“Panah kakinya, kemudian matanya.” Makhluk itu menahannya dengan kedua tangannya, hingga tangan kanannya tertancap panah yang mencoba melindungi matanya, lalu melepaskannya. Devior maju menyerang kakinya. Dia menahannya dengan perisainya dari tendangan makhluk itu hingga terdorong mundur. Kemudian makhluk itu menahan tangan kanannya yang memegang pedang, lalu memukul tangannya dengan ujung perisai bawahnya dari arah atas ke bawah hingga kesakitan dan genggamannnya terlepas. Lalu menikam tangan kirinya yang mulai bergerak menyerangnya. Lalu menyerang ke belakang kedua kakinya hingga urat nadinya terputus dan membungkuk ke depan, lalu menyerang lehernya seketika berkali-kali hingga terakhir menusuk kepalanya.

Teriakan kesakitan terdengar dan benda figuran itu pun terjatuh. Devior menang lebih singkat.

Devior mengambil kembali benda itu.

“Mainan apa itu?” penasarannya.

“Mainan,” herannya mendengar katanya yang diucapkan barusan pada benda itu, menatap kembali benda itu, “Ya ini memang terlihat tampak seperti mainan, tapi ini dibuat pada awalnya bukanlah mainan,” lalu kembali menatapnya, “Ini barang langka sebagai metode pembelajaran pemikiran pemburu monster. Perkiraannya selalu tepat. Tapi lama-kelamaan malah sering digunakan seperti mainan.”

“Aku ingin membelinya, tampaknya benda itu amatlah menarik,” kesannya.

“Ini tidak untuk dijual, nanti akan ku jual padamu, setelah kau sudah lebih lama bergabung dalam pekerjaan Gridor,” balasnya.

Khaigor benar-benar penasaran dan sangat ingin memiliki benda itu. Membuatnya semakin bertekat menjadi Gridor. Dalam perjalanan pulangnya ke rumah, dia ada melihat seekor anjing besar peliharaan yang juga digunakan sebagai pekerja penarik, transportasi dan gembala sedang mengamuk dan menyerang seorang warga pria. Warga itu sangat terpuruk. “Hei!...” teriak Khaigor yang terkejut melihatnya tuk memperingatinya.

Para warga di sekitar tak berani menghentikannya.

Sang pemilik berusaha melawan ketakutannya untuk menenangkan anjingnya itu. Namun anjingnya menggonggong padanya dan kembali mengganggu korbannya. Khaigor mengeluarkan pedangnya, lari mendekatinya. “Tolong jangan sakiti dia...!” teriak pemiliknya yang seorang pria dewasa. Khaigor mengambil batu segenggam tangannya lalu melemparkannya. Anjing itu pun seketika teralihkan perhatiannya, mulai lari mendekatinya, “Cepat lari...!” Teriak Khaigor memperingati korban itu. Anjing itu mulai mengejar kembali korbannya yang berlarian ketakutan tersebut. Khaigor pun sontak mengejar anjing itu, lalu melemparkan pedangnya mengenai salah satu kaki belakang kanannya hingga terluka. Kakinya pun seketika kesakitan berjalan pincang sementara. Anjing itu pun menggigit pedang itu dan menahannya, menggunakan senjata itu menatap Khaigor dengan penuh beringas bersedia menghadapinya. “Ternyata dia sampai secermat itu,” ucapnya dalam hati tercengang tak menyangka. Khaigor yang tak punya senjata apa pun, serta pelindung dan baju zirah, serasa harus melawannya menggunakan kekuatan tubuhnya sendiri. Pemilik anjing itu ketakutan, pergi masuk ke dalam toko.

Tiba-tiba ada seorang anak kecil lelaki menyahutnya, “Hei!!!... Kau di sana ke sini...!!!”  Khaigor menoleh, anak itu berada di lantai atas terlihat di luar jendela rumah, menyuruh Khaigor menggunakan ketapelnya dan karung kecilnya seukuran genggaman tangan, “Ini kemari, pakai ini!...” Sontak Khaigor berlari sekian langkah, lalu dia mengambil ketapel dan karung kecilnya yang dilemparkan, lalu membukanya, di dalamnya tersedia berbagai batu dan logam berbentuk bundar bersudut, agak mirip dengan bentuk kristal yang baru dihancurkan tuk diambil. Sebagai bahan lontaran ketapel tersebut. Dia menggunakan ketapel itu mencoba penuh ketelitian. Anjing buas itu lari menujunya, dia mengketapel mengenai salah satu matanya. Anjing itu semakin mencoba menghindari serangan ketapelnya dengan jalan yang masih tidak stabil, karena menahan sakit akan luka di kakinya. Dia terus mengketapel mencoba mengenai anjing itu.

Khaigor yang sekarang memiliki sarung pedangnya, dia gunakan sebagai senjatanya, jika sarung pedang khusus dipakai untuk menyimpan pedang, maka sarung pedang berarti bisa menahan gaya beban pedang dalam kondisi gaya tertentu, pikirnya. Dia menahan serangan pedang dan cakar kaki dari anjing itu. Lalu menahan lehernya dengan sarungnya dari arah belakang dengan tangan dan posisi di sebelah badannya, kemudian naik duduk ke atas badannya, menindih tubuhnya dan masih mencekik lehernya dengan sarung pedang itu, dan kemudian memasukkan sarung itu ke pedang yang digigit anjing itu. Dia memukul-mukul kepala anjing besar itu.

Kemudian dari balik belakang salah seorang warga pria, melilitkan tali yang sudah dilingkarkan sebelumnya ke leher anjing itu, dibantu Khaigor hingga anjing itu pun pingsan. Mereka merantai anjing itu dan memasukkannya ke kandang kayu.

Khaigor menghampiri anak itu, “Aku sungguh berterima kasih padamu. Mau membantuku,” kemudian mengembalikan barangnya itu.

Mengulurkan tangan kanannya, “Bisakah kita berteman?”

“Bisa,” bersalaman, “Jadi siapa namamu?”

“Verdis, namamu?”

“Khaigor, untunglah kau ada di sini.”

“Ya,” Melepaskan salaman genggaman tangan. “Di mana rumahmu?”

"Rumahku berada di pinggir kota yang terletak di dekat toko, tidak jauh dari sini yang mengalir di sebelah timur. Di sekitar toko, rumahku sendiri terbuat dari batu dengan atap yang terdiri dari genting-genting keramik, pintu kayu besar berwarna cokelat tua dan jendela-jendela berbingkai putih di fasadnya. Jika kau mengikuti jalan setapak yang melintasi ini, rumahku berada di sebelah kanan, tepat di ujung jalan sebelum sampai ke taman kerajaan.”

“Bisakah aku nanti berkunjung ke rumahmu?”

“Ya, aku akan memberitaukannya nanti.”

“Kenapa?”

“Sebetulnya mungkin aku tak tinggal di sini lagi seperti dulu, aku akan menetap, bolak-balik, berpindah-pindah.”

“Mengapa kau pergi?”

“Aku akan menjadi Gridor, jadi aku harus ikut mereka dalam pekerjaan para Gridor.”

“Oh Gridor aku tau mereka, para kelompok terkenal pembasmi monster, sosok jahat dan prajurit bayaran, apakah menurutmu aku kemungkinan nanti dapat menjadi Gridor? Ayolah, aku pernah diajarkan bertarung oleh ayahku dulunya yang seorang prajurit di medan perang.”

“Kau harus perlu pertimbangan yang teramat matang terlebih dahulu, bahwa untuk menjadi Gridor itu adalah pekerjaan taruhan nyawa yang jauh lebih mandiri dan tugas yang sangat sulit katanya.”

“Apakah kau meragukanku?”

“Kau perlu waktu mempertimbangkannya. Kau harus bersedia melalui risikonya dan katanya lebih berisiko, dari pada menjadi manusia biasa dengan gelar prajurit tertinggi. Aku saja sudah merasakan betapa berisikonya menjalani hidup seorang ksatria. Kau baru saja mengatakan, “kemungkinan,” itu saja sudah membuat kau merasa ragu. Datanglah ke sana nanti dengan sendirinya. Ketika kau benar-benar sudah sungguh merasa mampu dan siap.”

“Ku’kan tetap terus berlatih dan mengingat itu teman. Dan akan datang ke sana nantinya.”

Melihat anjingnya yang keluar liur berlebih dan sangat agresif dia menduga, “Anjing ini rabies, lebih baik segera dibawa ke dokter, aku menyarankan untuk kau tidak memeliharanya kembali meskipun setelah dia sembuh.”

Lagi pula ini juga bukan salahnya sang pemilik itu, memang hewan sebagian besar tetaplah mempunyai sifat liar pikirnya.

Besok harinya mereka bersiap-siap untuk perjalanannya.

“Sudah siap!... Ayo kita berangkat,” Mereka pun berangkat dengan menunggangi kuda dan untanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status