Share

Para Pencari Kunci
Para Pencari Kunci
Penulis: Yeremia Jasson

/1/

Hughes

1 Januari. 10.00 WIB.

Di saat seluruh penduduk merayakan pergantian tahun. Kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Petasan menggelegar, kembang api memancar. Dan kami hanya duduk dengan kikuk seperti kambing yang hendak dijagal. Semuanya terasa muram di ruang karantina.

Mungkin, sesekali ada juga orang sinting yang masih bisa cengar-cengir dan bergerak ke sana-kemari seperti hiperaktif. Tapi itu hanya si rambut ungu.

Kami sekarang berdiri berdempetan. Di sebuah ruangan kelabu dengan lift teronggok di hadapan kami. Semuanya mematung dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Sebagian peserta memisahkan diri dari rombongan, berdiskusi di sudut ruangan dengan rekan satu regu. Melempar tatapan suram ke lift, dan menanti para penjaga yang tak kunjung datang.

Aku tidak tahu perasaan menegangkan ini datang sejak kapan. Tapi semuanya memang tampak waswas, seolah uang 100 juta yang telah kami pegang, tidak berarti lagi saat harus memasuki lift dan memulai semuanya.

Ronal menyenggol rusukku. Dia pemuda berambut gelap dengan hidung bengkok, matanya kotor karena terpapar banyaknya polusi. 

“Nomor kita berapa?” Suaranya datar, tetapi sedikit bergetar. Matanya berair karena dia terus menerus menguap, merasa gugup dan tegang akan membuat kau mengantuk.

Kami di urutan ke 16; regu terakhir, yang akan masuk ke lift dan berangkat setelah ruang tunggu melompong.

Peserta lain telah sempurna memencar dan menjaga jarak. Hanya kami yang tetap bergeming sejak awal kedatangan. Ada sepasang kekasih—karena mereka sering meremas tangan satu sama lain—di tengah ruangan yang sibuk berbisik-bisik.

Di lain tempat, dekat dengan pintu masuk yang telah terkunci. Perempuan berambut ungu dan rekannya, pria berdarah asia dengan rambut lepek saling bertukar senyum. Mereka bercanda. Di saat-saat seperti ini.

Perempuan ungu itu menyusupkan satu tangannya ke saku, dia mengendikkan dagu ke semua peserta, lalu berhenti saat mata kami bersitatap.

Kuperhatikan wajahnya, dia juga ikut mengamati. Rambut perempuan itu sebahu, matanya kelabu, bibir mulus, dan tubuh semampai.

Dia golongan elite. Karena biasanya orang-orang kaya sangat senang mencorak-coraki rambut dengan warna nyentrik yang cenderung norak.

Detak sepatu terdengar dari pintu di sebelah timur yang langsung membuka.

Tiga penjaga dengan seragam hitam tanpa ekspresi memasuki ruangan. Mereka memegang senapan kejut yang siap menyambar jika ada peserta yang macam-macam. 

Pria yang paling depan mengecangkan pegangangan di senjata. Dia berhenti, memunggungi lift, diikuti anak buahnya yang bersiaga.

Matanya berwarna kuning-karat dan tampak malas. Dia menyisir ruangan sekejap, lalu berkata dengan suara seperti guru pemurung. “Kalian sudah tahu aturan main?" 

Semua peserta—atau mungkin sebagian, mengangguk kaku.

Si pria berputar, para penjaga lain menyebar. Pria jantan itu berhenti di depan lift, menekan-nekan tombol yang hanya bisa dirinya mengerti, lalu bergeser ke samping dua langkah. Pintu lift berdesis, asap menguar. Suara berdentang membuat Ronal terkejat.

Kami memerhatikan proses yang rasanya panjang itu sambil membisu. Bahkan si wanita ungu—yang entah mengapa seperti magnet bagiku, mengatupkan mulut dan memasang air muka waspada.

Pintu lift terbuka lambat-lambat. Tidak ada apa-apa di dalamnya, jangan kau harapkan apa pun.

Si pria penjaga menggantung senapannya di satu tangan. Sekonyong-konyong,  suara robot mengaung memenuhi ruang tunggu.

“Nomor satu. Samantha Black. Kim Huang.”

Si rambut ungu, yang bernama Samantha, melenggang maju, ranselnya berayun-ayun seiring langkahnya. Mereka berhenti di samping penjaga yang masih muda, disuntik sesuatu, dan dipersilakan lewat.

Kelompok pertama itu masuk, belum sempat mereka membalikkan badan, lift tertutup dan terangkat dengan gerakan menyentak.

Keheningan merambati ruang tunggu selama beberapa menit.

Ronal memecahkan tegangnya suasana lebih dulu. “Kau lihat kuncinya, kan? Aku lupa, men.”

Aku mengangguk, berusaha mengingat siaran langsung pelemparan kunci di ruang tunggu pertama.

“Kita ke hutan kegelapan," kataku, "jatuhnya kunci itu di sekitaran danau ... semoga saja benar.”

Dia tertawa gugup. “Sebenarnya kalau kau tak lihat pun tak ada masalah. Aku ada rencana yang lebih baik daripada mencari kunci sampai mati.”

Aku tak menjawab karena lift kembali turun, sepasang kekasih tadi, yang rupanya bernama Hendro dan Andrea, menerima suntikan dan akhirnya berangkat.

Kami memandang bersamaan pada lelaki dengan kaki kiri bengkok yang berjalan mendekat. Biarpun berkaki bengkok, langkahnya tetap mantap dan tanpa ragu. Dia berhenti di hadapan kami. Mengulurkan tangan. Kulit orang itu  kemerah-metahan karena terpanggang matahari, dia tersenyum.

“Garrincha.”

Ronal menjabat tangan lelaki bernama aneh itu. Bukan aneh, tapi aku serasa pernah mendengarnya. Nama yang terasa kuno, dan sudah sangat pudar. Entah kapan aku mendengarnya.

Aku bersalaman dengannya seperti sahabat yang telah lama berpisah. Garrincha regu delapan, dia bersama seorang pria yang bernama Pedro.

“Apa pekerjaanmu, Hughes?” katanya setelah bersender di tembok di sampingku.

“Portir di pelabuhan. Dan kau sendiri?"

Garrincha termenung sebentar saat lift turun dan mengangkat peserta baru. “Aku atlet sepak bola. Pedro juga.” Dia menyentakkan ibu jari ke arah pria berwajah keras dengan rambut lurus. Pedro berdiri tegap dengan lengan disilingkan, seperti pelatih yang mengamati para pemainnya di lapangan hijau.

Aku baru ingat. “Garrincha. Nama pesepakbola ... Brazil,” gumamku.

Si kaki bengkok tergelak, dia menepuk bahuku dua kali. Kami cepat akrab, mungkin itu kelebihan atlet sepak bola. “Itu julukanku, bung. Kau tahu juga rupanya.”

Ronal menyahut, “Itu pemain lama. Bahkan kakekku bahkan belum lahir.”

Garrincha mengusap wajahnya, dia tersenyum lebar. “Teman-teman memanggilku seperti itu karena kakiku. Tapi itulah kelebihannya, kan?”

“Ya, ya,” kata Ronal, “aku sering lihat permainanmu. Makanya aku seperti familiar saat kau di sini ... lalu kenapa kau ikutan ini tuan Garrincha?”

“Hiburan,” sahut si atlet, “kami tidak lolos seleksi timnas, dan akhirnya mengikuti permainan ini.” Dia hendak tertawa, tapi mendongak saat suara robot di langit-langit memanggil antrian ke tujuh.

“Ini bukan hiburan, kaki bengkok,” sindir Ronal.

Garrincha tidak tersinggung. “Aku tahu, dan kenapa kau  mengurusi masalah kami?” Nadanya santai, tapi lelaki itu menyeringai. 

Ronal memundurkan tubuh. “Kau menarik. Semoga kita bertemu di arena secepatnya.”

Percakapan mereka terputus karena Pedro ikut bergabung. Kami bersalaman, bertukar nama dan informasi: Pedro menceritakan kegiatannya di lapangan bersama Garrincha, dan masalah remeh-temeh lainnya sampai dua atlet itu dipanggil suara robot.

“Kami pergi dulu.” Pedro mengendikkan alis, dan berlalu ke arah lift. Bahkan pria itu lebih tinggi dari penjaga yang menyuntiknya. Terlihat sekali siapa yang berlatih keras dan hanya menerima gaji buta.

Keheningan menyelimuti ruang tunggu lagi sampai lift itu benar-benar terangkat. Tidak ada peserta yang menarik perhatianku di tempat itu setelah kepergian si rambut ungu dan Garrincha.

Jadi kami menunggu dalam diam sampai tak terasa nomor panggilan telah sampai di urutan empat belas.

Tersisa satu regu lagi yang menemani kami di ruang tunggu. Kuasumsikan mereka adalah kakak-beradik, sang kakak, pemuda berkulit pucat dengan rambut mengembang, sibuk berbisik-bisik pada adik perempuannya.

Bagaimana aku tahu mereka bersaudara? Karena wajah mereka mirip, lah. Tapi kekasih yang telah lama menjalin hubungan juga terkadang memiliki wajah kembar; biarlah. Aku tak tahu mereka itu siapa.

Si kakak memutar lehernya dan berhenti saat memandang kami. Dia mengangguk sopan, dan Ronal membalas anggukan itu.

“Ernest,” katanya, lebih lantang dari yang kuduga. Perawakannya jangkung, kaki ramping, wajah masih sangat polos—belum terbakar matahari dan terkena besi karat, mungkin baru lulus SMA. Dia memperkenalkan adiknya yang bernama Eve, yang malah menatap kami sinis. “Mohon bantuannya di arena nanti, Pak.”

“Berapa umurmu?" gertak Ronal.

Ernest tampak linglung, seperti habis dihantam seseorang. “Delapan belas.”

“Aku juga delapan belas. Jangan panggil aku ‘Pak'.”

Ernest membentuk tanda maaf memakai tangannya, sang adik menarik kakaknya pergi karena nama mereka dipanggil. Setelah melakukan proses sebentar, kedua anak muda itu akhirnya sirna ditelan lift.

“Sialan bocah itu!” Ronal memaki.

“Tenang saja. Kita harus bermain tenang di tempat ini.” Aku berharap perkataan itu bisa membuatku tenang. Tapi nyatanya tidak, aku hanya pandai menasihati orang. Namun keraguan dan ketakutan juga mencengkam paru-paruku hingga terasa sesak.

Lift turun, dan tekanan di paru-paruku lepas. Kami melangkah ke depan tanpa dipanggil, bahkan suara robot tak bersuara lagi saat kami berdua selesai disuntik.

Si pria penjaga di samping lift mengatakan “selamat berjuang”. Dia memencet-mencet tombol saat kami di lift. Dan tak lama kemudian, pintu terbanting, besi berkerit, dan kami melambung pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status