Share

/5/

Garrincha.

1 Januari. 15.49 WIB

Pedro tidak bersuara sejak tadi. Kupikir dia tertidur karena terlalu bosan mengawasi keadaan dari atap. Memang suasana di tempat ini hening, ditambah nuansa yang kelam dan tenang semakin membuat semuanya membosankan. Tenang di tempat ini lain. Suasanya dapat membuatmu merinding dan bergidik, bahkan jika hanya sekadar mendengar langkah kaki.

Tidak ada dengkur hewan atau derik jangkrik, matahari tak sanggup menembus rapatnya dedaunan, tanah yang kami pijak berwarna legam, tidak bau dan sangat berdebu. Jika kau iseng menggesek kaki ke tanah, debu langsung bertebaran dan akan terdengar bunyi srek-srek. Letusan senapan beberapa jam lalu yang berasal dari arah jam 12 membuat kami siaga.

Bahkan Pedro sempat menarik pengaman senapannya hingga menghasilkan bunyi klik. Kami mengamati hutan yang tetap begitu saja dengan diam. Mungkin sebentar lagi ada orang yang menghambur keluar, berlari terengah-engah dengan wajah atau tangan bersimbah darah.

Aku menghalau  pikiran tersebut. 

 

Pedro sesekali terbatuk, dia alergi debu, dan pertandingan tiga bulan lalu membuatnya gempor setengah mati. Memang nasib berkata lain, padahal Pedro salah satu pemain yang diunggulkan akan masuk ke timnas. Tapi ada salah satu wonderkid yang mencuri perhatian pelatih, dan kami—kalau bisa kusebut pemain senior—tersingkir begitu saja. Pelatih tidak suka melihatku bermain, mungkin karena kakiku cacat.

Aku mengalami kelainan, itu sesuatu yang tak kuanggap serius. Karena aku tak perlu belajar mengetahui sikap seseorang. Biasanya orang sangat berempati pada para “cacat”. Dan mungkin saja akan mendapat diskriminasi secara berlebihan jika kau adalah atlet—terutama sepakbola. Ini yang terjadi padaku sekarang, banyak atlet yang lebih mumpuni dan memiliki fisik bagaikan pasukan khusus. Sedangkan aku berbeda dari pemain kebanyakan. Ini bukan era saat Brazil masih menyimpan trofi Jules Rimet. Banyak anak-anak berbakat yang lahir di tahun serba-modern ini.

 

Pedro berang setelah mengetahui dirinya gagal tampil gemilang di ajang mayor karena bocah 19 tahun. Tapi belakangan ini para junior memang naik beberapa tingkat lebih maju ketimbang yang tua. Mereka fleksibel, bisa bergerak semaunya dan mempunyai tubuh yang segar. Banyak pemain senior yang tersingkir karena masuknya pemain muda. Itu hal yang wajar, anak muda sekarang sangat ambisius dan hasil kerja keras mereka terbukti.

 

Lamunanku pecah karena suara ranting berderak patah terdengar dari hutan. Aku mengangkat tubuh, berusaha menampakkan diri bahwa ada yang berjaga di tempat itu. Awalnya aku berharap akan ada dua orang, atau satu, dengan tangan penuh darah sambil meminta pertolongan. Dan yang keluar malah bocah berwajah mulus itu: Ernest.

Dia hanya menyampirkan satu tali ransel ke bahu, rambutnya yang luurus sedikit acak-acakan. Wajahnya datar, tetapi akan nampak kalau dia sebenarnya tegang. Satu tangannya diselipkan ke saku, sepatunya penuh tanah kering, dan ujung celananya dilipat dua kali hingga menampakkan kaus kaki kelabu di dalam situ. Anak itu datang sendiri, dan bisa jadi sedang memegang sesuatu—pistol atau pisau—di sakunya.

   

Tapi dugaan itu patah karena Ernest mengeluarkan tangannya dari dalam saku. 

 

“Kau berjaga di sini?” Ernest menyentakkan dagu ke arah bilik yang kupungungi.

“Tidak ada yang bisa lewat kalau aku di sini.” Dari atap mulai terdengar pergerakan. Aku melanjutkan dengan santai demi meredam gesekan Pedro di atap, “Kau membawa kunci? Atau hanya menemukan tempat ini tanpa sengaja?”

 

Ernest menggeleng. “Aku tidak membawa apa-apa, hanya menunggu adikku buang air kecil.” Dia terdiam, merenung. “Kau sendiri? Di mana rekanmu? Buang air kecil juga?”

Aku mengangkat bahu. “Dia tidak kembali setelah ada yang menembak dari tengah hutan.”

 

“Kemana dia kira-kira?”

“Berjalan-jalan sebentar mencari buah yang bisa dipetik. Kuharap bukan dia yang ditembak.”

 

Ernest mengangguk. Dia waspada, sangat terlihat dari sikapnya. “Kenapa mereka berani melanggar peraturan. Apa kau ada nama yang bisa dituduh atas kejadian ini, sobat?”

“Peraturan soal senjata memang dibuat untuk dilanggar, dari dulu sudah begitu. Tidak pernah diambil pusing oleh penyelenggara.”

 

Ernest berjalan maju, lalu berhenti. Jarak kami terpaut delapan langkah. “Permainan ini diadakan delapan tahun sekali, lebih lama dari piala dunia, sampai-sampai Ibuku tak ingat kalau ada acara sejenis ini.”

“Ya. Aku juga tidak terlalu ingat jika kita punya permainan sinting.” Aku berharap Pedro tidak gegabah dan asal menembak pemuda lugu itu. Sebab dia tidak mengancam nyawa kami. 

 

Seorang gadis mendadak muncul dari kedalaman hutan, dia bersender ke pohon, dan menatapku sinis. Sangat sinis sampai rasanya perutku terpelintir jika bertatapan terus dengannya. 

   

“Aku suka gayamu di lapangan,” sahut Ernest tiba-tiba. Dia berusaha tersenyum. “Kau berbeda dari yang lain. Aku ingat saat kau melawan Uirosni FC, si pendek Gabriska kau buat jengkel karena gocekanmu. Dan lagi, waktu kau melambungkan bola saat berhadap-hadapan dengan Iker di semifinal. Sayang sekali, sobat. Kalian gagal melaju. Padahal dulu ayahku paling fanatik dengan klubmu.”

“Terima kasih, tapi beberapa orang tidak suka kehadiran si cacat ini.”

 

“Jangan merendah. Kau betul-betul bagus kok. Bahkan aku kecewa kenapa kau tidak lolos seleksi timnas.” Ernest mengentak-entakkan kakinya ke tanah, dia baru bertingkah seperti anak muda pada umumnya sekarang. “Kalau menurutku, Fernandez tidak cocok diikutkan kompetisi sebesar itu. Umurnya sepantaran denganku. Oh, astaga, kurasa pelatihmu memang sinting. Fernandez itu apanya yang bagus. Dia cuma menang tinggi dan tampan. Coba kau jegal sekali atau gocek, pasti dia terpuruk. Kau ingat tidak? Waktu bocah itu dihantam si mata biru. Dia langsung guling-guling. Lebay sekali dia.”

Aku tertawa singkat. “Kau tidak tahu kalau anak itu memang bermain sangat bagus, dia seperti Pele.”

 

“Pele? Siapa dia?” Satu alisnya terangkat. 

 

Anak zaman sekarang tidak tahu Pele, legenda itu telah lama tergusur oleh nama-nama baru yang lebih cemerlang dan mengilap beberapa tahun belakangan. 

 

“Dia legenda sepakbola, umurnya baru 17 tahun saat memenangi piala dunia. Itu sudah lama sekali. Bahkan kakekku belum lahir.”

   

Di ujung sana, tatapan Eve berangsur tenang. Bisa saja dia menunggu momen untuk menembak kami. Tidak ada yang tahu siapa dalang keributan di tengah hutan. Bisa jadi Ernest tengah memancing perhatianku agar dia bisa mengulur waktu.

 

“Kau tahu siapa yang menembak?” aku bertanya.

 

Ernest menggeleng. 

Tidak ada yang bicara selama beberapa detik, mungkin Ernest dan Eve ingin beristirahat, terlihat bahwa mereka terus-terusan memutari hutan. Adik Ernest di ujung sana telah duduk dan menekuk lutut.

Ini terasa canggung, dan ada rasa bersalah yang menggerogoti benakku saat sadar Pedro masih membidik dari atas. Posisinya tidak terlihat karena gelap, dia juga berkamuflase. Pedro telah berjanji akan menekan pelatuk jika ada yang mendekat dan bertingkah.

   

Ernest menghela napas berat, siap berbalik pergi. “Soal kau bermain indah di lapangan ... itu benar, aku juga kecewa saat kau tidak termasuk ke golongan timnas. Kau sungguh-sungguh berbakat, bung. Kalau Pedro ... aku tidak terlalu menyenangi gayanya... dia arogan, darahnya cepat mendidih. Menurutku dia pantas tidak masuk ke timnas.”

 

Tenggorokanku tercekik. Pedro di atas, dia di atas asal kau mau tahu!

Ledakan senapan membuat jantungku melompat, gendang telingaku berdengung, terdengar bedebuk tubuh seseorang membetur tanah. Jeritan melengking seorang gadis membuat pandanganku berair, raungan senapan kembali menyalak demi memastikan suara itu lenyap.

Aku langsung jatuh berlutut, kepalaku hanya diisi bunyi ngiing selama beberapa menit, suara Pedro memaki-maki membuatku sadar bahwa semuanya telah sirna. 

Tangan lebar menekan ketiakku, aku tersentak bangkit. Pedro mendorongku hingga menempel ke tembok bilik, napas temanku terengah-engah dan berat.

 

“Bocah perempuan itu kabur,” kata Pedro dengan bengis. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, satu tangannya memegang senapan dengan ketat. Di balik punggungnya, aku mencuri-curi pandang untuk melihat tubuh Ernest yang berbaring ke samping dengan pelipis pecah. Cairan merah-gelap mengaliri tanah di sekitar batok kepala anak itu.

 “Kau harusnya tidak menembak.”

Pedro menggebrak tembok dengan popor senapan. “Anak itu yang buat masalah duluan! Tidak usah memiliki hati malaikat lagi di tempat ini, Garrincha!” Dia mendengus, memalingkan muka. “Tak ada yang bisa kau bantu di tempat ini, semuanya musuh! Kau mengerti?”

Aku mengangguk kaku.

 

Begitu Pedro berderap pergi dan kembali ke atap, aku menutupi tubuh Ernest dengan kain yang kubawa untuk menjadi alas tidur. Anak itu lebih memerlukannya sekarang. Kubentangkan kain itu dari kepala hingga dada, lalu segera pergi sebelum isi perutku keluar semua. Aku berjalan dengan lunglai, langsung duduk dan bersender, lalu berharap bahwa Eve bisa menemukan seseorang yang akan membatunya di permainan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status