Share

4-Jatuh dan Cinta

Jatuh dan cinta adalah dua hal berbeda, namun keduanya sama-sama menghasilkan luka.

•••

Arga mengacak rambutnya frustasi saat menuruni tangga, tergesa-gesa ia meraih kunci motor di nakas ruang tamu. Ia yakin Mery marah dan sakit hati, tapi ketahuilah, Arga mengatakan itu saat emosi, wajar ia tidak bisa mengontrol diri.

Ketika sampai di teras Arga berpapasan dengan mamanya, Anggie terlihat sibuk mengusap punggung tangan. Arga mengernyit melihat hal itu, kadang mengusap kadang mencium punggung tangannya sendiri, Arga jadi bingung apa yang mamanya lakukan.

"Ma, Mery tadi bilang apa?" tanya Arga.

Anggie tersadar, ia buru-buru menyimpan tangan. "Oh-eh, Mery? Mau pulang katanya, takut Om Riko nyariin, memangnya kenapa?"

"Pulang?" Arga mengernyit. "Om Riko lembur malam ini, nggak mungkin dia nyariin Mery. Kenapa Mama nggak cegat?"

"Lah, mana Mama tau, tapi sini deh, tangan mama basah habis dicium sama Mery."

Mata Arga membulat, semakin yakin jika Mery sakit hati hingga cewek itu menitikkan air mata. Arga tidak membuang waktu lagi, tanpa merespon ucapan Anggie, ia menuju garasi dan segera melaju keluar gerbang rumah bersama motornya.

"Lah, tuh anak diajak ngomong malah pergi," gerutu Anggie.

★★★

Hembusan angin yang berhembus melalui jendela kamar menemani sore Mery, air mata yang sejak tadi membasahi pipi menambah haru suasana hati. Sampai di rumah, ia tidak langsung mandi namun malah menyendiri sambil memeluk lututnya sendiri.

Hatinya sakit, matanya sembab, sudah lima menit berlalu ia menangisi perkataan Arga tadi. Dengan bersandar pada dinding kamar, menatap ke arah jendela, dari situ Mery bisa melihat padatnya jalanan kota Bandung meski sudah sore.

Ponselnya bergetar, Mery menghela napas, diambilnya ponsel yang terletak di nakas. Layar itu menampilkan nama Diangin dengan 20 panggilan tidak terjawab. Mungkin, saking asiknya melamun ia baru menyadari ponselnya bergetar.

Air matanya kembali tumpah, jujur, ia ingin sekali menjawab panggilan Arga namun apa daya, dadanya masih sesak mengingat perkataan cowok berhidung mancung itu. 

Ponselnya kembali bergetar, tapi kali ini panggilan itu atas nama Raya.

Sore, sahabat guee. Gimana kencan lo bedua, romantis? Seru? 

"B aja," jawab Mery.

Yah, gue berharap dia grepe-grepe lo. Biar langsung kawin.

"Ya."

Hm?

"Kok lo makin bangsat?"

Si anying. Elo kali yang makin bucin.

Mery terkekeh. "Au ah."

Lu mau ikut nggak, Ry? Gue sama Tasya otw clubbing, nih. Udah lama dong kita nggak ke sana. Elo sih ngebucin mulu.

"Kenapa lo jadi nyalahin gue, kutil?!"

Terserah gue lah, jawab aja bego.

Mery menimbang-nimbang, dia melirik jam weker bermotif hello kitty di nakas, menunjukkan pukul 5.15 sore. Itu artinya, dia masih punya waktu banyak sebelum Riko pulang.

Mery menghela napas, diliriknya jam weker pemberian Arga. Dia masih ingat, Arga memberikan itu agar tidak terlambat bangun pagi. Namun, untuk apa ia menyimpan jam itu ketika dia sendiri bukanlah prioritas lagi?

Mery tersenyum kecut, dihempasnya jam weker itu hingga pecahan beling berserakan di lantai.

"Bahkan waktu udah menjawab, Ga. Kalau kita udah nggak cocok bersama lagi."

★★★

"Ayo, Ry. Angkat, aku mohon."

Arga berdecak, tidak terhitung sudah berapa kali ia menghubungi Mery. Hasilnya nihil, satu panggilan pun tidak cewek itu jawab. 

Salahkan dirinya yang belum bisa mengontrol emosi, padahal sudah dua bulan menjalin hubungan bersama Mery.

Motornya kini melaju dengan kecepatan tinggi, sesampainya di rumah Mery cowok itu mendapati pagarnya terbuka. Arga turun dari motor lalu mendekati pintu. Tidak terkunci, kebiasaan.

Arga masuk, bukan tidak sopan, tapi dia sering melakukan ini ketika Mery tidak sengaja tertidur di motornya. Dilihatnya kamar Mery, kosong. Sama sekali tidak ada orang, ruang tamu, toilet, dapur bahkan kamar mandi sudah ia cek. Hasilnya sama.

Kembali lagi ke kamar, Arga justru menginjak sesuatu yang membuat kakinya perih. Arga meringis, matanya seketika membulat, pecahan kaca dari jam weker pemberiannya. Apakah Mery sekecewa itu padanya?

"Lo nggak tau, Ry. Ini bukan sekedar jam, gue kasih ini supaya lo ngerti, waktu gue cuman buat lo, bukan yang lain."

★★★

"Ini mau nyari kemana lagi, bos? Elah. Gue capek nih. Kita udah muter taman kota, nyari sekeliling komplek, ke rumah Tasya sama Raya apalagi," kekeh Arlan. Cowok itu memijit pangkal hidung.

Arga tidak menjawab, dia duduk di sofa ruang tamu Mery lalu mengusap wajah gusar. Sulit rasanya berpikir kemana cewek itu pergi.

"Lo sakitin dia lagi?" tanya Kevin.

Arga mengangguk singkat. Hilangnya Mery seolah membuatnya tidak berdaya.

"Yan, tuh cewek salah apa sih, tadi gue liat di sekolah lo bedua baik-baik aja?" tanya Arlan.

"Dia nggak salah, gue yang salah," jawab Arga.

"Terus kenapa lo nggak minta maaf? Emang ya, lo itu susah banget berubah. Setidaknya lo enyahin gengsi lo itu. Lo egois, Ga."

"Iya, gue emang egois, gue bodoh. Mau apa lo?!" ucap Arga, nadanya naik satu oktaf. Apalagi yang dapat dia lakukan selain menyalahkan diri sendiri. Dia memang tipe cowok egois dan sulit mengontrol diri.

Kevin berdecak, "Bos, jangan mancing. Sekarang kita fokus cari Mery."

"Mau cari kemana lagi, Vin?" tanya Arlan, dia duduk di sofa seberang Arga kemudian mendesah lelah. "Gue capek, mending gue pulang."

"Lan, jangan gitu nyet, sahabat lagi butuh lo malah pergi. Kata nenek gue itu nggak baik."

"Bodoh lah. Sahabat apa yang nggak ngedengerin sahabatnya sendiri."

"Maksud lo apa, Lan?" tanya Arga, cowok itu mendekati Arlan dengan dahi mengernyit tidak suka.

Arlan pun berdiri dari duduknya menghadap Arga. "Ga, lo sadar nggak sih. Mery itu sekarang beda, dan itu karena lo. Lo penyebabnya, lo yang bikin cewek urakan itu jadi teladan, lo yang bikin dia berhenti bolak-balik ke ruang BP kayak setrikaan, lo yang bikin dia bangga sama piala terus mempertemukan dengan Bundanya. Pikir, dia hidup karena lo, dia cinta mati sama lo, dan satu-satunya penyemangat dia adalah lo. Sedangkan lo sendiri? Lo egois, lo harusnya bisa ngontrol emosi." Arlan menghela napas berat, dadanya naik turun mengatakan itu. 

Sementara Arga hanya membuang muka, dia tahu dia salah, dia tahu perkataannya tadi menohok hati Mery. 

"Dan, jangan sampai gue nyesel kedua kali karena udah ngelepas Mery."

Bugh.

Satu bogeman berhasil mendarat di sudut bibir Arlan, dia meringis, bibirnya seketika perih, darah segar lantas menetes di sudut bibirnya.

Napas Arga memburu, dia kalap bahkan berhasil memukul sahabatnya sendiri.

"Gue nggak akan biarin itu, Lan. Lo ... " Telunjuk Arga mengarah pada Arlan. Mata tajamnya menatap tidak suka. "Pengkhianat!"

"Bangsat!" Bugh. Arlan maju dan memukul rahang Arga, belum sempat mengelak cowok itu akhirnya bernasib sama.

"Dalam keadaan seperti ini, lo yang lebih cocok disebut pengkhianat, Ga. Lo janji buat jaga Mery. Tapi hasilnya apa?!"

Bugh.

Pukulan berlanjut, mereka saling memaki sambil sesekali menyebut nama Mery. Kevin mengacak rambut frustasi, berulang kali cowok itu melerai hingga berhasil jadi korban pukulan.

"UDAH WOI UDAH! Duh, sakit bahu gue kena pukul lu bedua."

Bukannya berhenti, malah semakin jadi. Keduanya kini penuh luka lebam.

Mendadak ponsel Kevin bergetar, satu panggilan masuk dari Raya.

Lelet banget, sih lu jadi cowok. Angkat dari tadi dong.

"Bacot ah. Napa lo nelpon gue?"

Gue nggak ada urusan sama lo ya, mana Arga? Kasih tau Mery lagi mabok sambil ngeracau nama dia. Kita bedua nggak sanggup mapah ke mobil.

"APA?! MERY MABOK?!"

Kevin sengaja mengencangkan suara, lantas saja perkelahian kedua sahabatnya berhenti. Mata Arga membola, dengan sisa tenaga, dia mendorong bahu Arlan lalu beranjak pergi meski penuh luka.

★★★

"Pacar, kamu jahat! Argaa. Haa, Argaa. Aku sayang kamu, tapi kamu jahat!"

Mery meracau tidak jelas seraya menyebut nama Arga berkali-kali, dengan tiga gelas vodka di hadapannya yang sudah kosong. Sementara satu gelas di tangannya tersisa setengah.

"Lagi!"

"Ry, lo udah minum empat gelas. Gue takut lo sakit," ucap Tasya.

"Biar! Biar gue sakit! Emang siapa yang peduli?!" bentak Mery. "Nggak ada!"

Raya mendesah lelah. Club sudah begitu ramai, padahal ini baru sore. Ia menyentuh bahu Mery prihatin. "Ry, gue tau lo ada masalah. Lo mending cerita ke kita, bukan kayak gini. Kita aja belum minum sama sekali."

"Bomat! Lo nggak bakalan ngerti perasaan gue. Sini botolnya."

"Enggak, Ry. Gue masih peduli sama lo." Tasya menjauhkan botol vodkanya.

"Cepet siniin!"

Mery berdiri menghampiri Tasya lalu merebut botolnya, Tasya tidak sempat mengelak, dia pasrah melihat Mery menuang vodka itu lagi ke gelasnya.

Baru saja gelas itu menyentuh bibir, seseorang datang menepis tangan Mery hingga gelasnya berakhir pecah di lantai.

Musik club terhenti, semua pasang mata menatap ke arah Mery. Terutama Arga, cowok penuh luka itu menatap nyalang Mery.

"Apa yang kamu lakuin, Ry. Sadar!"

"Lo ... Arga? Arga? Ini." Mery tertawa meremehkan. Dia menyentuh pipi Arga, lalu melangkah mundur tidak percaya. "Nggak mungkin! Lo pasti penjahat kan. Haha, Arga nggak mungkin peduli sama gue, dia jahat!"

"Ry, ini aku, Arga. Aku minta maaf udah bentak kamu." Arga memegang kedua lengan Mery.

"Nggak! Lepasin!"

"Ry, aku mohon jangan kayak gini. Dengerin penjelasan aku dulu."

"Lepas- emm."

Arga mencium lembut bibir Mery, dibaliknya posisi hingga cewek itu menjauh dari kursi, Arga duduk, sementara Mery berada di pangkuannya. 

Ditekannya tengkuk cewek itu agar bibir mereka tetap menyatu, Mery meronta minta dilepaskan, Arga tetap tidak peduli, dia memperdalam ciumannya meski beberapa orang memperhatikan. Termasuk Raya dan Tasya yang membekap mulut terkejut.

Dirasa sudah kehabisan napas, Arga melepas ciumannya, bibir Mery basah, dapat ia rasakan bau alkohol menyeruak dari cewek itu.

"Maafin aku ya, Ry. Maaf." Arga kembali menyatukan dahi mereka, cowok berhoodie abu itu meneteskan air mata. Sedangkan Mery hanya diam, menunduk lemas. Pengaruh alkohol membuat kepalanya pusing.

Arga menatap Tasya. "Bawa mobil?"

"Ba-bawa kok."

"Gue pake nganter Mery pulang. Lo pake motor gue bisa, kan?"

"Bi-bisa. Nih kuncinya."

Setelah menerima kuncinya, Arga berdiri bersama Mery yang masih di pangkuannya, dilingkarkannya tangan Mery ke lehernya, sementara kedua kaki gadis itu melingkari pinggangnya.

"Ke... mana?" tanya Mery lirih.

"Pulang. Kamu bisa sakit."

"Engh-gak mau! Kamu jahat!"

"Ry."

"Turunin! Lepasin! Gue nggak mau ikut sama lo! Lo jahat! Lo siapa sok peduli sama gue?!"

Plak!

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Mery. Rasa perih seketika menjalari pipi bahkan tubuhnya. Linangan air mata kembali jatuh, Mery menatap Arga berang, kemudian memukul sekeras mungkin dada Arga.

"Sakit! Sakit! Sakit!"

Tangan Arga bergetar, ia menatap tangan yang berhasil menampar Mery, dasar bodoh! Bodoh! Apa yang dilakukannya tadi? 

Arga memejamkan mata sejenak, setelah sampai, dibukanya pintu mobil dan di dudukannya pelan cewek mungil itu. Bersamaan setelahnya Arga masuk melalui pintu satunya. Dilihatnya Mery sedang bersandar sambil berkata, "Sakit Ga! Sakit... "

Hati Arga seolah tertusuk ribuan jarum, kesal, ia menggebrak setir mobil.

"Gue emang jahat, Ry. Jahat!"


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status