Share

12. Probabilitas Kehidupan

Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.

Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempar. Apalagi di lemparan pertamanya. Satu per satu titik yang didapat pun nggak masalah selama tetap bisa melangkah. Selama masih menjadi pemain, Nuning akan terus mengocok dan melempar dadunya dengan ringan.

Singkat cerita, Nuning mendapatkan peruntungannya gara-gara iseng lari pagi ngiterin kampung. Ngelewatin kebon yang ada pohon mangganya sedang berbuah lebat. Bikin tangannya gatel kepingin nyerampang. Eh, ternyata orang yang punya lagi ngelongokin buahnya di bawah pohon. Nuning pun melipir mendekat, sok kenal sok dekat. “Wah mangganya sudah bisa dipanen ya, Bu?” sapanya basa-basi.

“Iya nih, Neng. Ibu lagi mau nyari orang buat metik.”

“Saya juga bisa petikin kok, Bu. Gampang ini mah.” Nuning mendongak mencari-cari tempat pijakan yang pas.

“Yang bener aja, Neng? Masa cantik-cantik gini mau manjat pohon?” kata si ibu sembari ketawa nggak percaya.

“Ibu orang pertama yang bilang saya cantik,” katanya seraya menggulung lengan kaus oblongnya lalu mulai memamerkan keahliannya manjat pohon.

“Aduh, awas Neng ntar jatuh!” pekik si ibu rada ngeri.

“Ini mau diambil semua, apa yang mateng pohon aja, Bu?” tanyanya nggak peduli sama tatapan si ibu yang keheranan memandanginya dari bawah.

“Semuanya, Neng... tapi yang masih pentil mah jangan,” jawab si ibu ragu-ragu tapi kemudian bersemangat menyiapkan wadah dan karung setelah melihat sendiri kelincahan Nuning nangkring dari cabang ke cabang memetiki mangga.

Dua jam kemudian, Nuning kelar memetik mangga dan membantu si ibu merapikan karung-karungnya. Si ibu yang ternyata bernama Murni terus-terusan memujinya karena takjub, baru tumben liat orang memetik mangga selincah itu. Lebih kaget lagi karena Nuning enggan dibayar.

“Saya cuma bantuin kok, Bu. Kebetulan lagi nggak ada kerjaan,” katanya dengan mendorong tangan Bu Murni agar menyimpan kembali uangnya.

“Aduh, saya jadi nggak enak, Neng.”

“Nggak apa-apa kok, Bu...” sahut Nuning tulus. Padahal niatnya tadi kepingin nyolong. Namun melihat kebaikan dalam wajah Bu Murni, mengingatkannya pada Emak di kampung, seketika hati Nuning melumer insaf.

Saat keduanya asyik ngobrol sambil kenalan, seseorang datang menyela, “Bik, mana pohon yang mau dipanen?”

“Eh, Jimin? Ngagetin aja datang-datang nggak pake salam. Ah, telat kamu! Tuh, udah beres... dapat tiga karung.”

“Loh, kok? Siapa yang metikin?” tanya Jimin keheranan.

“Nih, Nuning...” kata Bu Murni mengenalkan.

Jimin garuk-garuk kepala heran mengetahui kalau ternyata seorang cewek yang melakukannya. “Beneran ini kamu sendirian yang memetik semuanya?” tanyanya gak percaya.

“Iyalah, emangnya dibantuin jin? Aku kan bukan Roro Jongrang.”

“Wah, hebat... Mau nggak kamu bantuin aku petikin buah mangga lagi? Aku lagi kewalahan nih gak ada yang bantuin, padahal ada beberapa pohon yang mesti dipanen dan diantar ke pasar ntar malam,” kata Jimin, kemudian menyebut jumlah bayarannya.

Mata Nuning pun jadi ijo mendengar keahlian manjatnya ternyata bisa juga jadi duit. “Mau, mau!” katanya antusias. Lalu tanpa basa-basi ia pun membantu mengangkut tiga karung mangga ke sebuah mobil bak.

Mereka kenalan sambil ngobrol. Ternyata Jimin keponakannya Bu Murni, kerjaannya tiap hari keliling kampung ngumpulin buah-buahan yang dibeli dan dipetiknya sendiri lalu dijual ke pasar induk di Jakarta. “Aku kerja kayak gini sejak lulus SMA tiga tahun lalu, bantuin Bapak. Tapi tetap dapat bagian bayaran. Yaah, ketimbang buat bayar orang lain? Hitung-hitung sekalian ngajarin aku usaha,” oceh Jimin sambil menyusun karung-karung buah di mobilnya dibantuin Nuning yang bercucuran keringat. Lalu mengajak Nuning nangkring di atas karung sebelum mobil mulai melaju menuju kebun selanjutnya yang siap dipanen.

“Kok kamu nggak duduk di depan aja menemani Bang Agus nyetir?”

“Terus kamu sendirian gitu?”

“Nggak masalah kok sendirian, santai aja.”

“Nggak ah, bosen duduk sebelahan sama Bang Agus mulu. Orangnya kelewat diem, enakan ngobrol aja sama kamu,” sahut Jimin sambil nyengir. “Lain kali, bawa handuk kecil buat lap keringatmu,” katanya lagi saat melihat Nuning sibuk menyeka keringat dengan lengan kausnya.

“Eh, lain kali? Kalau gitu artinya aku boleh kerja lagi sama kamu?” tanya Nuning dengan bola mata membesar.

Jimin mengangguk. “Kalau kamu mau ya boleh ajalah, kebetulan aku lagi butuh tenaga tetap,” katanya sembari mengangguk.

“Mau!” sahut Nuning cepat.

Jimin ketawa ngeliat semangat Nuning yang tak menyurut sejak tadi pagi, meski pakaiannya basah kuyub oleh keringat dan kulitnya gosong disengat panasnya sinar mentari. Jarang-jarang ada gadis yang cuek banget sama penampilannya kayak gini.

“Pantesan kamu gesit banget manjat dan memetik buah di pohon, jadi gitu ceritanya?” ujarnya di tengah gelak tawa, usai mendengar kisah hidup Nuning di kampung yang hobi nyolong buah di pohon sejak kecil.

“Jadi, buah-buahan ini akan langsung dikirim ke pasar induk di Jakarta? Aku boleh ikut?” tanya Nuning menawarkan diri.

“Kamu nggak capek apa?”

Nuning buru-buru menggeleng. “Nggaklah! Aku udah lama banget kepingin jalan-jalan lihat Jakarta!”

Jimin ketawa. “Tapi pulang dan mandilah dulu, lihat aja kamu basah kuyup kayak gitu.”

“Ah, nggak usah. Biarin aja...”

“Ntar kamu dicariin loh, kan belum sempat pamit sama orang rumah? Sejak pagi kamu belum pulang.”

Nuning menghela napas. “Nggak akan ada yang nyariin aku,” ucapnya masa bodoh.

Nggak tahu aja dia, Jaka kelimpungan setengah mampus nyariin keliling kampung sampai dengkulnya gemetaran, antara capek sekaligus ketakutan kalau-kalau Nuning bakalan hilang. Bisa dipentungin habis dia sama Pak Priyo kalau anak monyetnya alias Nuning beneran hilang. “Kamu di mana sih, Ning...” bisik Jaka putus asa setengah menangis. Dia belum pernah seputus asa dan selelah ini dalam hidupnya. Tapi sepertinya mulai detik ini Jaka harus mulai terbiasa dengan perasaan itu.

Sementara Nuning malah asyik ketawa-tawa sama Jimin di atas bak mobil sambil mengupas mangga dengan mulutnya lalu melahapnya dengan rakus.

“Oooh jadi kayak gitu caranya?” kata Jimin sambil menirunya. “Wow...” desah Jimin merasa seru, disahuti gelak tawa Nuning yang kesenangan karena bisa jalan-jalan melihat suasana Jakarta, meski berakhir di sebuah pasar induk yang becek, bukannya di sebuah mall megah impiannya.

***

Sebetulnya, bukannya Nuning nggak hormat sama mertua. Meski mantu jadi-jadian, tapi Nuning masih punya hati. Apalagi Bu Lilis ibunya Jaka, sahabat sekaligus suaminya. Tapi seringkali ia merasa kalau mertuanya tuh sengaja banget ngajakin gelut. Seneng bener cari-cari masalah macam kucing ngorekin kotak sampah. Bikin Nuning kepingin belajar vodoo sekalian. Biar bisa bikin tangan Bu Lilis joged-joged ketimbang buat ngelemparin tutup pancinya yang masih kreditan. Saban hari muka mertuanya berlipat-lipat kayak kertas origami. Masih mendingan juga kertas origami ada warna-warninya, kalau muka mertuanya mah pucet sepet.

Kalau habis jadi bulan-bulanan mertua, siapa lagi yang jadi sasaran empuk omelan Nuning kalau bukan Jaka? Ya iyalah, siapa lagiiii?

“Aduuuh. Kamu kan tahu ibuku emang gitu!” erang Jaka sambil nutupin kupingnya pake bantal karena Nuning masuk-masuk kamar langsung ngoceh. Sementara di luar, samar-samar suara ibunya masih ‘nyanyi’ diiringi musik perkusi dari tutup panci dan alat dapur apapun yang bisa nimbulin bunyi : klontang-klonteng-jederrr!

“Sebenernya mau ibumu tuh apa sih? Kalau ditanya baik-baik bukannya jawab tapi malah macem orang kesurupan lempar-lempar tutup panci. Kasihan pancinya tauuu. Kalau tutupnya penyok terus nggak bisa dipake lagi, ntar pancinya gimana? Kesian kan melompong sendirian.”

“Sempet-sempetnya kamu mikirin nasib panci. Nasib kita sendiri aja masih nggak jelas kok,” sahut Jaka sambil menggeliat di balik selimutnya.

“Nggak jelas? Sorry ya... Aku sih jelas udah dapat kerja, kamu tuh yang belum. Jangan-jangan ibumu stress karena ngiri aku duluan yang dapat kerja ketimbang kamu.”

“Dih! Jadi kuli buah doang sombong,” dengus Jaka senewen mengingat seharian kemarin dia capek-capek ngiderin kampung nyariin Nuning, eh yang dicariin malah pulang larut malam dianterin cowok... Untung ibunya nggak lihat! Bisa geger dunia persilatan.

“Biarin, yang penting bisa dapet duit!” sahut Nuning senyum-senyum senang.

“Sampai kapan maau kerja jadi kulinya si Jimin itu?”

“Sampai aku dapat duit banyak!” sahut Nuning seenaknya.

“Mana bisa jadi kuli doang bisa dapat duit banyak?”

“Terus? Mau nyariin kerja buatku? Nah, kamu sendiri aja masih nganggur?”

Skakmat! Jaka mati kutu.

“Bisa nggak sih, Ning... Kamu hargai perasaanku dikit aja?”

“Oke, mau harga berapa? Lima ribu? Sepuluh ribu?”

Jaka menghela napas ngumpulin kesabaran. “Kalau sampai orang-orang tahu kamu itu istriku, tapi tetap kerja sama Jimin kayak gitu, apa nanti kata orang?”

“Sejak kapan kamu sibuk sama pikiran orang? Sejak kapan kamu malu karena aku?”

“Sejak sekarang! Apalagi ini bukan kampung kita. Semuanya berbeda, Ning. Ini semua nggak sesederhana seperti yang kita pikirin sebelumnya. Apalagi kita tinggal sama ibuku sekarang.”

“Ya udah, kita pindah aja dari rumah ibumu. Kita pindah ke Jakarta! Yuk?”

Lalu terdengar suara panci dilempar lagi, bikin keduanya mencelat kaget. Nuning buru-buru ngusap-ngusap pantat, bukannya dada letak jantungnya berada. Soalnya kalau kaget dia suka refleks kentut. Dan kentutnya berbahaya bagi orang di sekitarnya, sama bahayanya dengan efek gas beracun yang bisa bikin orang langsung pingsan menghirup baunya.

“Yakin... jantungmu bakalan kuat dengerin suara bom panci meledak kayak gini tiap hari?” bisik Nuning memprovokasi.

“Tapi, dia ibuku. Aku nggak bisa ninggalin ibuku sendirian. Tujuanku balik ke sini kan buat menemani beliau sampai hari tuanya.”

“Kalau gitu, aku yang akan pergi sendiri.”

“Kamu nggak bisa seenaknya minggat dari rumahku. Atau kupanggil bapak sama emakmu ke sini buat jemput kamu!”

Nuning manyun lalu menginjak kaki Jaka seenaknya. Bikin cowok itu kelojotan sakit, tapi Nuning nggak peduli. Dia terlalu jengkel sama kenyataan harus jadi istri Jaka betulan, sementara di luar sana ada kegembiraan bersama Jimin yang menantinya. Pertemanannya dengan Jimin seharian kemarin mengingatkannya akan kebersamaannya dengan Jaka semasa di kampung dulu yang bebas apa adanya. Sekarang, Jaka nggak asik kayak dulu lagi sejak kembali ke pangkuan ibunya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status