Lamaran pernikahan dari keluarga bangsawan tingkat tinggi mengejutkan mereka sekeluarga. Berdamai dengan keadaan yang memojokkannya berharap kesabaran akan membuahkan hasil... Selembar dokumen membuat kesalahpahaman semakin nyata, membuat luka di hati semakin menganga. Malang tak dapat ditolak, nasi sudah menjadi bubur... penyesalannya datang terlambat. Kesalahpahaman semakin sulit dijelaskan karena yang bersangkutan sudah tidak lagi berada dalam jangkauan. Bisakah mereka bertemu kembali untuk menyelesaikan kesalahan masa lalu? Empat anggota baru dalam keluarga semakin membuat semuanya rumit dengan penolakan mereka demi kasih yang selama ini selalu ada di sisi mereka. Langkah apa yang akan diambil olehnya selanjutnya? Bisakah dia merebut hati empat anggota keluarga baru yang telah menolak keberadaannya karena dia absen selama sepuluh tahun... Simak ceritaku, selamat membaca...
view more**Bab 001: Duka**
Kamar tidur yang megah itu kini terasa sesak. Di tengah kemewahan, Atthy duduk terpaku di tepi ranjang, matanya masih membesar mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari suaminya. Duke Hugh Griffith, yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, berdiri dengan sikap santai di samping tempat tidur. Sambil merapikan pakaian yang tercecer di lantai, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati Atthy.
“Kau hanya seorang wanita bodoh. Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang mengemis perhatian pria di jalanan demi sekantung uang,” ujar Hugh dengan suara datar, tanpa ada nada penyesalan.
Kata-kata itu seakan menjatuhkan seluruh dunia Atthy. Tubuhnya bergetar, hatinya seolah tersayat oleh pedang tak terlihat. Ia ingin berteriak, menantang, melawan, namun pikirannya berkata untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya—meskipun hanya di atas kertas. Keluarganya menaruh harapan besar padanya, dan Atthy tahu bahwa ia tidak boleh mengecewakan ekspektasi itu. Namun, malam pertama ini jauh dari bayangan impian para gadis muda yang mendambakan kebahagiaan pernikahan.
“Kau puas sekarang setelah tidur denganku?” tanya Hugh dengan nada sinis, menatap Atthy seolah ia hanyalah objek yang tak layak mendapat perhatian. Sorot matanya menunjukkan kesombongan, namun dalam sekejap, ada secuil keraguan yang cepat terselubung di balik sikap acuhnya.
“Puas?” balas Atthy, suaranya gemetar namun mulai menguat. “Apakah kau pikir pernikahan ini hanya tentang ambisi dan kepalsuan? Apa aku hanya pantas dijadikan alat untuk menegaskan posisimu?”
Hugh mengernyit, lalu dengan dingin berkata, “Aku hanya ingin memperjelas posisimu, Athaleyah Galina. Kau harus ingat dari mana asalmu. Jangan biarkan gelar ‘Duchess’ di atas kertas membuatmu lupa bahwa dirimu hanya sepotong catur dalam permainan besar ini.”
Tatapan Atthy menyala. “Posisiku? Kau maksudkan aku hanyalah ‘Duchess di atas kertas’? Yang terhormat Duke Hugh Griffith, aku bukanlah boneka yang bisa kau mainkan sesuka hati. Aku punya harga diri, dan aku tidak akan terus menerus tunduk pada hinaanmu.”
Sebuah keheningan sejenak menyelimuti ruangan yang semula penuh kemewahan itu, namun ketegangan tak juga reda. Setiap helai pakaian yang berantakan seolah menjadi saksi bisu dari perdebatan sengit antara dua jiwa yang terperangkap dalam pernikahan politik. Di balik kemegahan ruangan, Atthy merasakan kegetiran mendalam—sebuah jurang kesendirian yang mulai menguasai dirinya.
“Kau pikir dengan tidur denganku, kau bisa menguasaiku? Perempuan… Aku, Duke Griffith, bukan seorang pria yang bisa kau manipulasi hanya karena aku telah menikmati tubuhmu,” desis Hugh, menambah tajam setiap kata. “Aku bisa dengan mudah mendapatkan wanita sepertimu di jalanan, dan kau? Kau hanyalah satu dari mereka.”
Mendengar kata-kata itu, Atthy menahan tangis, namun keberanian mulai tumbuh di antara reruntuhan harga dirinya. “Kenapa kau harus berkata seperti itu padaku, di malam pertamaku sebagai istrimu? Apakah ini yang kau anggap pantas? Sudah tiga bulan sejak pernikahan kita, dan kau hampir tidak pernah menganggap keberadaan diriku. Apakah semua ini hanya permainan untuk menegaskan kekuasaanmu?”
Hugh terdiam sejenak. Wajahnya memperlihatkan keraguan yang cepat hilang, digantikan oleh sikap dingin. “Aku ingin kau mengerti, Atthaleyah. Aku ingin kau sadar akan posisimu, agar tidak terlena oleh gelar kosong. Aku memberimu kesempatan untuk mengakui siapa dirimu sebenarnya—Apa ambisimu?”
Atthy tak bisa menahan kemarahannya lagi. “Apakah salah jika aku berambisi memenangkan hati suamiku?! Jadi, kau katakan aku hanyalah alat dalam permainanmu? Bahwa keberadaan dan perasaanku tidak berarti apa-apa? Aku lelah menelan semua hinaan ini, dan malam ini, aku tidak akan diam saja.”
Mata Hugh menyipit, sesaat ia terlihat tersentak oleh keberanian dan kemarahan yang terpancar dari Atthy. “Apakah kau akan terus bersilat lidah denganku? Lalu, apakah kau siap meninggalkan pernikahan yang, sekurang-kurangnya, membawa kekuasaan dan kedudukan?”
Suasana semakin memanas. Atthy melangkah mendekat, tatapannya tajam bagaikan pedang. “Aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin menentukan jalanku sendiri, hidup sesuai keinginanku, bukan berdasarkan ambisi dan aturan politikmu. Aku tidak akan mengorbankan harga diriku hanya untuk memenuhi ambisi palsu yang kau banggakan.”
Hugh terdiam, lalu berkata dengan suara serak, “Athaleyah Galina, penjelasanmu bertolak belakang dengan apa yang selama ini kupahami tentang dirimu. Namun, aku akan memberimu pilihan. Aku telah cukuo mendengar keinginanmu, kau bebas pergi dariku. Tidak perlu gunakan Raja sebagai alasan. Dengan kekuasaanku, aku pastikan kau tidak akan mendapat masalah di luar sini.”
“Aku akan pergi,” jawab Atthy dengan tegas, meski suara masih bergetar karena emosi. “Tapi kau harus berjanji. Janjikan padaku: jangan usik keluargaku, jangan sentuh mereka, biarkan mereka hidup dengan damai. Aku memilih jalan ini bukan untuk melukai, melainkan untuk kedamian keluargaku.”
Hugh terpaku sejenak, terkejut mendengar permintaan itu. Di balik sikap arogan yang biasa ia tunjukkan, sesaat tampak bayangan penyesalan yang samar—sebuah perasaan yang hampir membuatnya goyah. Namun, ego dan keinginan untuk mempertahankan kontrol segera menguasai dirinya. “Kau benar-benar keras kepala,” gumamnya, meski nadanya kini mengandung nada pertanyaan yang tidak bisa ia singkirkan.
“Benar,” jawab Atthy, menatap tajam, “dan justru keberanian inilah yang membuatku takkan terus hidup dalam bayang-bayangmu. Aku tidak akan menjadi bagian dari permainan kekuasaan yang hanya menghancurkan jati diriku.”
Beberapa saat kemudian, Atthy berbalik membelakangi Hugh. Kepalanya terasa berat, namun dia tidak bisa menahan keinginannya untuk pergi, mencari kedamaian, atau mungkin hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang begitu menyesakkan.
Hugh memandangnya dari kejauhan, menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan yang biasa. Ketika Atthy membelakanginya memperlihatkan punggungnya yang kesepian, Hugh memanggilnya dengan suara yang lebih pelan daripada sebelumnya.
''Atthaleyah...''
Atthy tidak menjawab. Hanya matanya yang bereaksi terhadap panggilan itu.
Hugh menarik napas pelan. Suaranya terdengar lebih dingin saat akhirnya ia berkata, "Jangan menyesal."
Atthy tersenyum tipis, tanpa sedikit pun goyah. "Jangan khawatir. Aku tidak akan."
Keangkuhan Hugh menolaknya untuk mengakui bahwa kali ini, firasatnya berteriak lebih keras dari sebelumnya. Bahwa bukan Atthy yang akan menyesal—melainkan dirinya sendiri.
---
Hugh membuka pintu kamarnya dengan gerakan tenang dan terkontrol, tetapi tatapannya langsung berubah tajam ketika melihat tiga pelayan pribadi Atthy berdiri kaku di depan.
Mereka sudah menunggunya.
Ketiganya berdiri dengan kepala tertunduk, tangan terlipat di depan, berusaha terlihat patuh. Namun, kegelisahan mereka terlalu jelas untuk disembunyikan.
"Pagi, Tuan Hugh," sapa Stela, mencoba tersenyum, meskipun bibirnya sedikit bergetar.
Hugh tidak menjawab.
Hanya sorot matanya yang menajam, menusuk seperti pedang, menelusuri ekspresi mereka satu per satu.
Stela langsung menunduk lebih dalam. Bela menggigit bibirnya, mencoba menahan kecemasan. Rosa, yang paling muda, sudah hampir kehilangan keseimbangan karena lututnya melemas.
Hening.
Ketegangan terasa menyesakkan, seakan udara di sekeliling mereka berubah lebih berat.
"Ada yang ingin kalian katakan?"
Suara Hugh terdengar datar, tetapi tekanan di baliknya begitu kuat hingga napas mereka tersendat.
Mereka saling pandang. Tak satu pun berani berbicara lebih dulu.
"Kami... hanya memastikan jika Duchess membutuhkan sesuatu," Bela akhirnya bersuara.
Kebohongan.
Terlalu rapi.
Hugh menghela napas perlahan. Ia tidak tertarik mendengar alasan mereka.
"Kalian seharusnya tahu..." Hugh berhenti sebentar, membiarkan kata-katanya menggantung di udara.
"...bahwa aku bukan pria yang bisa kalian bodohi untuk kedua kalinya."
Mereka membeku.
"Satu kesalahan lagi..." Hugh mendekat setengah langkah, cukup untuk membuat mereka mundur refleks.
"...dan tidak akan ada kesempatan ketiga."
Tatapannya tetap dingin, tidak ada kemarahan yang meledak-ledak—hanya keputusan mutlak yang tak terbantahkan.
Ketiganya kini tahu satu hal pasti.
Hugh Griffith tidak akan memberi mereka kesempatan lagi.
Tanpa menunggu reaksi mereka, Hugh melangkah melewati mereka, seolah mereka bukan siapa-siapa lagi baginya.
Ketiga pelayan itu tetap terdiam di tempatnya, tertahan dalam ketakutan yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.
---
"Tuanku, ada yang harus saya persiapkan?" tanya Helena, kepala pelayan, yang baru tiba dengan sigap.
"Panggil Alwyn ke ruanganku segera, dan juga Dr. Windfold untuk melihat kondisinya!" seru Hugh, suaranya tegas.
Helena sedikit terkejut. "Maaf, tuanku?!"
"Dia... Sepertinya terluka. Tidak... Dia memang terluka... Sudahlah! Kau urus saja dia!" suara Hugh semakin tegang. Ekspresinya tetap dingin, tetapi Helena menangkap sesuatu yang aneh—sebuah kecanggungan.
Helena mengernyit, bertanya dalam hati. Kenapa pria setenang gunung es ini tampak tersipu?
Namun, dia menyimpan rasa ingin tahunya. Profesionalitas adalah yang utama.
"Baik, tuanku," jawabnya, meskipun hatinya penuh tanda tanya. Namun, sesuatu dalam diri Hugh mulai menarik perhatiannya.
Helena beralih menatap ketiga pelayan pribadi Atthy yang masih berdiri cemas di depan kamar.
"Ada apa dengan mereka?" pikirnya. "Apa yang mereka sembunyikan sampai harus bicara hanya dengan tatapan mata?"
Namun, saat ini majikannya lebih utama.
"Apa lagi yang kalian tunggu?! Masuk!" perintahnya.
Begitu mereka masuk, ekspresi mereka berubah menjadi cemas. Helena tersentak ketika melihat kondisi kamar. Matanya membelalak, tangannya menutup mulut. Ruangan berantakan. Namun, lebih dari itu—penampakan Atthy membuat dadanya sesak.
"Ah, Duchess!" seru Helena, cepat mendekat. "Ada apa ini?"
Atthy menatapnya, matanya kosong tetapi tegas. Wajahnya memelas, seolah meminta pertolongan tanpa mengatakannya. Namun, di balik kepedihannya, ada harga diri yang tetap ia pertahankan.
Helena tahu, Atthy bukan wanita yang dengan mudah akan menerima simpati. Justru karena itu, melihatnya seperti ini jauh lebih menyakitkan.
"Duchess, saya akan sege—"
"Helena," potong Atthy, suaranya serak. "Tinggalkan aku... Tolong, biarkan aku sendiri."
Helena terdiam, terkejut dengan permintaan itu. Namun, melihat betapa rapuhnya Atthy, dia menahan dirinya dan menurut. Dengan berat hati, ia meninggalkan kamar itu, meskipun kecemasannya semakin menguat.
Keluar dari kamar, dia membawa ketiga pelayan Atthy bersamanya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Pelayan-pelayan itu tampak gelisah, ketegangan masih tersisa di antara mereka.
Ada sesuatu yang tidak mereka katakan.
---
Saat menuju ruang makan, Helena bertemu Alwyn.
"Nyonya Helena!" panggil Alwyn, "Tolong berikan ini pada Duchess!" Ia menyerahkan amplop berisi dokumen.
Helena mengerutkan dahi. "Dokumen?" Namun, dia tetap menerimanya. "Tuan Alwyn, maaf, bisakah Anda bantu saya? Tolong panggilkan Dr. Sarah."
"Dokter Sarah?" Alwyn tampak waspada. "Duchess sakit?"
Helena mengangguk. "Ya, tolong segera lakukan."
Alwyn tidak bertanya lebih lanjut dan pergi. Namun, hati Helena semakin tidak tenang.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Atthy?
---
Terdengar ketukan di pintu kamar Atthy.
"Duchess, saya masuk," kata Helena sebelum menyerahkan dokumen dari Alwyn.
"Duchess... Apa Anda baik-baik saja?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wanita itu.
Atthy tersenyum samar. "Aku baik-baik saja, Helena."
''Maaf Duchess, Tuan Alwyn menitipkan sebuah dokumen untuk Anda...'' ujar Helena m asih menjaga sikap profesionalnya.
Namun, saat melihat dokumen itu, ekspresi Atthy berubah. Sebuah senyum pahit terbentuk di bibirnya. Helena bisa melihatnya—mata Atthy tampak menangis, meskipun tidak ada air mata yang jatuh.
"Ada apa, Duchess?" tanya Helena waspada.
Atthy mengangkat dokumen itu, menatap Helena dengan mata kosong. "Aku sudah tidak punya gelar itu lagi. Hanya Atthaleyah Galina."
"Maaf, Duchess, saya tidak mengerti..."
"Tuanmu mengirimi aku berkas perceraian," ujar Atthy, mengacungkan surat cerai dari Hugh dengan ekspresi santai yang bertentangan dengan kesedihan di matanya.
"Apa?!" Helena terperangah, nyaris tidak percaya.
Ia bahkan lupa niat awalnya untuk mengajak Atthy makan siang. Pikirannya penuh amarah. Ingin rasanya ia segera menemui Hugh dan menuntut penjelasan.
Sebelum Atthy bisa menandatangani surat itu, tangan Helena spontan menahannya.
**Bab 085 Perjamuan 2**Pengumuman resmi berkumandang, menggema di seluruh aula perjamuan yang telah dipenuhi aristokrat dari seluruh penjuru Xipil."Yang Mulia Ratu Silvia dan Yang Mulia Putra Mahkota Cavero memasuki aula perjamuan."Sekejap, semua perhatian tertuju ke arah pintu utama. Pembicaraan yang semula memenuhi ruangan sontak mereda. Para hadirin segera memberi salam dengan penuh hormat, beberapa membungkukkan badan, sementara yang lain hanya menundukkan kepala dengan elegan.Ratu Silvia melangkah dengan anggun, gaun mewahnya berkilauan di bawah cahaya chandelier. Senyum manis terukir di bibirnya, tetapi mata tajamnya menelusuri ruangan seperti seorang pemburu yang menilai keadaan sebelum bergerak. Di sisinya, Putra Mahkota Cavero berjalan dengan tenang, wajahnya tetap tegas dan penuh wibawa, berbeda dengan adik lain ibunya, Pangeran Davion, yang tampak tersenyum penuh percaya diri di samping Grand Duke Darram.Tak butuh waktu lama sebelum Darram dan sekutunya menghampiri."S
**Bab 084 Perjamuan**Aula istana bersinar di bawah cahaya ratusan lilin yang tergantung pada chandelier kristal raksasa. Musik gesekan biola dan dentingan piano mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak hangat tetapi sarat ketegangan tersembunyi. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, menyapa satu sama lain dengan senyum penuh perhitungan.Kelompok aristokrat berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, masing-masing sibuk dengan kepentingan mereka sendiri."Duke Laurent tampaknya semakin berpengaruh tahun ini," bisik seorang Count dari wilayah barat. "Lihat saja bagaimana dia dikerumuni oleh para saudagar besar.""Tentu saja," sahut seorang Count dengan nada geli. "Pelabuhan barat tetap menjadi urat nadi perdagangan internasional Xipil. Siapa pun yang ingin bertahan dalam dunia bisnis di barat harus tetap berada di sisinya."Tak jauh dari mereka, kelompok para istri bangsawan juga sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri."Hei, Hugh Skythia malam ini dat
**Bab 083 Rapat Tahunan 2**Ruangan kembali sunyi sejenak setelah pernyataan Vadim. Kata-katanya tidak menyudutkan secara langsung, tetapi cukup untuk membuat semua orang merenung.Cavero menatap Aldrich dengan ekspresi netral. "Saya ingin bertanya satu hal, Count Veraga. Jika selatan ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, strategi konkret apa yang Anda miliki untuk memastikan keadaan tidak akan terus seperti ini di tahun-tahun mendatang?"Aldrich terdiam. Ia jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan langsung diarahkan kepadanya. Beberapa perwakilan selatan yang hadir tampak gelisah, menyadari bahwa jawaban yang diberikan bisa menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan ke depannya.Laurent tersenyum tipis dan melirik Cavero. "Pertanyaan yang menarik. Jika selatan memang ingin mempertahankan otonominya, maka seharusnya ada solusi yang bisa mereka tawarkan. Saya kira kita semua di sini ingin mendengar itu."Aldrich menarik napas dalam. "Kami... kami sedang berupaya mening
**Bab 082 Rapat Tahunan**Tegang menyelimuti para bangsawan selatan seketika itu juga ketika Cavero akhirnya menunjuk giliran mereka untuk tampil bersuara setelah diam hampir di sepanjang rapat.Cavero menatap Aldrich dengan penuh perhatian. Jawaban yang diberikan perwakilan selatan barusan tidak lebih dari pengakuan terselubung bahwa mereka memang tidak memiliki kendali penuh atas wilayah mereka sendiri. Beberapa peserta rapat mulai berbisik satu sama lain, tetapi tidak ada yang secara langsung menanggapi. Hingga akhirnya, suara Laurent terdengar di ruangan."Rumit, ya?" Laurent mengulangi kata-kata Veraga dengan nada datar. "Saya kira itu adalah penjelasan yang paling sering kita dengar dari faksi selatan setiap tahunnya. Tapi mungkin kali ini Anda bisa menjelaskan lebih rinci, Count Aldrich Veraga. Apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Anda? Apakah ada ancaman nyata, atau ini hanya sekadar masalah ketidakmampuan untuk mengelola para aristokrat di sana?"Beberapa kepala menoleh ke
**Bab 081 Dampak****Di barak para prajurit**''Yang benar saja...'' ujar Kevin dengan nada kesal, matanya menyapu ruangan yang terasa begitu berat oleh ketegangan.''Apa? Baru datang dan langsung mengeluh...'' sahut Saihan, nada suaranya tajam, tak kalah kesal.''Justru itu! Setelah sebulan penuh berkutat dengan dokumen yang tidak ada habisnya, akhirnya aku punya waktu untuk mengunjungi kalian. Tapi... apakah separah ini?''''Kau mau mengeluh?''Kevin menghela napas panjang, menekan emosinya yang mulai mendidih. ''Duchess menghilang tanpa jejak selama satu bulan, dan penyelidikan yang dilakukan Grand Duke hingga bersitegang dengan Margrave tetap tidak menemukan apa pun. Apa ini masuk akal? Sejak kapan kualitas kita menurun seperti ini?''---FLASHBACK satu minggu yang lalu**Rapat Tahunan Kerajaan **Di aula megah istana kerajaan Xipil, para bangsawan terkemuka telah berkumpul untuk menghadiri rapat tahunan. Meja besar yang melingkar di tengah ruangan diisi oleh perwakilan dari berba
**Bab 080 Kerja Sama**Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela besar ruang kerja Alwyn tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Ketegangan memenuhi udara, seakan ruangan itu semakin sempit akibat amarah yang beradu."Tuan Alwyn!" suara Saihan meledak, penuh kemarahan. Ia berdiri di depan meja, tubuhnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jangan bercanda denganku!"Alwyn yang duduk di balik meja hanya mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang menghadapi luapan emosi di hadapannya. "Apa aku tampak sedang bermain-main?" suaranya datar, tajam, dan tanpa keraguan."Aku tidak peduli jika Anda mengirimku ke mana pun," tukas Saihan cepat, nadanya penuh penolakan, "tapi kenapa harus bersamanya?"Alwyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja. "Karena dia tahu seluk-beluk Nauruan.""Aku juga!" sahut Saihan, suaranya meninggi. "Jangan lupa, aku lahir dan besar di Nauruan!""Di jalanan, Saihan Malaken." Alwyn menekankan namanya dengan nada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments