Menceritakan tentang perjalanan Denjaka dalam menjalani takdirnya yang tak biasa. Di mana ia harus terbiasa akan teror yang membuat hidupnya jadi tak tenang, bahkan mengancam keselamatan anak dan juga istrinya. Sekuat tenaga, Denjaka mencoba untuk mengakhiri semuanya. Namun, itu tidak akan bisa. Sebab, sebuah perjanjian yang mengikat dirinya meski tidak pernah ia buat akan senantiasa menyandra ia dan keturunannya sebagai pewaris darah cemani.
Lihat lebih banyakBAB 1
“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna. “Mas Den!” teriaknya sekali lagi. Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya. “Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran. “Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat. Menyaksikan langkah demi langkah yang diambil oleh Denjaka, entah kenapa hati Wintang mendadak merasa bimbang tanpa alasan yang jelas. Firasatnya mengatakan, sesuatu hal yang tidak diinginkan akan segera terjadi, menimpa sang suami yang sangat ia cintai. Merasa khawatir, Wintang tidak bisa tinggal diam. Dengan perasaan yang semakin kian bertambah cemas, Wintang menyusul langkah sang suami yang belum seberapa jauh. “Widuri, tolong jaga Masmu. Ibu mau menyusul Bapak ke depan,” kata Wintang, menitip pesan kepada gadis kecil berusia lima tahun yang duduk di tepi ranjang tempat Pandu dibaringkan sambil asyik memainkan boneka kesayangan miliknya. Anak manis itu menoleh, kemudian mengangguk patuk ke arah Wintang. “Baik, Bu,” balas bocah kecil itu, mengacungkan ibu jari miliknya dengan mantap, serta mengulas senyum yang memamerkan sederet gigi ompong yang ia punya. Widuri terlihat sangat begitu manis dan menggemaskan. Wajahnya yang polos selalu mencuri perhatian bersama rambut yang selalu dikuncir kuda. Sudah sepuluh tahun menikah, Denjaka dan Wintang hidup bahagia. Dikarunia dua orang anak, Pandu dan juga Widuri, kebahagiaan keduanya benar-benar sempurna seharusnya. Namun, tak ada satu hal pun yang sempurna di dunia ini. Begitupun dengan kehidupan rumah tangga keduanya. Segala cobaan silih berganti menghampiri, memaksa Wintang maupun Denjaka harus siap menghadapinya. Ingin segera sampai mengimabangi langkah demi langkah yang diambil oleh sang suami, Wintang mempercepat jalannya. Ia bahkan menarik sedikit kain jarik berwarna coklat dengan motif batik daun waru yang membalut tubuh bagian bawah, berusaha memperlebar langkah yang ia ambil. “Mas Den, tolong Winingsih, Mas Den …. Tolong ….” Seorang laki-laki paruh baya berkata dengan suara bergetar, wajahnya pucat pasi seperti tak berdarah lagi, langsung merangkul erat kedua kaki Denjaka begitu Denjaka sampai di ambang pintu. “Ada apa, Mbah Tarjo?” tanya Denjaka penuh tanda tanya, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan kedatangan Mbah Tarjo yang sangat tiba-tiba. Tak enak hati orang yang jauh lebih tua dari dirinya berada sejajar dengan kakinya, Denjaka buru-buru membungkukkan badan, membimbing tubuh ringkih itu untuk sejajar dengan dirinya. Tidak menolak, Mbah Tarjo menurut, membiarkan Denjaka membimbing tubuhnya begitu saja. “Tolong Winingsih, Den,” ucap Mbah Tarjo berulang-ulang kali dengan derai air mata serta raut wajah penuh ketidak berdayaan, tidak tahu harus berbuat apa selain meminta bantuan kepada Denjaka. “Iya, Winingsih kenapa, Mbah? Tolong ceritakan pelan-pelan,” kata Denjaka, berusaha menenangkan Mbah Tarjo. Tahu harus berbuat apa, melihat Mbah Tarjo tersengal-sengal, tampak kesulitan bernafas dengan nafasnya yang ngos-ngosan, dengan cekatan, Wintang yang hampir sampai malah kembali masuk ke dalam rumah, berpindah haluan menuju ke arah dapur untuk mengambilkan segelas air putih untuk tamu yang malam-malam datang tak diundang ke rumah kediaman ia dan keluarga kecilnya. “Ini Mbah, diminum dulu,” kata Wintang setelah beberapa saat pergi dan langsung kembali, menyodorkan segelas air putih yang ia bawa di atas sebuah nampan kayu dengan ukiran cantik memenuhi bagian pinggir nampan yang ia bawa, memberi kesan sederhana namun penuh pesona, sama persis seperti dirinya. Dengan kedua netra tua yang sudah terlanjur basah, Mbah Tarjo menatap Wintang penuh binar, mengambil alih gelas di tangan Wintang dengan tangan yang gemetaran. Glek! Glek! Glek! Mbah Tarjo menenggak habis segelas air putih yang disuguhkan untuk dirinya, kemudian menggenggam erat gelas yang ia pegang, menahan gemetar di tubuhnya yang semakin tidak karu-karuan mengingat keadaan sang putri kesayangan yang ia tinggal di rumah bersama Mbok Marni, istri tercintanya yang juga sudah tak muda lagi juga. “Sekarang sampean cerita o, Mbah. Sebenarnya ada apa? Ceritakan dengan pelan-pelan,” kata Denjaka penuh kehati-hatian setelah memastikan Mbah Tarjo mulai agak sedikit merasa tenang. “Tulungo Mbahmu ini, Nang …. Tulungono,” jawab Mbah Tarjo masih kesulitan menceritakan maksud dan tujuan dirinya datang kemari malam-malam buta begini. “Iya, apa yang harus saya lakukan agar bisa menolong sampean, Mbah? Monggo sampean jelaskan saja, tidak perlu merasa sungkan,” pinta Denjaka masih belum bisa menangkap maksud dan tujuan kedatangan akan Mbah Tarjo ke padepokan peninggalan Mas Cahyo yang diwariskan kepada dirinya. “Pokoknya sampean ikut saja ke rumah si Mbah. Sampean akan tahu sendiri nanti. Si Mbah bingung kalau harus menceritakan semua, sebab Si Mbah pun tidak tahu apa yang terjadi kepada Winingsih, Den,” kata Mbah Tarjo malah mengajak Denjaka untuk datang ke rumahnya. Sejenak, Denjaka melempar pandang ke arah Wintang, meminta pendapat kepada sang istri yang berdiri tepat di belakang Mbah Tarjo tanpa berkata apa-apa, hanya lewat tatapan mata yang sarat akan makna. Takut sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Winingsih, gadis ayu yang begitu sangat ramah serta berbudi pekerti luhur, Wintang mengedipkan kedua matanya, membolehkan suaminya untuk pergi. Sadar akan isyarat yang diberikan oleh sang istri tercinta, Denjaka yang masih merasa bimbang beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Mbah Tarjo sebentar, menghampiri Wintang yang juga berada tak jauh dari sana. “Kamu yakin, Dik?” tanya Denjaka merasa ragu. “Pergilah, Mas …. Ikuti kata hatimu,” jawab Wintang sembari tersenyum sangat manis, menepuk pelan dengan lembut dada kiri milik sang suami. Sebagai seorang istri, Wintang memang tahu betul keinginan sang suami yang selalu merasa terpanggil untuk membantu orang-orang yang tengah kesulitan. Meski sudah larut malam, tentu saja Wintang tidak berniat untuk melarang. Apa lagi, setelah sekian lama, baru kali ini lagi seseorang datang untuk meminta bantuan dari Denjaka. “Pandu bagaimana?” tanya Denjaka masih belum bisa membuang rasa ragu yang membelenggu kalbu. “Kamu tenang saja, Mas. Biar saya yang menjaga Pandu,” balas Wintang, lengkap dengan senyum yang masih merekah sempurna. “Tapi—.”Bab 58Berada dalam ambang keraguan, Ali dibuat bingung untuk memutuskan. Di satu sisi, keadaan Widuri tak kunjung membaik. Ia harus berjaga-jaga untuk segala kemungkinan yang akan terjadi dan harus terus berada di dekat Widuri untuk mengawasi sedikit saja perubahan situasi yang tidak boleh terlambat disadari.Akan tetapi, di sisi lain Denjaka juga sedang tidak baik-baik saja. Hanya dengan melihat dari jarak yang tidak begitu dekat, Ali sudah bisa menangkap dengan firasatnya bahwa sesuatu hal yang lebih besar baru saja terjadi. Ali semakin cemas sekarang. Ia merasa tidak yakin akan bisa mengatasi ini semua sendirian, tanpa ada bantuan dari saudara kembar serta kakak seperguruannya seperti waktu dahulu kala. Dengan keadaan yang tidak lagi sama, Ali benar-benar pesimis akan hasil yang belum tentu seperti apa yang ia kira.Di samping Ali, Bumi berhasil menangkap dengan jelas guratan kekhawatiran yang tergambar jelas pada setiap kerutan di wajah Pak
Bab 57Tring!Menyambut kedatangan Denjaka yang hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat di mana ia menunggu tanpa rasa gentar sedikit pun, Pandu memejamkan kedua matanya sebentar, kemudian membukanya kembali, memamerkan kedua manik mata miliknya yang kini sudah berubah warna menjadi merah menyala sembari menyeringai, memperlihatkan siung di giginya yang mendadak tumbuh.Bruak!Belum apa-apa, Denjaka yang sebelumnya telah siap dengan segala serangan yang ia bawa, kini terpental jauh ke belakang, gagal mencapai target yang telah menjadi sasaran serangannya kali ini.“Aaaa!” Denjaka mengerang. Dipeganginya dada miliknya yang terasa sakit akibat benturan keras yang ia dapatkan.“Pandu …,” ucap Denjaka lirih, dengan suara serak parau penuh berbagai macam emosi. Di tengah kekalahannya yang belum apa-apa, Denjaka berusaha mengangkat sedikit badannya, menatap lurus ke arah Pandu, mencari tahu apa yang sebenarnya te
Bab 56Tak kuasa menerima serangan yang Pandu berikan, Denjaka memilih menutup kedua kelopak matanya rapat-rapat. Jika ia memang harus tumbang, Denjaka memutuskan untuk menerimanya dengan lapang dada.Bruak!Tak lama berselang setelah pandangannya mendadak gelap tak menangkap bayangan apa-apa, suara kencang terdengar jelas, dentuman tabrakan yang diserudukkan oleh sapi hitam dengan tanduk panjang dan runcing, serta memiliki taring di sela-sela bibirnya, berbeda dari sapi pada umumnya.Suara itu menggema. Bisa dipastikan, apapun yang diterjang sapi yang saat ini sedang Pandu tunggangi sudah pasti akan membuat objek yang menjadi sasarannya akan terpental jauh, terlempar entah ke mana.Anehnya, Denjaka sama sekali tak merasakan apa-apa. Jangankan rasa sakit, bahkan kedua kakinya yang tanpa kuda-kuda sama sekali tidak berpindah tempat sedikit pun, masih berada di tempat semula.Merasa pemasaran atas kesakitan yang tak kunjung ia rasa
Bab 55Anehnya, tanpa Denjaka sadari, kekuatannya kembali pulih seutuhnya setelah sang putri kesayangan jatuh tumbang, seolah menggantikan.Kini, sudah tidak ada alasan lagi untuk dirinya merutuki dirinya sendiri yang kerap kali membantu orang lain namun sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuk anaknya sendiri.Dengan langkah penuh semangat, Denjaka berjalan cepat. Ia sudah sangat tidak sabar untuk segera sampai dan mencari tahu apa yang saat ini sedang menimpa sang putri.Sesampainya di tempat tujuan, di mana semua orang sedang dalam perasaan sama, sama-sama mengkhawatirkan Widuri yangs emakin lama semakin hampir terpejam sempurna, melihat Wintang menangis hancur tak kuasa menghadapi semuanya sendirian, Denjaka menghampiri, mengambil Wintang dari pelukan Cantika, menggantikannya, memberikan bahu yang sejak awal memang dibutuhkan oleh Wintang untuk bersandar di tengah kerasnya hidup yang mengombang-ambing langkahnya."Sayang ...," ucap D
Bab 54 "Pak Lek!" teriak Wintang, berlarian menuju ke ruang depan, di mana Ali, Bumi, dan juga Cantika masih ada di sana.Sementara Mbah Tarjo, sebelumnya ia buru-buru keluar tanpa sempat berpamitan. Tidak ingin ketahuan jika dirinya sedang mimisan, dan akan memancing kecurigaan dari semua orang, Mbah Tarjo sengaja menutupinya sebisa mungkin, memastikan darah yang sudah membuat baju bagian dadanya menjadi basah sama sekali tidak terlihat oleh siapa-siapa.Sebenarnya, kepulangan Mbah Tarjo yang tampak jelas begitu tergesa-gesa sempat mengundang tanya Bumi dan juga Cantika. Apa lagi Winingsih kedapatan memapah langkah sang ayah, menopang kedua kaki tua yang dipaksakan untuk berjalan agar tidak tumbang. Namun, sama sekali tidak menaruh rasa curiga pada laki-laki tua pemilik wajah melas itu dibiarkannya lolos begitu saja.Mendengar teriakan Wintang bersama deru langkah yang tidak biasa, Ali bangkit dari duduknya. Meski belum melihat semua dengan mata
Bab 53Tinggal satu langkah lagi, segala usahanya akan segera dipermudah. Membayangkan segala mimpinya akan segera terwujud, hati Mbah Tarjo merasa bungah. Saking senangnya, Mbah Tarjo sampai lupa untuk menjaga sikapnya, nyelonong masuk begitu saja tanpa berbasa-basi kepada Wintang, sekedar mengucapkan terima kasih.Sebenarnya, Wintang sama sekali tidak keberatan. Dia buka orang yang gila hormat, apa lagi Mbah Tarjo jauh lebih tua di atasnya. Hanya saja, atas sikap Mbah Tarjo yang sangat berbeda dari yang biasa selalu ditampilkan, Wintang mengernyitkan dahi keheranan.Akan tetapi, Wintang tak berburuk sangka, hanya mengira Mbah Tarjo terlalu bersemangat, ingin segera mengobati kekhawatirannya kepada Denjaka. Sebab, yang Wintang tahu, Mbah Tarjo begitu dekat dengan suaminya itu, sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri oleh Denjaka.“Saya permisi, Mbak,” ucap Winingsih, mewakili ayahnya yang nyelonong masuk begitu saja.Mendapatkan kera
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen