"Aku udah calling box pengangkut barang buat pindahan. Besok Mama baru dateng anter Arka sambil liat-liat apartemen baru kita. Kayaknya malam ini aku bakal pulang telat. Kalau ngantuk tidur aja duluan, nggak usah nunggu," papar Cakra panjang lebar saat Danita mengantarnya sampai di depan pintu.
Perempuan berambut panjang itu mengangguk pelan, lalu tersenyum manis hingga menampilkan kedua lesung pipitnya yang dalam.Sudah dua hari sejak kedatangan Danita, mereka memang langsung menempati apartemen ini."Hati-hati di jalan, Mas."Cakra hanya menanggapinya dengan senyuman kecil, tangannya melambai saat memasuki lift, sebelum menekan tombol menuju basemant.Sepeninggal Cakra Danita kembali ke dalam. Desah gusar terdengar dari mulutnya saat mendapati suaminya bahkan tak bisa meluangkan waktu di akhir pekan hanya untuk mengajaknya berkeliling kota. Padahal sudah sebulan dia habiskan waktu untuk bekerja.Sekali lagi Cakra berhasil menumbuhkan keyakinan dalam diri Danita tentang hubungan mereka yang memang sedang tidak baik-baik saja.Dia bahkan ragu saat mengatakan pada Melinda bahwa lelaki itu adalah sosok suami yang sempurna.Karena pada kenyataannya ... Cakra memang sudah berubah.***Bruk!"Pokoknya lu nggak boleh pergi!" Dini melempar tas Melinda saat mendapati perempuan itu sudah bersiap-siap untuk pergi."Please, Din. Mas Cakra udah nunggu di parkiran dari tadi," sergah Melinda lemas."Eling, Mel! Lu nggak boleh kayak gini. Cinta emang buta, tapi liat dulu siapa yang jadi korbannya. Dia kakak lu, kalian brojol dari lobang yang sama. Masa iya lu tega khianatin dia." Dini tetap bersikeras meyakinkan Melinda yang mulai goyah keyakinannya."Lo nggak ngerti, Din. Gue ngelakuin ini juga demi dia. Mas Cakra janji bakal nunda rencananya cerein Mbak Dani, asal gue ....""Mau jadi simpanannya?" potong Dini cepat saat melihat keraguan dari ucapan Melinda.Perempuan itu terdiam."Oh, sh*t." Dini mengumpat."Gue janji sekarang yang terakhir. Anggap aja ini layanan service kayak yang lain. Intinya kerja, dan gue dibayar!""Argh!" Dini mengacak rambut cepaknya. "Setiap orang yang sadar mau ngelakuin dosa pasti juga bilang ini yang terakhir. Lagian nggak ada yang namanya kerja melibatkan perasaan, Meli. C'mon, Honey. Lu itu cakep, pinter, bohay, seksi. Masih banyak laki single di luar sana yang tergila-gila sama lu. Tinggal tunjuk aja. Kenapa malah mau sama yang udah berbini. Mana kakak ipar lagi. Gusti!"Melinda tak mengindahkan ucapan Dini. Dia memungut tas putih yang tergeletak di lantai, lalu meninggalkan unit apartemen-nya."Sorry, Din. Sekali lagi lo nggak akan ngerti posisi gue."***Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Namun, seseorang yang ditunggu tak kunjung datang. Danita masih terjaga di depan meja makan dengan hidangan yang sudah dia siapkan sejak beberapa jam tadi.Dia memaklumi keterlambatan Cakra, atau waktu yang tak bisa dia luangkan meski di akhir pekan. Namun, dia tak menyangka Cakra akan melewatkan ulang tahunnya, dan tradisi makan malam yang biasa mereka lakukan untuk merayakan pertambahan usia masing-masing.Bahkan sampai selarut ini lelaki itu masih belum kembali.Mati-matian Danita menahan kantuk yang menyerang. Dia berharap di detik-detik terakhir Cakra tiba-tiba datang memberi kejutan. Namun, sayang. Sampai matanya benar-benar terpejam, perempuan itu harus tertidur dengan kekecewaan.Jam menunjukkan pukul 01.12 dini hari. Cakra kembali dengan sekuntum bunga mawar di tangan.Hela napas panjangnya terdengar saat melihat sang istri sudah terlelap di atas meja makan.Air muka Cakra tak terbaca saat menggendong Danita menuju kamar mereka dan membaringkannya di ranjang. Lalu mengecup kening perempuan itu sekilas.Setelah memastikan Danita benar-benar terlelap. Cakra menanggalkan semua pakaiannya, sebelum melangkah ke kamar mandi dia sempat meraih ponsel sejenak.Tersenyum kecil menatap potret yang sempat dia ambil bersama Melinda. Kemudian melangkah menuju kamar mandi.Tanpa diduga Danita ternyata masih terjaga. Dia menarik selimut dan mengubah posisi menyamping. Setetes cairan bening lolos dari sudut mata perempuan pemilik lesung pipit itu.***Matahari bahkan belum menampakan diri, tapi Dini sudah terjaga di depan PC. Memutar otak untuk mengalihkan perhatian Melinda dari Cakra dan kembali fokus pada tujuannya.Cukup sulit memang, mengingat Melinda nyaris tak memiliki minat pada apa pun. Kecuali merawat diri.Bersamaan dengan itu satu chat masuk. Dari kontak yang Dini namai 'Buaya Narsis'"Gotca. Pucuk dicinta, umpan pun tiba!" Gadis seumuran Melinda itu menjentikkan jari dengan ekspresi semringah.Bergegas dia menghubungi Melinda untuk mengabari tentang pekerjaan barunya."Ya elah nih anak kebo amat. Angkat telepon aja kek angkat beban hidup. Lama bener. Belum aja dia ngerasain angkat badan gue."Setelah beberapa lama akhirnya panggilan terhubung."Kampret, Dini. Ini masih pagi. Gue baru tidur dua jam." Terdengar omelan Melinda dari seberang sana."Mel, siap-siap buat entar siang. Ada bookingan dari pelanggan tetap favorit lu.""Siapa?" tanya Melinda tanpa basa-basi."Bang Dave. Anak yang punya gedung apartemen ini. Jangan lupa dandan yang cakep, yak!"Jeda sejenak. Tak lama pekikan nyaring terdengar hingga membuat Dini harus menjauhkan ponselnya."Pelanggan favorit jidat lo! Dari semua malah dia yang paling bikin gue cape!...Bersambung."Astaga dragon ball!"Dini menggeleng sembari berdecak saat melihat unit Melinda masih dalam keadaan gelap gulita. Tak ada cahaya matahari yang dibiarkan masuk ke ruangan kamar bernuansa biru toska tersebut. Gorden masih tertutup, bau asap rokok tercium di mana-mana, dengan beberapa tisu yang tercecer di lantai. Jam sudah menunjukkan hampir tengah hari, janji dengan pelanggan tetap bernama Dave pun terpaksa diundur Dini sampai satu jam. Karena sejak menghubunginya subuh tadi, ponsel Melinda seolah sengaja dimatikan."Mel, bangun, oi! Liat udah jam berapa ini." Dini menepuk-nepuk bokong Melinda yang tertidur dengan posisi telungkup. Pakaian yang dikenakannya bahkan masih yang kemarin. "Melinda Anandia, gue tahu lu udah bangun dari tadi!" Kali ini Dini kehilangan kesabaran. Dengan tubuh yang dua kali lipat lebih besar, dia bisa dengan mudah membalikan badan Melinda dan memaksa perempuan itu agar bangkit dari ranjangnya. "Please, Din. Gue cape banget," lirih Melinda. Dia sembunyikan
*KemarinMobil BMW i8 melesat membelah jalanan yang lenggang. Melewati lampu-lampu jalan yang menerangi pekatnya malam. Tak ada bintang yang menemani rembulan kali ini, sehingga langit terlihat begitu kelam untuk dipandang. Sekelam perasaan perempuan yang duduk gelisah di kursi penumpang.Hampir seharian dia dibawa berputar-putar mengelilingi kota. Sesekali singgah sebentar untuk sekadar mengisi perut yang keroncongan. Dari siang sampai larut malam. Tak ada percakapan berarti yang mereka bicarakan. Keduanya seolah sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia yang sebenarnya tak tahu akan membawa mereka pada kehidupan seperti apa setelah ini. "Kita istirahat dulu di sini."Melinda tersentak dari lamunan saat mobil berhenti di parkiran sebuah hotel berbintang. Tangan besar Cakra yang tersimpan di atas jemarinya membuat perempuan itu tertegun untuk beberapa saat. Itu adalah sentuhan pertama mereka sejak menghabisi waktu bersama sampai selarut ini. "Kasih aku waktu buat berpikir sejenak, Mas,
"Hei, ada apa?" Danita bangkit dari tempatnya saat melihat Melinda menangis terisak-isak. Air matanya berguguran mengenai piring berisi makanan yang belum sempat disentuhnya. Kata demi kata yang terlontar dari mulut kakaknya membuat Melinda tak kuasa lagi menahan rasa bersalahnya. Semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tak akan bisa mengubah apa yang sudah dilakukannya dengan Cakra malam itu. "Maaf, Mbak."Dahi Danita mengernyit. "Ma-af karena nggak bisa jadi adik yang baik buat Mbak Dani, ma-af karena aku benar-benar nggak berguna dan nggak tahu diri."Danita mendekap tubuh adiknya. Dia benar-benar kebingungan dengan perubahan sikap Melinda. Apa yang membuatnya tiba-tiba menangis tanpa sebab? Apa yang membuatnya tiba-tiba meminta maaf? Meskipun kebingungan, tapi Danita berusaha mengembalikan keadaan. Dia elus lembut rambut Melinda dan menenangkannya."I-iya, mbak maafkan. Udah, ya, Mel. Kalau kamu kayak gini terus, malah mbak yang bingung."Melinda tak m
Ketika dua insan dipertemukan kemudian dipisahankan, hanya ada sepenggal kenangan tersisa di antara puing-puing harapan yang nyaris karam. Meski takdir kembali mempertemukan, sebuah kenyataan pahit memaksa mereka untuk pasrah dengan keadaan. ***20 Juli, tiga tahun lalu.Cincin berlian berukuran sedang itu menantulkan kemilau cahayanya di antara sinar lampu yang temaram. Keindahan yang terpancar bukan alasan satu-satunya, kenapa tangis bahagia terlihat dari wajah gadis cantik yang tengah duduk di hadapan lelaki gagah berkacamata yang menyodorkan kotak beludru hitam itu. Namun, makna yang terkandung dari benda bundar mengkilap tersebut lebih dari sekadar pemberian. Melainkan melambangkan suatu ikatan menuju jenjang pernikahan. "I-ini beneran, kan, Mas?" Gadis itu kembali memastikan. Seolah tak percaya bahwa lelaki dewasa yang selama ini dia anggap main-main, tiba-tiba menunjukkan keseriusan. Satu setengah tahun sudah mereka menjalin hubungan. Pertemuan yang semula hanya sebatas reka
Melisa tak menyangka semuanya akan berubah seperti ini. Ketika duka dan bahagia datang di waktu yang bersamaan. Antara menangis dan tertawa menjadi tak ada artinya. Dia dan Danita memang tertaut usia tiga tahun, tapi keduanya sudah seperti anak kembar yang tak bisa dipisahkan. Rasa sakit yang dirasakan kakaknya, bisa Melisa rasakan juga. Dadanya benar-benar penuh dengan kesesakkan ketika menyaksikan kondisi Danita yang terlampau menyedihkan. Sudah dua bulan, dua bulan sejak lamaran Cakra dan kehamilan Danita. Dia masih terjaga di situasi yang sama membingungkannya.Antara melanjutkan rencana pernikahannya dengan Cakra, atau berada di sisi Danita sepenuhnya. Dia benar-benar tak bisa membiarkan Danita berjuang sendirian, sementara perempuan itu memiliki tekad yang kuat untuk mempertahankan kehamilannya. Beberapa kali Danita mengatakan bahwa janinnya tak bersalah. Jadi, dia harus lahir dan hidup dengan baik. Walaupun dia harus menanggung akibatnya. Memiliki anak tanpa seorang suami
Begitulah cara mereka mengakhiri hubungan. Besoknya Cakra datang menjenguk Danita dengan membawa sebuket bunga. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan bahwa keputusan yang Melisa ambil benar-benar menempatkan mereka pada posisi yang sulit, dan hubungan yang rumit. Satu minggu berlalu semua masih berjalan baik-baik saja, tiga minggu mulai timbul kecemburuan di hati Melisa melihat hubungan Danita dan Cakra semakin dekat saja. Tak terasa dua bulan berlalu, yang bertepatan dengan empat bulan usia kandungan Danita, Cakra datang kepada nenek bersama ibunya untuk melamar. Ibu Cakra yang juga merupakan CEO Tekma Toserba bahkan sempat meminta maaf karena anaknya khilaf menghamili Danita. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri Melisa saat itu, antara kagum dengan kemampuan akting Cakra, atau sakit karena lelaki itu seolah sengaja mengujinya. Yang pasti setelah pernikahan mereka berlangsung, Melisa hanya bisa mengurung diri dalam kamar. Menangis tanpa suara. Dan menderita sendirian sementara
Adakalanya rindu kerap kali hinggappada sosok yang tak bisa kita dekapsampai sang waktu membiarkannya menguap, dalam keadaan terlelap. ***Satu tahun sudah berlalu. Sejak Melinda mendirikan bisnis room service ini dengan puluhan pelanggan dari berbagai kalangan dan usia. Tak ada yang tahu pekerjaan Melinda sebenarnya kecuali mereka yang pernah menjadi pelanggannya.Di dalam gedung, dia sudah mendapatkan kurang lebih lima pelanggan tetap. Mulai dari David, lalu tetangga sebelah unit yang selalu menitipkan anaknya setiap akhir pekan, seorang pria paruh baya yang kerap kali datang hanya untuk mengeluh tentang rumah tangganya, wanita paruh baya yang kesepian, staf apartemen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, dan terakhir seorang dokter muda pengidap insomnia akut. Melinda tak sembarangan memberikan layanan khusus bila memang salah satu dari mereka menginginkan tubuhnya. Ada kocek tak sedikit yang harus mereka keluarkan hanya untuk sekali service. Sejauh ini dia hanya pernah
Prang! Melinda dan Cakra terlonjak seketika saat mendengar suara benda pecah dari arah ruang tamu. Seketika atmosfer berubah tegang. Ada rasa cemas dan gelisah di hati mereka. Walau bagaimana pun entah itu Cakra atau Melinda keduanya sama-sama belum siap bila Danita tahu terlalu dini. Apalagi kata-kata yang keluar dari mulut Cakra barusan bisa dibilang sangat kejam. Melinda yang hanya mendengar saja bisa merasakan sakitnya. "Mas ...." Dengan wajah panik Melinda menarik tangan Cakra. "Tenang, Mel. Aku bisa memastikan kalau Danita masih ada di atas. Dia nggak mungkin ada di sini, soalnya Arka lagi rewel." Sebisa mungkin Cakra berusaha terlihat biasa untuk menenangkan Melinda walaupun dalam hati Cakra ketakutan itu ada. Mengingat Danita sedang dalam keadaan hamil saat ini. Meskipun dia memiliki keinginan kuat untuk menceraikan istrinya, tapi rasa empati yang tinggi masih tertinggal di jauh di dasar hatinya. "Tunggu di sini, biar aku periksa," pintanya kemudian. Melinda mengangguk an