Ruangan itu masih dipenuhi ketegangan. Gigio berdiri dengan ekspresi penuh amarah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Lucas tetap diam, hanya menatapnya dengan mata tajam yang penuh arti."Albin," kata Gigio akhirnya, suaranya berat dan berbahaya. "panggil penjaga rumah."Albin mengangguk dan segera bergegas keluar rumah. Beberapa menit kemudian, seorang pria berseragam masuk, wajahnya menunjukkan rasa gugup.Gigio menatapnya dengan dingin. Lalu dia bertanya, "Kapan terakhir kali kau melihat Dario?"Satpam itu menelan ludah, jelas tidak nyaman berada di bawah tatapan pria-pria berbahaya ini."Sekitar satu jam yang lalu, Pak,” terang Satpam itu.Lucas menyipitkan mata. "Dia pergi sendiri?""Ya, Tuan," jawab satpam itu, suara gemetar. "dia terlihat tergesa-gesa, tapi saya tidak mengira dia akan kabur. Saya pikir dia hanya pergi sebentar saja. Aku juga tidak tahu kalau tuan Dario tidak boleh keluar."Boom.Gigio menghantam meja di depannya dengan kepalan tangan."Brengsek!" pekik Gigio
Julian hampir berbalik pergi ketika sesuatu terlintas dalam pikirannya. Dia berhenti sejenak, lalu menoleh ke Lucas."Bos," kata Julian, suaranya lebih rendah. "bagaimana dengan pembicaraan semalam?"Lucas menatap Julian tanpa ekspresi. Selama beberapa detik, hanya suara angin yang terdengar, menggoyangkan permukaan danau.Pikiran Lucas langsung tertuju padanya. Wanita itu sedang terpuruk, dihancurkan oleh fitnah dan dijauhi oleh keluarganya sendiri. Dia butuh seseorang di sisinya.Namun, Lucas tahu satu hal, jika dia kembali ke rumah Angeline sekarang, tanpa membawa apa-apa, tanpa memberikan solusi, dia hanya akan menjadi sasaran amarah mertuanya.Lucas akhirnya menghela napas. Lali dia berkata, "Siapkan semuanya. Aku akan melimpahkan perusahaan keluarga Benedict kepada Angeline.""Aku hanya ingin memberinya jalan. Angeline harus berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang-orang yang hanya ingin menghancurkannya. Dia memiliki cita-cita yang baik dan sudah seharusnya aku mendukungnya,
Magdalena kini duduk di tepi kasur, jari-jarinya mengetuk layar ponselnya dengan ritme tak sabar. Dia berpikir keras, mencari cara untuk mendapatkan nomor ponsel Angeline.Tidak ada jalur langsung untuk menemui Angeline. Wanita itu bukan tipe orang yang mudah dihubungi, apalagi oleh seseorang sepertinya. Namun, ada satu orang yang pasti memiliki kontaknya, yaitu Albin.Kakaknya itu mungkin bisa menjadi pintu masuknya.Tapi ini berarti dia harus berhadapan dengannya lagi, dan itu adalah sesuatu yang lebih dia hindari daripada Lucas sendiri.Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Magdalena memutuskan untuk pergi ke rumah kakaknya.Dari sofa, Peter menatapnya dengan malas."Kamu mau ke mana?" tanya Peter, melihat Magdalena bangkit dari tempat tidur dan meraih jaketnya."Ke rumah kakakku," jawab Magdalena singkat.Peter menyipitkan mata. Lalu dia bertanya, "Kenapa tiba-tiba?"Magdalena mengangkat bahu. "Ada urusan keluarga."Peter menyeringai kecil dan berjalan mendekatinya. Tangannya
Albin tetap diam. Dia tahu jika dia menolak, Magdalena akan menemukan cara lain, cara yang mungkin lebih berbahaya.Akhirnya, dia mengambil ponselnya dan menyalin nomor Angeline."Tapi dengar," katanya sebelum menyerahkan catatan itu. "Jangan pernah melibatkan aku dalam rencanamu. Aku sudah cukup menanggung akibat perbuatanmu yang terakhir. Dan ingat juga, jika kamu berbuat buruk kepadanya, aku tidak akan pernah bisa menolongmu.”Magdalena mengambil catatan itu dan tersenyum manis. "Jangan khawatir, Kak. Aku selalu tahu cara keluar dari masalah. Lagipula, aku yakin dia akan senang denganku kali ini.”Albin mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”“Lihat saja nanti!” ucap Magdalena.Setelah itu, Magdalena pun pergi meninggalkan rumah Albin.Magdalena mengemudi mobil sambil jemarinya mengetuk layar ponsel dengan cepat. Setelah mendapatkan nomor Angeline dari Albin, dia tidak ingin membuang waktu.Nomor itu terasa seperti kunci yang bisa membuka pintu ke arah yang lebih besar. Keuntungan,
Taksi yang membawa Sabrina terus mengikuti mobil Angeline dari kejauhan.Setelah hampir dua puluh menit, kendaraan yang ditumpangi Angeline berhenti di depan sebuah bar kecil di pusat kota.“Apa yang dia lakukan di tempat seperti ini?" gumam Sabrina sembari menyipitkan mata.Saat Angeline turun dari mobil dan masuk ke dalam bar, Sabrina langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Lucas."Dia berhenti di sebuah bar," kata Sabrina cepat.Lucas menggeram. "Kamu yakin dia sendirian?"Sabrina menatap pintu bar yang baru saja tertutup di belakang Angeline."Aku belum tahu," jawabnya.Lucas terdiam sejenak sebelum berkata, "Tunggu di luar. Aku akan ke sana sekarang. Kirimkan alamatnya."Sabrina mengangguk. "Baik."Tepat ketika Sabrina ingin menutup telepon, sesuatu membuatnya menahan napas.Dari seberang jalan, dua sosok muncul dari kegelapan dan memasuki bar yang sama. Dan dia mengenal pria itu, Peter.Sabrina menggigit bibirnya saat melihat Peter melangkah masuk ke dalam bar.Dia sudah me
Angeline menimbang apakah dia akan tetap di sana atau tidak. Dia tahu Magdalena adalah wanita yang licik. Ditambah kini dia bersama dengan Peter, bisa dipastikan kelicikan yang akan mereka perbuat padanya.Namun, ketakutannya kalah dengan rasa penasaran.Angeline menatap tajam Magdalena, sorot matanya penuh kecurigaan. "Apa yang sebenarnya kamu miliki?"Magdalena tersenyum tipis, memainkan gelas di depannya sebelum menjawab. "Sesuatu yang bisa menyelamatkanmu."Angeline semakin gelisah.Sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, Peter menyela. "Kamu tahu, seharusnya saat ini kamu masih berada di dalam penjara.""Apa maksudmu?” tanya Angeline seraya menoleh dengan tajam. Peter tertawa kecil, nada suaranya ringan tetapi penuh ancaman terselubung."Bayangkan saja, jika aku menulis satu berita lagi, menyajikan fakta-fakta yang tepat…" Peter mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya mengunci Angeline. "aku bisa membuatmu kembali masuk ke dalam sel kapan saja."Angeline merasakan dadanya men
Peter bangkit dari kursinya dan berjalan perlahan ke arah Angeline. Dengan gerakan santai, dia menarik kursinya lebih dekat dan mempersilakan Angeline untuk duduk kembali."Tenanglah," kata Peter dengan suara meyakinkan. "ini bukan pemerasan. Ini adalah sebuah keuntungan bagimu. Kamu pasti akan senang dengan hasilnya.”Angeline masih berdiri, menatap Peter dengan penuh kebencian."Keuntungan?" kata Angeline sinis.Peter mengangkat bahu. Lalu dia berkata, “Nama baik itu lebih berharga daripada uang, bukan?"Angeline terdiam.Mau tidak mau, dia harus mengakui bahwa ucapan Peter ada benarnya. Jika namanya tetap tercemar, tidak ada yang akan mempercayainya lagi.Yang dipikirkannya sekarang ini bukanlah jalan kembali ke perusahaan Liquid, tetapi sesuatu yang lebih jauh dan berani. Yaitu, memulai bisnis sendiri.Tentu saja, dengan nama yang tercoreng, akan sulit baginya untuk menarik investor.Dengan napas berat, Angeline akhirnya kembali duduk.Magdalena tersenyum penuh kemenangan. "Nah, i
Peter mencoba menenangkan diri, meskipun napasnya terasa lebih berat dari biasanya. Dia tahu satu hal dengan pasti, Lucas bukan orang yang bisa diajak main-main.Dengan nada yang dibuat setenang mungkin, Peter mengangkat tangannya sedikit, menunjukkan bahwa dia tidak memiliki niat buruk. "Lucas, kita semua orang dewasa di sini. Aku yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa membuat keributan. Lagipula, kami membawa sesuatu yang menguntungkan.”Lucas tetap diam.Matanya tidak berkedip, menatap Peter seolah pria itu hanya serangga kecil yang siap dia injak kapan saja.Magdalena, yang duduk di sebelah Peter, mencoba ikut campur. "Lucas, dengarkan —”Lucas mengangkat satu tangan, menghentikannya.Tatapannya begitu tajam hingga Magdalena bisa merasakan jantungnya berdebar kencang."Aku tidak tertarik mendengar ocehanmu, Magdalena," suara Lucas begitu dingin, penuh ancaman. "sudah terlalu banyak masalah yang kamu buat. Kalau bukan karena Albin, kamu sudah lama lenyap dari dunia ini sejak lama!
Dari balik reruntuhan dinding gudang, di kegelapan yang tersisa, sepasang mata yang memancarkan aura dingin dan menusuk mengamati setiap gerakan Lucas. Itu adalah Grandmaster Xena.Dia merasakan dengan jelas bentrokan energi yang baru saja terjadi, kekuatan dahsyat yang dilepaskan oleh Lucas dalam bentuk Pralaya Bhuminya. Ada keraguan yang mulai menggerogoti hatinya.Mungkinkah Lucas benar-benar melampaui perkiraannya?Saat Lucas menghancurkan Dario dengan energi yang begitu dahsyat, Xena merasakan getaran kekuatan yang bahkan membuatnya sedikit gentar. Dia, yang selama ini dikenal sebagai salah satu yang terdekat dengan level immortal, merasakan ancaman yang nyata dari pemuda di depannya.Pertarungan barusan bukanlah pertarungan biasa. Itu adalah pertunjukan kekuatan yang melampaui batas manusia normal. Instingnya sebagai seorang petarung berpengalaman mengatakan bahwa konfrontasi langsung dengan pria itu saat ini akan menjadi pertaruhan yang sangat besar.Tanpa mengucapkan sepatah k
Lucas membeku. Suara itu. Senyum itu.“Dario…” gumamnya pelan. “untuk apa kau datang?”“Aku hanya ingin bertemu denganmu dan menunjukan jika aku masih hidup dan telah berkembang,,” Dario melangkah masuk. Udara di sekelilingnya bergetar halus, lalu terdengar crack! Petir kecil menyambar di udara, menyatu dengan aura biru keperakan yang mulai mengelilingi tubuhnya.Lucas mengepalkan tinjunya. Chakra Bhuminya masih aktif, tapi tak stabil. Pertarungan barusan telah menguras terlalu banyak.“Jadi, kau ke sini untuk bertarung denganmu?” tanya Lucas dingin.Dario tertawa. “Untuk mengakhiri ini, tentu saja. Lynch hanya pembuka jalan. Kau target sesungguhnya. Selama kau hidup, dendam ini akan selalu bersemayam di dadaku.”Petir membungkus tangan Dario seperti cambuk-cambuk tipis. Udaranya kini berbau logam.Julian maju satu langkah. “Dario, cukup. Masalah lalu, biarkan berlalu.”“Ciih! Tidak mungkin bisa!” ucap Dario. “apa yang sudah kamu lakukan padaku, harus mendapatkan balasannya.”Ketua Lu
Darah menetes dari sudut bibir Lynch, tapi matanya menyala ganas.“Cukup main-mainnya,” desis Lynch. Kemudian dia merentangkan kedua lengannya.Angin di dalam gudang berubah.Aura hitam pekat mulai merambat dari tubuhnya, seperti kabut iblis yang merayap naik dari tanah neraka. Suara-suara aneh berbisik di udara, seperti ratapan roh-roh terperangkap.Julian mundur dua langkah. “Itu … teknik Ilmu Hitam Timur Tengah,” gumam Lucas, matanya menyipit. “kau sudah menjual jiwamu, Lynch.”Lynch tersenyum bengis. “Dan kau belum tahu harga yang harus kau bayar karena telah membangkitkan modeku ini.”Tubuh Lynch berubah. Otot-ototnya mengembang, urat-urat mencuat seperti akar pohon. Mata kirinya memucat, dan dari punggungnya, sepasang tonjolan keras muncul, bukan sayap, tapi seolah tulang yang mencuat liar.“The Obsidian Blade!” Julian berteriak. “kau harus pergi! Ini bukan pertarungan yang adil!”Emilio mengerutkan keningnya. Dia mendengar dengan jelas kali ini, Julian memanggil Lucas dengan pa
Dua pria itu berlutut dengan tangan terangkat, wajah mereka penuh debu dan darah. "Ampun... kami menyerah..." salah satu dari mereka terisak.Kai melangkah perlahan ke arah mereka. Napasnya sudah mulai teratur kembali. Wajahnya tetap dingin, tapi tangan kanannya masih mengepal.Dia menatap keduanya. Remuk, lemah, nyaris tak mampu berdiri. Mereka memang tak lagi mengancam.Kai mendesah. "Pergilah... sebelum aku berubah pikiran."Keduanya segera bergerak, namun sebelum sempat bangkit sepenuhnya—Doooor! Doooor!Dua peluru menembus kepala mereka. Darah memercik ke tanah.Kai terkejut. Ia menoleh cepat. Seorang pria berpakaian gelap, salah satu dari anggota Veleno, menurunkan senjatanya."Apa yang kamu lakukan?!" bentak Kai.Pria itu melirik dingin. "Orang-orang seperti mereka tidak pantas diberi pengampunan."Kai mengepalkan rahangnya. "Tapi mereka sudah menyerah. Kita tidak —”"Tidak tega? Kalau hatimu lemah, jangan masuk ke dalam lingkaran ini," katanya memotong, lalu berjalan pergi ta
Ketua kelompok musuh, sedikit tegang. Sebab peluru mereka sudah menipis.Mereka menganggap remeh karena tidak membawa peluru yang banyak. Mereka pikir pasukan Lucas tidak akan kuat dan banyak.Minimnya informasi membuat mereka menjadi salah mengambil keputusan “Bagaimana ini bos?” tanya pria gempal.“Jika sudah habis, kita serang dengan tangan kosong. Kita tidak bisa kembali!” ucap ketua kelompok.“Baik!”Teriakan nyaring terdengar dari sisi timur rumah.“Raaaghh!”Salah satu musuh menerobos pagar dengan brutal, melempar granat asap ke tengah halaman. Asap pekat menyebar cepat, menutupi pandangan. Kai menyipitkan mata. Ia tahu itu bukan untuk membunuh. Tapi untuk menculik.Mereka mengincar satu target.Angeline.Kai mengangkat tangan, memberi sinyal. Tiga anak buahnya langsung bergerak membentuk formasi segitiga, melindungi pintu depan.Namun dari balik asap, dua sosok melompat keluar dengan kecepatan kilat. Hitam, gesit, dan mematikan.“Dua orang ke kanan!” seru salah satu penjaga.
Dua puluh orang diperintahkan oleh Jukain untuk tetap tinggal, bersiaga di perimeter rumah Angeline. Sedangkan sekitar 15 orang dikerahkan untuk mencari keberadaan mertuanya Lucas, termasuk Julian.."Jangan tinggalkan rumah ini tanpa pengawalan," pesan terakhir Julian pada semua orang sebelum berangkat.Lalu ia mendekati seorang pria muda berseragam hitam yang berdiri paling belakang.“Kai,” ucap Julian singkat.Kai berdiri tegak. Usianya belum lewat dua puluh lima. Wajahnya bersih, bahkan terlalu bersih untuk lingkungan seperti ini. Tapi tatapannya tenang. Tak ada keraguan."Mulai sekarang, kamu yang memimpin di sini."Beberapa pasang mata sempat berpaling. Mereka tahu, Kai bukan orang lama. Bahkan baru dua minggu bergabung. Tapi tidak satu pun dari mereka memprotes.Kalau Julian sudah menunjuk seseorang, maka orang itu pasti punya alasan.Kai hanya mengangguk. "Siap."Julian menepuk bahunya sekali, lalu pergi.Setelah itu, Julian dsn pasukan mulai bergerak untuk mengejar kelompok ya
Tiga kendaraan berlapis baja meluncur cepat menembus jalanan kota yang mulai lengang. Di dalam salah satunya, Lucas duduk diam di kursi penumpang depan, pandangannya tertuju ke luar jendela. Angin malam meniupkan bau tanah dan bahaya yang semakin dekat.Bukit Selatan menjadi tujuan mereka. Tempat sunyi yang jauh dari pemukiman. Tempat yang sudah Lucas siapkan sebagai arena terakhir,njika semua rencana gagal.Troy mengendarai mobil di depan mereka. Di belakang, Moretti dan sepuluh orang petarung terbaik dari Veleno dan Brotherhood duduk dalam diam. Wajah mereka dingin. Mata mereka tajam. Semua tahu, malam ini bukan malam biasa.“Percepat. Kita harus sampai duluan sebelum mereka,” kata Lucas. Suaranya pelan, tapi tidak bisa dibantah.Troy mengangguk dan menginjak pedal gas lebih dalam. Dalam hitungan menit, kendaraan mereka menyusuri jalan sempit menuju bukit. Lampu-lampu dari mobil menembus kabut tipis yang menggantung di udara.Sementara itu, Troy telah lebih dulu mengirimkan perintah
Sabrina menegang. Napasnya seolah berhenti sesaat saat mendengar ucapan Lucas tadi.“Sebentar lagi akan terjadi? Apa maksudmu?” tanyanya cepat. Nada suaranya bergetar. Wajahnya pucat, seperti seseorang yang baru saja mendengar kabar akan datangnya badai, tapi belum tahu dari mana datangnya.Lucas memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.“Bahaya itu sudah bergerak. Dan aku yakin, dalam beberapa jam ke depan, mereka akan sampai di kota ini,” ucapnya pelan, namun pasti.Sabrina menelan ludah. Hawa malam yang tadi hanya dingin kini berubah menjadi menggigit. Dia menggenggam ujung bajunya sendiri, berusaha menahan getar di jari-jarinya.“Bahaya … dari mana? Siapa?” tanya Sabrina lagi. Kali ini suaranya benar-benar terdengar cemas.Lucas menggeleng pelan. “Kalau aku bisa menjelaskan semuanya, aku akan. Tapi ini rumit, Sab. Terlalu banyak pihak yang bisa terlibat. Aku hanya tahu satu hal, perwakilan dari Dominus Noctis sedang bergerak. Tidak semuanya tapi me
Lucas memandangi wajah Angeline, bingung dan berat. Matanya menatap dalam, seolah berharap bisa membaca isi hati istrinya dari sorot itu. Tapi yang dia dapatkan hanyalah dinding dingin yang tak bisa ditembus.“Apa maksudmu?” tanyanya pelan, seperti seseorang yang baru saja kehilangan peta di tengah hutan gelap.Angeline menyilangkan tangan. Nada suaranya tajam, namun matanya mengandung luka yang tak bisa disembunyikan. “Kamu tidak tahu atau kamu pura-pura tidak tahu?”Lucas menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Aku benar-benar tidak tahu, Angeline. Apa yang kamu pikir aku sembunyikan?”Angeline menutup mata sesaat. Napasnya masuk pelan, lalu keluar dengan ledakan frustrasi.“Kupikir aku sudah cukup pintar membaca orang, Lucas. Tapi ternyata aku salah besar. Aku pikir … menikah denganmu adalah langkah tepat. Tapi mungkin itu keputusan paling bodoh dalam hidupku,” kata Angeline tanpa melihat mata Lucas.Kata-kata itu mengguncang Lucas. Tapi dia tidak membalas. Tidak membela di