Share

Kehadiran Dahlia

Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.

“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman. 

Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh sejenak sebelum berdiri, lalu mengikat rambut lurus panjangnya dengan karet gelang yang melingkar di tangan kirinya. Sasmita melangkah menuju pintu kemudian membukanya. Ia hendak ke kamar mandi.

‘Apakah mas Arya sudah bangun?’ ia bertanya dalam hati. 

Sebelum ke kamar mandi wanita berusia dua puluh tahun itu menengok sebentar ke ruang tamu. Tidak didapati suaminya di kursi. Rupanya tubuh lelaki itu terbaring di lantai di antara meja dan kursi. Lelaki itu masih tertidur pulas dan sama sekali tak bergerak. hanya suara napas beratnya yang terdengar tak beraturan.

Setelah salat Subuh Sasmita segera menyibukkan diri di dapur. Sebagai seorang istri yang baik ia tetap menjalankan rutinitas ibu rumah tangga meskipun hatinya sakit karena perlakuan suaminya tadi malam. Sasmita yang lugu menerima semuanya  dengan pasrah. Ia terpaksa oleh keadaan dan hanya bisa diam meratapi nasib. 

Pagi ini Sasmita memasak untuk bekal Arya ke kebun. Ia juga membuatkan kopi untuk suaminya. Hari ini ada panen jagung. Sebagai pemilik lahan suaminya akan datang untuk mengawasi para buruh tani yang bekerja. Sejenak Sasmita melupakan niatnya semalam untuk meminta cerai dari Arya.

***

Arya terbangun saat aroma kopi yang terletak di atas meja menusuk hidungnya. Kepalanya masih terasa berat efek dari mabuk semalam. Lelaki itu mengingat-ingat kejadian tadi malam, lalu ia sadar telah meninggalkan motornya di depan kafe.

“Bodoh,  kenapa motor aku tinggal di kafe? Terpaksa jalan kaki, nih,” umpatnya kesal. Lelaki itu meremas-remas rambutnya sendiri. “Ini semua gara-gara wanita penggoda itu. Dia membuatku bangkrut.” Arya merutuki dirinya sendiri.

Lelaki itu kemudian berdiri menuju dapur. Arya sangat hapal dengan rutinitas istrinya setiap pagi meskipun dia tidak  menyukai wanita itu. Nyatanya wanita yang sudah menjadi istrinya itu sudah menemani selama dua tahun dengan sabar. Entah kapan dia bisa menerima dan mencintai Sasmita.

“Mita, siapkan aku air panas!” Suara Arya membuat Sasmita terkejut.

“Mas Arya sudah bangun?”

“Kamu pikir sekarang aku lagi apa? pakai tanya segala. Buruan! Aku mau ambil motor di kafe.”

“Mas Arya enggak ke kebun? Hari ini, kan …?” 

“Cerewet banget, sih, kamu. Kerjakan saja perintahku!”

Sasmita hanya menunduk saat Arya membentaknya. Dengan cekatan wanita malang itu memasak air untuk suaminya mandi. Bulir-bulir bening keluar dari sudut matanya dan mengalir begitu saja hingga ke pipi, lalu ia mengusapnya dengan punggung tangan.

Setelah mandi tubuh Arya tampak lebih segar. Ia memakai t-shirt berwarna biru dengan celana jeans warna senada. Rambut gondrongnya yang masih basah membuatnya tampak fresh. 

“Aku mau keluar dulu,” pamit Arya. Biasanya lelaki itu pulang dan pergi seenak hati, tetapi kali ini dia berpamitan pada Sasmita.

“Mas Arya, aku ingin bicara sebentar,” ucap Sasmita saat Arya akan pergi.

“Bicara apa? Sudahlah kamu jangan merusak suasana hatiku pagi ini.”

“Ini penting, Mas.”

“Urusanku jauh lebih penting. Kalau mau bicara nanti malam saja.”

“Tapi, Mas….”

“Sudah jangan banyak tapi. Kamu selalu saja merusak mood-ku. Lebih baik kamu selesaikan saja tugasmu sebagai istri. Nanti jangan lupa antarkan bekal makan siang ke kebun!” Arya pergi begitu saja meninggalkan Sasmita yang masih berdiri di pintu dapur.

Sasmita menghela napas, ia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Arya yang seenaknya sendiri. Ia tidak pernah dihargai sebagai istri, tetapi tetap menjalankan kewajiban sebagai istri. Bukankah ini tidak adil baginya? Arya hanya datang saat menginginkan tubuhnya dan lelaki itu memberikan pelukan pada Sasmita hanya saat dikuasai hasrat. 

***

Arya berjalan menuju kafe yang didatanginya semalam. Sepanjang perjalanan beberapa tetangga pun menyapanya. Sebagai anak juragan tanah, Arya cukup terkenal dilingkungannya termasuk sikap minusnya.

Hari masih terlalu pagi saat Arya tiba di tempat yang dia tuju. Kafe masih tutup dan keadaan sekitar masih sepi karena memang tempat nongkrong kawula muda itu baru buka jam sepuluh. Sepeda motor Arya yang diparkir depan kafe masih di tempat semula tidak bergeser sedikit pun. 

***

Hari ini hal yang tak terduga terjadi. Di tengah perjalanan menuju kebun jagung Arya berpapasan dengan Dahlia, wanita cantik dengan tubuh penuh dan seksi. Wanita dengan tinggi semampai itu menaiki motor matic dengan santai. Meskipun sebenarnya Arya ragu bahwa wanita itu adalah Dahlia, tetapi dia masih ingat betul wajah rupawan itu. Dia pun menghentikan laju kendaraan roda duanya.

“Dahlia!” seru Arya. 

Wanita yang dipanggil Arya dengan nama Dahlia itu spontan menoleh, lalu menepikan motornya kemudian berhenti.

“Mas Arya? Kamu apa kabar, Mas?”

“Penglihatanku tidak salah. Kamu memang Dahlia.” Arya turun dari motor, lalu menghampiri Dahlia yang masih duduk di atas jok motornya.

Kedua insan itu saling bersalaman dan memandang satu sama lain. Arya menggenggam tangan Dahlia dengan erat seperti tidak mau melepaskan. Tatapan Arya pada Dahlia penuh dengan kerinduan. Tatapan lembut yang tidak pernah diberikan pada Sasmita.

Dada Arya bergejolak. Pertemuannya dengan wanita yang tampak matang dan dewasa itu membuat hidupnya seketika bergairah. Debaran yang dia rasakan kini tak pernah dia rasakan saat bersama dengan istrinya.

“Sejak kapan kamu datang, Lia?” sapa Arya basa-basi.

“Aku sudah seminggu di desa ini, Mas. Kamu menikah, kok, enggak bilang-bilang? Kenapa aku enggak kamu undang?”

“Pertanyaan macam apa itu? Sudah enggak usah dibahas. Kamu sendiri tumben pulang kampung. Bukankah sejak diboyong laki-laki kota itu kamu belum pernah mudik?”

Dahlia hanya tersenyum kecut menanggapi pertanyaan balik dari Arya. Wanita itu mencoba mengalihkan pembicaraan.

 

“Kamu dari mana, Mas? Kok, pagi-pagi udah dari luar desa?”

Arya tampak gugup. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Dahlia. Lelaki bertubuh tinggi itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang dari kafe untuk mengambil sepeda. Bisa buruk citranya di hadapan Dahlia.

“Aku hanya jalan-jalan keliling desa saja sekalian mau ke kebun jagung,” jawabnya beralasan.

Arya dan Dahlia melanjutkan obrolan dengan hangat. Sekali-kali kedua insan itu tertawa lepas. Entah apa yang mereka bicarakan. Sementara itu di seberang jalan sekitar lima puluh meter dari posisi Arya dan Dahlia bercengkerama, Sasmita sedang berdiri mematung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status