LOGINAndrew, adalah kurir yang selalu direndahkan. Jovanka kekasihnya meninggalkannya. Karena, ia dianggap miskin. Rupanya, ia adalah pengusaha sukses yang menyamar sebagai kurir. Untuk mendapatkan cinta sejati.
View MoreBab 1: Seragam dan Senyum Pudar
Matahari Jakarta yang tidak mengenal belas kasihan menghantam Andrew seperti tinju tumpul. Panasnya tidak hanya membakar kulit melalui kain seragam kurir yang sedikit lusuh, tetapi juga membakar kepastian di dalam dadanya. Ia mematikan mesin motor bebek butut itu di pinggir jalan yang beraroma campur aduk antara knalpot, keringat, dan soto ayam. Dua liter keringat sepertinya sudah menguap dari tubuhnya. Di balik helm full-face yang pengap itu, ia bisa merasakan ketidaknyamanan—sebuah sensasi yang ironis, mengingat hanya dua jam sebelumnya ia baru saja menyelesaikan pertemuan direksi dari balik meja mahoni berharga ratusan juta. Andrew menghela napas panjang, mencoba meredakan detak jantung yang berpacu liar. Seragam cokelat tua ini terasa seperti karung goni yang menahan Andrew Wijoyo, CEO Wijoyo Corp, di dalamnya. Ini adalah penyamaran yang ia pilih sendiri, penjara yang ia bangun demi mencari kebebasan sejati, atau setidaknya, kebenaran tentang cinta. Getaran mematikan datang dari saku celana kerjanya. Panggilan masuk. Nama yang terpampang di layar ponsel pintar terbarunya—yang untungnya tersembunyi dengan baik—membuat bahunya menegang. Jovanka. Andrew menarik napas sekali lagi, menarik topeng 'kurir yang sibuk' dan menanggalkan topeng 'CEO yang sabar'. "Halo, Sayang," katanya, suaranya diatur agar terdengar sedikit lelah, sedikit serak karena debu jalanan. Suara Jovanka, seperti biasa, datang membawa tuntutan, tajam dan terpoles seolah baru keluar dari spa termewah. "Andrew? Astaga, kamu akhirnya menjawab. Aku sudah menelepon tiga kali. Kamu di mana sekarang? Ini sudah hampir jam lima sore." Andrew menyandarkan motornya ke tiang listrik, pura-pura memeriksa tumpukan paket yang harus ia antar dalam 30 menit ke depan. "Maaf, aku baru menyelesaikan pengantaran di daerah Kemang. Jalanan macet parah. Kenapa? Ada apa, Sayang?" "Ada apa? Jangan bercanda. Kamu lupa kita ada dinner dengan investor dari Singapura? Kita sudah merencanakan ini sejak minggu lalu. Dan kamu masih memakai seragam itu?" Jovanka mendesis di ujung telepon, ketidakpuasan Jovanka terasa menusuk, bahkan dari jarak jauh. Andrew menyipitkan mata ke arah seragamnya. Kain ini mewakili kegagalan. Jovanka sudah tahu tentang pekerjaan sampingannya sebagai kurir—ia yang memaksakan diri percaya bahwa Andrew hanya melakukan ini untuk 'pengalaman hidup' sebelum ia benar-benar bisa 'mapan'. Sebuah kebohongan yang ia ciptakan untuk menguji. "Aku bisa ganti baju cepat di mess sebelum ke sana," jawab Andrew hati-hati. "Tidak, kamu tidak akan sempat," potong Jovanka cepat. "Aku ingin kamu menjemputku di butik Fendi pukul enam. Tapi, dengarkan baik-baik. Jangan sampai kamu muncul di depan butik dengan motor butut itu, apalagi dengan bau keringat dan minyak. Kamu harus naik taksi, atau, lebih baik, minta Bima mengantarkan mobilku." Perut Andrew bergejolak. Kata-kata Jovanka tidak pernah berubah. Selalu tentang penampilan. Selalu tentang fasad. Ia telah mencari, ia telah berharap, bahwa kali ini, Jovanka akan melihat Andrew di balik seragam yang berbau debu, bukan hanya status yang ia kenakan. Tetapi harapan itu, seperti biasanya, sia-sia. "Jovanka, bukankah kita sudah membahas ini?" Andrew menahan emosinya. "Aku sedang bekerja keras sekarang. Aku ingin kamu menghargai itu." Tawa dingin terdengar dari ujung sana. Tawa itu menghina. "Menghargai apa? Menghargai kamu mengantar makanan dan amplop, padahal kamu punya gelar MBA dari luar negeri? Andrew, kamu itu punya potensi besar. Kenapa kamu menyia-nyiakan waktu dengan pekerjaan receh begini? Aku mau tahu, apa yang akan dipikirkan Mr. Chen saat melihat calon menantunya mengendarai motor kurir?" Kata-kata itu menghantam Andrew tepat di saraf trauma lamanya. Calon menantu. Status. Nilai diri yang diukur dari aset. Ini dia. Inilah mengapa ia harus melakukan penyamaran ini. Ia tidak bisa lagi menerima cinta yang datang dengan lampiran kontrak keuangan. "Aku sudah bilang, ini hanya sementara," ujar Andrew, suaranya sedikit mengeras. "Sementara sampai kapan? Sampai kamu bau bensin selamanya?" Jovanka mendiam sesaat, lalu nadanya melunak, berubah menjadi manis yang berbahaya. "Dengar, Sayang. Aku melakukan ini demi kita. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik daripada debu jalanan. Kamu tahu, kamu itu begitu tampan, cerdas... tapi kamu harus terlihat pantas di sampingku. Jadi, pastikan kamu memakai jam tangan yang benar, jangan sampai kamu memakai jam tangan murahan seperti yang kamu kenakan saat aku melihatmu minggu lalu. Oke?" Andrew memejamkan mata. Jam tangan murahan yang Jovanka maksud adalah jam tangan digital yang dibelinya di pasar loak, sengaja untuk menunjang perannya. Jam tangan aslinya, sebuah tourbillon langka, tersembunyi dengan aman di brankas kantornya. "Aku akan usahakan," jawab Andrew, menghindari janji pasti. "Tidak ada 'usahakan', Andrew. Pastikan. Kalau kamu terlambat dan masih memakai seragam bodoh itu, aku akan membatalkan pertemuan dan kita akan bertengkar hebat. Mengerti?" ancam Jovanka. "Mengerti," Andrew menutup telepon bahkan sebelum Jovanka mengucapkan selamat tinggal. Ia menarik helmnya, mengusap wajahnya yang basah kuyup oleh keringat. Pengkhianatan ini terasa pahit. Ia tahu Jovanka materialistis, tetapi ia terus bertahan, terus menyamarkan dirinya, berharap ada satu momen magis di mana Jovanka berkata, "Aku tidak peduli kamu kurir atau CEO, aku mencintaimu." Momen itu tidak pernah datang. Andrew merenung sejenak, membiarkan kebisingan Jakarta meredam suara tuntutan Jovanka di telinganya. Rasa lelah yang menusuk. Bukan lelah fisik, melainkan lelah mental karena terus-menerus hidup dalam kebohongan. Ia seharusnya mengakhiri hubungan ini sejak lama, tetapi rasa takut akan menghadapi kebenaran—bahwa cinta sejati, cinta tanpa syarat, mungkin tidak ada—menjadikannya pengecut. Ia harus pergi. Ia harus melanjutkan pekerjaannya. Ada pengantaran buku di daerah Menteng. Toko buku kecil yang katanya menjual kopi paling enak. Andrew mengenakan kembali helmnya, tetapi sebelum ia sempat menendang starter motornya, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, Bima. Sahabat karibnya dan Direktur Operasional Wijoyo Corp. Bima adalah satu-satunya orang yang tahu tentang drama penyamaran gila ini. "Halo, Bim," ucap Andrew, nadanya berubah profesional secara otomatis. "Syukurlah kamu menjawab. Andrew, dengarkan baik-baik. Aku tahu kamu sedang main kurir-kuriran di luar sana, tapi ini mendesak," suara Bima terdengar tegang, tidak biasa. "Ada apa? Masalah di lantai 12?" "Bukan soal kantor. Ini soal kamu dan… Jovanka," Bima berhenti sejenak, suara Bima penuh kehati-hatian. "Aku tidak sengaja melihat laporannya. Seharusnya ini dikirim langsung ke tim legal, tapi aku mencegatnya." Jantung Andrew mencelos. Rasa takut yang dingin mulai merayap naik ke tenggorokannya. "Laporan apa? Apa yang Jovanka lakukan?" "Dia tidak melakukan apa-apa. Tapi, Andrew, kamu harus segera meninggalkan dia," desak Bima, kini suaranya lebih seperti perintah. "Dia mulai curiga. Dia menyewa detektif. Laporan itu… itu adalah catatan pengeluaran mingguanmu, lengkap dengan foto-foto motor bututmu dan rekaman saat kamu bertemu orang-orang penting." "Apa?" Andrew menahan napas. Ia menoleh ke sekitar, merasa mata-mata mengintai di balik setiap mobil yang melintas. "Dia sudah tahu identitas asliku?" "Belum. Tapi Jovanka bukan orang bodoh. Dia tahu Kurir Andrew ini terlalu banyak tahu soal bisnis korporasi kelas atas. Andrew, dia akan menemukan kebenaran, dan ketika itu terjadi, aku takut dia tidak akan hanya diam dan marah," Bima menarik napas berat. "Dia sedang mencari celah untuk menuntutmu atas... atas penipuan hubungan, atau semacamnya, kalau dia tahu identitasmu yang sebenarnya. Dan Andrew, ini bagian paling gila..." Andrew mencengkeram stang motornya, buku-buku jarinya memutih. "Apa? Katakan padaku!" "Dia tahu tentang proyek Pustaka Senja di Menteng. Dia tahu kamu mengincar toko buku kecil itu untuk pembangunan gedung Wijoyo Center yang baru. Dan dia akan pergi ke sana malam ini, berpura-pura menjadi pembeli, untuk memastikan apakah benar Kurir Andrew menjalin hubungan pribadi yang terlalu akrab dengan pemilik toko buku itu. Dia akan memaksamu memilih antara..." "Memilih apa?" Andrew berteriak, mengabaikan tatapan heran dari tukang soto yang lewat. Ia tahu Jovanka cemburu, tetapi ia tidak pernah menyangka Jovanka akan menggunakan kekuatan perusahaan untuk menghancurkan kehidupannya yang disamarkan. "Memilih antara mempertahankan rahasiamu, atau..." Suara Bima terpotong oleh suara sirene ambulans yang meraung kencang, menenggelamkan kata-kata terakhir Bima. "Bima? Bima, memilih apa? Bicara yang jelas!" Andrew berteriak panik ke ponselnya, namun ia hanya mendengar suara berderak dan sirene yang semakin mendekat, mengisyaratkan sinyal yang terputus, meninggalkannya sendirian di tengah kemacetan Jakarta, dengan ancaman ganda yang menjulang: Jovanka di satu sisi, dan toko buku kecil di Menteng yang sekarang menjadi targetnya, target yang ia tahu pasti... ...milik Rania.Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew jatuh, bersama dengan debu, karat, dan potongan-potongan logam yang tajam, menuju kegelapan yang tidak diketahui di bawahnya— Tubuhnya menghantam permukaan beton dengan bunyi Buk! yang membuat udara keluar dari paru-parunya. Suara gemuruh logam yang runtuh menggelegar, diikuti oleh keheningan yang memekakkan telinga. Andrew berbaring di antara puing-puing, matanya menyipit karena rasa sakit. Ia tidak jatuh terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar dua meter, tetapi dampak dari pecahan saluran udara yang berkarat telah melukai sisi tubuhnya. Ia mencium bau darah bercampur karat dan debu kimia yang tajam. Ia berhasil mendarat di atas tumpukan kardus tua di sudut gudang penyimpanan yang gelap. Gudang itu tampak ditinggalkan, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela kecil berdebu yang tertutup jeruji besi. Andrew berjuang untuk duduk. Rasa sakit menusuk pergelangan kakinya, tetapi itu bisa diabaikan. Hal yang paling penting: bukti itu. Ia mer
Andrew merasakan denyutan adrenaline yang membakar semua rasa sakit akibat kotoran dan luka di tubuhnya. Seruan Jovanka, dingin dan merdu, menghantam telinganya bersamaan dengan suara klik mekanis yang tak salah lagi dari pistol perak itu. “Permainanmu sudah berakhir—” “Rio, menunduk!” Andrew berteriak, suaranya serak. Rio, yang telah terbiasa dengan kecepatan gila kurir Jakarta, tidak menunggu perintah kedua. Ia membanting motor tuanya ke kanan, menembus celah sempit di antara truk sampah yang berhenti dan sebuah gerobak gorengan. Bau minyak panas dan asap knalpot menyengat hidung Andrew, tetapi bau itu lebih baik daripada bau belerang dari selokan. DOR! Tembakan itu terdengar seperti petasan raksasa di pagi yang sunyi. Motor Rio bergoyang hebat. Andrew merasakan panasnya peluru yang meleset, memecahkan kaca spion truk sampah. “Mereka menembak, Bos! Dia menembak!” Rio panik, gas motornya ditarik hingga maksimal. “Aku tahu! Tetap di jalur! Jalan tikus, Rio! Jangan pernah masuk
Ia melompat, meraih besi dingin itu, dan mulai memanjat— Tangga darurat yang berkarat itu terasa seperti gigitan dingin pada kulitnya. Andrew mendaki dengan liar, otot-ototnya menjerit karena kelelahan, tetapi adrenalin membakar urat nadinya. Setiap anak tangga berderit memekakkan telinga di keheningan malam Jakarta, suara yang ia tahu akan menarik perhatian para pengejar di bawah. Bau asam dari sampah di gang sempit itu menghilang, digantikan oleh aroma karat dan debu beton yang menempel di besi. Jantungnya berdebar kencang di balik seragam kurir yang basah kuyup oleh keringat dan hujan. Seragam itu, simbol kebohongan terbesarnya, kini berfungsi sebagai kain kamuflase yang menyedihkan. Tiba-tiba, ia berhenti. Dari ketinggian lantai tiga, Andrew bisa melihat mobil hitam yang mengejarnya. Cahaya strobo kecil yang tersembunyi berkedip di balik kaca depan, mengirimkan denyutan biru yang menyeramkan. Di samping mobil, ia melihat siluet dua pria berseragam mendekati motor yang tergeleta
“Andrew, Jovanka baru saja mengungkapkannya. Dia bilang kau meninggalkan dia demi kekasihmu yang lain… kekasihmu yang seorang kurir!” Kata-kata Bima menembus keheningan yang tegang, membeku di udara malam seperti kabut dingin. Pengertian yang salah itu sungguh luar biasa, fatal, dan menghancurkan. Andrew tidak bergerak. Ia tidak bisa bergerak. Otaknya mencoba memproses tiga realitas yang saling bertabrakan: kebohongan korporat yang baru saja ia sampaikan kepada Pak Hermawan, pengkhianatan emosional yang ia torehkan pada Rania, dan sekarang, kesimpulan gila yang ditarik oleh Jovanka dan media—bahwa Rania, sang pemilik toko buku sederhana, adalah selingkuhan kurir Andrew. Rania, yang masih menangis, mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Ia menatap Bima, lalu kembali menatap Andrew. Ekspresinya bukan lagi kesedihan, melainkan kemarahan yang membara. “Kekasihmu?” Rania mengulang, suaranya naik satu oktaf, terdengar seperti pecahan kaca. Andrew melangkah maju, tangannya terentang. “R
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments