Share

Kejutan

Sasmita berjalan terpincang-pincang. Air matanya terus mengalir sepanjang ia berjalan. Tidak hanya menahan perih akibat luka di tubuhnya, tetapi juga kesal dengan pemuda yang hampir menabraknya.

 

 

“Dasar tidak punya perasaan dan etika. Ada orang jatuh tidak ditolong, malah dimaki-maki. Dia kira, jalan ini punya nenek moyangnya” gerutu Sasmita. Hatinya sakit mengingat pemuda tersebut. Andai Sasmita tahu, pemuda itu yang akan dijodohkan dengannya.

 

 

Sasmita hampir tiba di warung ibunya setelah  berjalan selama sepuluh menit. Warung berdinding anyaman bambu itu sudah terlihat jelas oleh Sasmita. Gadis itu ragu untuk kembali melangkah. Ia berhenti sejenak saat melihat laki-laki berkumis tebal keluar dari warung.

 

 

“Juragan Karyo?” pekik Sasmita, lalu buru-buru ia menutup mulutnya.

 

 

Tubuh Sasmita bergetar. Ia bergidik ngeri saat membayangkan akan menjadi istri seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Sasmita segera berlari dan  bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di pinggir jalan sebelum terlihat laki-laki paruh baya itu. Sasmita terduduk di bawah pohon. Air matanya makin mengalir deras.

 

 

Juragan Karyo meninggalkan warung dengan menaiki sepeda motornya. Sesuai dugaan Sasmita, laki-laki itu melewati jalan yang ia lewati. Untung saja ia segera bersembunyi. Ia tidak siap berhadapan dengan laki-laki berumur itu saat ini. Dadanya bergemuruh antara takut, marah, dan kecewa.

 

 

Setelah Juragan Karyo sudah tak terlihat, Sasmita keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berlari sekuat tenaga menuju warung ibunya. Ia melupakan rasa nyeri dan perih pada tangan dan kakinya.

 

 

Sasmita sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar berita mengenai kedatangan juragan Karyo. ‘Bagaimana jika penawaran ibunya untuk mengulur waktu ditolak? Bagaimana jika besok pagi laki-laki tua itu tiba-tiba menikahinya?’ batinnya bergejolak.

 

 

“Ibu ... Ibu,” Jerit Sasmita. Ia menyeruak ke dalam warung, tidak memedulikan beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi hangat. Mereka para buruh tani yang sedang beristirahat.

 

 

“Ada apa Sasmita? Mengapa kamu terburu-buru seperti itu? Terus, ini kenapa dengan kaki dan tanganmu?” pekik Samirah.

 

 

“Ibu, itu tadi ... juragan Karyo ...?” Sasmita tak melanjutkan kata-katanya karena mulutnya dengan cepat dibungkam oleh ibunya.

 

 

“Sssst ... nanti ibu ceritakan, tetapi sekarang diam dan tenanglah.” Samirah menuntun anaknya, lalu mengajaknya duduk pada amben dari bambu. Sasmita pun menurut.

 

 

Samirah melempar senyum pada beberapa pelanggan yang menatap ke arah mereka dengan bingung, atau lebih tepatnya penasaran. Ia kemudian kembali mengalihkan pandangannya kepada putri sulungnya.

 

 

“Kamu habis jatuh? Lukamu ini harus segera dibersihkan biar enggak membengkak! Tapi ibu enggak punya obat merah.”

 

 

“Tadi aku berjalan tanpa sadar ke tengah jalan, Bu. Dari arah depan ada motor yang jalannya kenceng. Dengan cepat aku menghindar, tetapi terjatuh,” cicitnya. Sasmita tidak menceritakan pada ibunya kalau ia sempat terserempet motor tersebut.

 

 

“Oalah, kamu ini, kok, enggak hati-hati!” Samirah berdiri. Ia segera mengambil air bersih juga tisu, lalu membersihkan luka Sasmita. Setelahnya, Samirah mengoleskan minyak tawon pada luka-luka Sasmita.

 

 

“Enggak ada obat merah, tapi ada minyak tawon. Ibu biasanya pake minyak ini buat ngolesin luka, juga buat menghentikan darah di luka yang ringan atau luka tergores yang tidak terlalu alam seperti lukamu ini. Nanti dijamin lukamu ini cepat kering.” Jelas Samirah.

 

 

Sasmita meringis karena rasa perih yang melanda setelah minyak tersebut dioleskan ke lukanya. “Memangnya obat ini aman, Bu?” tanya Sasmita penasaran.

 

 

“Ibu enggak tau pasti, Nduk, tetapi selama ini, ibu pakai ya aman-aman saja. Pokoknya ya minyak tawon yang asli, jangan yang palsu. Samirah menjelaskan mengenai minyak yang asli dan palsu kepada anaknya. Ia sudah seperti sales obat saja.

 

 

“Oh ....” Sasmita melongo. Baru kali ini ia tau, luka-luka ringan bisa cepat kering hanya dioles minyak tersebut. Melihat ibunya yang nyerocos tanpa beban membuat pikiran Sasmita mengenai kedatangan juragan Karyo ke warung ibunya sedikit teralihkan. ‘Akankah ada kabar baik?’ batin Sasmita.

 

 

***

 

Malam ini, semua keluarga berkumpul di ruang tamu sempit rumah Pak Sokran. Ruangan itu multi fungsi, sebagai ruang tamu, ruang keluarga, juga ruang belajar bagi anak-anaknya. Ada 4 kursi kayu butut yang saling berhadapan dengan meja kusam di tengahnya. Pak Sokran, istrinya, dan anak sulungnya duduk di kursi, sedangkan dua adik Sasmita sedang belajar. Mereka duduk di lantai beralaskan tikar pandan.

 

 

“Jadi, apa yang ingin kau sampaikan, Bu?” tanya Pak Sokran pada Samirah, istrinya.

 

 

Samirah tersenyum. Tidak ada kesedihan di raut wajahnya. Ia bahkan menunjukkan kebahagiaan. Hal itu membuat Pak Sokran dan Sasmita bingung. Mengapa wanita itu begitu senang.

 

 

“Apa yang kita pikirkan dan khawatirkan itu salah Pak,” ucap Samirah kemudian.

 

 

“Maksudmu apa, Bu? Kamu bilang tadi juragan Karyo ke warung? Kenapa laki-laki lebih suka mendatangimu ke warung dari pada datang ke rumah ini untuk menemuiku?” Suara pak Sokran sedikit tinggi. Ia sudah tidak sabar dengan penjelasan istrinya yang bertele-tele.

 

 

“Sabar, Pak. Juragan Karyo itu ternyata tidak seburuk yang kita pikirkan. Jadi, yang akan menikah dengan Sasmita nanti bukan juragan Karyo ....”

 

 

“Lalu siapa?” potong Sasmita.

 

 

“Kamu ini, potong omongan orang tua saja. Dengarkan ibu selesai ngomong.”

 

“I-iya, Bu.” Sasmita tertunduk. Ia menyadari ketidaksabarannya.

 

“Siapa, Bu? Kamu ini terlalu berbelit-belit,” sungut Pak Sokran. Laki-laki itu sedikit kesal.

 

“Sasmita itu mau dijadikan mantu oleh juragan, bukan mau dijadikan istri.”

 

“Hah?” Pak Sokran dan Sasmita terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka.

 

 

“Benarkah, Bu?” tanya Sasmita. Gadis itu merasa lega. Batu yang serasa mengimpit dadanya serasa terangkat.

 

 

“Alhamdulillah!” seru Pak Sokran. Ia juga tak kalah lega. Masalah yang membuat pikirannya kalut dan ruwet beberapa hari ini, terurai sudah.

 

 

“Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.”

 

 

“MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya.

 

Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga.

Sasmita menerima perjodohan ini, meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa.

 

 

Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu.

 

 Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya.  Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa bergerak, berkelit, maupun menghindar. Hanya ada penyesalan panjang. Takdir terkadang akan mengajak bercanda kepada manusia-manusia naif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status