Share

Bab 9

     

Yuni berdiri di depan pagar, matanya yang belok melihat ke Kumi.

            “Siang Tante,” sapa Kumi ramah.

            “Hati-hati Kak, dia tukang gossip, jangan disuruh masuk,” bisik Khandra. “Oh ya, Khandra punya uang, uang Kakak sebaiknya disimpan saja.”

“Beneran? Darimana dapat uangnya?” Kumi mengernyitkan dahi.

            “Aku buat stiker dan kujual online. Hasilnya kutabung buat bayar kuliah nanti,” kata Khandra bangga. “Kakak mau makanan apa, biar sekalian Khandra belikan.”

            Ada gerimis di mata Kumi, ia terharu dengan kebaikan adiknya. “Tidak usah, Kakak tidak pengen apa-apa.”

Khandra lalu mengambil motornya dan pergi tanpa memedulikan Yuni.

            Yuni marah diabaikan oleh Khandra. Dia menumpahkan kekesalannya pada Kumi. ”Apa adikmu memang songong begitu, lewat di depan orang tua gak permisi, main nyelonong saja.”

            “Ohw mungkin Tante gak denger, Khandra kan pake motor dan pake helm.” Bela kumi. “Maaf ya Tan saya mau istirahat,” pamitnya santai.

            Kumi masuk ke kamarnya. Ia meraba sprei dan boneka beruang besar di atas tempat tidurnya. Lembut dan harum bunga lavender.

            Ibu memang suka menyemprokan parfum aroma bunga lavender di semua kamar anak-anaknya. Kata Ibu supaya anak-anaknya tidur nyenyak.

            “Mandilah dulu Kumi, setelah itu makan,” ujar Ibu, wajahnya melongok di pintu kamar Kumi.

            Kumi mengangguk, badannya memang terasa lengket setelah berenang di sungai. Ia mengambil handuk dan berlama-lama menggosok badannya sambil merenung di kamar mandi.

            “Nduk… kamu mau telurnya di dadar apa di ceplok?” Putri bertanya pada Kumi. Karena dia tak mendengar suara air di kamar mandi sejak Kumi masuk. Letak kamar mandi dan dapur memang berseberangan.

            “Ceplok saja Bu,” jawab Kumi dari dalam. Ia tahu Ibu mencemaskan keadaan dirinya. Ibu mengajaknya bicara hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja.

            Mendengar suara air yang mengalir, Putri lega. “Ibu nanti malam tidur sama kamu ya Nduk?”

            “Gak usah, Kumi kan tidurnya seperti kuda. Ibu nanti gak bakalan betah.”

Sutomo yang mendengar percakapan istri dan anak itu tertawa. “Bu, biarin anaknya mandi, kok malah diajak ngomong terus,” tegur Sutomo halus.

“Biarin, Ayah kayak gak tahu istrinya lagi seneng anak wedoknya di rumah lagi,” elak Putri sambil mengulek sambel terasi.

Kumi mendengarkan percakapan Ayah dan Ibunya, hatinya teriris. Cinta yang mereka tunjukkan satu sama lain memang sangat sederhana. Kumi tak pernah melihat riak keruh pada mata Ibu. Perhatian-perhatian kecil yang dilakukan Ayah seperti menemani anak-anaknya belajar sudah membuat hati Ibu meleleh.

Seketika dia membandingkan perkawinannya yang baru seumur jagung tapi menyisakan jejak trauma yang sangat dalam pada hidupnya. Wanita muda itu menangis tergugu di bawah pancuran air. Dadanya menjadi sesak membayangkan masa depan yang akan dijalaninya kelak bersama sang buah hati.

“Nduk, jangan lama-lama mandinya, kasihan bayi dalam kandunganmu nanti masuk angin,” ucap Ibu. Ia mendengar suara tangisan dari dalam.

“Nggih Bu.” Kumi menyelesaikan mandinya dan bergerak ke kamarnya dengan kepala menunduk.

Setelah berganti pakaian. Ia melihat foto pernikahannya bersama Arka di atas nakas di samping tempat tidurnya, yang dibingkai dengan frame kayu model vintage. Ia ingat foto itu diambil oleh Khandra.

Kegetiran kembali mengguncang hatinya dan membuat keresahannya kian pekat. Meski mereka dijododkan sikap Ibu dan mertuanya sangat berbeda jauh. Di rumah mertuanya tak ada sama sekali foto pernikahan mereka. Bulir-bulir bening kembali menetes dari mata Kumi.

Kumi memperhatikan dengan seksama, dalam foto itu tak ada sama sekali kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Di sana dia terlihat sangat kaku bersanding dengan Arka yang tersenyum palsu menatap kamera.

Ia lalu mengambil gunting dan memotongnya menjadi serpihan - serpihan kecil dan membuangnya ke dalam tong sampah. Setelah itu ia memeluk Lucy – kucing yang ia selamatkan tadi dan merebahkan badannya di atas pembaringan. Lucy pindah ke perutnya dan ia nyaman tidur di sana. Kumi membiarkan, ia hendak memejamkan mata saat mendengar suara Khandra.

“Gawat Bu! Kak Kumi masuk berita gossip di televisi.”

“Kamu jangan ngawur Dra!” tegur Sutomo pada anak lelakinya.

Sementara Putri tangannya sigap mengambil remote televisi dan terkejut melihat ada video Kumi yang sedang menyelamatkan kucing. Kemudian mereka membicarakan status F******k yang viral tentang anak perempuannya.

“Khandra benar.” Putri mengeraskan volume televisi “Bagaimana ini Yah?” tanya Putri meminta pertimbangan suaminya, dia masygul dengan rentetan yang menimpa Kumi.

Sutomo tidak merespon perkataan istrinya, dia sedang serius menerima telepon. Setelah itu dia berbicara dengan hati-hati. “Mas Teguh meminta maaf dan memohon pada Ayah supaya kita mengembalikan Kumi ke rumahnya. Dia berjanji akan memperlakukan Kumi dengan baik.”

Putri langsung melengos mendengar perkataan suaminya.

“Apa Ayah percaya dengan omongan Mas Teguh? Dia bilang begitu juga saat melamar Kumi? Tapi lihat yang dia dan keluarganya lakukan pada anak kita? Kalau Ayah mau mengembalikan Kumi ke keluarga Arka langkahi dulu mayat Ibu!” kata Putri geram dengan sikap lembek suaminya.

Sutomo menarik napas panjang. Ia tahu istrinya tak bakalan setuju.

“Khandra juga tidak rela! Khandra punya penghasilan dan siap membiayai Kak Kumi serta bayinya. Ayah urusi saja perceraian Kakak. Soal gossip itu abaikan saja! Nanti juga lewat,” Khandra berapi-api membela Kakaknya.

 “Stop, kalian jangan ribut lagi! Kumi mau bercerai dengan Arka dan akan bertanggung jawab dengan hidup Kumi sendiri,” kata Kumi tegas sambil menenteng tas.

   

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yulis Susanto
Semangat kumi...percayalah lebih baik sakit sekarang drpd nanti akan lebih sakit lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status