Share

Bab 8

Kumi membuka tas, mengambil uang lima ribuan dan memberikannya pada perempuan tersebut. Tanpa sadar Kumi mengelus perutnya. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya. Tidak-tidak, dia tak mungkin terlempar di jalanan seperti wanita itu.

Putri memegang tangan anak perempuannya. “Kamu jangan khawatir Nak. Ibu dan Ayah akan menjagamu. Kamu sekarang aman bersama kami, juga anak yang ada dalam perutmu.”

“Bagaimana Ibu dan Ayah bisa pas datang saat kami bertengkar?” tanya Kumi mengalihkan pikiran sedih yang mulai menginvasi otaknya.

Ayah menjawab pertanyaan Kumi.

“Ibu dan anak itu punya ikatan bathin kuat Nduk. Ibumu sering bersedih dan menangis tanpa sebab. Tiap tengah malam ia selalu terbangun dan ingat sama kamu. Dia memaksa Bapak untuk menengokmu. Tapi Bapak tunda terus. Kemudian seminggu yang lalu, ibumu menyuruh Khandra datang diam-diam mengecek keadaanmu. Dia melihatmu lari ke sana ke mari mempersiapkan acara makan-makan sendirian.”

Ibu lalu melanjutkan. Rasa kesalnya belum juga surut.

“Ibu terus menelponmu, tapi ponselmu gak aktif. Kemudian Ibu menelpon mama mertuamu, dia bilang katanya kalian sedang liburan ke Thailand. Hati Ibu semakin gak tenang, apalagi ponselmu terus gak aktif. Kemana saja kamu Nduk? Apakah benar Arka telah menjualmu pada bosnya?”

“Iya Bu.” Kumi menekan suaranya supaya tidak menangis. Terlalu banyak air mata yang ia keluarkan hari ini.

Reflek tangan Ayah memukul kemudi. “Lelaki brengsek!! Kurang ajar!” Lelaki itu menangis sesenggukan. “Semua ini kesalahan Ayah Nduk, seandainya Ayah mengikuti saran ibumu, nasibmu gak bakalan begini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Maafkan kesalahan ayahmu ini Nak,” katanya dengan suara parau.

Melihat Ayah menangis, Kumi dan Ibu ikut menangis.

Kumi berdiri di tepi sungai, melihat batu-batu besat di bawahnya. Desiran angin melambaikan cardigan putih yang dipakainya. Kepala Kumi mendongak, ia mengangkat tangannya ke atas. Dihirupnya udara dalam-dalam masuk ke paru-parunya.

Kemudian ia mendengar suara lirih tangisan yang menyayat hati. Mata Kumi mencari-cari dan terpancang pada sebuah kardus yang timbul tenggelam hanyut di bawa arus sungai. Naluri keibuannya mencuat ke permukaan.

“Tolong jangan bunuh diri Nak, kasihan Ayah dan Ibumu, juga Khandra adikmu. Kami sangat menyayangimu.” Lelaki itu menangis memanggil Kumi.

“Kumiiii!!! Jangan tinggalkan Ibu Nak! Kalau kamu mati Ibu ikut mati bersamamu!!” Putri menangis histeris, ia berlari menyusul suaminya. Menyusuri tepian sungai.

Terlambat! Tanpa pikir panjang Kumi langsung melompat ke sungai.

“Kumiiiiii…!!” Sutomo dan Putri panik melihat anaknya melompat ke sungai dan tak melihat anaknya lagi. Putri meraung-raung memanggil-manggil nama Kumi. Orang-orang mulai berdatangan ingin tahu.

“Anaknya gak bunuh diri, dia berenang menyelamatkan anak kucing! Tuh lihat ke bawah Pak!” kata seorang anak perempuan yang memakai baju putih abu-abu sambil tersenyum.

Orang-orang langsung tertawa.

Sutomo dan Putri menoleh dan melihat anaknya sedang berenang, tangannya meraih sebuah kardus di depannya lalu terdengar suara anak kucing yang semakin kencang. Kumi menepi, ke sebuah batu besar dan membuka bungkusan plastik hitam yang ada dalam kardus dan menemukan sebuah kucing berwana putih dan hitam yang kedinginan dan tampak sangat ketakutan.

Kumi meneteskan air matanya. Ia teringat kisah hidupnya yang dibuang suami dan keluarganya. Ia memeluk kucing itu ke dalam dekapannya. “Jangan takut, kamu aman bersamaku.”

“Ngeong,” kucing kecil itu menjilat-jilat muka Kumi.

Orang-orang terkesima, mereka lalu bertepuk tangan melihat aksi heroik Kumi menyelamatkan seekor anak kucing.

Sutomo jadi malu, ia menyusut air matanya yang tadi tumpah. “Gara-gara Ibu aku jadi ikutan panik,” protesnya.

Putri mesem. “Maaf Ayah, Ibu hanya takut Kumi nekad!”

Sutomo dan beberapa orang laki-laki membantu Kumi naik ke atas dengan seutas tali. Ibu membawakan Kumi jaket miliknya untuk menghangatkan badan Kumi dan kucing yang ia selamatkan.

Di dalam mobil, Putri tergelak mengingat kejadian tadi. Dia lalu menceritakannya pada Kumi. “Besok-besok, jangan ngagetin orang Nduk, main lompat aja,” Putri menasehati anaknya.

Kumi menatap Ayah dan Ibunya dengan pandangan keheranan. “Siapa yang mau bunuh diri? Kumi hanya mau menyelamatkan anak kucing,” jelasnya polos.

 “Bukan begitu Nak. Ayah dan Ibu sangat khawatir, karena kamu sedang mengalami masalah berat dan hamil saat ini,” ucap Sutomo. Perasaan bersalah masih menggelayut di dadanya.

“Maaf Ayah, Kumi tadi lupa kalau sedang hamil.” Kumi tersenyum, Ayah tidak tahu, kekuatannya menurun dari Ibu. “Inshaallah Kumi kuat,” ucapnya menenangkan kedua orang tuanya. Kumi menguap.

Mereka tiba di rumahnya saat makan siang, matahari tidak begitu terik. Sebelum masuk ke dalam rumah, Kumi duduk di teras memandangi tanaman aglonema dan sirih gading Ibu yang berjejer rapi. Rumah mereka memang tidak sebesar dan semegah rumah Arka, tapi di sini dia mendapatkan cinta tulus dari keluarganya.

Khandra baru pulang sekolah, adik laki-laki Kumi yang duduk di kelas tiga SMA itu sangat gembira melihat Kumi, dia buru-buru memarkir motornya dan menghambur ke pelukan Kumi. “Kak Kumi!” Dia langsung memeluk Kumi. “Kakak baik-baik saja kan?” tanyanya khawatir.

“Seperti yang kamu lihat,” kata Kumi, tangannya mengacak-acak rambut ikal Khandra.

Khandra mengamati Kumi, dia tahu dibalik keceriaan kakaknya, perempuan yang dia sayangi itu menyembunyikan kesedihan.

“Kakak mengantuk, kalau kamu tidak keberatan tolong belikan makanan untuk anak kucing ya?” Kumi hendak mengambil uang di dalam rumah.

Dia mendengar suara perempuan cempreng menegurnya.

“Kok tumben pulang, kamu lagi berantem ya sama suamimu?”

     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status