Kumi membuka tas, mengambil uang lima ribuan dan memberikannya pada perempuan tersebut. Tanpa sadar Kumi mengelus perutnya. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya. Tidak-tidak, dia tak mungkin terlempar di jalanan seperti wanita itu.
Putri memegang tangan anak perempuannya. “Kamu jangan khawatir Nak. Ibu dan Ayah akan menjagamu. Kamu sekarang aman bersama kami, juga anak yang ada dalam perutmu.”
“Bagaimana Ibu dan Ayah bisa pas datang saat kami bertengkar?” tanya Kumi mengalihkan pikiran sedih yang mulai menginvasi otaknya.
Ayah menjawab pertanyaan Kumi.
“Ibu dan anak itu punya ikatan bathin kuat Nduk. Ibumu sering bersedih dan menangis tanpa sebab. Tiap tengah malam ia selalu terbangun dan ingat sama kamu. Dia memaksa Bapak untuk menengokmu. Tapi Bapak tunda terus. Kemudian seminggu yang lalu, ibumu menyuruh Khandra datang diam-diam mengecek keadaanmu. Dia melihatmu lari ke sana ke mari mempersiapkan acara makan-makan sendirian.”
Ibu lalu melanjutkan. Rasa kesalnya belum juga surut.
“Ibu terus menelponmu, tapi ponselmu gak aktif. Kemudian Ibu menelpon mama mertuamu, dia bilang katanya kalian sedang liburan ke Thailand. Hati Ibu semakin gak tenang, apalagi ponselmu terus gak aktif. Kemana saja kamu Nduk? Apakah benar Arka telah menjualmu pada bosnya?”
“Iya Bu.” Kumi menekan suaranya supaya tidak menangis. Terlalu banyak air mata yang ia keluarkan hari ini.
Reflek tangan Ayah memukul kemudi. “Lelaki brengsek!! Kurang ajar!” Lelaki itu menangis sesenggukan. “Semua ini kesalahan Ayah Nduk, seandainya Ayah mengikuti saran ibumu, nasibmu gak bakalan begini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Maafkan kesalahan ayahmu ini Nak,” katanya dengan suara parau.
Melihat Ayah menangis, Kumi dan Ibu ikut menangis.
Kumi berdiri di tepi sungai, melihat batu-batu besat di bawahnya. Desiran angin melambaikan cardigan putih yang dipakainya. Kepala Kumi mendongak, ia mengangkat tangannya ke atas. Dihirupnya udara dalam-dalam masuk ke paru-parunya.
Kemudian ia mendengar suara lirih tangisan yang menyayat hati. Mata Kumi mencari-cari dan terpancang pada sebuah kardus yang timbul tenggelam hanyut di bawa arus sungai. Naluri keibuannya mencuat ke permukaan.
“Tolong jangan bunuh diri Nak, kasihan Ayah dan Ibumu, juga Khandra adikmu. Kami sangat menyayangimu.” Lelaki itu menangis memanggil Kumi.
“Kumiiii!!! Jangan tinggalkan Ibu Nak! Kalau kamu mati Ibu ikut mati bersamamu!!” Putri menangis histeris, ia berlari menyusul suaminya. Menyusuri tepian sungai.
Terlambat! Tanpa pikir panjang Kumi langsung melompat ke sungai.
“Kumiiiiii…!!” Sutomo dan Putri panik melihat anaknya melompat ke sungai dan tak melihat anaknya lagi. Putri meraung-raung memanggil-manggil nama Kumi. Orang-orang mulai berdatangan ingin tahu.
“Anaknya gak bunuh diri, dia berenang menyelamatkan anak kucing! Tuh lihat ke bawah Pak!” kata seorang anak perempuan yang memakai baju putih abu-abu sambil tersenyum.
Orang-orang langsung tertawa.
Sutomo dan Putri menoleh dan melihat anaknya sedang berenang, tangannya meraih sebuah kardus di depannya lalu terdengar suara anak kucing yang semakin kencang. Kumi menepi, ke sebuah batu besar dan membuka bungkusan plastik hitam yang ada dalam kardus dan menemukan sebuah kucing berwana putih dan hitam yang kedinginan dan tampak sangat ketakutan.
Kumi meneteskan air matanya. Ia teringat kisah hidupnya yang dibuang suami dan keluarganya. Ia memeluk kucing itu ke dalam dekapannya. “Jangan takut, kamu aman bersamaku.”
“Ngeong,” kucing kecil itu menjilat-jilat muka Kumi.
Orang-orang terkesima, mereka lalu bertepuk tangan melihat aksi heroik Kumi menyelamatkan seekor anak kucing.
Sutomo jadi malu, ia menyusut air matanya yang tadi tumpah. “Gara-gara Ibu aku jadi ikutan panik,” protesnya.
Putri mesem. “Maaf Ayah, Ibu hanya takut Kumi nekad!”
Sutomo dan beberapa orang laki-laki membantu Kumi naik ke atas dengan seutas tali. Ibu membawakan Kumi jaket miliknya untuk menghangatkan badan Kumi dan kucing yang ia selamatkan.
Di dalam mobil, Putri tergelak mengingat kejadian tadi. Dia lalu menceritakannya pada Kumi. “Besok-besok, jangan ngagetin orang Nduk, main lompat aja,” Putri menasehati anaknya.
Kumi menatap Ayah dan Ibunya dengan pandangan keheranan. “Siapa yang mau bunuh diri? Kumi hanya mau menyelamatkan anak kucing,” jelasnya polos.
“Bukan begitu Nak. Ayah dan Ibu sangat khawatir, karena kamu sedang mengalami masalah berat dan hamil saat ini,” ucap Sutomo. Perasaan bersalah masih menggelayut di dadanya.
“Maaf Ayah, Kumi tadi lupa kalau sedang hamil.” Kumi tersenyum, Ayah tidak tahu, kekuatannya menurun dari Ibu. “Inshaallah Kumi kuat,” ucapnya menenangkan kedua orang tuanya. Kumi menguap.
Mereka tiba di rumahnya saat makan siang, matahari tidak begitu terik. Sebelum masuk ke dalam rumah, Kumi duduk di teras memandangi tanaman aglonema dan sirih gading Ibu yang berjejer rapi. Rumah mereka memang tidak sebesar dan semegah rumah Arka, tapi di sini dia mendapatkan cinta tulus dari keluarganya.
Khandra baru pulang sekolah, adik laki-laki Kumi yang duduk di kelas tiga SMA itu sangat gembira melihat Kumi, dia buru-buru memarkir motornya dan menghambur ke pelukan Kumi. “Kak Kumi!” Dia langsung memeluk Kumi. “Kakak baik-baik saja kan?” tanyanya khawatir.
“Seperti yang kamu lihat,” kata Kumi, tangannya mengacak-acak rambut ikal Khandra.
Khandra mengamati Kumi, dia tahu dibalik keceriaan kakaknya, perempuan yang dia sayangi itu menyembunyikan kesedihan.
“Kakak mengantuk, kalau kamu tidak keberatan tolong belikan makanan untuk anak kucing ya?” Kumi hendak mengambil uang di dalam rumah.
Dia mendengar suara perempuan cempreng menegurnya.
“Kok tumben pulang, kamu lagi berantem ya sama suamimu?”
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k