Liqa sangat mengenali suara itu, ia pun menoleh. Tampak Farhan, ayahnya sedang berbincang dengan Esti.
"Halo juga, Mas," jawab Esti. "Sama siapa?" tanya Farhan. "Liqa," sahut Esti sambil menunjuk ke arah Liqa. "Kok sama Liqa?" "Menemaninya membuat buku tabungan, sebentar lagi kan kuliah, harus punya rekening sendiri?" jawab Esti. Hati Farhan terasa perih, seharusnya Liqa lebih dekat dengannya, daripada Esti yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. "Liqa?" panggil Farhan. "Iya, Ayah." Liqa memang seperti itu, kalau hanya berdua dengan ayahnya ia masih bisa bicara dengan baik dan sopan. Tapi kalau ada Rosita, selalu berdebat tanpa henti. "Apakah sudah ada pengumuman? Maksud Ayah, kuliahmu?" tanya Farhan. "Belum, Yah. Katanya satu Minggu lagi." "Semoga lulus ya?" "Amin. Terima kasih untuk doanya." "Mana nomor rekeningmu?" tanya Farhan. "Ini, Mas." Esti menunjukkan buku rekening Liqa. Farhan kemudian memfoto buku tabungan itu. "Nanti Ayah transfer uang untuk keperluanmu dan Aksa." "Nanti Bu Rosita marah kalau tahu Ayah memberi uang untuk kami," sindir Liqa. "Itu urusan Ayah." Akhirnya Liqa dan Esti keluar dari Bank. "Liqa ini buku tabunganmu." Esti memberikan buku tabungan pada Liqa. Liqa langsung memasukkan ke dalam tasnya. "Kamu nggak mau melihat berapa jumlah uangnya? Coba lihat dulu," kata Esti. Liqa mengeluarkan lagi buku tabungannya dan melihat nominal yang tertera disitu. Matanya langsung melotot. "Kok banyak sekali?" tanya Liqa. "Memang itu uang dari ibumu. Kamu manfaatkan sebaik-baiknya ya? Kamu sudah besar, harus bisa mengelola uang itu. Kamu tahu kan, kalau kamu nanti tidak bisa mengandalkan siapapun dalam hal keuangan. Kecuali ibumu. Jadi bijaklah menggunakan uang yang ada." Liqa mengangguk. "Te, Liqa mau ambil uang untuk Nenek. Boleh kan?" "Tentu saja boleh, itu sudah menjadi hakmu. Ayo kita ke ATM." Liqa dan Esti ke ATM mengajari Liqa cara menggunakan ATM. Tadi Liqa juga sudah memasang aplikasi m banking. Selesai dari ATM, mereka pergi ke mall. "Te, makasih ya untuk semuanya. Kalau nggak ada Tante, nggak tahu Liqa jadi seperti apa." "Kamu itu sudah Tante anggap seperti anak sendiri. Bagaimanapun juga kamu itu anak dari sahabat baik Tante. Apapun yang ingin kamu bicarakan dengan Tante, bicarakan saja. Jangan sungkan," kata Esti sambil merangkul Liqa. Liqa menitikkan air mata. "Jangan cengeng ah. Kamu harus kuat, tegar dan mandiri. Demi Aksa, ibumu dan dirimu sendiri. Buktikan pada semua orang, kalau kamu nanti akan berhasil jadi orang sukses. Walaupun keluargamu berantakan. Bagaimana hubunganmu dengan Rosita?" tanya Esti. "Masih seperti dulu, Te. Malah kemarin waktu Ayah bersama Rosita datang ke rumah Kakek, kami ribut besar. Bahkan Ayah dan Rosita sempat menampar Liqa." "Apa? Tega sekali Mas Farhan menamparmu." "Karena Liqa mengejek istrinya. Liqa nggak suka kalau ada orang yang menghina Ibu. Bahkan Rosita mengatakan kalau Ibu jadi TKW itu sebagai simpanan majikannya. Siapa yang nggak marah dibilang begitu, Tante," adu Liqa. "Tidak usah didengarkan omongan Rosita. Ibumu itu orang baik, kamu lihat sendiri kan di YouTube nya. Kerjanya apa saja?" Liqa mengangguk. Memang Sari punya akun YouTube yang berisi pekerjaannya di Taiwan. Ia merawat orang tua yang sakit. Subscriber nya juga sudah banyak. Liqa sering menonton video itu, untuk mengobati rindu pada ibunya. Esti dan Liqa sibuk memilih-milih pakaian untuk Liqa. Esti ingin Liqa tampak cantik, karena ia sudah gadis harus pandai merawat dirinya. Akhirnya ada beberapa pakaian yang dibeli Liqa. Kemudian Esti mengajak untuk membeli skincare. Setelah lelah berbelanja, mereka berdua makan di tempat makan. Sambil menunggu makanan datang, mereka berbincang-bincang. "Liqa, kamu sudah punya pacar?" tanya Esti. Liqa menggelengkan kepala. "Liqa belum berpikir ke arah itu, Te. Masih banyak impian yang mau Liqa raih. Kuliah, punya usaha dan meminta Ibu pulang. Nggak usah jadi TKW lagi. Liqa akan berusaha keras mewujudkannya. Liqa juga memikirkan Aksa, menuntaskan pendidikan Aksa." "Bagus. Ibumu pasti bangga padamu." "Iya, Te. Nanti ada saatnya Ibu tinggal menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. Sudah cukup kesedihan Ibu, saatnya bangkit meraih kebahagiaan." Liqa berkata sambil menitikkan air mata. "Kuliah yang benar, jangan terlena ya? Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi Tante." "Iya, Te. Terima kasih." Mereka pun menikmati makanan yang sudah terhidang di meja. Selesai makan akhirnya mereka pulang, dijemput Yudhi. Sampai di rumah Esti, Lika langsung pamit pulang. "Om, Tante, Liqa pulang ya? Terima kasih untuk semuanya," pamit Liqa. "Hati-hati ya Liqa. Salam untuk Kakek dan Nenek." Liqa mengangguk dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Sampai rumah, sudah ada mobil Farida. "Dari mana kamu?" tanya Farida yang sedang duduk bersama Pak Umar dan Bu Tari. "Dari rumah Tante Esti." "Ngapain kesitu." "Main, Tante." "Jangan suka merepotkan orang. Kamu kesitu pasti merepotkan Esti dan Yudhi. Nanti dikiranya kamu nggak diperhatikan sama keluarga disini. Apa itu?" tanya Farida sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa oleh Liqa. "Farida!" seru Bu Tari. "Oh, ini kue dan buah-buahan." Liqa menjawab. "Tuh kan kamu pasti merepotkan mereka. Malu-maluin aja. Itu kok kantong Matahari, memangnya kamu tadi ke Matahari ya?" "Iya, Te." Farida mendekati Liqa dan merebut kantong yang dipegang Liqa. Kemudian membuka kantong plastik itu. "Farida! Kamu nggak berhak menggeledah apapun yang dibawa Liqa," kata Pak Umar. "Lihat, Pak. Baju baru, skin care. Untuk apa semua ini? Apa kamu mau menjual diri!" teriak Farida. "Tante! Jaga bicara Tante. Tante nggak berhak berbicara seperti itu. Liqa mau beli baju atau tidak itu urusan Liqa. Toh Liqa nggak meminta uang pada Tante." "Tapi kamu dapat uang darimana? Menjual diri? Yang kamu beli itu mahal, tahu!" "Uang itu kiriman dari Ibu. Puas!" teriak Liqa, kemudian ia masuk ke kamarnya.Hanya saja, dia sempat merasakan keterkejutan dari wanita itu....
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari