Ziva, seorang dokter muda yang selalu tampil glamor dan penuh gaya, maniak kebersihan dan disiplin, bahkan debu 1 inci saja langsung jadi sasaran tangan seribu Ziva. Namun segalanya berubah kacau saat dia dijodohkan dengan Reza, pria tampan tapi super santai, pecinta tidur siang, dan punya kucing galak bernama Binggo. Hidup glamor yang ia bayangkan berubah jadi petualangan absurd penuh cucian menumpuk, piring kotor, remote TV yang selalu rebutan, dan tisu berserakan. Alih-alih cinta yang menggelora, pernikahan mereka penuh drama kocak, pertengkaran receh, dan kejutan-kejutan lucu yang bikin mereka mempertanyakan: "Ini beneran kehidupan pernikahan?!" Di antara gaya hidup bertabrakan, dua karakter yang bertolak belakang itu justru perlahan mulai memahami makna cinta yang nyata—bukan yang didandani bunga dan lilin, tapi yang dibungkus kompromi dan kejujuran.
View More“Apa! Dijodohkan?”
Ziva membalikkan badan dengan cepat, masih mengenakan jas dokter putih yang sedikit kusut. Wajahnya yang kelelahan usai berjibaku belasan jam di rumah sakit, kini berubah tegang dan syok. Matanya menatap wanita paruh baya yang duduk santai di meja makan—Lia, Mamanya. Wanita yang selalu tampil elegan dalam balutan blus krem dan celana kain, kini memandang Ziva dengan tatapan lembut namun menyimpan kekuatan yang tak bisa ditawar. “Mama…” "Mama nggak bercanda kan barusan?” Lia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil tersenyum tipis. “Kamu sudah 25 tahun, Ziv. Kerja siang malam, pulang ke rumah cuma buat tidur. Apa kamu pikir Mama tidak khawatir?” Ziva melempar jasnya ke sofa, napasnya berat. “Aku dokter bedah saraf, Mah. Aku punya tanggung jawab yang besar. Hidupku bukan cuma soal pasangan.” “Ziva, kamu pikir Mama main-main? Semua sepupu kamu sudah menikah!" seru Mama, wajahnya memerah karena emosi, sementara tangannya sibuk menatap layar ponsel yang pastinya balasan chat dari teman teman arisan mama. “Dan justru karena itu kamu butuh seseorang di sampingmu,” jawab Lia pelan, namun dengan nada yang tegas. “Seseorang yang bisa kamu ajak pulang dan tempat ternyaman. Kamu terlalu mandiri, Ziv. Terlalu keras.” “Mama, aku capek. Tolong, jangan bahas ini sekarang,” ucap Ziva, berusaha tetap tenang, meskipun suaranya mulai bergetar karena lelah dan frustasi. “Tidak bisa! Justru sekarang saatnya! Besok malam kita dinner dengan keluarga Reza. Dan kamu harus hadir. Titik!” Suara Lia naik satu oktaf. Ziva memejamkan mata. “Mama bahkan belum tanya aku setuju atau tidak...” “Siapa namanya?” “Reza. Reza Firnander.” Ziva terdiam sejenak. Nama itu terasa tidak asing asing. “Dan dia... tahu tentang ini?” Lia menghela napas sebelum menjawab, “Belum. Keluarganya yang mengatur semua. Mereka bilang... akan menyampaikan ke Reza nanti malam saat makan malam keluarga.” Ziva memutar tubuhnya cepat. “Jadi dia bahkan tidak tahu aku siapa? Dan aku juga tidak tahu dia siapa? Ini bahkan lebih buruk dari blind date!” “Ziv... Dia bukan sembarang orang. Reza itu CEO perusahaan teknologi besar, dia juga lulusan Jerman, pekerja keras. Keluarganya orang baik. Mereka bilang dia belum mendapatkan calon.” “Lalu kenapa harus aku?” Nada suara Ziva nyaris bergetar. “Kenapa aku yang harus jadi bagian dari hidupnya? Kenapa bukan wanita lain yang juga nggak punya hidup?” Lia bangkit dari kursi, mendekat dan meraih bahu putrinya. “Karena kamu satu dari sedikit wanita yang bisa berdiri sejajar dengannya.” Ziva menepis pelan tangan ibunya. “Atau karena kalian menganggap ini seperti merger perusahaan. Perjanjian antar dua keluarga. Aku bukan proyek yang bisa dikompromikan, Mah.” Lia menunduk, kali ini wajahnya sedikit muram. “Ziv... Mama tahu kamu masih menyimpan luka. Tapi tidak semua pria akan menyakitimu seperti ayahmu dulu.” Ziva terdiam. Kata ‘ayah’ selalu berhasil membuat dadanya sesak. Ia menelan air liur. “Aku tidak bisa... bukan sekarang.” Ziva berjalan menuju tangga, lebih baik tidur daripada harus memikirkan hal yang membuatnya ruwet . “Ziva! Kalau kamu tidak datang, Mama yang akan datang ke rumah sakit dan bikin malu kamu di depan pasien-pasien kamu!” Ziva berhenti di tangga. Menoleh. “Mama keterlaluan.” “Mama hanya ingin kamu bahagia.” 🌸🌸🌸🌸🌸 Sore itu, Ziva berdiri di depan cermin seperti tentara yang akan masuk medan perang. Bulu matanya sudah lentik sempurna, alis diukir simetris, dan bibir merah nude dengan garis bibir rapi. Tapi jantungnya berdetak kayak pasien yang ketinggalan dosis beta blocker. “Ngapain juga aku dandan setengah mati buat Dinner yang nggak aku undang?” gerutunya, sambil menarik napas panjang. Tapi suara Lia dari lantai bawah memanggil dengan nada penuh ancaman manis. “Zivaaa! Keluarga Reza udah dateng, sayang. Cepet turun sebelum Mama live TikTok-in kamu!” Ziva meringis. Ancaman paling ampuh. Ia turun dengan langkah lambat penuh beban moral. Ruang tamu sudah disulap seperti showroom majalah interior. Taplak meja baru. Vas bunga palsu dari Jepang. Kue-kue mahal di piring kristal yang biasanya Cuma dipakai kalau Lia ribut sama tetangga. Di sana duduk sepasang suami istri paruh baya, yang wajahnya hangat dan sopan. Sang ibu mengenakan setelan simple warna mocca, dan ayahnya mengenakan batik. Mereka tampak... baik. Terlalu baik. “Ini Ziva, anak saya. Dia dokter. Sibuk banget. Tapi hari ini bisa cuti, demi Reza.” Lia memperkenalkan dengan suara super palsu yang bikin Ziva pengen masuk kulkas. Ziva tersenyum tipis. “Selamat datang, Tante, Om. Maaf telat turun. Saya tadi… menyiram hati yang belum siap dijodohkan.” Tersenyum canggung di balas senyuman manis indri Ia duduk dengan anggun, mengaduk teh sambil tersenyum palsu. “Reza-nya mana ya, Tante? Biar saya scanning dulu dengan mata batin.” Tante Indri tersipu. “Lagi parkir mobil. Tadi sempat nyasar ke kompleks sebelah. Maklum, anaknya agak… pelupa.” Ziva tertawa kecil. “Pelupa? Wah cocok. Saya suka pria yang nggak ingat mantan.” Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Ziva melirik jam tangannya yang harganya cukup buat DP rumah "Ma, aku mulai curiga ini bukan jodoh. Ini prank.” Di momen itu... Dari balik pintu, terdengar suara: "Permisi” Ziva menoleh. Dan dia nyaris menjatuhkan cangkir tehnya. Bukan karena cowok itu jelek.“Dokter Zivaaaa!”“Oh my God, kamu serius nikah?! Sama CEO Firnander Group? Yang produknya viral sekarang?”Ziva mencolek pelipis. “Kenapa sih RS ini lebih up to date dari gosip infotainment?”“Ya karena kamu tokoh utamanya, dok! Kita nonton sinetron real life ini gratis!”Belum selesai, tiba-tiba Dokter Tama lewat sambil megang kopi.“Ziv, ngaku deh... kamu disihir dukun mana sampe bisa dapetin suami sekeren itu?”Ziva hanya mengangkat alis. “Tama, suamiku bukan action figure. Dia juga manusia. Bisa ngos-ngosan waktu lari tangga.”Semua ketawa.“Cepetan potong kuenya dong!”“Yaaa biar sah!”Lalu dengan senyum malas-malu, Ziva berucap,“Bismillah… demi perut lapar dan citra pengantin baru yang utuh, mari kita potong kuenya…”Tepuk tangan meledak lagi, lebih riuh dari sebelumnya. Bahkan suster bagian radiologi ikut berteriak,“YEAYY PENGANTIN BARUU!!”Lalu mengibaskan kain serbet ke udara seperti pesta pernikahan adat.“Selamat ya, Ziva!”“Akhirnya sah juga, ya ampun!”“Dokter favorit
Ziva turun ke dapur dengan setelan piyama dan rambut diikat asal. Matanya masih sayu, tapi begitu melihat meja makan yang sudah tertata rapi dengan roti panggang, telur mata sapi, dan jus jeruk segar, matanya sedikit membelalakDi ruang tengah, Alisya dan Reza sedang tertawa. Tertawa. Serius.Ziva hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Alisya duduk menyamping di sofa, menggenggam lengan Reza seperti boneka kesayangan. Reza sendiri mengenakan kaus putih dan celana training, terlihat sangat santai dan… nyaman. Terlalu nyaman."Eh, Ziva! Udah bangun? Aku tadi sekalian bikin sarapan buat Reza, takut dia kesiangan."Ziva berdiri di ambang pintu, menahan napas dan menguatkan mental. Dia menatap Alisya dengan ekspresi setengah sadar."Dan... kamu nginep?" tanya Ziva datar, berusaha tak terdengar sinis."Enggaklah. Aku datang pagi-pagi, bawa bahan makanan sendiri. Sekalian kasih kejutan," sahut Alisya sambil nyengir, tak sadar kalau Ziva sedang mengulang kalimat ‘kasih kejutan’ di kepalany
“Pisah kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar. Tidak menyindir. Tidak marah. Hanya... butuh kejelasan.Reza akhirnya menatapnya, tajam tapi tak punya emosi.“Aku pikir, ini bukan pernikahan sungguhan,” katanya tenang. “Kita berdua tahu alasannya."Ziva tersenyum kecil, getir. “Oh, tentu. Karena ini cuma perjodohan demi menyenangkan keluarga. Aku ingat.”Reza mengangguk singkat. “Jadi... sebaiknya kita tetap menjaga batas. Kamar utama untukku, kamar tamu untukmu.”Ziva melangkah pelan menuju koper yang tadi ia tinggalkan di dekat sofa. Ia tidak langsung menjawab. Bahkan tidak menatap Reza lagi.Tapi di dalam hati?“Pisah kamar? Sok cool amat. Lu kira gue ngarep tidur sekasur juga? Hell no. Gue lebih milih tidur sama guling daripada tidur sama manusia es kayak kamu.”🌸🌸🌸🌸🌸Ziva masuk dan menutup pintu pelan. Kamar tamu itu… terlalu mewah untuk disebut "tamu", tapi terlalu asing untuk disebut "rumah". Furniturnya elegan, semuanya rapi dan wangi lavender. Tapi tetap saja, rasany
Pagi itu, suasana rumah sederhana milik keluarga Ziva terasa hangat namun juga berat. Dapur dipenuhi aroma tumisan favoritnya: buncis telur dan ayam goreng kecap—menu andalan Mama yang selalu berhasil membuat Ziva lapar meski hatinya sedang tidak tenang. Di kursi meja makan, koper besar warna rose gold berdiri tegak, seolah menjadi penanda kalau ada sesuatu yang berubah hari ini. Ziva duduk sambil memainkan sendoknya, matanya menatap nasi putih yang masih mengepul. Mama duduk di depannya, tak kalah diam. "Jadi... hari ini ya kamu pindah?” suara Lia akhirnya memecah hening, lembut tapi terdengar berat. Ziva mengangguk. “Iya, Ma. Keluarga Reza bilang... mulai hari ini aku harus tinggal di apartemen mereka. Katanya, biar cepat adaptasi.” Lia mengangguk pelan, meski sorot matanya menyimpan ratusan kekhawatiran. “Mereka nggak maksa, kan?” “Nggak, Ma. Aku juga... udah siap.” Jawaban Ziva cepat, meski jelas itu bohong. Hatinya belum siap, belum sepenuhnya. Tapi waktu tak pernah menungg
“Kay…”Ziva bersuara pelan, matanya merah, suaranya serak, tapi ada nada harap di sana. Kayla, yang masih duduk di samping tempat tidur sambil memegang sebotol air mineral, menoleh cepat.“Hm?”Ziva memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 00.17. “Gue nginep sini aja, ya?”Kayla mengangkat satu alis. “Lah emangnya lo pikir gue bakal nyuruh lo pulang jam segini? Mau ditangkap satpam komplek apartemen karena dikira kuntilanak kesasar?”Ziva nyengir tipis walau matanya masih sembab. “Serius ngebayangin gue jadi kuntilanak cantik dengan koper pink itu agak ngena.”Kayla berdiri dan membuka lemari, mengeluarkan piyama cadangan warna biru muda bergambar alpukat tersenyum. “Nih, pake ini. Jangan bilang lo lupa bawa baju tidur, ya?”“Gue cuma sempat ambil coat, dompet, dan luka hati.”“Fix, lo butuh terapi.”Kayla memberikan nasi goreng yang ia pesan tadi.“Pokoknya malam ini kamu nggak usah mikirin dia. Kamu tinggal mikirin: mau sarapan nasi goreng atau roti bakar besok?”Ziva ter
Sore itu, Ziva tidak menyangka akan kembali duduk berhadapan dengan Reza Firnander—calon suami dan berhasil membuatnya tidur tidak nyenyak dua malam berturut-turut. Bukan karena cinta, tapi karena bingung: ini hidup nyata atau sinetron?Reza datang sepuluh menit lebih awal. Duduk dengan gaya santai, kemeja linen abu, celana hitam pas badan, dan aroma parfum kayu-kayuan yang terlalu mahal untuk disebutkan mereknya. Wajahnya datar, seperti biasa. “Ada hal penting apa?”Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ziva sesaat, lalu menarik sebuah map berwarna krem dari tas kerjanya dan menyodorkannya ke atas meja.Ziva mengangkat alis. “Apa ini?”“Baca saja,” jawab Reza singkat.Ziva membuka map itu perlahan, dan matanya segera menangkap deretan kalimat formal dengan kata-kata yang tajam dan jelas:KONTRAK PERNIKAHANPernikahan akan berlangsung sesuai jadwal keluarga. Tidak ada campur tangan emosional. Tidak ada kewajiban fisik sebagai pasangan. Berjalan sampai kondisi Kakek Yudistira
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments