Share

Bab 6 Paman yang Begitu Baik

“Papa meninggal karena kecelakaan dan Mama …,” Galvin menatap wanita paruh baya yang terlihat tak berdaya di kursi roda, “... kehilangan kewarasannya?” Matanya tampak terluka menatap sang ibu yang maniknya terlihat kosong dan tak bernyawa bak boneka “Ini … semua terjadi tidak lama setelah aku pergi?” 

Galvin menghampiri sang ibu yang dahulu telah begitu berbaik hati mengangkatnya, seorang anak panti asuhan, dan merawatnya layaknya putra kandung sendiri. Dia pun berlutut di hadapan sang ibu, lalu menyentuh wajah pucat wanita itu. 

‘Dingin,’ batin Galvin dengan kening berkerut. Dia pun mengarahkan tangannya pada pergelangan tangan sang ibu, mengecek nadinya. ‘Ini–!’ Pandangan pria itu berubah dingin seiring dirinya berdiri.

Benak Galvin memutar cerita yang dilontarkan oleh sang adik tadi. 

Setelah dirinya dinyatakan sebagai pembunuh ahli waris Keluarga Bintara dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Pulau Mata, perusahaan keluarga ayahnya terkena dampak penurunan saham. Namun, hal tersebut tidak menghentikan sang ayah dari membela sang putra dan bersikeras bahwa Galvin dijebak. Hal ini membuat semua orang menganggapnya tidak waras dan dirinya pun berujung ditendang dari posisi direktur perusahaan oleh keluarga besarnya sendiri agar tidak lagi mempengaruhi saham perusahaan. 

Ditendang dari perusahaan, dicoret dari daftar keluarga, dan kehilangan putranya membuat ayah Galvin terkena depresi. Seakan tak cukup menyedihkan, pria itu pun kehilangan nyawanya dengan menjadi korban tabrak lari setelah pulang dalam kondisi mabuk berat dari bar.

Kehilangan suami dan putra di waktu bersamaanlah yang membuat ibu angkat Galvin berperilaku nekad dan berusaha menggantung dirinya sendiri. Beruntung, Lisa menemukan sang ibu sebelum terlambat. Hanya saja, kerusakan otak yang dialami mengakibatkan wanita itu hidup seperti mati.

“Lisa, selama ini, bagaimana kamu bertahan sendirian?" Galvin bertanya dengan hati-hati.

"Warisan yang ditinggalkan oleh Ayah …,” jawab gadis itu singkat dengan senyuman pahit menghiasi wajahnya. “Juga bantuan dari Shireen.”

Mendengar nama yang baru saja terlontar dari bibir Lisa, Galvin membeku. ‘Shireen?’ 

Tidak pernah Galvin sangka bahwa dirinya akan mendengar nama itu lagi setelah sekian lama. Shireen adalah teman sekolah Galvin, seorang gadis yang begitu cantik, tapi dengan nasib yang tidak begitu baik. Galvin dan keluarganya pernah memberikan bantuan kepada keluarga gadis tersebut di kala sulit, dan setelah membayar utang mereka, Shireen sekeluarga pergi dari kota tersebut.

Siapa yang menduga bahwa orang yang bahkan bukan keluargalah yang akan membantu keluarganya di masa sulit?

Mata Galvin pun menutup, bersumpah dalam hati bahwa dia akan menemui wanita itu untuk membalaskan budi. 

“Bagaimana dengan Keluarga Wijaya?” tanya Galvin lagi.

Lisa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kemudian, dia pun menambahkan, “Akan tetapi, Paman Anson sempat datang dan memperkenalkan seorang dokter untuk memeriksa Mama.” Gadis itu mendengus. “Mungkin itu caranya menebus dosa setelah berakhir terpilih menjadi pengganti Ayah sebagai presiden direktur perusahaan dan menelantarkan kita di kala sulit.”

Ucapan Lisa membuat Galvin memancarkan aura membunuh. Pria itu sangat yakin kematian ayahnya tidak sesederhana itu, dan pamannya–yang sedari dulu memang menginginkan posisi presdir Grup Wijaya–pasti terlibat dengan semua hal ini. Sekarang, Lisa mengatakan pria tersebut membantu sang ibu karena merasa bersalah?

‘Sungguh semudah itu?’ batin Galvin dengan senyuman mengejek. Dia pun berkata pada Lisa, “Tidak perlu terima kedatangan dokter itu lagi, aku akan menyembuhkan Mama.” 

Lisa yang mendengar ucapan Galvin terkejut. "Apa maksudmu?” tanyanya dengan alis tertaut. “Semua dokter ahli yang sudah kudatangi dengan bantuan Shireen menyatakan bahwa Mama tidak akan bisa sembuh, bahkan dokter dari Paman Anson berkata dia hanya bisa meringankan rasa sakit yang Mama derita!" 

Sembari membuka kopernya dan mengeluarkan sebuah gulungan, Galvin berkata, "Lisa, tenang saja.” Dia melebarkan gulungan tersebut, membuat Lisa tertegun melihat rentetan jarum perak dengan berbagai panjang dan ketebalan. “Aku akan menyelamatkan Mama!"

“Tunggu!” Lisa berteriak saat Galvin menarik satu jarum perak panjang nan tipis dan mengarahkannya ke kepala sang ibu. “Kak! Apa yang akan kamu lakukan?" 

Dengan wajah tenang, Galvin berkata, “Menyembuhkan Mama.” Pria itu pun memasang senyuman percaya diri. “Lisa, percayakan semuanya padaku.”

Mendengar suara dalam Galvin dan ketenangan yang terpancar dari pria tersebut, Lisa pun tak elak melangkah mundur. Keyakinan yang terpancar dari seluruh tubuh sang kakak membuat gadis itu tak bisa menolak untuk menurut.

Saat Lisa tenang, Galvin pun menghadap sang ibu. Dengan lincah, pria itu menusukkan sejumlah jarum di beberapa bagian kepala dan tubuh ibunya.

Kemahiran Galvin dalam kepiawaiannya dalam bertindak dengan jarum-jarum tersebut membuat Lisa terpana. Dia seakan sedang menatap seseorang yang sedang menciptakan sebuah keajaiban. 

Hanya setelah lima belas menit berlalu dan Galvin tengah mencabut keluar satu persatu jarum tersebut untuk memasukkannya ke dalam tabung kecil berisi air, barulah Lisa bisa menggerakkan kembali tubuhnya dan berujar, “S-sudah selesai?”

“Hm,” balas Galvin seraya membersihkan dan merapikan semua peralatannya. “Sudah selesai.”

Lisa pun menggenggam tangan sang ibu dan menyentuh wajahnya untuk memastikan wanita itu baik-baik saja. Di saat itulah, gadis tersebut merasakan jari sang ibu mendadak bergerak.

“Kakak!” pekik Lisa membuat Galvin menoleh. “Jari Mama bergerak! Jari Mama bergerak!” 

Keterkejutan itu membuat Galvin tersenyum tipis. Dia lanjut merapikan peralatannya selagi menyatakan, “Berikan aku sepuluh hari, dan Mama akan berdiri seperti dulu lagi.”

Mendengar hal tersebut, Lisa memandang sang kakak dengan terpukau. 'Sebenarnya apa yang terjadi dalam sepuluh tahun silam?' 

Lisa tahu kakaknya sedari dulu memang cerdas, tapi hal itu hanya berlaku dalam hal menjalankan perusahaan dan mengurus keuangan, bukan ilmu kedokteran tradisional seperti ini! 

Selagi Lisa sibuk memikirkan hal tersebut, Galvin mendadak mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa Mama meminum obat?” Dia mengeluarkan sebuah pisau bedah kecil–seperti yang biasa digunakan untuk operasi–dan menghampiri Lisa dan ibunya. “Bisa kamu ambilkan?” tanyanya saat melihat sang adik mengangguk. 

Lisa menatap bingung sang kakak, dengan wajah penuh tanda tanya, 'Apa lagi yang akan Kakak lakukan?'

Namun, kali ini, walaupun dirinya bertanya-tanya, Lisa tidak lagi menahan Galvin dan bergegas melaksanakan perintah kakaknya itu. “Ini,” ujar gadis itu seraya menunjukkan obat yang selalu dia berikan pada sang ibu. 

Meraih satu tablet yang ada dalam tabung kecil itu, pancaran mata Galvin seakan menajam. “Dokter Paman Anson yang memberikannya?” tanya pria itu diikuti dengan anggukan kepala Lisa. Galvin pun mendengus selagi meletakkan tabung itu ke atas meja. “Taktik yang menarik,” komentarnya seiring menghampiri sang ibu kembali, membuat Lisa bingung.

“Kakak?” Lisa terlihat bingung, lalu berubah panik saat melihat Galvin menyayat ujung jari telunjuk sang ibu. “Apa yang–” Namun, ucapannya tersedak di tenggorokan dan matanya membesar saat melihat darah yang menetes keluar dari ujung jari sang ibu berwarna hitam pekat. “Kenapa … kenapa darah Mama seperti itu?” tanyanya. “I-itu tidak terlihat normal.”

Galvin pun memasang sebuah senyuman penuh amarah selagi memperhatikan darah yang mengalir dari ujung jari sang ibu menuju tabung kecil miliknya. “Ini sangat normal,” ucap pria itu dingin. “Sangat normal ketika obat yang paman ‘baik’ kita berikan adalah racun.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status