“Papa meninggal karena kecelakaan dan Mama …,” Galvin menatap wanita paruh baya yang terlihat tak berdaya di kursi roda, “... kehilangan kewarasannya?” Matanya tampak terluka menatap sang ibu yang maniknya terlihat kosong dan tak bernyawa bak boneka “Ini … semua terjadi tidak lama setelah aku pergi?”
Galvin menghampiri sang ibu yang dahulu telah begitu berbaik hati mengangkatnya, seorang anak panti asuhan, dan merawatnya layaknya putra kandung sendiri. Dia pun berlutut di hadapan sang ibu, lalu menyentuh wajah pucat wanita itu.
‘Dingin,’ batin Galvin dengan kening berkerut. Dia pun mengarahkan tangannya pada pergelangan tangan sang ibu, mengecek nadinya. ‘Ini–!’ Pandangan pria itu berubah dingin seiring dirinya berdiri.
Benak Galvin memutar cerita yang dilontarkan oleh sang adik tadi.
Setelah dirinya dinyatakan sebagai pembunuh ahli waris Keluarga Bintara dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Pulau Mata, perusahaan keluarga ayahnya terkena dampak penurunan saham. Namun, hal tersebut tidak menghentikan sang ayah dari membela sang putra dan bersikeras bahwa Galvin dijebak. Hal ini membuat semua orang menganggapnya tidak waras dan dirinya pun berujung ditendang dari posisi direktur perusahaan oleh keluarga besarnya sendiri agar tidak lagi mempengaruhi saham perusahaan.
Ditendang dari perusahaan, dicoret dari daftar keluarga, dan kehilangan putranya membuat ayah Galvin terkena depresi. Seakan tak cukup menyedihkan, pria itu pun kehilangan nyawanya dengan menjadi korban tabrak lari setelah pulang dalam kondisi mabuk berat dari bar.
Kehilangan suami dan putra di waktu bersamaanlah yang membuat ibu angkat Galvin berperilaku nekad dan berusaha menggantung dirinya sendiri. Beruntung, Lisa menemukan sang ibu sebelum terlambat. Hanya saja, kerusakan otak yang dialami mengakibatkan wanita itu hidup seperti mati.
“Lisa, selama ini, bagaimana kamu bertahan sendirian?" Galvin bertanya dengan hati-hati.
"Warisan yang ditinggalkan oleh Ayah …,” jawab gadis itu singkat dengan senyuman pahit menghiasi wajahnya. “Juga bantuan dari Shireen.”
Mendengar nama yang baru saja terlontar dari bibir Lisa, Galvin membeku. ‘Shireen?’
Tidak pernah Galvin sangka bahwa dirinya akan mendengar nama itu lagi setelah sekian lama. Shireen adalah teman sekolah Galvin, seorang gadis yang begitu cantik, tapi dengan nasib yang tidak begitu baik. Galvin dan keluarganya pernah memberikan bantuan kepada keluarga gadis tersebut di kala sulit, dan setelah membayar utang mereka, Shireen sekeluarga pergi dari kota tersebut.
Siapa yang menduga bahwa orang yang bahkan bukan keluargalah yang akan membantu keluarganya di masa sulit?
Mata Galvin pun menutup, bersumpah dalam hati bahwa dia akan menemui wanita itu untuk membalaskan budi.
“Bagaimana dengan Keluarga Wijaya?” tanya Galvin lagi.
Lisa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kemudian, dia pun menambahkan, “Akan tetapi, Paman Anson sempat datang dan memperkenalkan seorang dokter untuk memeriksa Mama.” Gadis itu mendengus. “Mungkin itu caranya menebus dosa setelah berakhir terpilih menjadi pengganti Ayah sebagai presiden direktur perusahaan dan menelantarkan kita di kala sulit.”
Ucapan Lisa membuat Galvin memancarkan aura membunuh. Pria itu sangat yakin kematian ayahnya tidak sesederhana itu, dan pamannya–yang sedari dulu memang menginginkan posisi presdir Grup Wijaya–pasti terlibat dengan semua hal ini. Sekarang, Lisa mengatakan pria tersebut membantu sang ibu karena merasa bersalah?
‘Sungguh semudah itu?’ batin Galvin dengan senyuman mengejek. Dia pun berkata pada Lisa, “Tidak perlu terima kedatangan dokter itu lagi, aku akan menyembuhkan Mama.”
Lisa yang mendengar ucapan Galvin terkejut. "Apa maksudmu?” tanyanya dengan alis tertaut. “Semua dokter ahli yang sudah kudatangi dengan bantuan Shireen menyatakan bahwa Mama tidak akan bisa sembuh, bahkan dokter dari Paman Anson berkata dia hanya bisa meringankan rasa sakit yang Mama derita!"
Sembari membuka kopernya dan mengeluarkan sebuah gulungan, Galvin berkata, "Lisa, tenang saja.” Dia melebarkan gulungan tersebut, membuat Lisa tertegun melihat rentetan jarum perak dengan berbagai panjang dan ketebalan. “Aku akan menyelamatkan Mama!"
“Tunggu!” Lisa berteriak saat Galvin menarik satu jarum perak panjang nan tipis dan mengarahkannya ke kepala sang ibu. “Kak! Apa yang akan kamu lakukan?"
Dengan wajah tenang, Galvin berkata, “Menyembuhkan Mama.” Pria itu pun memasang senyuman percaya diri. “Lisa, percayakan semuanya padaku.”
Mendengar suara dalam Galvin dan ketenangan yang terpancar dari pria tersebut, Lisa pun tak elak melangkah mundur. Keyakinan yang terpancar dari seluruh tubuh sang kakak membuat gadis itu tak bisa menolak untuk menurut.
Saat Lisa tenang, Galvin pun menghadap sang ibu. Dengan lincah, pria itu menusukkan sejumlah jarum di beberapa bagian kepala dan tubuh ibunya.
Kemahiran Galvin dalam kepiawaiannya dalam bertindak dengan jarum-jarum tersebut membuat Lisa terpana. Dia seakan sedang menatap seseorang yang sedang menciptakan sebuah keajaiban.
Hanya setelah lima belas menit berlalu dan Galvin tengah mencabut keluar satu persatu jarum tersebut untuk memasukkannya ke dalam tabung kecil berisi air, barulah Lisa bisa menggerakkan kembali tubuhnya dan berujar, “S-sudah selesai?”
“Hm,” balas Galvin seraya membersihkan dan merapikan semua peralatannya. “Sudah selesai.”
Lisa pun menggenggam tangan sang ibu dan menyentuh wajahnya untuk memastikan wanita itu baik-baik saja. Di saat itulah, gadis tersebut merasakan jari sang ibu mendadak bergerak.
“Kakak!” pekik Lisa membuat Galvin menoleh. “Jari Mama bergerak! Jari Mama bergerak!”
Keterkejutan itu membuat Galvin tersenyum tipis. Dia lanjut merapikan peralatannya selagi menyatakan, “Berikan aku sepuluh hari, dan Mama akan berdiri seperti dulu lagi.”
Mendengar hal tersebut, Lisa memandang sang kakak dengan terpukau. 'Sebenarnya apa yang terjadi dalam sepuluh tahun silam?'
Lisa tahu kakaknya sedari dulu memang cerdas, tapi hal itu hanya berlaku dalam hal menjalankan perusahaan dan mengurus keuangan, bukan ilmu kedokteran tradisional seperti ini!
Selagi Lisa sibuk memikirkan hal tersebut, Galvin mendadak mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa Mama meminum obat?” Dia mengeluarkan sebuah pisau bedah kecil–seperti yang biasa digunakan untuk operasi–dan menghampiri Lisa dan ibunya. “Bisa kamu ambilkan?” tanyanya saat melihat sang adik mengangguk.
Lisa menatap bingung sang kakak, dengan wajah penuh tanda tanya, 'Apa lagi yang akan Kakak lakukan?'
Namun, kali ini, walaupun dirinya bertanya-tanya, Lisa tidak lagi menahan Galvin dan bergegas melaksanakan perintah kakaknya itu. “Ini,” ujar gadis itu seraya menunjukkan obat yang selalu dia berikan pada sang ibu.
Meraih satu tablet yang ada dalam tabung kecil itu, pancaran mata Galvin seakan menajam. “Dokter Paman Anson yang memberikannya?” tanya pria itu diikuti dengan anggukan kepala Lisa. Galvin pun mendengus selagi meletakkan tabung itu ke atas meja. “Taktik yang menarik,” komentarnya seiring menghampiri sang ibu kembali, membuat Lisa bingung.
“Kakak?” Lisa terlihat bingung, lalu berubah panik saat melihat Galvin menyayat ujung jari telunjuk sang ibu. “Apa yang–” Namun, ucapannya tersedak di tenggorokan dan matanya membesar saat melihat darah yang menetes keluar dari ujung jari sang ibu berwarna hitam pekat. “Kenapa … kenapa darah Mama seperti itu?” tanyanya. “I-itu tidak terlihat normal.”
Galvin pun memasang sebuah senyuman penuh amarah selagi memperhatikan darah yang mengalir dari ujung jari sang ibu menuju tabung kecil miliknya. “Ini sangat normal,” ucap pria itu dingin. “Sangat normal ketika obat yang paman ‘baik’ kita berikan adalah racun.”
"A-Apa? Racun?!" Lisa terlihat begitu terkejut mendengar ucapan Galvin. Seluruh tubuhnya bergetar. Di saat mendapatkan cukup sampel, Galvin pun membalut jari ibunya. Di dalam hati, pria itu membatin, ‘Sepertinya, daftar hitamku bertambah panjang.’ Matanya memancarkan aura membunuh yang kuat. ‘Paman Anson, ya? Jadi dia–’ KRAK! Tepat ketika Galvin baru saja selesai membalut jari ibunya dan memikirkan tentang sang paman, suara dentuman keras dari ruang utama terdengar. Keributan tersebut pun membuat Galvin melihat Lisa berlari cepat ke luar kamar. Pria itu mengikuti dengan waspada lantaran sejumlah langkah kaki terdengar menghampiri. BRAK!Belum sempat Galvin dan Lisa mencapai pintu, pintu utama kediaman mereka ditendang terbuka. Seorang pria muda bertubuh kurus dalam balutan jas mewah dan celana hitam muncul bersama dengan sejumlah penjaganya. Kala dirinya mendaratkan pandangan pada Lisa, seringai sombong terlukis di wajah pria muda tersebut seraya dia mengumumkan, “Lisa Wijaya, ha
“Racun dalam tubuh Mama Anda akan sepenuhnya bersih dalam tiga jam,” ujar seorang dokter berpakaian seragam militer seraya memberikan laporan di tangannya kepada seorang suster. “Kondisi tubuhnya juga kian membaik, seharusnya dia akan sadar dalam waktu dekat,” imbuh pria tersebut sembari menatap Lisa dengan senyum sopan. Mendengar ucapan sang dokter, wajah Lisa berbinar. Dia tersenyum bahagia seraya berulang kali berucap, "Terima kasih banyak, Dok. Sungguh terima kasih!" "Tidak masalah, Nona,” balas sang dokter melihat reaksi Lisa. Karena tugasnya sudah selesai, dokter tersebut pun berkata, “Saya pamit undur diri terlebih dahulu. Jaga ibumu dengan baik, Nona." Pria itu mengangguk pamit sebelum membalikkan badan untuk pergi Bersama sang suster. Lisa mengantar kepergian sang dokter, lalu berhenti di depan pintu. Awalnya, dia ingin langsung kembali ke dalam ruangan, tapi di sudut matanya, gadis itu menangkap keberadaan sang kakak, Galvin. Dengan tangan terlipat di depan dada bidang pr
'Kakak pasti mengenal Javon setelah dia keluar dari Aberleen, yang berarti saat dirinya berada di penjara. Namun, bagaimana mungkin seorang narapidana bisa mengenal seorang pejabat tinggi militer?' Semuanya terasa begitu aneh bagi Lisa. Akan tetapi, teringat ucapan Galvin untuk mempercayainya, Lisa pun tidak lagi bertanya-tanya. Dia hanya sangat bersyukur Galvin telah kembali, terlebih karena dia yakin pria itu bisa melindungi mereka. "Kakak, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Lisa dengan bingung seraya menatap mata Galvin dalam-dalam. " Setelah Kakak mematahkan tangan Kevin, tidak mungkin paman akan diam saja!" Mengingat bagaimana pria itu bisa sekejam itu mencoba meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson akan mencoba menyakiti Galvin. Sehingga, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Wajah manis gadis itu berkerut memikirkan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh sang paman. Mengingat bahwa sang paman telah berusaha meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson—pamannya—pasti
*Sepuluh tahun yang lalu*Malam itu, Keluarga Wijaya berkumpul untuk makan malam seperti biasanya.“Selamat atas keberhasilan proyeknya, Kak Galvin!” ujar Lisa seraya menaikkan gelas jusnya untuk bersulang demi mengucapkan selamat terhadap keberhasilan sang kakak dalam karirnya. “Bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar itu di usia yang begitu muda, memang kakakku yang paling jenius!” puji gadis tersebut dengan tawa bangga.Mendengar ucapan sang putri, ayah Galvin dan Lisa langsung berceletuk, “Itu karena Galvin anak Papa!” Pria itu mengangkat dagunya bangga. “Kakakmu memang pintar, ditambah didikan Papa, makanya dia jadi sehebat ini di usia yang begitu muda!”Ibu Galvin pun menyenggol sang suami. “Perasaan yang lebih sering ngehabisin waktu sama anak-anak Mama deh? Kok Papa doang yang ngaku-ngaku berjasa, hmm?” goda sang istri membuat sang suami meneguk ludah.“T-tapi ‘kan yang ajarin Galvin soal perusahaan Papa, Mama ajarinnya yang lain,” balas ayah Galvin, sukar mengalah. Namun,
Cinta buta yang mematikan, itulah dua kata yang pantas untuk mendeskripsikan keputusan Galvin kala itu. Karena cintanya kepada Elena, juga kesetiaannya terhadap janji yang diberikan kepada sang kakek, Galvin dengan bodohnya mengiyakan permintaan gadis tersebut.Siapa yang mengira bahwa alih-alih mencari cara untuk membuktikan kebenaran, gadis itu malah mengkhianatinya dengan lari dan menghapuskan ikatan antara mereka?“Apa Kakak tahu bahwa gadis yang Kakak mati-matian bela itu sekarang memutuskan pertunangan kalian, hah?” bentak Lisa saat mengunjungi Galvin di penjara Aberleen sebelum pria itu dikirimkan ke penjara di Pulau Mata yang terpencil. “Kakak mau tahu apa yang dia bilang?” Air mata menuruni wajah Lisa deras selagi kekecewaan terpancar kuat dari matanya. “Dia tidak ingin berurusan dengan seorang pembunuh!”Karena pria yang telah dibunuh oleh Elena adalah anak dari orang terkaya kedua di kota Aberleen, Galvin diberikan hukuman terberat, yakni hukuman seumur hidup penjara. Dia d
Elena tersentak, tahu bahwa Galvin tengah mengancamnya. Namun, dia tidak bergeming.Melihat pandangan yang diberikan Galvin kepada Elena, Peter pun langsung berkata dengan wajah tidak senang, “Hei, apa jangan-jangan kamu datang ke sini untuk mengejar Elena lagi?"Tatapan Elena menjadi jijik saat mendengar ucapan sepupunya. "Galvin, pergilah, jangan ganggu aku lagi! Aku sudah memiliki tunangan," ujarnya seraya mengambil Langkah mundur ke belakang sepupunya, seakan takut Galvin akan menyentuhnya. "Hubungan kita tidak bisa terus berlanjut."Galvin menyipitkan matanya. Dia jelas tahu Elena sudah bertunangan, tapi … bukankah dia sudah bertunangan sejak beberapa tahun yang lalu? Kenapa mereka masih belum menikah?Akhirnya, Galvin memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu.. “Sudah bertunangan?” ulangnya lagi. “Dengan siapa?”Pancaran mata Galvin membuat sudut hati Elena tertohok telak, tapi sadar bahwa wajah tampan itu tidak akan sebanding dengan kekayaan dan reputasi yang ditawarkan tunangan
"Demikian, jangan bermimpi terlalu jauh dan menganggap aku masih mencintaimu." Mendengar ucapan Galvin, sekujur tubuh Elena membeku. Dia tidak menyangka bahwa pria itu akan berbicara seperti itu di hadapannya. Galvin yang dulu merupakan lelaki rendah hati dan penuh kasih sayang terhadapnya, kini berubah menjadi pria yang sangat dingin. Perlahan-lahan tatapan Elena berubah sedingin es. Atas dasar apa pria rendahan ini bersikap begitu angkuh kepadanya? Apa melakukan hal ini membuat Galvin merasa dirinya masih lebih tinggi dari Elena?! "Bagus jika memang begitu!" Elena mendengus kesal, merasa sedikit tidak terima pria tyang telah kehilangan segalanya itu terkesan merendahkan dirinya. "Akan sangat repot bagiku kalau kamu masih mengharapkan cintaku … karena aku tidak akan sudi mencintai pria tidak berguna sepertimu!" Peter yang berada di sebelah Elena menaikkan alis kanannya. ‘Tadi, dia bilang … menggantikan Elena mendekam di penjara?’ Pria itu memicingkan mata curiga. “Apa maksudnya d
Semua satpam langsung menegapkan tubuh dan memberi hormat saat melihat sosok tersebut. Bagaimana tidak? Wanita itu adalah putri keluarga besar Gunawan, pemilik kompleks perumahan ini!Galvin merasa syok saat melihat wanita yang datang dan memanggil namanya. “Shireen?” Shireen pun berjalan mendekatinya dengan senyuman menawan dan membalas, “Galvin, lama tidak berjumpa.”Elena terkejut saat melihat kedatangan wanita cantik itu. 'Shireen Gunawan? ‘Kenapa dia ada di sini?’ Dia melirik Shireen yang berhadapan dengan Galvin. Bagaimana dia bisa mengenali pria rendahan itu!?'Shireen adalah wanita tercantik di Aberleen. Para pria menginginkannya dan para wanita mengidolakannya. Keanggunan, kecerdasan, kesuksesan, semua dimiliki wanita tersebut. Menurut Elena, kalau dia bisa menjadi sahabat wanita seperti itu, tentunya akan sangat berguna!“Nona Shireen, berhati-hatilah! Jangan dekati pria itu!” teriak Elena dengan wajah khawatir. “Dia adalah seorang mantan narapidana! Sebuah keharusan mengus