“Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!”
Sekujur tubuh Galvin membeku, dia terdiam mendengar ucapan adiknya itu. Benaknya seakan dipaksa untuk menggali pecahan ingatan dari sepuluh tahun yang lalu, masa di mana dirinya hanyalah seorang pemuda bodoh berusia dua puluh tiga tahun yang tidak tahu bahwa manusia bisa lebih buruk dibandingkan binatang!
Tercetak jelas di benak Galvin kejadian di malam sepuluh tahun yang lalu itu. Halaman rumah Keluarga Wijaya ramai oleh kedatangan sekelompok pria berseragam–polisi.
"Tidak mungkin!” Teriakan seorang gadis bisa terdengar seiring dirinya terlihat ditahan dua polisi. “Kakakku tidak mungkin membunuh! Membunuh semut pun dia tidak tega, apalagi membunuh orang?!" Lisa–adik angkat Galvin–berteriak dengan histeris selagi air mata mengalir membasahi pipinya.
Pria yang bertugas sebagai pemimpin penangkapan itu menatap Lisa dengan tatapan datar, terlihat tidak sedikit pun bersalah melihat gadis itu menangis. "Nona, hanya sidik jari saudaramu yang ditemukan di alat pembunuhan korban,” jelasnya. “Tidak hanya itu, saudara Galvin sendiri sudah mengakui bahwa dia yang telah melakukan pembunuhan terhadap ahli waris Keluarga Bintara, jadi dia akan diproses sesuai hukum yang ada.”
“Ada yang salah! Pasti ada yang salah!” teriak Lisa sembari menggelengkan kepalanya. “Kakak!” Dia meronta kuat dan menembus pertahanan polisi untuk berlari menghampiri sang kakak. "Kakak! Katakan kepada mereka bahwa kamu tidak bersalah! Jangan berbohong! Katakan siapa yang memaksamu untuk mengaku!"
Galvin yang sedari tadi terdiam, menatap adiknya dengan saksama. Kemudian, pandangannya berpindah pada kedua orang tuanya yang berada di belakang baris polisi. Jelas di wajah mereka terlukis rasa ketidakpercayaan, kekecewaan, juga ketidakrelaan. Tapi–
“Apa ini karena Elena?!”
Galvin mematung mendengar nama itu.
Ekspresi Lisa berubah keruh, yakin semua ini ada hubungan dengan wanita yang baru saja dia sebut. “Dia yang ada di hotel itu bersama pria tersebut, bukan?! Dia yang sebenarnya– ah!" Tidak sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, dua orang polisi yang tadi dia lewati menariknya mundur dengan kasar. “Lepaskan aku!”
“Diam atau kami akan berbuat kasar!” bentak salah seorang polisi.
Di saat itu, Galvin pun berkata, “Lisa, tenang saja, semuanya akan baik-baik saja.” Dia tersenyum kepada adiknya dengan lembut. “Aku berjanji akan segera pulang."
“Kak Galvin! Kak Galvin!!!”
Siapa yang mengira bahwa kali berikutnya Galvin kembali ke rumah itu adalah sepuluh tahun setelah kejadian tersebut?
Sekarang, menatap Lisa yang menatapnya dengan begitu marah, Galvin merasa sangat bersalah. “Lisa … maafkan Kakak karena butuh waktu sepuluh tahun untuk pulang.”
Mendengar ucapan Galvin, Lisa mematung. Dia teringat akan janji yang diucapkan oleh Galvin, bahwa pria itu akan pulang dan semua akan baik-baik saja.
Sebuah kebohongan besar.
Karena ketidakpercayaan yang masih terpancar di mata Lisa, Galvin pun menarik leher kaosnya. Sebuah tanda samar di dada kirinya terlihat. “Aku yakin kamu mengenali ini,” ucap pria tersebut. “Apa bukti ini masih belum cukup?”
Tatapan mata Lisa tertuju ke arah tanda di dada kiri pria itu, mengenalnya sebagai tanda lahir sang kakak yang selalu dia ejek ketika mereka masih kecil dulu. Pandangan gadis itu pun yang tadi berubah dingin terlihat melunak.
Galvin pun tersenyum, yakin gadis di hadapan telah mengenalinya. “Lisa, aku–”
PLAK!
Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke arah wajah Galvin, membuat pria itu mematung di tempat.
"Beraninya kamu pulang setelah pergi untuk begitu lama?!” sergah Lisa dengan wajah yang sekejap berubah menjadi lebih beringas. “Apakah kamu tahu semua hal yang telah terjadi selama kamu pergi?!" tanyanya, mulai memukul dada Galvin untuk melampiaskan amarahnya. “Akan lebih baik kalau kamu tidak pulang sama sekali! Tidak perlu kamu kembali! UNTUK APA KAMU KEMBALI SETELAH SEMUA SUDAH JADI SEPERTI INI!? KAMU–”
Teriakan Lisa terhenti mendadak, dan itu karena Galvin menariknya ke dalam sebuah pelukan. "Maafkan aku, Lisa. Sungguh, maafkan kakakmu ini,” pinta pria itu dengan alis tertaut erat. “Tapi sekarang aku sudah kembali, aku tidak akan meninggalkan kamu beserta Papa dan Mama lagi. Aku akan membuat semua yang salah menjadi benar!"
Mendengar ucapan Galvin, amarah Lisa seketika menguap. Namun, hal tersebut digantikan kesedihan yang mendalam. “Terlambat, kamu terlambat, Galvin!” Tidak ada lagi panggilan sayang gadis itu kepada sang kayak. “Ayah sudah tidak lagi ada.”
Seketika, Galvin membeku. Dia melepaskan pelukannya dan menatap sang adik dengan pandangan kosong. “Apa maksudmu?”
Namun, Lisa tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya terus menangis. Galvin mencengkram kedua pundak Lisa dan bertanya dengan wajah khawatir.
“Di mana Papa dan Mama?” Hati Galvin diselimuti perasaan tidak enak. “Apa maksudmu Ayah sudah tidak ada?!”
“Papa sudah mati,” jawab Lisa dengan ekspresi pahit. “Dan Mama … dia–”
“Papa meninggal karena kecelakaan dan Mama …,” Galvin menatap wanita paruh baya yang terlihat tak berdaya di kursi roda, “... kehilangan kewarasannya?” Matanya tampak terluka menatap sang ibu yang maniknya terlihat kosong dan tak bernyawa bak boneka “Ini … semua terjadi tidak lama setelah aku pergi?” Galvin menghampiri sang ibu yang dahulu telah begitu berbaik hati mengangkatnya, seorang anak panti asuhan, dan merawatnya layaknya putra kandung sendiri. Dia pun berlutut di hadapan sang ibu, lalu menyentuh wajah pucat wanita itu. ‘Dingin,’ batin Galvin dengan kening berkerut. Dia pun mengarahkan tangannya pada pergelangan tangan sang ibu, mengecek nadinya. ‘Ini–!’ Pandangan pria itu berubah dingin seiring dirinya berdiri. Benak Galvin memutar cerita yang dilontarkan oleh sang adik tadi. Setelah dirinya dinyatakan sebagai pembunuh ahli waris Keluarga Bintara dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Pulau Mata, perusahaan keluarga ayahnya terkena dampak penurunan saham. Namun, h
"A-Apa? Racun?!" Lisa terlihat begitu terkejut mendengar ucapan Galvin. Seluruh tubuhnya bergetar. Di saat mendapatkan cukup sampel, Galvin pun membalut jari ibunya. Di dalam hati, pria itu membatin, ‘Sepertinya, daftar hitamku bertambah panjang.’ Matanya memancarkan aura membunuh yang kuat. ‘Paman Anson, ya? Jadi dia–’ KRAK! Tepat ketika Galvin baru saja selesai membalut jari ibunya dan memikirkan tentang sang paman, suara dentuman keras dari ruang utama terdengar. Keributan tersebut pun membuat Galvin melihat Lisa berlari cepat ke luar kamar. Pria itu mengikuti dengan waspada lantaran sejumlah langkah kaki terdengar menghampiri. BRAK!Belum sempat Galvin dan Lisa mencapai pintu, pintu utama kediaman mereka ditendang terbuka. Seorang pria muda bertubuh kurus dalam balutan jas mewah dan celana hitam muncul bersama dengan sejumlah penjaganya. Kala dirinya mendaratkan pandangan pada Lisa, seringai sombong terlukis di wajah pria muda tersebut seraya dia mengumumkan, “Lisa Wijaya, ha
“Racun dalam tubuh Mama Anda akan sepenuhnya bersih dalam tiga jam,” ujar seorang dokter berpakaian seragam militer seraya memberikan laporan di tangannya kepada seorang suster. “Kondisi tubuhnya juga kian membaik, seharusnya dia akan sadar dalam waktu dekat,” imbuh pria tersebut sembari menatap Lisa dengan senyum sopan. Mendengar ucapan sang dokter, wajah Lisa berbinar. Dia tersenyum bahagia seraya berulang kali berucap, "Terima kasih banyak, Dok. Sungguh terima kasih!" "Tidak masalah, Nona,” balas sang dokter melihat reaksi Lisa. Karena tugasnya sudah selesai, dokter tersebut pun berkata, “Saya pamit undur diri terlebih dahulu. Jaga ibumu dengan baik, Nona." Pria itu mengangguk pamit sebelum membalikkan badan untuk pergi Bersama sang suster. Lisa mengantar kepergian sang dokter, lalu berhenti di depan pintu. Awalnya, dia ingin langsung kembali ke dalam ruangan, tapi di sudut matanya, gadis itu menangkap keberadaan sang kakak, Galvin. Dengan tangan terlipat di depan dada bidang pr
'Kakak pasti mengenal Javon setelah dia keluar dari Aberleen, yang berarti saat dirinya berada di penjara. Namun, bagaimana mungkin seorang narapidana bisa mengenal seorang pejabat tinggi militer?' Semuanya terasa begitu aneh bagi Lisa. Akan tetapi, teringat ucapan Galvin untuk mempercayainya, Lisa pun tidak lagi bertanya-tanya. Dia hanya sangat bersyukur Galvin telah kembali, terlebih karena dia yakin pria itu bisa melindungi mereka. "Kakak, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Lisa dengan bingung seraya menatap mata Galvin dalam-dalam. " Setelah Kakak mematahkan tangan Kevin, tidak mungkin paman akan diam saja!" Mengingat bagaimana pria itu bisa sekejam itu mencoba meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson akan mencoba menyakiti Galvin. Sehingga, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Wajah manis gadis itu berkerut memikirkan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh sang paman. Mengingat bahwa sang paman telah berusaha meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson—pamannya—pasti
*Sepuluh tahun yang lalu*Malam itu, Keluarga Wijaya berkumpul untuk makan malam seperti biasanya.“Selamat atas keberhasilan proyeknya, Kak Galvin!” ujar Lisa seraya menaikkan gelas jusnya untuk bersulang demi mengucapkan selamat terhadap keberhasilan sang kakak dalam karirnya. “Bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar itu di usia yang begitu muda, memang kakakku yang paling jenius!” puji gadis tersebut dengan tawa bangga.Mendengar ucapan sang putri, ayah Galvin dan Lisa langsung berceletuk, “Itu karena Galvin anak Papa!” Pria itu mengangkat dagunya bangga. “Kakakmu memang pintar, ditambah didikan Papa, makanya dia jadi sehebat ini di usia yang begitu muda!”Ibu Galvin pun menyenggol sang suami. “Perasaan yang lebih sering ngehabisin waktu sama anak-anak Mama deh? Kok Papa doang yang ngaku-ngaku berjasa, hmm?” goda sang istri membuat sang suami meneguk ludah.“T-tapi ‘kan yang ajarin Galvin soal perusahaan Papa, Mama ajarinnya yang lain,” balas ayah Galvin, sukar mengalah. Namun,
Cinta buta yang mematikan, itulah dua kata yang pantas untuk mendeskripsikan keputusan Galvin kala itu. Karena cintanya kepada Elena, juga kesetiaannya terhadap janji yang diberikan kepada sang kakek, Galvin dengan bodohnya mengiyakan permintaan gadis tersebut.Siapa yang mengira bahwa alih-alih mencari cara untuk membuktikan kebenaran, gadis itu malah mengkhianatinya dengan lari dan menghapuskan ikatan antara mereka?“Apa Kakak tahu bahwa gadis yang Kakak mati-matian bela itu sekarang memutuskan pertunangan kalian, hah?” bentak Lisa saat mengunjungi Galvin di penjara Aberleen sebelum pria itu dikirimkan ke penjara di Pulau Mata yang terpencil. “Kakak mau tahu apa yang dia bilang?” Air mata menuruni wajah Lisa deras selagi kekecewaan terpancar kuat dari matanya. “Dia tidak ingin berurusan dengan seorang pembunuh!”Karena pria yang telah dibunuh oleh Elena adalah anak dari orang terkaya kedua di kota Aberleen, Galvin diberikan hukuman terberat, yakni hukuman seumur hidup penjara. Dia d
Elena tersentak, tahu bahwa Galvin tengah mengancamnya. Namun, dia tidak bergeming.Melihat pandangan yang diberikan Galvin kepada Elena, Peter pun langsung berkata dengan wajah tidak senang, “Hei, apa jangan-jangan kamu datang ke sini untuk mengejar Elena lagi?"Tatapan Elena menjadi jijik saat mendengar ucapan sepupunya. "Galvin, pergilah, jangan ganggu aku lagi! Aku sudah memiliki tunangan," ujarnya seraya mengambil Langkah mundur ke belakang sepupunya, seakan takut Galvin akan menyentuhnya. "Hubungan kita tidak bisa terus berlanjut."Galvin menyipitkan matanya. Dia jelas tahu Elena sudah bertunangan, tapi … bukankah dia sudah bertunangan sejak beberapa tahun yang lalu? Kenapa mereka masih belum menikah?Akhirnya, Galvin memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu.. “Sudah bertunangan?” ulangnya lagi. “Dengan siapa?”Pancaran mata Galvin membuat sudut hati Elena tertohok telak, tapi sadar bahwa wajah tampan itu tidak akan sebanding dengan kekayaan dan reputasi yang ditawarkan tunangan
"Demikian, jangan bermimpi terlalu jauh dan menganggap aku masih mencintaimu." Mendengar ucapan Galvin, sekujur tubuh Elena membeku. Dia tidak menyangka bahwa pria itu akan berbicara seperti itu di hadapannya. Galvin yang dulu merupakan lelaki rendah hati dan penuh kasih sayang terhadapnya, kini berubah menjadi pria yang sangat dingin. Perlahan-lahan tatapan Elena berubah sedingin es. Atas dasar apa pria rendahan ini bersikap begitu angkuh kepadanya? Apa melakukan hal ini membuat Galvin merasa dirinya masih lebih tinggi dari Elena?! "Bagus jika memang begitu!" Elena mendengus kesal, merasa sedikit tidak terima pria tyang telah kehilangan segalanya itu terkesan merendahkan dirinya. "Akan sangat repot bagiku kalau kamu masih mengharapkan cintaku … karena aku tidak akan sudi mencintai pria tidak berguna sepertimu!" Peter yang berada di sebelah Elena menaikkan alis kanannya. ‘Tadi, dia bilang … menggantikan Elena mendekam di penjara?’ Pria itu memicingkan mata curiga. “Apa maksudnya d