Share

Bab 5 Kebohongan Besar

“Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!”

Sekujur tubuh Galvin membeku, dia terdiam mendengar ucapan adiknya itu. Benaknya seakan dipaksa untuk menggali pecahan ingatan dari sepuluh tahun yang lalu, masa di mana dirinya hanyalah seorang pemuda bodoh berusia dua puluh tiga tahun yang tidak tahu bahwa manusia bisa lebih buruk dibandingkan binatang!

Tercetak jelas di benak Galvin kejadian di malam sepuluh tahun yang lalu itu. Halaman rumah Keluarga Wijaya ramai oleh kedatangan sekelompok pria berseragam–polisi. 

"Tidak mungkin!” Teriakan seorang gadis bisa terdengar seiring dirinya terlihat ditahan dua polisi. “Kakakku tidak mungkin membunuh! Membunuh semut pun dia tidak tega, apalagi membunuh orang?!" Lisa–adik angkat Galvin–berteriak dengan histeris selagi air mata mengalir membasahi pipinya.

Pria yang bertugas sebagai pemimpin penangkapan itu menatap Lisa dengan tatapan datar, terlihat tidak sedikit pun bersalah melihat gadis itu menangis. "Nona, hanya sidik jari saudaramu yang ditemukan di alat pembunuhan korban,” jelasnya. “Tidak hanya itu, saudara Galvin sendiri sudah mengakui bahwa dia yang telah melakukan pembunuhan terhadap ahli waris Keluarga Bintara, jadi dia akan diproses sesuai hukum yang ada.” 

“Ada yang salah! Pasti ada yang salah!” teriak Lisa sembari menggelengkan kepalanya. “Kakak!” Dia meronta kuat dan menembus pertahanan polisi untuk berlari menghampiri sang kakak. "Kakak! Katakan kepada mereka bahwa kamu tidak bersalah! Jangan berbohong! Katakan siapa yang memaksamu untuk mengaku!"

Galvin yang sedari tadi terdiam, menatap adiknya dengan saksama. Kemudian, pandangannya berpindah pada kedua orang tuanya yang berada di belakang baris polisi. Jelas di wajah mereka terlukis rasa ketidakpercayaan, kekecewaan, juga ketidakrelaan. Tapi–

“Apa ini karena Elena?!” 

Galvin mematung mendengar nama itu.

Ekspresi Lisa berubah keruh, yakin semua ini ada hubungan dengan wanita yang baru saja dia sebut. “Dia yang ada di hotel itu bersama pria tersebut, bukan?! Dia yang sebenarnya– ah!" Tidak sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, dua orang polisi yang tadi dia lewati menariknya mundur dengan kasar. “Lepaskan aku!”

“Diam atau kami akan berbuat kasar!” bentak salah seorang polisi.

Di saat itu, Galvin pun berkata, “Lisa, tenang saja, semuanya akan baik-baik saja.” Dia tersenyum kepada adiknya dengan lembut. “Aku berjanji akan segera pulang."

“Kak Galvin! Kak Galvin!!!”

Siapa yang mengira bahwa kali berikutnya Galvin kembali ke rumah itu adalah sepuluh tahun setelah kejadian tersebut?

Sekarang, menatap Lisa yang menatapnya dengan begitu marah, Galvin merasa sangat bersalah. “Lisa … maafkan Kakak karena butuh waktu sepuluh tahun untuk pulang.”

Mendengar ucapan Galvin, Lisa mematung. Dia teringat akan janji yang diucapkan oleh Galvin, bahwa pria itu akan pulang dan semua akan baik-baik saja. 

Sebuah kebohongan besar.

Karena ketidakpercayaan yang masih terpancar di mata Lisa, Galvin pun menarik leher kaosnya. Sebuah tanda samar di dada kirinya terlihat. “Aku yakin kamu mengenali ini,” ucap pria tersebut. “Apa bukti ini masih belum cukup?”

Tatapan mata Lisa tertuju ke arah tanda di dada kiri pria itu, mengenalnya sebagai tanda lahir sang kakak yang selalu dia ejek ketika mereka masih kecil dulu. Pandangan gadis itu pun yang tadi berubah dingin terlihat melunak.

Galvin pun tersenyum, yakin gadis di hadapan telah mengenalinya. “Lisa, aku–”

PLAK!

Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke arah wajah Galvin, membuat pria itu mematung di tempat.

"Beraninya kamu pulang setelah pergi untuk begitu lama?!” sergah Lisa dengan wajah yang sekejap berubah menjadi lebih beringas. “Apakah kamu tahu semua hal yang telah terjadi selama kamu pergi?!" tanyanya, mulai memukul dada Galvin untuk melampiaskan amarahnya. “Akan lebih baik kalau kamu tidak pulang sama sekali! Tidak perlu kamu kembali! UNTUK APA KAMU KEMBALI SETELAH SEMUA SUDAH JADI SEPERTI INI!? KAMU–”

Teriakan Lisa terhenti mendadak, dan itu karena Galvin menariknya ke dalam sebuah pelukan. "Maafkan aku, Lisa. Sungguh, maafkan kakakmu ini,” pinta pria itu dengan alis tertaut erat. “Tapi sekarang aku sudah kembali, aku tidak akan meninggalkan kamu beserta Papa dan Mama lagi. Aku akan membuat semua yang salah menjadi benar!"

Mendengar ucapan Galvin, amarah Lisa seketika menguap. Namun, hal tersebut digantikan kesedihan yang mendalam. “Terlambat, kamu terlambat, Galvin!” Tidak ada lagi panggilan sayang gadis itu kepada sang kayak. “Ayah sudah tidak lagi ada.”

Seketika, Galvin membeku. Dia melepaskan pelukannya dan menatap sang adik dengan pandangan kosong. “Apa maksudmu?” 

Namun, Lisa tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya terus menangis. Galvin mencengkram kedua pundak Lisa dan bertanya dengan wajah khawatir. 

“Di mana Papa dan Mama?” Hati Galvin diselimuti perasaan tidak enak. “Apa maksudmu Ayah sudah tidak ada?!”

“Papa sudah mati,” jawab Lisa dengan ekspresi pahit. “Dan Mama … dia–”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status