: Hutan itu berguncang. Suara-suara mengerang menggema dari segala penjuru, mengaduk udara dengan aroma kematian dan darah. Dari balik kabut kelabu, satu per satu sosok Penjaga Bayangan menyeruak, seperti mayat hidup yang dikendalikan oleh satu kehendak gelap.Lei Tian berdiri tegak di tengah jalur gunung. Di belakangnya, Guru Bai sudah bersiap, tangan kanan mencengkeram tasbih tulang yang bergetar, menyerap energi spiritual dari udara sekitarnya.“Mereka bukan manusia lagi,” ucap Guru Bai, matanya menyipit. “Mereka adalah pecahan jiwa yang dipaksa hidup, hasil dari ribuan korban Kitab Seribu Bayangan.”Salah satu Penjaga Bayangan melompat, tubuhnya mencuat dengan kecepatan luar biasa. Tapi sebelum mencapai Lei Tian, telapak tangan anak muda itu sudah mengembang, dan semburan energi hitam menyembur dari lengannya.BRAGH!Sosok itu terpental, tubuhnya meledak menjadi serpihan bayangan yang menguap di udara. Tapi belum sempat Lei Tian menarik napas, lima lagi sudah menerjang dari berba
Langit malam memerah, seperti luka yang belum sembuh. Di kejauhan, kilat menyambar bukit-bukit kosong, menyoroti pepohonan mati yang daunnya telah lama gugur. Udara berbau logam dan darah tua—bau perang yang belum terjadi, namun sudah menakutkan.Di tengah lembah terpencil yang diliputi kabut ungu, empat sosok berdiri mengelilingi altar batu melingkar. Mereka mengenakan jubah panjang yang menjuntai menyentuh tanah, masing-masing bersulamkan simbol unik—mata menangis darah, tengkorak bersayap, bayangan tangan yang menjulur, dan pusaran kosong.Mereka adalah Empat Pembawa Duka.Yang pertama berbicara adalah seorang wanita tinggi kurus, dengan rambut panjang terurai yang bergerak sendiri meski tak ada angin. Suaranya terdengar seperti bisikan orang mati. “Sudah saatnya kita dilepaskan.”Yang kedua, bertubuh kekar dengan kulit kelabu, menggenggam rantai dari tulang. Matanya merah menyala. Ia menjilat bibirnya yang hitam. “Setelah sekian lama… darah baru akan mengalir.”Yang ketiga—berwaja
Kabut menyibak liar saat aura Lei Tian meledak dari tubuhnya. Tanah bergetar, dan nyala biru keemasan dari pedangnya memantulkan bayangan aneh di wajah-wajah Pembawa Duka.“Kau pikir bisa melawan semuanya sekaligus?” tanya sosok wanita berambut panjang, matanya melotot liar sambil melangkah pelan ke depan. Rambutnya menjuntai menyapu tanah, bergerak seperti hidup.Lei Tian menarik napas dalam, lalu menatap lurus ke arah wanita itu. “Kalian terlalu terbiasa melawan orang yang menyerah di awal. Sayangnya… aku tidak datang sejauh ini hanya untuk menyerah.”Suara pedangnya berdesing pelan saat ia mengayunkannya ke samping. “Siapa duluan?”Tiba-tiba, suara rantai mengerang. Sosok besar dengan rantai tulang menerjang. “AKU!”Blarrr!Rantai menghantam tanah tempat Lei Tian berdiri. Namun, tubuh Lei Tian sudah tidak di situ. Dalam satu kilatan, ia telah melompat ke udara, berputar, lalu—“HAAH!” teriaknya sambil menebas ke bawah.Pedangnya membelah rantai, menciptakan ledakan cahaya. Sosok be
Kilatan cahaya keemasan di ujung pedang Lei Tian perlahan meredup, tergantikan oleh aura gelap yang mulai merambat dari altar batu yang retak. Tanah bergetar, diselingi semburan energi hitam yang naik dari celah-celah bebatuan. Udara menjadi berat, seperti ada beban ribuan tahun yang membebani paru-paru.Lei Tian menarik napas dalam, pundaknya terangkat lalu turun perlahan. Tangannya masih menggenggam pedang dengan erat, tapi jari-jarinya tampak menegang, seolah tubuhnya bersiap menghadapi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.“Xiao Mei… mundurlah. Ada sesuatu yang tidak beres.” Suaranya serak, tapi tegas.Dari kejauhan, Xiao Mei berdiri dengan napas terengah, rambutnya berantakan dan sebagian tubuhnya penuh goresan luka. “Tian! Aku bisa rasakan… energi di bawah altar itu bukan berasal dari dunia ini!”Cahaya di altar semakin terang—tapi bukan cahaya biasa. Itu cahaya gelap, menghisap segala terang di sekitarnya. Simbol-simbol purba di permukaan batu menyala merah darah, berputar perlah
Gelap.Namun bukan gelap biasa. Ini adalah gelap yang terasa hidup. Gelap yang bernapas.Lei Tian mendadak kehilangan kesadaran atas tubuhnya. Saat dia membuka matanya, dunia di sekeliling telah berubah. Langitnya berwarna merah darah, tanahnya menghitam seperti arang, dan udara terasa berat seperti ditarik ke dalam pusaran waktu.“Apa ini…?” gumamnya, berdiri dengan langkah limbung.Sebuah suara menggema dari langit—serak, tua, dan berlapis gema aneh.“Kau dipanggil… oleh ingatan yang terikat darah. Karena kau adalah garis terakhir dari mereka yang memenjarakan Raja Bayangan.”Kata-kata itu terulang-ulang dan suaranya menggema.Dunia sekitar bergerak. Tanah bergetar dan terbuka, menampilkan sepotong kenangan: sebuah medan perang purba. Ribuan pasukan berjubah gelap berdiri melawan cahaya—pasukan bayangan melawan serdadu kerajaan langit. Suara pedang, teriakan, dan sihir memecah langit.Lei Tian terdiam, tubuhnya gemetar. “Ini… perang dimensi kuno…”Seseorang berdiri di tengah medan t
: Langkah kaki Lei Tian terdengar berat di tengah kehancuran altar. Debu dan sisa-sisa segel beterbangan ditiup angin malam yang tajam. Matanya tak lepas dari sosok Raja Bayangan yang berdiri gagah di tengah pusaran energi hitam yang terus tumbuh dan meliuk-liuk seperti ular lapar.Raja Bayangan membuka kedua lengannya, seolah menyambut sesuatu. “Akhirnya, darahku dan darah mereka yang mengkhianatiku... bertemu dalam satu tubuh.”Lei Tian menggertakkan giginya. Nafasnya memburu, dan tangan kirinya sedikit bergetar. Bukan karena takut, tapi karena hawa jahat yang menyerang pikirannya, mencoba menyusup masuk ke dalam batinnya.“Aku bukan penerusmu!” seru Lei Tian lantang.Raja Bayangan tertawa. Suaranya berat dan bergema, membuat tanah bergetar pelan. “Oh, kau salah, anak muda. Kau adalah jelmaan sempurna antara terang dan gelap. Dilema abadi yang kubutuhkan untuk membuka Gerbang Ketiga.”Lei Tian melangkah maju dengan mata menyala. “Gerbang Ketiga itu akan menghancurkan dunia nyata.
Hening.Setelah ledakan cahaya yang menyelimuti puncak altar, dunia seolah menahan napas. Debu masih berjatuhan perlahan. Angin berhenti berhembus. Burung-burung bayangan yang biasa berputar di atas langit Bayangan Timur menghilang—lenyap ke celah realitas.Lei Tian berdiri pelan dari reruntuhan. Napasnya berat. Luka-luka di tubuhnya menghitam dan pulih sendiri—bukti bahwa kekuatan Raja Bayangan masih mengalir dalam nadinya.“Kau menang, untuk saat ini,” bisik suara bayangan dalam benaknya. Bukan dari Raja Bayangan, tapi dari warisan kekuatan yang kini menyatu dengannya.Lei Tian menatap tangannya. Urat-uratnya tampak seperti aliran tinta hitam di atas kulit. Sesekali berkilat samar keemasan. Cahaya dan kegelapan itu belum sepenuhnya berdamai. Tapi untuk saat ini, dia bisa mengendalikannya.Tiba-tiba…DUM!Suara guntur meledak dari langit. Tapi bukan suara biasa—melainkan gema dari dimensi lain. Langit di atas altar mulai menghitam, lalu robek perlahan seperti kain tua. Retakan bercah
Langkah kaki Lei Tian terhenti saat tanah di bawahnya menggeliat seperti makhluk hidup. Setiap jejak yang ia tinggalkan mengeluarkan suara lengket dan basah. Dunia di dalam Gerbang Ketiga ini bukan hanya gelap—ia hidup, dan ia menolak kehadiran cahaya.Yara menggenggam tongkatnya erat. Ujungnya menyala redup, mengusir sebagian kabut kelabu yang menggantung. Jin Wu berada di belakang mereka, sorot matanya tajam, tapi ada kegamangan yang tak biasa di wajahnya.“Ini… bukan dunia,” bisik Yara. “Ini... kesadaran.”Lei Tian mengangguk perlahan. “Kesadaran Raja Chaos. Inilah bentuk pikirannya… sebelum ia terperangkap ribuan tahun lalu.”Langit di atas mereka terus berdenyut seperti dinding jantung, dan dari segala arah terdengar bisikan tak berujung.“Kembali… kembali… darahmu adalah milik kami…”Tiba-tiba, tanah di depan mereka membelah, dan dari celah itu muncul sosok yang begitu tinggi hingga menyentuh l
Lei Tian mencengkeram gagang pedangnya. Matanya berkilat. “Bayangan sudah mulai bergerak.”Dari balik celah bebatuan, sesosok tubuh samar muncul—tingginya hampir dua meter, wajahnya tanpa mata, hanya lubang hitam dengan suara dengung mengerikan keluar dari mulutnya. Makhluk itu melayang di atas tanah, tangan-tangannya seperti ranting kering menggapai. “Bayangan luka,” gumam Jin Wu. “Ini yang terbentuk dari jiwa-jiwa yang menolak diampuni.”Lei Tian maju tanpa ragu. “Biarkan aku yang hadapi. Kalian terus naik.” “Jangan bodoh,” seru Yara. “Kita bertiga!”Lei Tian menoleh, tatapannya tajam namun ada ketulusan di sana. “Yara. Aku butuh kau menjaga Jin Wu. Di atas sana… hanya satu dari kita yang boleh membaca mantra.” “Apa maksudmu?!” Jin Wu memutar tubuhnya. “Kau bilang kita bertiga—” “Aku bohong.”Hening. Hanya desau angin dan suara napas tercekat Yara
Suasana membeku. Lei Tian memejamkan mata, menundukkan kepala.“Aku tak minta dimaafkan. Tapi aku ingin kau tahu… aku pun tak pernah tidur nyenyak sejak hari itu.”Jin Wu menarik napas panjang, lalu menenggak arak dari cangkirnya. Ia menghela napas keras, lalu berkata lirih:“Tiga tahun lamanya aku ingin membunuhmu.”Mendengar itu Lei Tian tak terkejut. Ia hanya menatap lurus ke depan, tenang. “Kenapa tidak sekarang saja? Hentikan semua ini sebelum aku berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk dari Chaos.”Jin Wu beralih memandangnya. Untuk pertama kalinya, wajahnya menampakkan luka yang tak terlihat—rasa kecewa, kehilangan, dan keraguan.“Karena… meski aku membencimu, aku juga tahu… kau satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia ini,” katanya sambil menatap jauh.Lei Tian perlahan berdiri. Debu tanah menempel di lutut jubahnya. Angin berembus pelan, mengibarkan helai
Lei Tian mengangguk pelan. “Mereka tidak tahu… kegelapan belum benar-benar pergi.”Yara menyusul dari belakang, rambutnya dikepang dua, wajahnya lebih tenang dari biasanya. Ia membawa sekantong kue kacang dan menyerahkannya ke Lei Tian.“Untuk kenangan. Ini dari bibi tua penjual di ujung jalan. Dia bilang kamu dulu sering ngutang.” Lei Tian terkekeh kecil, menerima kantong itu. “Aku ingat… waktu itu aku kabur dari kejaran penjaga karena tak bayar.”Semuanya tertawa. “Kamu tidak pernah berubah,” sindir Yara, tersenyum tipis.Lei Tian membuang wajah, “Tapi aku takkan pernah punya waktu untuk berubah lebih jauh lagi, bukan?”Yara terdiam. Suasana beku sesaat. Matanya sedikit redup. Ia menggigit bibirnya sebelum berkata: “Jadi kau benar-benar akan pergi… ke dimensi bayangan?”Lei Tian menatap langit. “Jika aku tetap di sini, aku akan menjadi ancaman seperti Chaos
Udara terasa sunyi, namun bukan hening yang damai—melainkan kosong, seolah dunia masih belum percaya bahwa Raja Chaos benar-benar musnah. Awan yang sebelumnya selalu kelabu kini membuka celah, dan sinar matahari perlahan menembus permukaan bumi yang hancur dan menghitam.Lei Tian masih berlutut, bahunya naik-turun. Napasnya berat. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena beban kekuatan yang belum sepenuhnya ia pahami.Jin Wu mendekat, berlutut di sampingnya, menepuk pelan punggungnya. “Hei… masih hidup, pahlawan?”Lei Tian mengangkat kepalanya. Wajahnya penuh keringat dan debu, tapi matanya—emas dan hitam—masih bersinar. “Rasanya… seperti ada seluruh galaksi yang mendesak di balik mataku.” “Kau tampak seperti seseorang yang baru saja mencicipi neraka dan kembali dengan sepotong surga,” sahut Yara, berdiri sambil membersihkan ujung jubahnya yang robek.Yara kemudian berj
“Aku hanya ingin... dikenang.”Lei Tian menyentuh kepala anak itu. Cahaya menyebar dari telapak tangannya.“Kalau begitu, biarkan aku... mengakhirinya dengan tenang.”Dan dalam sekejap, dunia dalam kesadaran itu hancur—bukan karena kebencian, tapi karena penerimaan.-Kabut itu menjerit.Begitu kesadaran Lei Tian masuk lebih dalam dan menyentuh inti Raja Chaos, dunia bayangan mulai retak seperti cermin dihantam palu. Retakan itu menyebar cepat, memecah lapisan demi lapisan dimensi yang melilit makhluk purba itu selama ribuan tahun.Tubuh raksasa Raja Chaos menggeliat liar di dunia luar. Dari setiap pori tubuhnya, semburan bayangan keluar bagaikan darah kotor. Jin Wu dan Yara terus bertahan, tapi napas mereka kini berat, gerakan mereka tersendat. Luka mulai menghiasi tubuh keduanya.“Dia... dia sekarat!” teriak Yara, sembari mengayunkan tongkatnya yang berpendar makin redup.
Langkah kaki Lei Tian terhenti saat tanah di bawahnya menggeliat seperti makhluk hidup. Setiap jejak yang ia tinggalkan mengeluarkan suara lengket dan basah. Dunia di dalam Gerbang Ketiga ini bukan hanya gelap—ia hidup, dan ia menolak kehadiran cahaya.Yara menggenggam tongkatnya erat. Ujungnya menyala redup, mengusir sebagian kabut kelabu yang menggantung. Jin Wu berada di belakang mereka, sorot matanya tajam, tapi ada kegamangan yang tak biasa di wajahnya.“Ini… bukan dunia,” bisik Yara. “Ini... kesadaran.”Lei Tian mengangguk perlahan. “Kesadaran Raja Chaos. Inilah bentuk pikirannya… sebelum ia terperangkap ribuan tahun lalu.”Langit di atas mereka terus berdenyut seperti dinding jantung, dan dari segala arah terdengar bisikan tak berujung.“Kembali… kembali… darahmu adalah milik kami…”Tiba-tiba, tanah di depan mereka membelah, dan dari celah itu muncul sosok yang begitu tinggi hingga menyentuh l
Hening.Setelah ledakan cahaya yang menyelimuti puncak altar, dunia seolah menahan napas. Debu masih berjatuhan perlahan. Angin berhenti berhembus. Burung-burung bayangan yang biasa berputar di atas langit Bayangan Timur menghilang—lenyap ke celah realitas.Lei Tian berdiri pelan dari reruntuhan. Napasnya berat. Luka-luka di tubuhnya menghitam dan pulih sendiri—bukti bahwa kekuatan Raja Bayangan masih mengalir dalam nadinya.“Kau menang, untuk saat ini,” bisik suara bayangan dalam benaknya. Bukan dari Raja Bayangan, tapi dari warisan kekuatan yang kini menyatu dengannya.Lei Tian menatap tangannya. Urat-uratnya tampak seperti aliran tinta hitam di atas kulit. Sesekali berkilat samar keemasan. Cahaya dan kegelapan itu belum sepenuhnya berdamai. Tapi untuk saat ini, dia bisa mengendalikannya.Tiba-tiba…DUM!Suara guntur meledak dari langit. Tapi bukan suara biasa—melainkan gema dari dimensi lain. Langit di atas altar mulai menghitam, lalu robek perlahan seperti kain tua. Retakan bercah
: Langkah kaki Lei Tian terdengar berat di tengah kehancuran altar. Debu dan sisa-sisa segel beterbangan ditiup angin malam yang tajam. Matanya tak lepas dari sosok Raja Bayangan yang berdiri gagah di tengah pusaran energi hitam yang terus tumbuh dan meliuk-liuk seperti ular lapar.Raja Bayangan membuka kedua lengannya, seolah menyambut sesuatu. “Akhirnya, darahku dan darah mereka yang mengkhianatiku... bertemu dalam satu tubuh.”Lei Tian menggertakkan giginya. Nafasnya memburu, dan tangan kirinya sedikit bergetar. Bukan karena takut, tapi karena hawa jahat yang menyerang pikirannya, mencoba menyusup masuk ke dalam batinnya.“Aku bukan penerusmu!” seru Lei Tian lantang.Raja Bayangan tertawa. Suaranya berat dan bergema, membuat tanah bergetar pelan. “Oh, kau salah, anak muda. Kau adalah jelmaan sempurna antara terang dan gelap. Dilema abadi yang kubutuhkan untuk membuka Gerbang Ketiga.”Lei Tian melangkah maju dengan mata menyala. “Gerbang Ketiga itu akan menghancurkan dunia nyata.
Gelap.Namun bukan gelap biasa. Ini adalah gelap yang terasa hidup. Gelap yang bernapas.Lei Tian mendadak kehilangan kesadaran atas tubuhnya. Saat dia membuka matanya, dunia di sekeliling telah berubah. Langitnya berwarna merah darah, tanahnya menghitam seperti arang, dan udara terasa berat seperti ditarik ke dalam pusaran waktu.“Apa ini…?” gumamnya, berdiri dengan langkah limbung.Sebuah suara menggema dari langit—serak, tua, dan berlapis gema aneh.“Kau dipanggil… oleh ingatan yang terikat darah. Karena kau adalah garis terakhir dari mereka yang memenjarakan Raja Bayangan.”Kata-kata itu terulang-ulang dan suaranya menggema.Dunia sekitar bergerak. Tanah bergetar dan terbuka, menampilkan sepotong kenangan: sebuah medan perang purba. Ribuan pasukan berjubah gelap berdiri melawan cahaya—pasukan bayangan melawan serdadu kerajaan langit. Suara pedang, teriakan, dan sihir memecah langit.Lei Tian terdiam, tubuhnya gemetar. “Ini… perang dimensi kuno…”Seseorang berdiri di tengah medan t