Laras melihat mobil milik Bryan sudah melaju pergi dari rumah. Dengan langkah tergesa-gesa, Laras langsung mencari Sarah.
“Mbak Sarah! Mbak!” panggil Laras yang masih jauh. Ia pun makin mempercepat langkahnya itu.
“Kenapa, Laras? Kok heboh banget!” tanya Sarah yang seolah-olah sudah lupa dengan rencana mereka kemarin.
“Itu loh! Tuan Muda sudah pergi ke kantor! Ayo buruan kita bawa Nina ke rumah sakit!” ajak Laras sangat antusias.
Sarah menyimpan kembali alat pelnya itu. “Oh iya. Ayo, Laras!”
Laras dan Sarah pun mencari Nina di segala penjuru. Bi Lastri yang melihat mereka berdua pun seketika menjadi panik.
Karena khawatir dengan Nina, Bi Lastri akhirnya memutuskan untuk mengikuti langkah Laras dan Sarah dari belakang.
“Eh, Nina! Kemari kamu! Mbak mau ngomong,” titah Sarah setelah mendapati Nina yang sedang menjemur baju di halaman belakang.
Nina dengan polosnya pun men
“Dari hasil pemeriksaan tes darah dan USG dinyatakan bahwa pasien tidak sedang hamil, Bu,” papar dokter kepada keduanya.“A-APA?!!”“Serius, Dok? Dokter gak ngeprank, kan?” tanya Laras kurang percaya dengan omongan dokter itu.“Tidak. Memang benar pasien tidak hamil. Kadar hormon hcg dari sampel darah pasien sangat rendah itu artinya negatif. Dari hasil pemeriksaan USG pun saya tidak menemukan tanda-tanda adanya janin dalam rahim pasien.”“Terus kenapa pasien sering mual-mual bahkan muntah, Dok?” tanya Sarah.“Berdasarkan konsultasi yang dilakukan tadi, pasien memiliki riwayat penyakit maag. Gejala berupa mual dan muntah tersebut disebabkan oleh produksi asam lambung yang berlebihan. Saya menyarankan agar pasien tetap menjaga pola makan yang teratur dan hindari pemicu lainnya, seperti stress, mengonsumsi alkohol dan rokok.”Penjelasan dari dokter membuat Sarah mengangguk
“Apa yang sudah kamu lakukan, Laras??” tanya Bryan. Pria itu seketika panik melihat Nina berderai air mata. Bryan langsung menghampiri Nina kemudian menangkup pipinya dan menyeka air mata gadis itu.“Kamu baik-baik saja, kan, Sayang?” tanya Bryan lembut. Ia sudah tidak peduli lagi tentang pandangan Laras terhadap mereka.Nina langsung melepaskan tangan Bryan dari wajahnya dan berdiri agak menjauh dari tuan mudanya itu. Nina tidak mau jika Laras akan menuduhnya yang aneh-aneh lagi.Sementara Laras, wanita itu saat ini tercengang melihat apa yang terjadi di depan matanya. ‘Sudah aku duga, mereka ada sesuatu!’‘Sepertinya aku harus menguaknya sendiri! Aku harus mendapatkan bukti-bukti kalau mereka sudah pernah tidur bareng!’ batin Laras lagi.Bryan memperhatikan ekspresi Nina yang tampak ketakutan saat melihat Laras. Dari tadi Nina hanya menundukkan kepalanya sambil menghapus buliran hangat yang berjatuh
Setelah kepergian Laras, menjadikan Bryan semakin berani untuk bertemu Nina terang-terangan. Malam ini, Bryan membelikan Nina separcel buah-buahan lengkap, cemilan sehat dan bahkan sekaleng susu bubuk untuk ibu hamil. Bryan melakukan ini karena dirinya masih mengira bahwa Nina benar-benar hamil.‘Apa lebih baik aku menyeduhnya dulu, ya? Biar Nina tinggal minum saja?’ ucap Bryan kala melihat kaleng susu yang baru ia beli. Ia pun bergegas menuju dapur.“Tuan Muda sedang apa?” tanya Sarah yang kebetulan lewat di dapur. Ia melihat Bryan sedang memasak air.“Mau buat susu,” jawab Bryan santai.“Biar saya saja yang buat, Tuan,” tawar Sarah.“Baiklah. Aku tunggu di sini ya.”Bryan pun menyerahkan pekerjaan itu pada Sarah dan memilih duduk sambil menghisap rokok elektriknya.Sarah menjadi salah fokus saat akan membuka kaleng susu tersebut. Ia membaca tulisan pada kaleng tersebut dengan seksama. ‘Lah, ini kan susu buat ibu hamil? Apa ini buat
Di pagi hari, seperti hari-hari biasa, Bi Lastri selalu membuatkan sarapan untuk Bryan.“Silakan dinikmati, Tuan.”“Makasih ya, Bi.”“Sama-sama, Tuan. Bibi ke dapur dulu, ya.”Saat hendak pergi, Bryan kembali memanggil Bi Lastri dan menanyakan keberadaan Nina.“Nina ada di samping, Tuan. Lagi nyiram tanaman,” jawab Bi Lastri.“Dia sudah sarapan belum ya, Bi?” tanya Bryan lagi.“Belum, Tuan. Katanya tadi, tunggu kerjaan pada beres dulu baru dia mau sarapan.”Bryan pun mengangguk pelan dan mempersilakan Bi Lastri untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur.Mendengar bahwa Nina belum sarapan membuat Bryan berinisiatif memberikan sepiring nasi goreng spesial miliknya itu kepada Nina. Biarlah dirinya tidak sarapan pagi ini, yang penting sang pujaan hatinya itu kenyang.Bryan kemudian membawa sarapannya itu dan mencari Nina yang berada di samping rumah
Bi Lastri mengedikkan bahu.Sarah pun melirik ke ruangan di luar dapur dan mendapati Bryan yang sedang duduk bersandar di sofa. Sarah memandang aneh melihat Bryan yang dulunya banyak tingkah kini lebih sering berdiam diri. Yang anehnya lagi, Bryan selalu memakai topeng saat berada di rumah.“Saya perhatikan Tuan Muda makin hari makin aneh, seperti ODGJ. Kayaknya kita harus ngelaporin ini ke Tuan Besar bahwa anaknya sekarang menjadi gila!”“Hush! Kamu itu kalau ngomong suka ngelantur! Apa pun yang Tuan Muda lakukan, kita tidak ada hak untuk mengomentari. Lagian ini kan rumahnya. Kita di sini hanya sebagai ART, Sarah! Apa kamu mau bernasib yang sama kayak Laras?”Ucapan Bi Lastri membuat Sarah langsung menggeleng. “Gak, Bi. Amit-amit! Saya gak mau dipecat! Kerja di sini udah enak. Gak terlalu berat, udah gitu gajinya lumayan.”“Makanya dari pada ngurusin yang gak penting, mendingan kamu lanjutin itu kerjaanmu
Bryan mencari Bi Lastri dengan membawa boneka jumbo itu dalam dekapannya.“Bi Lastri, seperti biasa ya,” ucapnya kala bertemu dengan wanita tua itu.Bi Lastri yang sudah paham pun langsung menganggukkan kepalanya pelan dan mengambil boneka itu dari Bryan.Setelahnya, Bryan memutuskan untuk beristirahat lebih awal di kamarnya.*Di sisi lain, Nina saat ini sedang asik membaca buku di dalam kamarnya. Sejenak ia lirikkan matanya ke arah kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Empat hari lagi genap sebulan dirinya bekerja di rumah mewah ini.‘Tidak terasa, empat lagi aku akan resign dari kerjaan ini,’ batin Nina.Dari awal, setelah mendapati Bryan bermain dengan seorang gadis di kantor waktu itu, membuat Nina berpikir untuk berhenti bekerja. Apalagi setelah kejadian dirinya yang ditampar oleh Bryan, membuat Nina semakin yakin dengan keputusannya untuk resign.Nina tidak bisa berlam
Keesokan harinya…Jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun belum ada tanda-tanda Bryan sudah terbangun atau belum. Sedari pulang kantor kemarin, Bryan langsung masuk ke dalam kamarnya dan melewatkan makan malamnya.Bi Lastri yang biasanya selalu memberikan sarapan kepada majikannya itu seketika cemas, karena sudah pukul segini Bryan belum juga turun ke bawah untuk sarapan.Tringg…. Tring… Tringg…Telepon rumah berbunyi. Bi Lastri sigap menjawab panggilan suara tersebut.“Halo. Dengan kediaman keluarga Lawrence. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bi Lastri ramah.“Ini saya, Bi,” sahut si penelpon. Suaranya terdengar familiar.“Oh, Tuan Besar. Ada apa, Tuan?” tanya Bi Lastri.“Apa Bryan ada di rumah, Bi? Kenapa jam segini dia belum berangkat ke kantor? Saya sudah telepon nomernya berkali-kali, tapi gak diangkat. Apa dia masih tidur, Bi?”“I-iya, Tuan Besar. Sepertinya Tuan Muda masih tidur. Soalnya pintu kamarn
“Iya, Pa. Maaf,” sahut lirih Bryan dengan lemas.“Buat apa kamu lemesin suara, hah? Sengaja? Mau berpura-pura sakit di depan Papa?” Tuduhan yang dilontarkan oleh Fredrinn berhasil menorehkan rasa perih di hati Bryan.“Aku beneran lagi gak enak badan, Pa,” jawabnya memelas.“Jadi anak laki-laki itu jangan lemah, Bryan! Kamu cuman sakit sedikit saja sikapnya sudah kayak sakaratul maut saja! Cepat ke kantor! Jangan sampai investor kita tidak sudi menjalin kerja sama lagi dengan perusahaan. Kamu mau lihat perusahaan Papa bangkrut? Kalau nanti Papa bangkrut, dari mana uang buat membayar pengobatan Mama?!”Bryan menarik napas panjang kemudian berkata pasrah. “Baiklah, Pa. Aku akan ke kantor sekarang juga.”Sebenarnya Bryan merasa tidak sanggup, bahkan untuk bergerak sedikit saja kepalanya sudah terasa pusing. Tetapi jika semua ini berkaitan dengan sang ibunda, Bryan pun memilih untuk menuruti ke
Bryan sedikit kecewa mendengar sang istri yang tidak ingin hamil lagi. Tapi Bryan mencoba memahami keadaan Nina. Lagi pula, mereka juga telah memiliki empat orang anak. Bryan rasa, itu sudah lebih dari cukup.“Oke, sayang. Aku paham kalau kamu gak mau hamil lagi. Tolong ambilkan kondomku di dalam laci.”Suasana kamar yang sebelumnya sunyi kini terdengar desahan dari keduanya. Selain itu, terdengar juga deru napas yang memburu dari pasangan suami istri yang sedang melakukan penyatuan.Nina segera merebahkan tubuhnya di samping Bryan kala dia sudah selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Dia lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua.Bryan merengkuh tubuh istrinya yang dipenuhi keringat. Dia mengusap wajah istrinya yang banjir pelu dengan telapak tangannya yang lebar, lalu dia kecup kening sang istri dengan mesra.“Terima kasih, sayang. Kamu hebat sekali,” ucap Bryan sembari mempererat peluka
Satu bulan kemudian...Setelah melakukan serangkaian proses terapi, kini kondisi Bryan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dia kini sudah jarang merasakan yang namanya sesak napas atau pun nyeri dada yang biasanya dia alami. Hal itu membuat Nina merasa bahagia.“Sudah ku bilang kan, Mas. Kamu pasti bisa sembuh. Apalagi kankermu belum terlalu parah. Kita tinggal rajin-rajin periksa ke rumah sakit saja dan berobat biar sel kankermu cepat musnah.”“Iya, sayang. Ini semua juga berkat kamu yang merawat aku tiap hari, mengatur pola makanku, mengingatkan aku untuk minum obat dan lain sebagainya. Kalau tidak ada kamu, mungkin penyakitku tambah parah.”Mereka baru saja selesai melakukan kontrol. Nina selalu setia mendampingi Bryan ke rumah sakit untuk berobat. Dan saat ini pasangan suami istri itu sedang duduk menunggu di taman rumah sakit sembari menunggu sopir menjemputnya.“Ayo, Mas. Kita pulang. Pak Jaka sudah sampai,&rdq
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa