Malam ini Bryan ingin menepati janjinya, membawa Nina ke sebuah restoran mahal untuk makan malam. Sama seperti kemarin, sepulang dari kantor, Bryan mengajak Nina ke hotel yang sama. Namun baru saja masuk ke kamar hotel, terlihat sosok Nina yang sudah menunggunya di dalam.
“Kamu udah nyampe dari tadi?” tanya Bryan seraya melonggarkan dasi miliknya.
Nina menggeleng pelan. “Baru aja. Mungkin lima menit yang lalu.”
“Ya udah deh. Kita siap-siap sekarang yuk. Takutnya makin macet di luar.” Bryan kemudian membuka kemeja kerjanya. “Kita mandi dulu baru jalan.”
“M-mandi bareng?” tanya Nina gugup.
“Yaa enggak dong. Aku dulu yang mandi baru kamu. Aku mandinya cepet cuman 5 menit selesai.”
Nina menghela napas lega. Ia mengira tadinya Bryan ingin mengajaknya mandi bersama. Bryan pun masuk ke kamar mandi, sedangkan Nina pergi ke balkon kamar, menikmati pemandangan ibu kota di sore har
Bryan menggeleng pelan. “Aku gak marah sama kamu, Nina.”“Terus?”“Aku marah sama diriku sendiri. Kamu benar! Gaunmu terlalu terbuka. Di lobi tadi banyak lelaki yang melirikmu. Aku cemburu. Kalau tau bakal begini, mendingan kamu ku suruh pake gamis aja. Biar gak ada laki-laki yang lirik-lirik ke kamu lagi.”Berbeda dengan Bryan yang menekuk wajahnya, Nina justru tersenyum lebar. Nina tidak menyangka Bryan bisa secemburu itu.Bryan lalu melepas jas hitamnya. “Pake ini! Tutupi dadamu! Yang lain gak boleh lihat badan seksimu! Cuman aku yang berhak melihatnya!”Nina pun mengenakan jas itu untuk menutupi badannya. Ia lalu berkata, “Sebenarnya Tuan Bryan juga belum berhak melihatnya. Karena kita belum punya status apa-apa.”“Makanya nanti aku mau lamar kamu. Nanti kamu harus menerimanya ya! Aku gak menerima penolakan soalnya!”Nina hanya mengangguk kecil seraya tersenyu
“Tapi kamu mau kan nikah sama aku? Aku bakalan nungguin kamu sampai kamu siap kok.”Nina mengangguk pelan. “Iya, saya mau. Tapi ada syaratnya.”“Apa syaratnya?”“Tuan gak boleh nyentuh saya lagi sampai kita nikah.”Bryan sontak melepaskan genggamannya di jari Nina.Nina langsung tertawa kecil. “Kalau cuman megang tangan, boleh kok.”“Terus definisi gak boleh nyentuh itu seperti apa, Nina?”“Tuan gak boleh ngajak saya begituan lagi.”Bryan seketika paham. “Oh cuman itu saja? Gampang.”“Bukan itu aja. Tuan Bryan juga gak boleh ngeraba-raba saya, ngelus-ngelus, apalagi sampai ngeremas.”Bryan seketika menekuk wajahnya. Rasanya sangat sulit tidak melakukan itu pada Nina. “Kalau aku kepengen meluk kamu gimana dong? Masa meluk juga gak boleh?” protes Bryan.“Meluk boleh kok, tapi jangan ngelus-ngelus yang lain!”“Hm.”“Gandengan tangan boleh. Cium kepala atau kening boleh. Meluk juga boleh,” lanjut Nina.“Kalau ciuman bibir boleh, kan?” tanya Bryan berharap.“Itu juga gak boleh. Soalnya kal
“Nina! Nina! Bangun, Sayang!”“Nina?”Goyangan kecil di pundak Nina, membuat Nina membuka mata. Ia menangkap sosok lelaki, tak lain adalah Bryan.“Bangun, Nina. Ayo mandi terus sarapan!” ucap pria itu.Tampak Bryan saat ini membuka lemari kecil di kamar Nina dan memasukkan baju-baju Nina ke dalam tas ransel.Nina mengambil hp di bawah bantalnya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul lima pagi.“Tuan Bryan, ada apa pagi-pagi gini ke kamar saya?” tanya Nina dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.Sontak Bryan menoleh dan membulatkan mata. “Apa? Kamu barusan panggil aku apa?”Nina lupa dengan kejadian semalam. Nina masih belum sepenuhnya sadar. “Tuan Bryan. Tuan ngapain di kamar saya? Ngapain masukkin baju saya ke ransel?” tanyanya ulang kemudian menguap keras.“Nina, kok kamu lupa? Coba lihat di jari manis kamu ada apa?”Nina menurut. Ia melihat tangannya sendiri, di jari manisnya tersemat sebuah cincin permata putih. Seketika Nina teringat bahwa ia telah menerima lamaran
Singkat cerita, setelah melalui perjalanan udara dan darat, Nina dan Bryan telah tiba di pelosok desa kecamatan Indramayu, Jawa Barat.“Nina, rumahmu yang mana?” tanya Bryan. Mereka berdua baru saja turun dari mobil angkot.“Belum sampai, Mas. Dari sini kita jalan ke ujung gang, di sana ada pengkolan ojek. Aku biasanya naik ojek sampai di rumah,” jelas Nina sambil berjalan.“Terus kenapa tadi kita gak nyuruh angkotnya berhenti aja di depan pengkolan ojek? Daripada capek-capek jalan kaki begini.”“Gak bisa, Mas. Bukan jalurnya. Lagian ujung gang dekat aja kok. Itu udah kelihatan!” seru Nina sembari menunjuk lurus.Setelah berjalan 250 meter, mereka akhirnya sampai.“Nah, ini dia ojek langgananku. Antar saya ke rumah ya, Pak,” seru Nina. “Satu lagi, tolong bawa teman saya juga ya, Pak,” lanjutnya kepada ojek yang lain.“Siapp, Mbak.”Sebelum naik ke motor, Bryan sempat-sempatnya mencubit lengan Nina hingga gadis itu menjerit kesakitan.“Enak aja kamu bilang aku ini temanmu!” ucap Bryan k
“K-kamu calon suami anak saya?” ulang Aliyah tak percaya.Bryan mengangguk penuh semangat. “Iya, Bu. Saya datang ke sini mau kenalan sama Ibu dan mau minta restu. Oh iya, maaf sebelumnya karena saya datang ke sini cuman bisa ngasih buah.” Bryan lalu menyerahkan beberapa parcel buah-buahan yang ia beli sebelum ke rumah Nina.Aliyah hanya terperanjat. Sedangkan Nina memilih untuk menundukkan kepalanya. Antara takut dan malu.“Eumm, apa saya boleh masuk ke dalam, Bu?” tanya Bryan memecah keheningan.“Oh, b-boleh, boleh. Silakan masuk,” jawab Aliyah.Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu yang luasnya tak seberapa. Hanya beralaskan karpet plastik. Tidak ada kursi atau sofa di sana. Hanya beberapa jarak pandang saja, Bryan sudah bisa melihat dengan jelas dua kamar yang saling bersebelahan tanpa pintu, hanya ditutupi oleh tirai tipis motif doraemon yang lusuh.Sedari tadi Bryan mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan kipas angin. Bryan ingin sekali menghilangkan gerah
“Nina juga bingung, Bu. Tapi Mas Bryan selalu yakinin Nina kalau hubungan kami pasti direstui sama Papa dan Mamanya.”Aliyah mengambil napas panjang. “Ibu berpesan sama kamu, Nak. Jangan mau menikah dengan laki-laki kalau orang tuanya sendiri tidak menerima kamu di keluarga mereka. Itu berat, Nak. Ibu gak mau kamu dijadikan bulan-bulanan sama mertuamu sendiri. Ibu gak bakalan rela kalau anak ibu direndahkan oleh keluarga suamimu kelak. Kita memang miskin, Nak. Tapi kita masih punya harga diri. Jangan mentang-mentang mereka dari keluarga kaya raya, bisa seenak jidatnya menginjak-injak harga diri kita.”“Tapi kalau mereka mau menerima kamu apa-adanya dan menyambut hangat kedatangan kamu di keluarga mereka, tentu Ibu setuju-setuju saja. Ibu rela melepaskan kamu ke Nak Bryan. Yang penting kamu bisa hidup bahagia dan sejahtera.”Nina hanya memasang senyum getirnya.Aliyah lalu mengajak Nina untuk kembali ke ruang tamu. “Kita diskusikan saja langsung sama calon suami kamu, ya, Nak.”Mereka
“Aduh, Mas. Adik aku ini orangnya pemalu. Dia gak bisa langsung akrab sama orang yang baru dikenal. Maklumin aja ya.”Bryan mengangguk paham.Singkat cerita, mereka telah selesai makan. Junot pun memilih untuk keluar rumah. Seperti biasa di sore hari, Junot selalu bergabung bersama anak-anak tetangga yang bermain sepeda. Namun sayangnya, Junot hanya bisa menunggu salah satu dari temannya itu untuk meminjamkan sepeda kepadanya. Kadang pula, Junot hanya bisa melihat teman-temannya itu bermain dari kejauhan.Bryan merasa iba melihat Junot. Ia pun menghampiri sekumpulan anak-anak itu dan berbicara pada mereka.“Halo adik-adik semua. Aku mau pinjem sepeda kalian dong. Boleh gak?” ucapnya tanpa malu.“Boleh, asal bayar. Hihih,” celetuk salah satunya dengan nada bercanda. Namun siapa sangka, Bryan menanggapinya dengan serius.Bryan mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyerahkannya kepada anak itu. “Kalau
Setelah makan malam…“Nak Bryan, kamu apa tidak keberatan tidur di ruang tamu nanti? Soalnya kamar hanya ada dua. Itu pun kamar ibu dan bapak, satunya kamar Nina sama Junot,” ucap Aliyah memberitahu.Bryan kelihatan berpikir keras. Bagaimana bisa dirinya tidur melantai di ruang tamu? Tanpa kasur dan bantal sama sekali.“Emm, saya bermalam di hotel aja kalau begitu, Bu. Nanti pagi baru saya ke sini lagi. Di desa ini ada hotel kan, Bu?”“Di sini gak ada hotel, Nak Bryan,” jawab Aliyah lembut.“Kalau penginapan?”“Tidak ada juga, Nak. Soalnya di sini daerah pelosok. Tidak ada yang membuka penginapan seperti itu. Kalau pun ada, jaraknya sangat jauh dari sini. Bisa memakan satu atau dua jam perjalanan naik motor. Makanya tadi Ibu sempat ragu saat kamu bilang mau menginap. Karena memang sudah tidak ada tempat lagi buat kamu. Jadi bagaimana, Nak?”Bryan menelan ludah. Dengan
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“