LOGINTanpa mereka sadari, waktu di apartemen sudah berjalan begitu cepat. Matahari mulai turun, warna jingga menembus tirai dan menggambar bayangan di dinding. Revan dan Alya akhirnya memutuskan untuk pulang.Di perjalanan, suasana di dalam mobil sempat hening cukup lama. Revan fokus menyetir, sementara Alya menatap keluar jendela, matanya kosong mengikuti bayangan pepohonan yang lewat satu per satu. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan tapi ragu.“Van…” suaranya pelan, nyaris kalah oleh suara mesin mobil.Revan menoleh sebentar, lalu kembali menatap jalan. “Kenapa?”Alya menarik nafas pelan. “A-aku takut pulang, Van.” suaranya sedikit bergetar.Revan melirik sekilas ke arah Alya, lalu mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. “Takut apa memang nggak mau pulang?” godanya, keningnya naik turun dengan ekspresi menggoda.Alya langsung memukul paha Revan pelan. “Ih, apaan sih, Van!” serunya, separuh kesal, separuh malu.Revan cuma terkekeh kecil, sen
Alya buru-buru menggeleng, berusaha kelihatan santai meski jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Ia angkat dagu sedikit, pura-pura cuek sambil menyilangkan tangan di dada. "Ngapain juga nyariin kamu? Aku cuma penasaran aja sama apartemen ini, gede banget sih," katanya, suaranya dibuat datar, tapi ada nada gugup yang susah disembunyikan. Matanya sengaja dialihkan ke kolam, pura-pura perhatiin air yang masih bergoyang pelan.Revan cuma terkekeh pelan, matanya yang basah karena air kolam malah makin tajam menatap Alya. Tanpa banyak kata, tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tangan Alya yang paling dekat, tarikannya kuat tapi nggak kasar, cukup buat Alya kehilangan keseimbangan. "Ehh…" seru Alya pelan, tapi udah telat. Tubuhnya ambruk duduk di tepi tangga kolam, pas di sebelah Revan.Kimono tipisnya yang baru diikat asal tadi langsung bergeser sedikit. Belahannya di bagian dada terbuka sedikit, menampakkan garis lembut di tubuh Alya yang tersingkap karena gerakannya sendiri. Sadar
Ciuman itu masih menempel di bibir Alya. Degup jantungnya belum juga turun, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia masih bisa merasakan sisa nafas Revan di kulitnya, membuat dadanya panas, antara malu dan bingung. Beberapa detik berlalu tanpa kata. Alya menunduk, mencoba mencari napas, tapi udara rasanya berat. Tangannya akhirnya terangkat pelan, menekan dada Revan yang sejak tadi tak bergerak. “Van, awas… aku mau mandi,” katanya pelan. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar tegas. Revan cuma tersenyum kecil. Bukannya mundur, ia malah sedikit mendekat lagi. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk membuat Alya kembali menahan napas. “Aku ikut,” katanya, nyaris seperti bisikan di telinganya. Alya langsung panik. Ia menggeleng cepat, rambutnya yang sudah berantakan makin jatuh menutupi sebagian wajah. “Nggak, Van,” ucapnya terburu-buru. Tangannya spontan menekan dada Revan lebih kuat kali ini, mendorongnya sampai tubuh Revan akhirnya bergeser. Begitu ia berhasil lepa
Alya menatap Revan lama. Ia tak langsung paham arah ucapan pria itu barusan. Pelan, Alya membuka suara, suaranya nyaris bergetar. “Maksud kamu apa, Van?” Revan menatapnya diam-diam, lalu mengalihkan pandangannya sebentar, seperti menahan sesuatu di dadanya yang tak semestinya keluar. Ia menarik nafas, lalu menatap Alya lagi. “Aku sama dia itu sama-sama cowok, Alya,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan dalam. Alya hanya bisa diam, menatap Revan dengan mata lebar, menunggu penjelasan. Revan menggeser duduknya, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Kalau aku susah dapetin sesuatu yang aku mau, aku bakal ngelakuin apa aja buat dapet itu,” katanya pelan, tapi tegas. “Semua cara.” Ia berhenti sejenak, menatap Alya tanpa berkedip, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar mendengarnya. “Begitu juga dia.” Alya menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan. “Dia?” Revan mengangguk pelan. “Cowok itu. Kalau dia terang-terangan mau dapetin kamu, dan dia tahu kamu nggak ba
Ponsel di dalam tas Alya tiba-tiba bergetar, memecah kesunyian kamar yang masih dipenuhi sisa nafas berat dan keheningan aneh setelah segalanya tadi.Getaran itu membuat Alya tersentak pelan. Ia menoleh, menatap tas di ujung kasur dengan alis berkerut, lalu perlahan meraih ponselnya.Begitu layar menyala, matanya langsung membulat. Nama Papa Arman terpampang jelas di sana.Jantung Alya berdegup kencang. Nafasnya yang semula mulai tenang kembali tercekat di tenggorokan.Pikiran-pikiran berhamburan di kepalanya, saling bertabrakan tanpa arah.Alisha… jangan-jangan dia benar-benar ngadu?Wajah Alya seketika memucat. Ingatannya berputar cepat ke kejadian pagi tadi, saat Alisha memergokinya bersama Revan di depan kampus. Tatapan marah Alisha masih terbayang jelas, begitu juga suaranya yang gemetar menahan emosi saat berkata ia akan memberitahu semuanya kepada Papa Arman dan Mama Maya.Alya sampai sekarang masih bisa mengingat jelas kalimat Alisha yang menusuk telinga.“Kamu lupa kalau Om
Ponsel di saku celana Revan tiba-tiba bergetar, membuat gerakannya seketika terhenti. Alya, dengan dada yang masih naik turun dan suara nyaris tak terdengar, berbisik pelan, “Siapa, Van?” Revan menghela napas pendek, lalu merogoh saku dengan satu tangan. Sementara itu, tangan satunya masih bertahan, menyusuri titik sensitif Alya. Sekilas ia melirik layar ponsel, nama “Arman” terpampang jelas. Bukannya mengangkat panggilan itu, Revan malah mendengus pelan. Lalu melempar ponselnya ke atas kasur Alya menatap Revan dari bawah, masih dengan napas yang belum juga teratur. Getaran ponsel yang terus-menerus terdengar membuatnya sedikit terusik. Dengan suara serak yang nyaris hanya berupa bisikan, ia bertanya pelan, “Kenapa nggak diangkat, Van?” Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap wajah Alya yang setengah tertutup rambut acaknya. Sudut bibirnya terangkat samar. “Biarin aja,” gumamnya rendah, nyaris seperti erangan tertahan. Lalu, tanpa banyak kata, i







