LOGINRevan, 25 tahun, masih terpukul dengan kematian ibunya yang baru beberapa bulan lalu. Ketika luka itu belum sembuh Arman, sang Ayah justru memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang perempuan, yang ku tau itu adalah sahabat Mama. Tanpa meminta persetujuan Revan, sang ayah membawa istri barunya, beserta putri angkatnya yang berusia 22 tahun bernama Alya, untuk tinggal di rumah keluarga mereka. Sejak awal, Revan menolak keberadaan wanita itu dan anaknya. Ia menganggap kehadiran mereka adalah bentuk penghinaan terhadap kenangan ibunya. Alya yang sebenarnya tidak bersalah, justru menjadi sasaran kemarahan dan kebencian Revan. Namun, benci yang tumbuh setiap hari perlahan berubah arah, saat tubuh dan tatapan Alya mulai memancing perasaan terlarang yang tidak bisa Revan kendalikan.
View More"Alya! Kamu ngepelnya gimana sih? Lantai masih licin gini, kalau orang jatuh siapa yang tanggung jawab?!”
Alya buru-buru meraih kain pel dan berjongkok. Tangannya bergerak cepat menyeka sudut lantai yang tadi mungkin terlewat. “Maaf, Ma. Tadi aku buru-buru berangkat kerja, jadi belum sempat pel ulang,” ucap Alya lirih. “Alasan terus! Kerja cuma jaga kasir aja kayaknya udah kayak gaji puluhan juta. Biarin kamu tinggal di sini aja, aku udah amal besar, tau nggak?!” Alya tak menjawab. Sejak kecil, ia terbiasa hidup seperti itu. Menjadi “anak angkat” Maya berarti tak boleh menuntut apa pun. Ia tahu statusnya. Ia hanya numpang hidup. Namanya Alya, dua puluh dua tahun. Sejak umur lima tahun, ia tinggal bersama Maya, perempuan yang mengaku kasihan melihatnya di panti asuhan. Tapi kenyataannya, hidup di panti dulu justru terasa lebih tenang daripada di rumah ini. Alya dituntut menjadi tulang punggung. Ia sekolah sampai SMA karena beasiswa. Selebihnya, ia bekerja sebagai kasir di minimarket dekat rumah, dan semua gajinya diserahkan ke Maya tanpa sisa sepeser pun. "Buat bayar listrik, air, makan. Kamu pikir tinggal di sini gratis?" begitu alasan Maya, tiap kali Alya memberanikan diri menyisihkan uang untuk beli sabun atau pembalut. Hari itu, Maya berdandan rapi. Lipstik merah menyala, baju baru yang belum pernah Alya lihat sebelumnya, dan parfum yang terlalu menyengat, ia melirik Alya yang tengah menyapu kamar. “Kamu jangan pulang malam-malam. Besok kita mulai pindahan.” Alya berhenti menyapu. “Pindahan ke mana, Ma?” “Ke rumah Pak Arman. Mulai minggu depan kita tinggal di sana.” Alya menoleh. Matanya membulat. “Pak Arman? Suaminya Tante Ratri?” Maya memutar bola matanya, lalu menyemprotkan parfum sekali lagi. “Dia duda sekarang, Ratri udah meninggal tiga bulan lalu. Kamu pikir dia mau terus hidup sendiri? Lagian, aku sahabatnya juga. Nggak salah dong kalau aku yang nemenin dia sekarang.” Alya menatap lantai. Kata-kata Maya terdengar dingin dan ringan, seolah kematian Ratri bukan apa-apa. “Ma, ini bukan soal siapa tinggal sama siapa, tapi Tante Ratri baru meninggal. Masa secepat itu?” Maya menoleh cepat. “Secepat apa itu urusan orang hidup, bukan yang udah mati.” Alya memberanikan diri bicara lebih jujur. “Aku cuma ngerasa nggak enak, Ma. Nggak baik manfaatin orang pas lagi berduka, apalagi itu suami sahabat Mama sendiri...” Suara Maya meninggi. “Kamu pikir kamu siapa, ngajarin aku hidup?” Alya terdiam. Suaranya sempat ingin keluar, tapi terjebak di tenggorokan. “Aku cuma mau hidup lebih enak. Aku capek hidup susah, capek ngurusin kamu juga. Kamu tuh udah gede. Udah waktunya tahu diri,” lanjut Maya, mengangkat alis. “Kita bakal hidup enak, ngerti nggak? Nggak usah naik motor tua lagi, nggak usah ngirit sabun. Kamu pikir aku nggak berhak bahagia juga?” Alya menunduk. “Tapi jangan pakai cara itu, Ma. Nggak pantas. Kalau Tante Ratri tahu...” “Udah cukup, Alya!” bentak Maya. “Jangan sok suci deh. Kamu itu anak kecil yang cuma bisa ngabisin duit. Lagian, kamu juga bakal ikut tinggal di rumah besar, tidur di kamar yang luas, kasur yang empuk, pakai AC, makan tiap hari tanpa mikirin bayar nasi. Kamu harusnya bersyukur!” Alya tetap diam. Di hatinya, ada rasa tidak enak. Bukan hanya karena Maya akan menikah dengan suami sahabatnya sendiri, tapi juga karena ia akan ikut tinggal di rumah itu. Rumah milik seseorang yang masih berduka, seseorang yang punya anak lelaki, bernama Revan. --- Tiga hari kemudian, mereka resmi pindah. Rumah itu jauh berbeda dari yang biasa Alya tinggali. Besar, sepi, rapi. Setiap langkah kaki terdengar memantul di dinding. Di depan pintu, Arman menyambut mereka dengan senyum. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir Alya lihat. Wajahnya menyimpan gurat kehilangan yang belum sembuh. “Selamat datang, Maya. Alya juga,” ucap Arman pelan. Maya menggandeng lengan Arman, tertawa kecil. “Akhirnya ya rumah ini ada lagi yang ngurus.” Alya hanya tersenyum sopan. Dari lantai atas, suara langkah kaki terdengar. Seorang laki-laki turun perlahan. Tatapannya tajam dan dingin. Itulah Revan, anak tunggal Tante Ratri dan Pak Arman. Usianya dua puluh lima tahun. Alya mengenalnya hanya sebatas pernah bersalaman di acara arisan dulu. Kini, matanya menatap Maya tanpa senyum. Lalu pindah ke Alya. Tatapan itu tidak ramah. Arman berdeham. “Revan, ini Maya dan Alya. Mereka akan tinggal bersama kita mulai hari ini.” Revan berdiri di anak tangga terakhir, tidak menjawab. Wajahnya sulit dibaca. Maya maju setengah langkah, mencoba tersenyum meski gugup terlihat jelas di wajahnya. “Revan…Mulai sekarang Tante akan jadi mama kamu.” Revan mengernyit pelan, lalu tertawa kecil. "Apa kamu bilang? Mama?” Maya mengangguk pelan. “Iya. Mungkin butuh—” Revan mengangkat tangan, memotong kalimat itu. “Dengar. Nggak ada yang bisa gantiin posisi Mama di rumah ini. Jadi jangan harap aku bakal panggil kamu dengan sebutan Mama.” Maya terdiam. Senyumnya pudar, tapi ia tidak membalas. Alya memberanikan diri untuk bicara, meski suaranya pelan. “Hai, aku Alya…” Revan menoleh sekilas, ekspresinya tidak berubah. “Aku nggak peduli kamu siapa. Buat aku… kalian cuma orang asing yang tiba-tiba numpang tinggal.” Alya menarik napas, mencoba tetap tenang walau ucapannya jelas menusuk. Arman mendekat, suaranya kini lebih tegas. “Revan, cukup. Papa tahu ini berat, tapi kamu harus terima. Ini keputusan Papa.” Revan menatap ayahnya, tatapannya tajam. “Berat? Tiga bulan Mama pergi, dan Papa udah bawa perempuan lain ke rumah ini. Itu bukan berat, Pa. Itu kurang ajar.” Suasana langsung hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Maya mencoba meredakan ketegangan. Suaranya pelan, hati-hati. “Revan, Tante ngerti ini nggak gampang buat kamu, tapi—” Revan langsung menyela, tanpa menatap Maya. “Udah. Aku nggak butuh penjelasan.” Arman menarik napas dalam. “Maafin Revan, ya... Dia sebenarnya anak yang baik. Cuma dia belum bisa nerima kepergian Mamanya.” Maya menoleh padanya. “Enggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Dia masih berduka, dan mungkin kedatangan aku dan Alya terlalu cepat buat dia.” Alya yang sedari tadi berdiri di sisi Maya ikut angkat bicara. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk menunjukkan isi hatinya. “Kayaknya... dia juga enggak suka sama Alya, Om.” Arman menoleh pada gadis itu, lalu tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, bukan gitu. Revan butuh waktu buat nerima semuanya. Termasuk kalian.” Alya mengangguk pelan. Meski tak banyak bicara, jelas raut wajahnya masih menyimpan ketegangan. “Yaudah, sekarang kalian istirahat dulu, ya.” Arman berdiri dan menunjuk arah lorong. “Alya, kamar kamu ada di sebelah kamar Revan. Di pojok, yang jendelanya menghadap taman kecil itu.” Alya mengangguk lagi, kali ini lebih ringan. “Terima kasih, Om.” Arman menoleh padanya dan tersenyum hangat. “Panggil Papa dong… sekarang kita kan sudah jadi keluarga.” Alya sempat terdiam, agak ragu. Matanya menatap Arman sekilas sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Iya, Om… eh—iya, Pa,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Arman mengangguk puas, menepuk pelan bahunya. “Gitu dong. Nggak usah sungkan, anggap rumah ini rumah sendiri, ya.” Alya hanya mengangguk lagi, tapi dalam hatinya, ia tahu semuanya tidak akan semudah itu.Tanpa aba-aba, satu tangan Revan menyelip di bawah lutut Alya. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh gadis itu. “Ah!” Alya memekik kaget. Kedua kakinya refleks melingkar di pinggang Revan, sementara lengannya memeluk leher pria itu erat-erat agar tidak terjatuh. “Revan! Turunin!” protesnya, napasnya sudah tak beraturan, wajahnya memanas. “Nanti,” jawab Revan singkat. “Kalau kita sudah di sofa.” Ia melangkah menuju sofa panjang di ruang tengah yang temaram. Namun ia tak sekadar meletakkan Alya. Revan ikut menindih tubuhnya, mengurungnya di antara sandaran sofa yang empuk dan tubuhnya yang kokoh. Alya terengah. Dadanya naik turun cepat, bergesekan dengan dada Revan yang menempel rapat padanya. Jarak wajah mereka tinggal beberapa sentimeter. Mata Revan yang gelap menelusuri wajah Alya perlahan, seakan ingin menghafal setiap ekspresi pasrah yang kini terlihat begitu memikat. “Kamu kelihatan cantik banget kalau lagi berantakan begini,” bisiknya serak. Ibu jarinya mengusap
Alya menarik nafas dalam-dalam.“Van,” ucap Alya pelan, nadanya melembut. “Bisa nggak imbalannya nanti aja? Kalau udah sah. Cuma seminggu lagi kok.”Revan tetap menatap jalan. “Nggak bisa, Alya. Aku udah bilang. Aku nggak mau nunggu selama itu.”Alya menggigit bibirnya. “Nanti malam pertama kita jadi nggak berkesan, Van.”Revan meliriknya sebentar, lalu berkata tenang namun tegas, “Apapun, asal sama kamu, selalu berkesan.”Kalimat itu membuat Alya kehabisan kata.Ia terdiam. Tangannya saling menggenggam di pangkuan, dadanya terasa penuh oleh campuran takut, pasrah, dan perasaan yang tak sanggup ia uraikan.Tak lama kemudian, mobil memasuki area parkir basement apartemen mewah itu.Revan mematikan mesin, tapi ia tidak segera turun. Ia hanya duduk diam, membiarkan kegelapan di dalam mobil perlahan mengambil alih.Alya bisa merasakan jantungnya seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Ia tidak berani menoleh. Ia tahu, di balik wajah tenang Revan, ada badai yang sedang menunggu
Jam di ponsel Alya menunjukkan tepat pukul empat sore saat ia akhirnya melangkah keluar dari gedung fakultas. Langit masih terang, tapi panasnya sudah tidak seterik siang tadi. Bahunya terasa pegal karena kelas tambahan yang mendadak, dan kepalanya penuh oleh materi yang dipadatkan dalam waktu singkat. Ia menghela napas pelan sambil menuruni anak tangga, lalu merogoh tas mencari ponselnya. Baru saja layar ponsel menyala, langkah Alya terhenti. Mobil Revan sudah terparkir di depan kampus. Posisinya hampir sama seperti siang tadi, seolah Revan tidak benar-benar pergi ke mana pun. Alya menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil tanpa sadar. Ada rasa bersalah yang langsung menyelinap. Ia mematikan layar ponselnya, menyimpannya kembali ke dalam tas, lalu berjalan mendekat. Begitu pintu mobil dibuka dan ia masuk, hawa sejuk AC langsung menyelimuti tubuhnya. Pintu tertutup. Hening. Revan duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi yang masih sama, rahang mengeras, tatapan
Rafi mengangkat kedua telapak tangannya setinggi dada, gesturnya tampak santai seolah ingin meredakan suasana. Namun sudut bibirnya tetap melengkung tipis, senyum yang terlalu tenang untuk situasi setegang ini.“Santai aja, Van,” katanya ringan. “Aku nanya Alya, bukan kamu.”Ia kembali menoleh ke Alya, sorot matanya lembut, nyaris penuh pengertian. “Alya apa benar kamu calon istri dia?”Alya menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak, tapi kali ini ia memaksa dirinya untuk tidak menghindar. Ia mengangguk pelan, lalu bersuara, meski nadanya sedikit bergetar.“Iya, Fi,” ucapnya jujur. “Dia calon suamiku. Aku mau nikah sama Revan.”Revan menyeringai. Senyum miring itu muncul begitu saja, seolah kalimat Alya adalah kemenangan kecil yang sejak tadi ia tunggu. Ia menoleh ke arah Rafi, dagunya terangkat sedikit.“Kamu dengar sendiri, kan?” katanya dingin. “Jadi tolong, jangan ajak istri orang jalan sembarangan.”Rafi tertawa kecil, singkat. Ia menggeleng, seolah kalimat itu terlalu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore