LOGIN(21+) Revan, 25 tahun, masih terpukul dengan kematian ibunya yang baru beberapa bulan lalu. Ketika luka itu belum sembuh Arman, sang Ayah justru memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang perempuan, yang ku tau itu adalah sahabat Mama. Tanpa meminta persetujuan Revan, sang ayah membawa istri barunya, beserta putri angkatnya yang berusia 22 tahun bernama Alya, untuk tinggal di rumah keluarga mereka. Sejak awal, Revan menolak keberadaan wanita itu dan anaknya. Ia menganggap kehadiran mereka adalah bentuk penghinaan terhadap kenangan ibunya. Alya yang sebenarnya tidak bersalah, justru menjadi sasaran kemarahan dan kebencian Revan. Namun, benci yang tumbuh setiap hari perlahan berubah arah, saat tubuh dan tatapan Alya mulai memancing perasaan terlarang yang tidak bisa Revan kendalikan.
View More"Alya! Kamu ngepelnya gimana sih? Lantai masih licin gini, kalau orang jatuh siapa yang tanggung jawab?!”
Alya buru-buru meraih kain pel dan berjongkok. Tangannya bergerak cepat menyeka sudut lantai yang tadi mungkin terlewat. “Maaf, Ma. Tadi aku buru-buru berangkat kerja, jadi belum sempat pel ulang,” ucap Alya lirih. “Alasan terus! Kerja cuma jaga kasir aja kayaknya udah kayak gaji puluhan juta. Biarin kamu tinggal di sini aja, aku udah amal besar, tau nggak?!” Alya tak menjawab. Sejak kecil, ia terbiasa hidup seperti itu. Menjadi “anak angkat” Maya berarti tak boleh menuntut apa pun. Ia tahu statusnya. Ia hanya numpang hidup. Namanya Alya, dua puluh dua tahun. Sejak umur lima tahun, ia tinggal bersama Maya, perempuan yang mengaku kasihan melihatnya di panti asuhan. Tapi kenyataannya, hidup di panti dulu justru terasa lebih tenang daripada di rumah ini. Alya dituntut menjadi tulang punggung. Ia sekolah sampai SMA karena beasiswa. Selebihnya, ia bekerja sebagai kasir di minimarket dekat rumah, dan semua gajinya diserahkan ke Maya tanpa sisa sepeser pun. "Buat bayar listrik, air, makan. Kamu pikir tinggal di sini gratis?" begitu alasan Maya, tiap kali Alya memberanikan diri menyisihkan uang untuk beli sabun atau pembalut. Hari itu, Maya berdandan rapi. Lipstik merah menyala, baju baru yang belum pernah Alya lihat sebelumnya, dan parfum yang terlalu menyengat, ia melirik Alya yang tengah menyapu kamar. “Kamu jangan pulang malam-malam. Besok kita mulai pindahan.” Alya berhenti menyapu. “Pindahan ke mana, Ma?” “Ke rumah Pak Arman. Mulai minggu depan kita tinggal di sana.” Alya menoleh. Matanya membulat. “Pak Arman? Suaminya Tante Ratri?” Maya memutar bola matanya, lalu menyemprotkan parfum sekali lagi. “Dia duda sekarang, Ratri udah meninggal tiga bulan lalu. Kamu pikir dia mau terus hidup sendiri? Lagian, aku sahabatnya juga. Nggak salah dong kalau aku yang nemenin dia sekarang.” Alya menatap lantai. Kata-kata Maya terdengar dingin dan ringan, seolah kematian Ratri bukan apa-apa. “Ma, ini bukan soal siapa tinggal sama siapa, tapi Tante Ratri baru meninggal. Masa secepat itu?” Maya menoleh cepat. “Secepat apa itu urusan orang hidup, bukan yang udah mati.” Alya memberanikan diri bicara lebih jujur. “Aku cuma ngerasa nggak enak, Ma. Nggak baik manfaatin orang pas lagi berduka, apalagi itu suami sahabat Mama sendiri...” Suara Maya meninggi. “Kamu pikir kamu siapa, ngajarin aku hidup?” Alya terdiam. Suaranya sempat ingin keluar, tapi terjebak di tenggorokan. “Aku cuma mau hidup lebih enak. Aku capek hidup susah, capek ngurusin kamu juga. Kamu tuh udah gede. Udah waktunya tahu diri,” lanjut Maya, mengangkat alis. “Kita bakal hidup enak, ngerti nggak? Nggak usah naik motor tua lagi, nggak usah ngirit sabun. Kamu pikir aku nggak berhak bahagia juga?” Alya menunduk. “Tapi jangan pakai cara itu, Ma. Nggak pantas. Kalau Tante Ratri tahu...” “Udah cukup, Alya!” bentak Maya. “Jangan sok suci deh. Kamu itu anak kecil yang cuma bisa ngabisin duit. Lagian, kamu juga bakal ikut tinggal di rumah besar, tidur di kamar yang luas, kasur yang empuk, pakai AC, makan tiap hari tanpa mikirin bayar nasi. Kamu harusnya bersyukur!” Alya tetap diam. Di hatinya, ada rasa tidak enak. Bukan hanya karena Maya akan menikah dengan suami sahabatnya sendiri, tapi juga karena ia akan ikut tinggal di rumah itu. Rumah milik seseorang yang masih berduka, seseorang yang punya anak lelaki, bernama Revan. --- Tiga hari kemudian, mereka resmi pindah. Rumah itu jauh berbeda dari yang biasa Alya tinggali. Besar, sepi, rapi. Setiap langkah kaki terdengar memantul di dinding. Di depan pintu, Arman menyambut mereka dengan senyum. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir Alya lihat. Wajahnya menyimpan gurat kehilangan yang belum sembuh. “Selamat datang, Maya. Alya juga,” ucap Arman pelan. Maya menggandeng lengan Arman, tertawa kecil. “Akhirnya ya rumah ini ada lagi yang ngurus.” Alya hanya tersenyum sopan. Dari lantai atas, suara langkah kaki terdengar. Seorang laki-laki turun perlahan. Tatapannya tajam dan dingin. Itulah Revan, anak tunggal Tante Ratri dan Pak Arman. Usianya dua puluh lima tahun. Alya mengenalnya hanya sebatas pernah bersalaman di acara arisan dulu. Kini, matanya menatap Maya tanpa senyum. Lalu pindah ke Alya. Tatapan itu tidak ramah. Arman berdeham. “Revan, ini Maya dan Alya. Mereka akan tinggal bersama kita mulai hari ini.” Revan berdiri di anak tangga terakhir, tidak menjawab. Wajahnya sulit dibaca. Maya maju setengah langkah, mencoba tersenyum meski gugup terlihat jelas di wajahnya. “Revan…Mulai sekarang Tante akan jadi mama kamu.” Revan mengernyit pelan, lalu tertawa kecil. "Apa kamu bilang? Mama?” Maya mengangguk pelan. “Iya. Mungkin butuh—” Revan mengangkat tangan, memotong kalimat itu. “Dengar. Nggak ada yang bisa gantiin posisi Mama di rumah ini. Jadi jangan harap aku bakal panggil kamu dengan sebutan Mama.” Maya terdiam. Senyumnya pudar, tapi ia tidak membalas. Alya memberanikan diri untuk bicara, meski suaranya pelan. “Hai, aku Alya…” Revan menoleh sekilas, ekspresinya tidak berubah. “Aku nggak peduli kamu siapa. Buat aku… kalian cuma orang asing yang tiba-tiba numpang tinggal.” Alya menarik napas, mencoba tetap tenang walau ucapannya jelas menusuk. Arman mendekat, suaranya kini lebih tegas. “Revan, cukup. Papa tahu ini berat, tapi kamu harus terima. Ini keputusan Papa.” Revan menatap ayahnya, tatapannya tajam. “Berat? Tiga bulan Mama pergi, dan Papa udah bawa perempuan lain ke rumah ini. Itu bukan berat, Pa. Itu kurang ajar.” Suasana langsung hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Maya mencoba meredakan ketegangan. Suaranya pelan, hati-hati. “Revan, Tante ngerti ini nggak gampang buat kamu, tapi—” Revan langsung menyela, tanpa menatap Maya. “Udah. Aku nggak butuh penjelasan.” Arman menarik napas dalam. “Maafin Revan, ya... Dia sebenarnya anak yang baik. Cuma dia belum bisa nerima kepergian Mamanya.” Maya menoleh padanya. “Enggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Dia masih berduka, dan mungkin kedatangan aku dan Alya terlalu cepat buat dia.” Alya yang sedari tadi berdiri di sisi Maya ikut angkat bicara. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk menunjukkan isi hatinya. “Kayaknya... dia juga enggak suka sama Alya, Om.” Arman menoleh pada gadis itu, lalu tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, bukan gitu. Revan butuh waktu buat nerima semuanya. Termasuk kalian.” Alya mengangguk pelan. Meski tak banyak bicara, jelas raut wajahnya masih menyimpan ketegangan. “Yaudah, sekarang kalian istirahat dulu, ya.” Arman berdiri dan menunjuk arah lorong. “Alya, kamar kamu ada di sebelah kamar Revan. Di pojok, yang jendelanya menghadap taman kecil itu.” Alya mengangguk lagi, kali ini lebih ringan. “Terima kasih, Om.” Arman menoleh padanya dan tersenyum hangat. “Panggil Papa dong… sekarang kita kan sudah jadi keluarga.” Alya sempat terdiam, agak ragu. Matanya menatap Arman sekilas sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Iya, Om… eh—iya, Pa,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Arman mengangguk puas, menepuk pelan bahunya. “Gitu dong. Nggak usah sungkan, anggap rumah ini rumah sendiri, ya.” Alya hanya mengangguk lagi, tapi dalam hatinya, ia tahu semuanya tidak akan semudah itu.Ciuman itu masih menempel di bibir Alya. Degup jantungnya belum juga turun, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia masih bisa merasakan sisa nafas Revan di kulitnya, membuat dadanya panas, antara malu dan bingung. Beberapa detik berlalu tanpa kata. Alya menunduk, mencoba mencari napas, tapi udara rasanya berat. Tangannya akhirnya terangkat pelan, menekan dada Revan yang sejak tadi tak bergerak. “Van, awas… aku mau mandi,” katanya pelan. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar tegas. Revan cuma tersenyum kecil. Bukannya mundur, ia malah sedikit mendekat lagi. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk membuat Alya kembali menahan napas. “Aku ikut,” katanya, nyaris seperti bisikan di telinganya. Alya langsung panik. Ia menggeleng cepat, rambutnya yang sudah berantakan makin jatuh menutupi sebagian wajah. “Nggak, Van,” ucapnya terburu-buru. Tangannya spontan menekan dada Revan lebih kuat kali ini, mendorongnya sampai tubuh Revan akhirnya bergeser. Begitu ia berhasil lepa
Alya menatap Revan lama. Ia tak langsung paham arah ucapan pria itu barusan. Pelan, Alya membuka suara, suaranya nyaris bergetar. “Maksud kamu apa, Van?” Revan menatapnya diam-diam, lalu mengalihkan pandangannya sebentar, seperti menahan sesuatu di dadanya yang tak semestinya keluar. Ia menarik nafas, lalu menatap Alya lagi. “Aku sama dia itu sama-sama cowok, Alya,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan dalam. Alya hanya bisa diam, menatap Revan dengan mata lebar, menunggu penjelasan. Revan menggeser duduknya, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Kalau aku susah dapetin sesuatu yang aku mau, aku bakal ngelakuin apa aja buat dapet itu,” katanya pelan, tapi tegas. “Semua cara.” Ia berhenti sejenak, menatap Alya tanpa berkedip, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar mendengarnya. “Begitu juga dia.” Alya menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan. “Dia?” Revan mengangguk pelan. “Cowok itu. Kalau dia terang-terangan mau dapetin kamu, dan dia tahu kamu nggak ba
Ponsel di dalam tas Alya tiba-tiba bergetar, memecah kesunyian kamar yang masih dipenuhi sisa nafas berat dan keheningan aneh setelah segalanya tadi.Getaran itu membuat Alya tersentak pelan. Ia menoleh, menatap tas di ujung kasur dengan alis berkerut, lalu perlahan meraih ponselnya.Begitu layar menyala, matanya langsung membulat. Nama Papa Arman terpampang jelas di sana.Jantung Alya berdegup kencang. Nafasnya yang semula mulai tenang kembali tercekat di tenggorokan.Pikiran-pikiran berhamburan di kepalanya, saling bertabrakan tanpa arah.Alisha… jangan-jangan dia benar-benar ngadu?Wajah Alya seketika memucat. Ingatannya berputar cepat ke kejadian pagi tadi, saat Alisha memergokinya bersama Revan di depan kampus. Tatapan marah Alisha masih terbayang jelas, begitu juga suaranya yang gemetar menahan emosi saat berkata ia akan memberitahu semuanya kepada Papa Arman dan Mama Maya.Alya sampai sekarang masih bisa mengingat jelas kalimat Alisha yang menusuk telinga.“Kamu lupa kalau Om
Ponsel di saku celana Revan tiba-tiba bergetar, membuat gerakannya seketika terhenti. Alya, dengan dada yang masih naik turun dan suara nyaris tak terdengar, berbisik pelan, “Siapa, Van?” Revan menghela napas pendek, lalu merogoh saku dengan satu tangan. Sementara itu, tangan satunya masih bertahan, menyusuri titik sensitif Alya. Sekilas ia melirik layar ponsel, nama “Arman” terpampang jelas. Bukannya mengangkat panggilan itu, Revan malah mendengus pelan. Lalu melempar ponselnya ke atas kasur Alya menatap Revan dari bawah, masih dengan napas yang belum juga teratur. Getaran ponsel yang terus-menerus terdengar membuatnya sedikit terusik. Dengan suara serak yang nyaris hanya berupa bisikan, ia bertanya pelan, “Kenapa nggak diangkat, Van?” Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap wajah Alya yang setengah tertutup rambut acaknya. Sudut bibirnya terangkat samar. “Biarin aja,” gumamnya rendah, nyaris seperti erangan tertahan. Lalu, tanpa banyak kata, i
Revan mendekat selangkah demi selangkah, sorot matanya tajam. “Kenapa kamu bisa ada di sana sama dia, Alya?” suaranya pelan, tapi mengandung amarah yang ditahan. Semakin Revan mendekat, Alya semakin melangkah mundur. Langkahnya terhenti ketika punggungnya menyentuh tepi kasur. “Van, aku–” ucapnya pelan, tapi belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Revan tiba-tiba menarik tubuhnya dan merebahkan-nya ke ranjang. Tubuhnya menindih dari atas, nafasnya terdengar berat di telinga Alya. Ia menunduk menatap tajam wajah di bawahnya, “Kamu apa?” tanyanya tajam. “Kamu bilang ke aku kamu udah telat, ada kelas pagi. Tapi ternyata?” Tatapannya menelusuri wajah Alya yang memucat. “Ternyata kamu malah ke kafe sama dia.” Alya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri, meski jantungnya berdetak tak karuan. “Van, aku tadi memang sudah telat,” ucapnya pelan, seperti bisikan. Namun Revan memotong cepat, jemarinya bergerak menyentuh kancing pertama di blouse Alya. “Iya, kamu telat,” uca
Kali ini Revan menjawab, tanpa menoleh, suaranya datar dan pendek, “Pulang.” Alya menatap ke luar jendela, memperhatikan jalan yang mereka lalui. Hatinya mulai berdebar lebih cepat. “T-tapi…” ucapnya ragu, matanya melirik ke arah tanda jalan. “Ini bukan jalan pulang.” ucapnya dengan suara kecil.Revan masih tidak menoleh. Ia hanya menarik napas panjang, tapi masih tanpa ekspresi. “Kita nggak pulang ke rumah.” katanya pelan, suaranya berat tapi terkontrol.Kata-kata itu membuat Alya terpaku di tempat. “Terus… kita mau kemana, Van?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.Revan tidak menjawab. Ia hanya menggenggam kemudi lebih kuat. Alya memandang wajahnya sekilas, lalu cepat-cepat menunduk lagi.Dari cara Revan menekan pedal gas, ia tahu lelaki itu sedang menahan sesuatu yang nyaris meledak.Ia memilih diam. Menurutnya, satu kata saja bisa memperkeruh keadaan yang sudah cukup tegang.Jalanan mulai berubah, melewati deretan gedung tinggi. Perlahan, Alya merasa mengenal tempat ini. Bukan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments